Cempaka: Masyarakat dengan Kultur Ekstraktif

a. Cempaka: Masyarakat dengan Kultur Ekstraktif

Sebagian besar masyarakat di Cempaka bekerja sebagai pendulang intan. Sebagai pendulang, mereka melihat tanah bukan sebagai life space yang akan menopang keberlanjutan kehidupan mereka melalui aktivitas pembudidayaan tanaman pertanian. Namun memandang tanah lebih pada apa nilai yang terkandung di dalamnya yang dapat diambil: apakah mengandung intan atau tidak mengandung intan. Dengan kata lain, masyarakat ini adalah masyarakat dengan kultur ekstraktif, bukan kultur budidaya.

Dalam kultur ekstraktif, tanah tidak diolah secara tekun dan sabar seperti dalam kultur budidaya sebagaimana lazimnya terdapat pada masyarakat pertanian. Psikologi pendulangan yang ekstraktif tersebut membuat mereka tidak memiliki ketelatenan dalam hal mengolah tanah atau melakukan budidaya tanaman yang membutuhkan waktu relatif lama sebelum menuai hasil. Psikologi mendulang adalah aktivitas yang penuh dengan kejutan.

Adagium setempat mengatakan: pagi miskin sore kaya. 14 Sebagai sebuah aktivitas yang ekstraktif, penambangan jika tidak dikelola dengan baik dipastikan akan menghasilkan penurunan kualitas ekologi kalau bukan malah kerusakan atau kehancuran ekologi. Di Cempaka, akibat aktivitas pendulangan yang tidak dikelola baik selama puluhan tahun itu telah mengakibatkan kerusakan ekologi yang cukup mengkhawatirkan. Penduduk setempat mengingat laju kerusakan terjadi sejak tahun 2000 ketika banyak pendulang mulai beralih teknologi dari teknologi

tradisional ke pendulangan menggunakan mesin penyedot. 15

14. Wawancara dengan Hermansyah dan H. Wardhani Jum’at 11 Juni 2010 15. Wawancara dengan Salman, warga Cempaka, Minggu 5 Juni 2010

Administrasi Pertanahan dan Larasita: Mengangankan Ruang Negosiasi-Partisipasi Rakyat di Level Desa

Beberapa akibat mulai dirasakan penduduk setempat. Pertama, dari sisi tenaga kerja perempuan tersingkir dari aktivitas pendulangan. Ketika pendulangan masih menggunakan cara tradisional banyak perempuan terlibat, diperkirakan prosentasenya sekitar 50:50. Jika dalam satu pendulangan ada lima laki-laki maka pendulang perempuan juga lima. Kedua, makin sering terjadi

longsor. 16 Ketiga, bekas pendulangan itu tidak bisa lagi ditanami atau sangat sulit direklamasi. Keempat, munculnya jenis pekerjaan baru selain mendulang yaitu pengangkut batu atau pasir, dan para pembelinya. Hadirnya jenis pekerjaan baru ini kian menambah parah kerusakan ekologi karena meningkatkan komodifikasi material pendulangan yang dikeruk setiap hari. Sebab itu kini makin sedikit orang yang merelakan tanahnya untuk didulang. Keenam, perubahan pola pembagian hasil. Sebelumnya hasil dibagi antara anggota pendulang dan ketua lobang, sekarang hasilnya harus dibagi antara ketua lobang, anggota pendulang, pemilik mesin, dan pemilik tanah yang besaran prosentasenya sesuai dengan kesepakatan masing-masing.

Ketika tanah masih sangat luas di sekitar wilayah tersebut, orang belum begitu menyadari arti penting tanah bagi kehidupan. Pada saat itu mereka masih sangat terbuai dengan ekonomi pendulangan yang sangat menjanjikan. Di samping itu, dengan tanah yang luas itu, relatif tidak ada masalah dalam hal sengketa agraria meskipun administrasi pertanahannya belum tertib. Namun kondisi ini berubah seiring dengan pola penambangan yang semakin intensif ini. Penggunaan mesin penyedot membuat

16. Jum’at 2 Oktober 2009 Banjarmasin Post menurunkan berita “ Longsor Terjang Pemburu Intan”, Sabtu 3 Oktober 2009 Banjarmasin Post menulis kasus yang sama di bawah judul “ Insyaallah Mati Syahid”. Berita ini mengisahkan empat orang yang tewas tertimbun longsoran akibat aktivitas penambangan.

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

aktivitas penambangan mengalami laju kecepatan yang tinggi. Pada saat itulah tanah semakin dirasakan sebagai sumberdaya yang langka dan mulai diperebutkan.

Perkembangan daerah ini sebagai bagian dari Kota Banjarbaru juga menciptakan “goncangan budaya” tersendiri. Dengan kultur ekstraktif semacam itu, ikatan pada tanah tidak terlalu kuat sebagaimana terdapat pada masyarakat dengan kultur budidaya menetap. Apalagi jika administrasi pertanahan yang ada di desa tidak cukup baik sehingga jaminan keamanan penguasaan tanah masyarakat menjadi kian lemah. Hal ini kemudian menimbulkan satu persoalan tersendiri ketika daerah ini menghadapi perkembangan kota yang berlangsung cepat dan banyak membutuhkan tanah untuk berbagai aktivitas pembangunan.