Wali dalam Ilmu Tasawuf

D. Wali dalam Ilmu Tasawuf

Wali dalam bahasa Arab diartikan dengan kekasih atau kecintaan, dan menjadi kebalikan kata musuh, ودعلا .

Dalam percintaan atau permusuhan harus ada musyara- kah. Artinya, orang tidak mencintai orang yang tidak ada atau memusuhi lawan yang tidak ada. Biasanya kalau kita mencintai seseorang dan kita tidak bertepuh sebelah ta- ngan, maka orang yang kita cintai itu juga mencintai kita secara timbal balik.

As-Sayyid Mahmud Abu al-Faydl al-Manufiy al-Hu- sayniy dalam Jamharah al- Awliya‟memberikan ulasan ten- tang al-waliy, bahwa kata al-waliy dalam arti bahasa sama dengan bukan musuh. Sedangkan arti istilah, kata waliy menurut wazan faa‟il sama maf‟uul yaitu orang yang diurusi oleh Tuhan secara langsung dan dipeliharanya. Sedangkan persoalannya tidak diserahkan kepada dirinya sendiri se- perti disebutkan dalam al-Quran surat al- A‟raf ayat ke 196

berbunyi: َنٌ ِحِل ٟ

. Arti yang lain dari kata waliy

sama dengan wazan fa‟iil dalam pengertian mubalaghah sebagaimana kata karim dan alim, yaitu orang yang selalu memelihara ibadah dan takut kepada Allah tanpa diselingi perbuatan maksiat dan kelowongan. Karena itu Allah cinta kepadanya, memeliharanya, dan menjaganya. Kedua arti dari kata al-waliy menjadi syarat tentang kewalian, yaitu wali tersebut dipelihara oleh Allah, sedangkan wali itu sendiri selalu menjaga ibadat dan ketaatannya kepada Allah agar tidak mengalami cela dan kerusakan. Itulah sebabnya seorang wali adalah mahfudh sebagaimana

seorang nabi adalah maksum. 90

90 S. Mahmud Abu al-Faydl, Jamharah al- Awliya’, Kairo, Halby, 1967,

hal. 97

Banyak ayat al-Quran yang menyebut keberadaan para wali dan aulia dari kalangan kaum muslimin yang ber-

iman. Misalnya, 91

Ingatlah wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati, (yaitu) orang- orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. (QS Yunus: 62-63)

Surat Fushshilat ayat 30 dan 31 memperkuat ahwal aulia, 92

Sesungguhnya orang- orang yang berkata, “Tuhan kami ada lah Allah,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” Kamilah pelindung- pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; (QS Fushshilat: 30-31).

Dalam Shahih al-Bukhariy sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurayrah ra, Rasulullah saw ber-

sabda, 93

91 Al-Quran, op.cit., hal. 216 92 Ibid., hal. 480 93 Ibnu Taymiyah, Majmu’ ar-Rasail, as-Sunnatul Muhammadiyyah,

1949, hal. 47

Barang siapa memusuhi wali, maka ia sama saja mengajak Saya bertanding dalam pertempuran. Tidak ada yang lebih penting bagi hamba Saya untuk mendekati-Ku lebih dari barang-barang wajib yang telah Kutentukan. Hamba-Ku selalu mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah nafilah,

sehingga Aku senang kepadanya. Apabila Aku cinta padanya, maka Aku menjadi pendengarannya dengan itu ia mendengar, menjadi matanya dengan itu ia melihat, menjadi tangannya dengan itu ia memukul, dan menjadi kakinya dengan itu ia berjalan. Kalau ia memohon kepada-Ku pasti Aku beri padanya. Bila ia mohon perlindungan dari-Ku, pun juga Aku lindungi ia. Aku tak pernah ragu- ragu dalam suatu soal sebagaimana ragu-ragu-Ku dalam mencabut nyawa (apabila ia mati) hamba-Ku yang mukmin. Sebab ia enggan mati sedangkan Aku enggan menyakiti hatinya atau berniat tidak baik kepadanya. Dan itu memang wajar saja baginya.

Menurut Ibnu Taymiyah dalam kitabnya Majmu‟ah ar-Rasail, hadits ini dianggap suatu hadits yang paling sa- hih tentang aulia.

Pengarang kitab Jamharah al- Awliya‟ wa A‟lamu Ahl at-Tashawwuf membawakan dua buah hadits yang mene- rangkan ahwal aulia. Pertama, hadits riwayat ad-Daylamiy

dari Abu Musa, 94

94 Sayyid Mahmud Abu al-Faydl, op.cit., hal.106

Allah mempunyai tokoh-tokoh manusia. Apabila mereka menghendaki

Allah akan memberikannya. Kedua, dalam salah satu hadits qudsi Allah berfirman, 95

sesuatu,

pasti

Hambaku-Ku, Akulah yang berkata kepada sesuatu, “Jadilah.” Maka terjadilah. Maka dari itu taatlah kepada- Ku, Kujadikan kamu dengan kudrat-Ku (seorang rabbaniy). Engkau akan berkata kepada sesuatu, “Jadilah.” Maka ia akan terjadi.

Taat kepada Allah tidak disertai maksiat yang meng- gejala dalam pelaksanaan ibadah secara istiqomah disertai

riyadlah ruhaniah yaitu لامت حاو مانملاو ملاكلاو ماعطلا لٌلمت ىإلأا dibarengi jihad mustamirrun atau continue

menghadapi kaum ka fir, ahli bid‟ah, dan setan serta hawa. Inilah yang menjadikan seorang wali berahwal seperti di atas.