Kesempatan Integrasi

c. Kesempatan Integrasi

Berdasarkan hasil kajian di Tasikmalaya dan Blitar, secara konseptual beberapa hal berikut dapat menjadi pintu masuk yang tersedia untuk usaha pengintegrasian. Pertama, memulai ekperimentasi untuk menyusun proses kebijakan bersama ( integrative policy processes) untuk satu program tertentu yang memiliki kesamaan substansi, dari perencanaan, pelaksanaan dan monitoringnya. Sebab kondisi-kondisi yang melatarbelakangi diskoneksitas pelaksanaa RA dan kebijakan pengembangan wilayah dan inisiatif rakyat, bukan hanya pada persolan menejemen administratif, skema pembiayaan dan teknis pelaksanaan di lapangan yang memang sejak awal telah memiliki track yang berbeda dan sendiri-sendiri. Lebih dari itu dalam keseluruhan substansi policy process nampak

33. Gerakan land reform Wong Persil, belum mendapatkan jalur acces reform-nya untuk menggenapi perjuangan mereka. Sehingga tak heran jika sebagain warga terpaksa melepas lahan mereka karena ketidakmampuan untuk mengelola lahan mereka secara produktif dan akhirnya terjerat kebutuhan- kebutuhan prioritas. Baik yang sistemik maupun accidental. Hasil penelitian Pinky (2007) di kasus yang sama menunjukkan bahwa land reform by leverage masih membutuhkan kerja multi pihak hingga sampai mewujudkan keadilan agraria. Dengan kata lain keberhasilan gerakan pendudukan tanah, baik karena inisiatif sendiri maupun beresama-sama dengan organisasi non pemerintah tidak otomatis bergaris sejajar dengan peningkatan tingkat kesejahteraan para pejuangnya. Perlu lebih jauh diintegrasikan dengan kebijakan lain terkait dengan pertanahan, baik dari pemerintah daerah maupun badan otoritas pertanahan (BPN). Pinky Chysantini, Berawal dari Tanah; Melihat Ke dalam Pendudukan Tanah, (AKATIGA; Bandung, 2007)

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

terlihat tidak dapat terintegrasikan, meski beberapa upaya dan pengalaman ke arah itu telah membuka celah sendiri. Koperasi Wangunwatie menjadi satu inspirasi bagaimana gerakan rakyat mampu mengembangkan potensi ekonomi mereka secara mandiri, bukan sebagai objek penerima yang pasif (seperti dalam perspektif developmentalistik). Sehingga dapat menjadi rujukan pengambil kebijakan untuk mensinergiskan policy proses mereka untuk tujuan pemberdayaan ekonomi pedesaan. Kedua, penyamaan platform ‘ideologis’ antar pihak dengan meletakkan persoalan ketimpangan struktur agraria sebagai akar persoalan kemiskinan dan ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik. Sehingga substansi pelaksanaan RA yang sejalur dengan cita-cita kebangsaan didudukkan menjadi konsep rujukan pelaksanaan program pembangunan daerah, bukan pelengkap dan “proyek” kebijakan pertanahan. Pengalaman Tim Fasilitasi Konflik Agraria di Blitar, dengan segala kekurangannya, masih dapat menjadi media pembelajaran berharga antar pihak untuk diteruskan. Proses integrasi mesti dibarengai kesadaran kesetaraan dan kemauan sungguh-sungguh untuk mengabaikan dulu ego sektoral, kejumudan TUPOKSI, dan kekakuan koordinasi untuk tujuan bersama yang lebih prioritas bagi kepentingan bersama.

Ketiga, penggenapan prasyarat pasca land reform, pengembangan, penguatan dan proteksi pasar bagi hasil kelola ekonomi rakyat berbasis potensi lokal. Di satu sisi keberhasilan satu tahap land reform yang dilakukan oleh gerakan Wong Persil di Blitar telah meningkatkan kepercayaan diri dan kesejahteraan warganya, namun di sisi yang lain, masih membutuhkan penggenapan kekurangannya pada wilayah acces reform-nya. Termasuk di dalamnya mewujudkan agenda yang belum terselesaikan, misalnya pembentukan Desa Baru yang dalam konsep idealnya mengundang BAPEDA dan

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

BPN untuk ikut urun rembug dalam mendesainnya. Sementara itu dalam kasus koperasi Wangunwatie, dengan segala perangkat kewenangan dan otoritasnya kebijakan BPN dan Pemerintah Daerah dapat memainkan peran pentingnya untuk diintegrasikan dalam upaya menguat-kembangkan sekaligus memproteksi hasil kelola dan out put koperasi agar lebih stabil, berkelanjutan, berdayasaing tinggi di pasaran dan memperluas jangkauan jaringan pemasaran tanpa harus memonopoli dan mengintervensi wilayah substantif dan tatanan yang sudah relevan dengan kebutuhan anggota koperasi. Artinya kebijakan tersebut adalah supporting sistem bagi sistem yang sudah ada, dan tidak merubah segala kelebihan potensi koperasi yang sudah berjalan sejak lama.

Keterbatasan menuntut kewajiban untuk melakukan penelitian lanjutan. Selain untuk mendalami hal-hal yang belum tergali dengan utuh, misalnya tentang relasi antar aktor yang berperan dalam skema pembangunan di kedua kabupaten, anatomi inisiasi rakyat yang muncul, pembentukan struktur agraria lokal dan seterusnya, juga mengamati lebih jauh dinamika yang muncul dalam kurun waktu tertentu setelah beragam peristiwa muncul di kedua kabupaten tersebut, seperti PILKADA dan kebijakan baru pertanahan selepas riset. Semakin banyak praktik usaha pengintegrasian semacam ini di lakukan, maka medan belajar untuk praktik pelaksanaan RA yang selaras dengan pembangunan di daerah dan inisiatif rakyat akan semakin kaya. Pada gilirannya, diharapkan akan menjadi contoh sirkuit belajar tersendiri bagi tersedianya alas kebijakan agraria secara nasional yang lebih pro poor land policy.