Tambang Pulau Sebuku

3. Tambang Pulau Sebuku

Pertambangan batubara Sebuku oleh PT BCS menghasilkan 3.000.000 ton batubara siap jual per tahun untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Negara tujuannya adalah Jepang, India, Thailand, Filiphina, Cina dan Malaysia (Profil BCS, 2005). BCS mendapatkan ijin eksploitasi melalui PKP2B generasi II pada tahun 1993. Saat itu jumlah perusahaan pertambangan dengan menggunakan PKP2B bertambah dengan dikeluarkannya Kontrak Pengusahaan Batubara Generasi II melalui kebijakan Kepres No. 21/1993 yang terdiri dari 5 perusahaan yaitu PT. BCS, Bantala CM, Antang Gunung Meratus, Jorong Barutama, Borneo Indobara.

Krisis Keberlanjutan Sumber Penghidupan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis di Pulau Kecil

Perusahaan BCS masuk Pulau Sebuku tahun 1997, diawali dengan eksplorasi menggunakan model operasional seperti diatas. PT. BCS sendiri merupakan Pemilik Modal Dalam Negeri yang bergerak di bidang pertambangan, sedangkan menajemen operasional dikelola Straits Resorces Limited. Kepemilikan sahamnya 20 % untuk Indonesia dan 80 % untuk Singapura. Untuk sektor Pertambangan, dari total 19 perusahaan yang beroperasi di Kalimantan Selatan,

12 merupakan merupakan Pemilik Modal Asing dan selebihnya

7 perusahaan adalah PMDN. Kemudian pada tahun 2004, terbit persetujuan menteri kehutanan tentang pinjam pakai kawasan hutan untuk PT. BCS melalui surat bernomor S.430/Menhut-VII/2004 tanggal 15 Oktober 2004. Selanjutnya pada tahun 2009 kembali lagi terbit SK No.316/Menhut/II/2009 tentang pinjam pakai kawasan hutan seluas 744,68 ha. Sedangkan penambangan biji besi di Pulau Sebuku dilakukan oleh PT. SILO dengan ijin surat bernomor S. 709/Menhut-VII/2006 dan SK. No. 399/Menhut-II/2008. Surat ini menyatakan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan produksi tetap dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Tetapi eksploitasi yang dilakukan oleh PT. SILO telah dimulai tahun 2004 dengan jumlah produksi mencapai 2.5 juta metrik dari luas area dengan status pinjam pakai 1,731.61 ha. Dalam implementasinya, berdasarkan informasi dan dari keterangan warga melalui wawancara mendalam menganggap bahwa hutan yang dikonversi bukan hanya hutan produksi saja, melainkan hutan lindung dan cagar alam.

PT BCS lebih dulu masuk di Pulau Sebuku dibandingkan dengan PT SILO, pada tahun 2003 silam, masyarakat dari desa Serakaman dan Kanibungan serta perwakilan dari 3 desa sekitar BCS lainnya melakukan demo akibat ulah perusahaan yang

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

menutup sungai Kanibungan dan membuat sungai baru yang digunakan untuk membuang limbah batu bara. Saat itu, masyarakat didampingi oleh NGO dan perwakilan DPRD menutup jalan produksi perusahaan, dengan proses negoisasi yang alot akhirnya masyarakat bisa mendapatkan ganti rugi senilai Rp.900 juta. Saat ini masyarakat Kanibungan sedang menuntut kewajiban perusahaan untuk mereklamasi lubang pasca penambangan batubara. Saat ini sebagian masyarakat sudah mulai resah dan khawatir terhadap aktivitas tambang di pulau mereka.

Proses masuknya PT SILO di pulau Sebuku menggunakan pendekatan melalui aparatur desa juga tokoh masyarakat dan tokoh agama di desa Rampa dan Sungai Bali. PT SILO berhasil merayu para ketua kelompok sawit rakyat untuk melepaskan tanahnya. Melalui wawancara mendalam kepada salah satu anggota kelompok sawit tersebut, yang menceritakan bahwa saat itu tekanan untuk menjual dari para ketua kelompok cukup tinggi, sehingga kelompok minoritas yang tidak ingin menjual tanahnya terpaksa merelakan. Bahkan pemilik kebun sawit tersebut tidak mendapatkan pembayaran cash secara langsung, SILO berdalih tidak memiliki uang dan pada akhirnya dibayar secara angsur hingga

6 bulan. Sebagian besar pemilik yang menjual kebun sawit secara sukarela tersebut berharap bisa menjadi karyawan di PT SILO, dan itu juga yang dijanjikan oleh perusahaan diawal. Di sisi lain, kondisi yang tidak menguntungkan bagi pemilik kebun menambah pilihan menjual tanah menjadi jauh lebih menguntungkan, tidak adanya pasar untuk menampung hasil sawit dan harga yang rendah merupakan tekanan terbesar saat itu. Bahkan PT SILO berhasil menggunakan salah satu tokoh masyarakat yang dituakan, untuk menunjukan lubang yang mengandung bijih besi, karena dahulu Rusia pernah melakukan eksplorasi tambang di Pulau Sebuku.

Krisis Keberlanjutan Sumber Penghidupan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis di Pulau Kecil

Saat ini sebagai penghargaan atas kerjasama tersebut, PT SILO memberikan pekerjaan menjadi karyawan administrasi. Dengan dukungan dari pihak desa maupun dari tingkat kecamatan, maka aktivitas eksploitasi PT SILO di pulau sebuku tidak mendaptakan hambatan sedikit pun.

Sedangkan pengambil alihan tanah warga Kanibungan berlangsung melalui proses (jual beli) masyarakat diberi ganti rugi sesuai dengan pemanfaatan tanah sebelumnya. Seperti yang terjadi pada masyarakat Kanibungan, berdasarkan SK Bupati No 142/1997, kompensiasi dalam bentuk uang untuk kebun aktif

ditetapkan sebesar Rp. 600/m 2 .-, bagi jenis kebun tidak aktif Rp. 350.-/m 2 dan Bekas Ladang Rp. 150.-/m 2 . Nilai ini dirasakan kecil sekali bagi warga. Masyarakat sangat merasa dirugikan, namun karena penentuan itu berdasarkan instruksi dari bupati, sehingga masyarakat cenderung diam. Tetapi pada tahun 1998 masyarakat yang diinisiasi oleh salah satu warga Kanibungan menggugat ke pengadilan yang hasilnya dimenangkan oleh warga. Sejumlah

85 KK mendapatkan ganti rugi yang jauh lebih besar yaitu Rp. 1,000.-/m 2 dari harga semula yang hanya Rp. 150.-/m 2 . Proses kemenangan ini tidak mudah. Gugatan dilakukan melalui pengacara dari Banjarmasin yang disewa untuk mengurus persoalan ini. Jika tidak ada yang berani untuk menggugat, maka tidak akan ada perubahan nilai ganti rugi tersebut.