Tujuan Pembacaan Manakib

H. Tujuan Pembacaan Manakib

Orang Islam yang beriman diajar oleh agamanya un- tuk mencintai Allah dan rasul-Nya. Bahkan Rasulullah me- minta kepada kita agar mencintai ahlul bayt. Lebih dari itu, diminta untuk mencintai para ulama dan aulianya. Jika kita belum dapat mencintai aulianya, kita dilarang memusuhi mereka. Bahkan kita diajar untuk mencintai sesama, semua orang Islam dan mukminin.

Setelah Rasulullah saw wafat, menurut ajaran Islam masih ada para aulia yang dianggap kekasih Allah dan menjadi pelita dalam kehidupan agama dan umat Islam. Untuk menyatakan rasa cintai kepada Allah swt, taat kepa- da-Nya, dan tidak mau bermaksiat, maka orang harus ba- nyak berdzikir kepada Allah terutama membaca al-Quran. Bagi orang yang alim, membaca al-Quran mendapatkan faedah yang banyak, antara lain:

a. Dapat berdialog dengan Allah karena al-Quran me- rupakan kalam-Nya.

b. Mendapatkan pahala karena bacaan tersebut.

c. Dapat mengambil hikmah dan ibrah jika memba- canya dengan tadabbur.

d. Mendapat obat ruhaniah yang tak ternilai jumlahnya. Sedangkan bagi orang yang tidak alim akan mendapatkan

pahala membaca al-Quran dan barokah serta syafaat dari bacaannya.

Orang Islam yang mencintai Nabi ingin menjadikan Nabi sebagai uswatun hasanah dalam segala segi kehidup- annya. Untuk itu ia ingin membaca sejarah kehidupan Nabi

Muhammad. Disamping itu harus pula banyak membaca salawat kepada Nabi agar mendapatkan syafaatnya kelak di hari kiamat dan rahmat Allah baik di dunia maupun di akhirat.

Usaha penulisan kitab Maulid Nabi mulai dari kitab

ad- Dayba‟iy dan lain-lainnya sampai kitab al-Barzanjiy ada- lah usaha mengenalkan sejarah kehidupan Nabi dan usaha pembacaan salawat kepadanya yang berulang kali dilakukan. Dengan demikian di kalangan sebagian besar umat Islam, pembacaan Maulid Nabi sudah membudaya dengan segala aspeknya. Demikian pula halnya penulisan kitab manakib.

Bagaimana hukum penulisan manakib? Imam al-Bukhariy dalam kitab sahihnya telah menu-

liskan beberapa manakib para sahabat, tabiin sampai ke- pa da manakib aulia. Ini bukanlah perbuatan bid‟ah, tetapi sunnah.

Alhamdu lillah banyak sekali tokoh Islam di kalangan kita, baik ia seorang pahlawan, tokoh ulama, atau aulia. Terlalu banyak jumlahnya, sehingga bahan penyusunan kitab manakib tidak kurang bahannya baik dari tokoh Islam zaman dahulu yang hidup di luar Indonesia maupun yang hidup di tanah air Indonesia. Misalnya selain Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy, Syaikh Abul Hasan asy-Syadzaliy, dan Faqihul Muqaddam, Indonesia juga punya Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan lain-lainnya.

Baik manakib Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy mau- pun wali-wali yang lain, pembacaan manakibnya bertujuan:

a. Menyatakan rasa cinta kepada aulia.

b. Beriktibar dengan ahwal dan maqomat (tingkah laku dan kedudukan) mereka.

c. Tabarrukan dengan para aulia atau tawassulan. Isi manakib dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy me-

nimbulkan kesan yang berbeda bagi masing-masing yang nimbulkan kesan yang berbeda bagi masing-masing yang

Di antara ajaran Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang terkenal adalah perkataan beliau yang berbunyi, 149

Hendaknya engkau ittibak kepada Rasulullah dan jangan lah berbid‟ah sendiri, taatlah kepada Allah dan janganlah menyalahi ajaran Allah, bersabarlah dan janganlah mengeluh, tetaplah dan jangan berpecah- pecah, tunggulah rahmat Tuhan dan janganlah berputus asa, berkumpullah untuk berdzikir kepada Allah dan jangan sampai bercerai, bersihkanlah dirimu dari dosa dan janganlah bergelimang dalam dosa, dan janganlah engkau berhenti-henti selalu di pintu Allah.

Ajaran tersebut merupakan ajaran bagi kaum ahli thariqah sepanjang zaman.

Bagi golongan awam, pembacaan manakib keba- nyakan dianggap sebagai pemenuhan nadzar atau hajat la- in agar Allah melaksanakan dengan bertawasul kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy, atau dengan pembacaan sa-

149 Mahmud Abdul Faydl al-Manufiy al-Husayniy, op.cit., hal. 205 149 Mahmud Abdul Faydl al-Manufiy al-Husayniy, op.cit., hal. 205

Orang yang bertawasul sekali-kali tidak memohon kepada Nabi atau wali yang telah mati. Permohonan tetap kepada Tuhan, Allah. Sedangkan permohonan kepada Nabi atau wali adalah agar membantu memohonkan kepada Tu- han kiranya permohonan tersebut dikabulkan.

Dalam hal ini Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy berka- ta, 150

صلخٌ مل نإف هسفن اهب لاوأ نرحٌلف ةٌلبب مكدحأ ًلتبا اذإ صلخٌ مل نإف مهرٌؼو ءارملأا نم هرٌؽب نعتسٌلف اهنم نإف هٌدٌ نٌب حارطنلإاو عرضتلاو ءاعدلاب هبر ىلإ عجرٌلف تاكرحلاو بابسلأا عٌمج هنع عطمنٌ ىتح ربصٌلف هبجٌ مل رٌ صٌف ىلعو لج كحلا لعف لاإ ىرٌ لا طفل احور ىمبٌو اذإف الله لاإ ةمٌمحلا ًف لعاف لا نإب عطمٌو ةرورض ادحوم نولم ةذل قوف ةذلو ةمعن ًف شاعف الله هرمأ ىلوت نلذ دهش اذإ . . . هٌلع الله هردل رودمم نم طل هسفن زئمشت لا اٌندلا اذإف ناوه نع نتاماو الله نمحرٌ نل لٌل كلخلا نع تم نانمو نتدارإ نع نتاماو الله نمحر نل لٌل ناوه نع تم ذئنٌحف ناٌحأو الله نمحر نل لٌل نانمو نتدارإ نع تم اذإف هدعب رمف لا ًنؼ ىنؽتو اهدعب توم لا ةبٌط ةاٌح اٌحت نمؤتو هدعب لهج لا املع ملعتو هدعب عنم لا ءاطع ىطعتو

. . . هدعب ؾاخت لا انمأ

Kalau seseorang dicoba dengan bencara, hendaknya berusaha mencari keselamatan. Bila tidak mungkin, boleh ia minta tolong kepada orang lain, misalnya dari

150 asy- Sya’raniy, op.cit., hal. 111

pejabat pemerintahan atau lainnya. Kalau ini tidak dapat menyelesaikan, hendaknya ia kembali kepada Allah dengan cara berdoa dan bertadlarru‟ serta merendahkan diri di hadapan-Nya. Jika belum dikabul- kan oleh Allah, maka bersabarlah sampai semua sebab dan gerakan tak menghiraukan lagi kecuali yang tinggal hanya ruh saja, yang terlihat hanya perbuatan Allah saja, dan akhirnya menjadi orang yang muwahhid. Pada hakekatnya segala sesuatu yang mengerjakan hanyalah Allah. Jika sudah dapat berpendapat demikian, maka Allah akan mengurusi persoalannya dan ia akan hidup nikmat dan kelezatan yang melebihi raja-raja di dunia, di mana dirinya tidak merasa kesal lagi terhadap takdir Allah. ... Jika engkau telah mati, maka dikatakan kepadamu, “Semoga engkau mendapat rahmat Allah, dan dirimu mematikan nafsumu.” Jika engkau telah mati dari naf sumu, maka dikatakan, “Semoga Allah merahmatimu, engkau telah dimatikan dari kehendak dan cita- citamu.” Jika engkau telah mati dari kehendak dan cita- citamu, maka dikatakan, “Semoga Allah merahmatimu dan Allah akan menghidupkan kamu.” Ketika itu kau akan hidup bahagia, tidak akan mati lagi, kaya dengan tak akan mengalami kefakiran lagi, kau diberi pemberian yang tidak akan ditolak, kau diberi ilmu yang tak ada kebodohan lagi, diberi keamanan sehingga tak akan takut kepada siapa pun ...

Ada pula sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abu Darda‟, 151

151 Yusuf ibn Ismail an-Nabhaniy, Sa’adah ad-Darayn fi al-Shalah ala Sayyid al-Kawnayn, t. , t.p., t.t., hal 59

Perbanyaklah membaca salawat kepadaku tiap hari Jumat. Sebab hari itu adalah hari yang disaksikan oleh para malaikat. Sesungguhnya tiap orang yang membaca salawat kepadaku pasti kuajukan salawatnya sesudah ia baca. Dita nyakan, “Dan sesudah Engkau wafat?” Nabi menjawab, “Dan sesudah matipun. Sebab Allah mengharamkan jasad para nabi untuk dihabiskan oleh tanah. Oleh karena itu Nabi Allah adalah hidup dan dijamin rizkinya.

Dalam hadits yang lain riwayat al-Bayhaqiy dari Anas ra, 152

Sesungguhnya orang yang paling dekat dengan saya besok hari kiamat ialah yang paling banyak membaca salawat kepadaku di dunia. Barang siapa yang membaca salawat kepada saya pada siang dan malamnya hari Jumat, maka Allah akan menunaikan baginya 100 kebutuhan, 70 kebutuhannya di akhirat dan

30 kebutuhannya di dunia. Kemudian Allah mewakilkan malaikat yang masuk ke kuburku, sebagaimana kalau kamu diberi hadiah, guna memberitahukan orang-orang yang membaca salawat kepadaku, lengkap dengan namanya, nasabnya sampai kepada keluarganya. Dan ditetapkan pada lembaran emas.

Tentang pembacaan salawat, ada hadits lain riwayat Abu Nu‟aym dari Samurah as-Suaniy ra, 153

152 Ibid., hal. 60 153 Ibid., hal. 74

Kami berada di sisi Nabi saw, tiba-tiba ada seorang yang ber kata, “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling bisa mende katkan kepada Allah?” Nabi menjawab, “Perkataan yang jujur dan menyampaikan amanat.” Saya berkata, “Wahai Rasul, tambahlah lagi.” Tambah Rasul, “Salat malam, puasa pada musim panas.” “Tambah lagi,” kataku. Jawabnya, “Banyak berdzikir dan membaca salawat kepadaku. Sebab hal itu dapat menghilangkan kemelarat an.” “Tambah lagi wahai Ra sul,” pintaku lagi. Katanya, “Barang siapa memimpin salat suatu kaum, hendaklah memperingan. Sebab di antara kaum itu ada orang yang tua, sakit, anak kecil, dan orang yang punya keperluan.

Adapun pengertian orang bahwa dengan sering ma- nakiban dapat menyebabkan kaya dan laris dagangannya, maka paham seperti ini harus diberantas. Ia harus diberikan penerangan yang benar sehingga pembacaan manakib tidak diekspoitasi oleh golongan petualang agama dan ka- um Dajjalin.

Adapun orang Islam yang tidak ingin melarat, selain ia harus bekerja, berusaha, dan berdagang, kemudian ber- tawasul dengan membaca salawat, manakib sebagai mani- festasi dari rasa mahabbah kepada aulia dan khususnya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy, atau sering membaca surat al-Waqiah dan bacaan lain yang pernah diijazahkan oleh Nabi Muhammad saw adalah mungkin saja. Hal ini dengan pengertian bahwa keputusan terakhir maksud tercapai adalah di tangan Allah belaka. Termasuk Adapun orang Islam yang tidak ingin melarat, selain ia harus bekerja, berusaha, dan berdagang, kemudian ber- tawasul dengan membaca salawat, manakib sebagai mani- festasi dari rasa mahabbah kepada aulia dan khususnya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy, atau sering membaca surat al-Waqiah dan bacaan lain yang pernah diijazahkan oleh Nabi Muhammad saw adalah mungkin saja. Hal ini dengan pengertian bahwa keputusan terakhir maksud tercapai adalah di tangan Allah belaka. Termasuk

Pembacaan manakib pada hakekatnya adalah suatu realisasi dari ucapan نوبحأ مهنإف مهبحب نٌلإ لسوتن انإ مهللا

(Ya Allah, sesungguhnya kami berwasilah kepada-Mu dengan cara mencintai mereka (aulia) sebab mereka mencintai-Mu agar Engkau memenuhi hajat kami.) Wasilah ini jelas sekali diucapkan sebagaimana siyakul kalam dan sighatul kalam beberapa bait dalam Lubab al- Ma‟aniy

antara lain, 154

Wahai hamba-hamba Allah, wahai tokoh-tokoh Allah; tolonglah kami karena Allah; dan jadilah tuan-tuan penolong kami karena Allah; agar kami memperoleh kemurahan Allah. Menurut manthuqul ma‟na dan mafhumul ma‟na dari

bacaan di atas, maka para aulia dijadikan wasilah untuk tu- rut membantu mengajukan permohonan kita kepada Allah agar permohonan tersebut segera dikabulkan. Jadi bukan- lah para aulia yang berkuasa dan berhak mengabulkan permohonan tersebut.

Orang yang percaya bahwa para anbiya dan aulia dapat mengampunkan dan mengabulkan permohonan para makhluk adalah musyrik. Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam kata- kata Nabi Ya‟qub kepada para puteranya se- waktu mereka meminta ampun atas kesalahan mereka se-

154 Abu Muhammad Shalih, Lubab al- Ma’aniy, Kudus, Menara, t.t., hal. 95 154 Abu Muhammad Shalih, Lubab al- Ma’aniy, Kudus, Menara, t.t., hal. 95

Ya‟qub berkata, “Nanti aku akan memohonkan ampunan bagi mu kepada Tuhanku ...”

Memohon bantuan para anbiya dan aulia agar mere- ka membantu permohonan kita kepada Allah untuk dapat dikabulkan bukanlah dengan cara menyembah dan beriba- dat kepada mereka sebagaimana kalau kita beribadat dan menyembah Allah swt. Jadi bukan seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin dalam beribadat dan menyembah ber- hala sebagai perantara persembahan terhadap Allah. Orang yang bertawasul kepada para anbiya dan aulia ti- daklah bersujud dan bertafakur dengan khidmat di makam- makam mereka, akan tetapi cukup dengan menunjukkan rasa kecintaannya dengan cara membaca salawat dan sejarah kehidupan serta manakib mereka. Mungkin juga hal ini dapat dilakukan dengan cara pemberian hadiah bacaan al-Quran.

Sayyiduna Umar ibn Khatthab pernah melakukan ta- wasul sebagai berikut, 156

Ya Allah, sungguh hari ini kami bertawasul kepadamu dengan paman Nabi-Mu saw, berilah kami hujan.

Hal yang telah dilakukan oleh Sayyiduna Umar ra dalam berdoa dan bertawasul tersebut sudah barang tentu akan menimbulkan bermacam-macam pertanyaan dalam diri seseorang, antara lain:

1. Dorongan dan maksud apa yang menyebabkan Say- yiduna Umar ra sebagai salah seorang tokoh yang dikenal dengan sebutan awwalul muhaddatsin, yaitu

155 Al-Quran, op.cit., hal. 247 156 Shahih Ibn Hibban, juz 7 hal. 110 155 Al-Quran, op.cit., hal. 247 156 Shahih Ibn Hibban, juz 7 hal. 110

berdoa dengan menggunakan tawasul?

kehendak

Allah,

2. Sebagai salah seorang yang termasuk almuqarrabin indallah, yaitu orang-orang yang dekat dengan Allah, mengapa beliau tidak berdoa dan memohon kepada Allah secara langsung saja tanpa tawasul?

3. Adakah perbuatan beliau tersebut hanya sebagai i‟lam, ikhbar, dan pemberitahuan kepada umat Islam

sesudah beliau tentang kebolehan orang bertawasul dalam berdoa dan memohon kepada Allah?

4. Ataukah perbuatan beliau hanya terdorong oleh rasa tawadluk, artinya meskipun beliau termasuk orang yang dekat dengan Allah tetapi beranggapan bahwa orang lainlah (dalam hal ini adalah Sayyiduna Abbas ibn Abdul Muthallib) yang lebih dekat dengan Allah dari pada dirinya?

5. Mengapa dalam bertawasul dengan Sayyiduna Ab- bas tidak langsung menyebut nama Sayyiduna Ab- bas atau laqabnya? Mengapa beliau masih merasa perlu melibatkan Nabi Muhammad saw dalam tawa- sulnya, padahal Nabi Muhammad telah wafat?

Itulah antara lain beberapa pertanyaan yang ditim- bulkan oleh doa Sayyiduna Umar ra tersebut. Tanpa mem- perbincangkan, meneliti, dan menganalisis lebih lanjut do- rongan-dorongan kejiwaan yang menjadi background atau latar belakang dari bentuk tawasul seperti di atas, dapat di- ambil suatu kesimpulan bahwa bentuk tawasul yang dilaku- kan oleh Sayyiduna Umar ra merupakan model tawasul secara indirect dengan pribadi Nabi saw yang telah wafat.

Lebih jelas lagi, doa Sayyiduna Abbas ra berbunyi sebagai berikut: 157

157 Tarikh Dimasyq, juz 26 hal. 359

Ya Allah, tiada suatu balakpun yang diturunkan kecuali karena ada dosa dan tiadalah balak tersebut dihapuskan kecuali dengan taubat. Para kaum telah menghadap kepada-Mu dengan perantaraan aku karena kedudukanku terhadap Nabi-Mu. Inilah tangan-tangan kami yang penuh dosa menengadah kepada-Mu dan kami semua telah saling berpesan untuk bertaubat kepada-Mu. Maka turunkanlah hujan kepada kami.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Said al-Khudriy menerangkan bentuk tawasul yang

lain, 158

Ya Allah, demi hak para pemohon, demi hak para pecinta-Mu, dan demi hak perjalananku kepada-Mu, sungguh aku tidak keluar dari rumah dengan rasa pongah,

dan mencari kemasyhuran. Akan tetapi aku keluar dari rumah menuju kepada-Mu karena takut akan murka-Mu serta meng- harapkan keridlaan-Mu. Maka keluarkanlah aku dari neraka dan ampunilah dosaku sesungguhnya tak ada yang dapat memberi ampunan dosa kecuali Engkau.

kesombongan,

pamer,

Hadits tersebut merupakan doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw kepada umatnya untuk dibaca se-

158 Musthafa Abu Yusuf al-Hamamiy, Ghauts al-Ibad, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabiy, 1950, hal 59 158 Musthafa Abu Yusuf al-Hamamiy, Ghauts al-Ibad, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabiy, 1950, hal 59

Imam Syafii ra pernah bertawasul dengan ahlul bayt yang dapat dijumpai dalam syair beliau berbunyi: 159

Keluarga Nabi adalah tempat perlindunganku, Mereka adalah perantaraku menuju Allah. Aku berharap akan diberi di hari kiamat nanti, Catatan amalku dengan tangan kananku. Bertawasul dengan keluarga Nabi Muhammad saw

seperti ini tidak dilakukan oleh Imam Syafii ra saja, tetapi Imam al-Ghazali pun pernah bertawasul dengan keluarga Nabi Muhammad saw. Bahkan dengan keluarga mereka. Hal ini dapat dibaca dalam qasidah munfarijah yang berbu-

nyi: 160

Wahai Tuhanku, dengan perantaraan mereka dan keluarga

mereka, Kiranya Engkau percepat memberikan pertolongan dan

jalan keluar.

159 Ibid., hal. 67 160 H.M. Syarwani Abdan, adz-Dzakirah ats-Tsaminah, Bangil, Yapida, 1967