Legal Tenurial Insecurity

d. Legal Tenurial Insecurity

Sejarah penguasaan tanah di masa lalu, administrasi tanah yang belum tertib, peralihan status pemerintahan dari Kabupaten Banjar kepada Kota Banjarbaru, minimnya sosialisasi dan penyuluhan pertanahan adalah pelarut masalah. Kondisi ini menciptakan situasi yang tidak menutup kemungkinan seseorang mengalami ketidakamanan penguasaan atau kepemilikan bidang tanah walaupun sudah memegang dokumen legal-formal.

Terlepas dari kerumitan masalah administrasi pertanahan yang telah diuraikan di depan, ada beberapa faktor yang menimbulkan ketidakpastian jaminan keamanan penguasaan tanah pada masyarakat Cempaka ini. Pertama adalah kebijakan penataan ruang. Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 2001 Tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Banjarbaru 2001-2010, disebutkan dalam pasal

7 angka (1) bahwa: “Struktur pemanfaatan ruang kota Banjarbaru dibagi dalam 3 (tiga) Bagian Wilayah Kota (BWK) terdiri dari BWK Banjarbaru, BWK Landasan Ulin dan BWK Cempaka yang masing-masing mempunyai fungsi utama dan fungsi penunjang”. Selanjutnya pada angka (2) huruf c, disebutkan bahwa “Bagian Wilayah Kota (BWK) Cempaka dengan fungsi utama dan fungsi penunjang; a) Kawasan pengembangan pemukiman perkotaan,

b) Kawasan Pertambangan, c) Kawasan Cadangan, d) Kawasan Pendidikan, e) Kawasan pemerintahan.” Kebijakan Tata Ruang semacam itu juga turut menyumbang pada rumitnya pengaturan pertanahan. Menurut Perda tersebut, Cempaka diarahkan menjadi kawasan non-pertanian. Oleh karena itu Pemerintah Kota Banjarbaru hanya membolehkan sertifikasi lahan perkebunan atau lahan pertanian jika lahan itu merupakan proyek dari pemerintah, misalnya program Land

Administrasi Pertanahan dan Larasita: Mengangankan Ruang Negosiasi-Partisipasi Rakyat di Level Desa

Reform. Masyarakat yang akan mengurus sertifikasi tanahnya biasanya menghadapi kesulitan. Dalam arti, ia harus membayar NJOP yang lebih tinggi karena status tanahnya dikategorikan sebagai permukiman, meskipun dalam penggunaan faktualnya tanah tersebut masih merupakan tanah pertanian. Karena hal ini, masyarakat biasanya enggan mengurus sertipikasi tanahnya dan merasa cukup dengan mendapatkan alas hak berupa Surat

Pernyataan Penguasaan Fiksik Bidang Tanah (Sporadik). 19 Alas hak semacam ini tentunya tidak cukup kuat, apalagi menghadapi proses perkembangan kota yang ke depan akan kian cepat. Kondisi ini sudah mulai muncul sejak pembangunan pusat perkantoran Gubernur Kalimantan Selatan dan masuknya pengembang perumahan ( developer) yang memicu harga tanah yang melambung tinggi. Hal ini karena daerah Cempaka merupakan wilayah yang memang didesain sebagai kawasan pendukung pusat perkantoran tersebut terutama sebagai wilayah pemukiman, seperti telah diuraikan di atas.

Persoalan kedua adalah adanya klaim dari TNI AD atas tanah seluas 5 km x 5 km = 25 km². TNI-AD mengklaim areal ini sebagai MC yang berarti Military Complex, padahal menurut peta zaman Belanda/Jepang sekitar tahun 1942, lokasi tersebut adalah Mining Concession atau areal tambang batu bara. Tetapi kondisi faktual sekarang tanah ini ditempati oleh transmigran Jawa sejak 1995 dan tanah-tanahnya sudah bersertifikat. Di beberapa tempat kini dipasangi tanda yang menyebutkan bahwa wilayah itu adalah tanah milik AD tanpa pemberitahuan apapun kepada orang-orang yang tinggal di daerah itu. Tulisan-tulisan itu misalnya,” Tanah

19. Wawancara dengan Fitriyadi, Kantah Kota Banjarbaru, Kamis 10 Juni 2010

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

Milik TNI-AD ! Daerah Latihan Militer Dilarang Masuk !” dan sebagainya. Masyarakat yang berada di daerah tersebut saat ini merasa resah karena tanah yang sekarang ini mereka miliki tidak dapat menjamin hak mereka atas tanah ( tenurial insecurity).

Sejauh ini yang dilakukan adalah mengirimkan pernyataan keberatan kepada pihak-pihak tertentu, bahkan sudah masuk ke meja DPRD Banjarbaru, dengan harapan agar segera mendapatkan kejelasan atas persoalan tersebut. Namun sejauh ini pula tidak ada kemajuan apapun yang mereka dapatkan. Penduduk setempat menyadari bahwa konflik ini adalah konflik elite yang juga harus diselesaikan di tingkat elit. Pada tanggal 3 September 2008 warga sejumlah 160 orang berkumpul membicarakan masalah ini. Mereka kemudian mengirimkan surat permintaan pencabutan baleho yang bertuliskan “ Tanah Milik TNI-AD, Daerah Latihan Militer Dilarang Masuk”. Surat pernyataan itu dikirimkan kepada Danrem Antasari di Banjarmasin pada hari berikutnya 4 September 2008. Belum ada hasil apapun dan kejelasan apapun hingga saat ini.

Persoalan lain adalah menyangkut komplikasi birokrasi yang terjadi seiring perubahan status pemerintahan daerah ini yang sebaliknya bagian dari Kabupaten Banjarbaru kemudian berubah menjadi Kota Administratif yang masih menginduk ke Kabupaten Banjar, dan akhirnya menjadi Kota Otonom saat ini. Meskipun diakui bahwa saat ini administrasi pertanahan lebih rapi namun warisan ketidaktertiban administrasi pertanahan di masa lalu membuat aparat mengalami kesulitan dalam menangani persoalan tanah akibat data yang tidak lengkap. Aparat mengaku bahwa banyak data pertanahan masih berada di Kabupaten Banjar belum ditransfer ke Banjarbaru, salah satunya disebabkan konflik sengketa perbatasan antar kabupetan yang belum selesai. Di desa lain bahkan terjadi calon kepala desa lama yang kalah dalam

Administrasi Pertanahan dan Larasita: Mengangankan Ruang Negosiasi-Partisipasi Rakyat di Level Desa

pemilihan sengaja menyembunyikan data pertanahan. Kondisi ini mengakibatkan aparat desa sulit mengecek kebenaran semua surat tanah yang diaku milik seseorang ketika, misalnya, terjadi sengketa. Pihak aparat desa juga merasakan bahwa kondisi ini rawan sekali terjadi pemalsuan dokumen pertanahan. Akibatnya meskipun seseorang telah memiliki surat tanah hal itu belum tentu menjamin keamanan tenurial. Disamping itu praktik mewawar juga masih dilakukan dimana sekelompok orang membersihkan satu bidang tanah tertentu yang dianggap tidak ada pemiliknya kemudian tanah itu dijual dan hasilnya dibagi diantara kelompok. Di kemudian hari ketika seseorang mengakui bahwa tanah yang sudah di- wawar tersebut adalah miliknya sesuai dengan surat tanah yang dipegangnya, kondisi ini memunculkan masalah sengketa. Bisa saja terjadi pemilik tersebut kehilangan tanahnya.