Sosok al-Quthb ar-Rabbaniy dan Sulthan al-Awliya

F. Sosok al-Quthb ar-Rabbaniy dan Sulthan al-Awliya

Al-Imam as- Sya‟raniy yang juga mendapat gelar se- bagai al-Quthbur Rabbaniy wal Haykal as Shamdaniy da- lam kitab at-Thabaqah al-Kubra memuat sejarah atau ma-

nakib Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy 106 . Silsilah beliau sampai kepada Rasulullah saw, yaitu beliau adalah Ibnu

Musa bin Abdullah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa al-Junn bin Abdullah al-Mahdiy bin Hasan al-Matsna bin Hasan bin Aliy bin Abi Thalib. Lahir pada tahun 470 Hijriyah dan wafat pada tahun 561 Hijriyah di Baghdad. Ibunya adalah pe- rempuan shalihah/abidah bernama Fathimah binti Abdullah

ash- 107 Shauma‟y. Kenyataan Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy sebagai

cucu Rasulullah saw membuktikan kebenaran hadits naba- wiy berbunyi 108 :

Aku telah tinggalkan di antara kamu sesuatu, apabila kamu pegang teguh padanya tidaklah kamu akan tersesat sesudahku. Yang satu adalah lebih agung dari pada yang lain, yaitu Kitab Allah dan turunanku. Keduanya

berpisah dan selalu bergandengan sehingga sampai di telaga (Kausar besok hari kiamat). Maka lihatlah, bagaimana kamu

tidak

akan

106 Asy- Sya’raniy, at-Thabaqah al-Kubra, juz 1 hal. 108-114 107 Jami’ Ushul al-Awliya’, hal. 107 108 Manshur Aliy Nashif, at-Taj, juz 1, Mesir, Musthafa al-Babiyl Hala- biy, t.t., hal. 47 dan Sunan at-Turmudziy, juz 5 hal. 663 106 Asy- Sya’raniy, at-Thabaqah al-Kubra, juz 1 hal. 108-114 107 Jami’ Ushul al-Awliya’, hal. 107 108 Manshur Aliy Nashif, at-Taj, juz 1, Mesir, Musthafa al-Babiyl Hala- biy, t.t., hal. 47 dan Sunan at-Turmudziy, juz 5 hal. 663

Ada sebagian orang yang ingin mendiskreditkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy bahwa beliau bukan ketu- runan Rasulullah saw. Allahu a'‟amu bish shawab.

Ada suatu hal yang harus dicatat sebagai data yang penting, bahwa semua umat Islam baik ulama maupun awamnya tidak mengingkari kealiman, kesalehan, atau ke- waliannya. Yang tidak sependapat di kalangan orang Islam hanyalah cara orang menghormati dan memujanya sampai ke tingkat kultus individu yang berlebihan. Misalnya tentang isi cerita manakib yang berhubungan dengan karomah wali Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang dianggap bersifat fiktif dan khayal serta ajaib ghairu ma‟qul. Apakah itu betul waqi‟ah haqiqiyyah atau asathir muftarayat atau dengan bahasa modern sekarang apakah itu termasuk dichtung und waarheid? Disamping itu apakah pembacaan manakib merupakan tawasul dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy atau merupakan satu-satunya cara bertawasul dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy? Terakhir, apakah dalam melaksanakan upacara manakib satu-satunya bahan hidangan yang pokok harus ayam atau daging ayam, pembacaan kitab manakibnya harus dilagukan seperti membaca al-Quran, pendengarnya harus khusyuk, dan pemasak hidangannya harus suci dari hadats akbar maupun ashghar serta harus mutawadlik? Jadi ada tiga masalah pokok yang dijadikan pembahasan dan sorotan terhadap kitab manakib serta pelaksanaannya.

Kitab-kitab manakib yang sekarang ada adalah dika- rang atau disusun oleh para ulama dan tokoh Islam dengan niat mahabbatul awliya‟ dan i‟tibaran bihim atau cinta wali dan mengambil iktibar. Sumber ceritanya mungkin ada yang benar dan mungkin ada yang tidak benar. Gaya cerita yang dipakai mungkin obyektif tanpa variasi, mungkin pula subyektif dengan variasi bermacam-macam. Berbeda dengan isi al-Quran yang mutlak benar, karena firman Ila- hiy yang bersumber dari wahyu samaiy dan dilisankan oleh

Rasulullah saw yang maksum, maka hasil pengumpulan hadits Nabi pun dalam nilai keilmiahan terpaksa ada yang diberi nilai shahih, hasan, dan dlaif, disamping ada yang maudlu‟.

Pada zaman Rasulullah saw masih hidup, orang Is- lam dilarang menuliskan hadits-hadits nabawiy karena di- khawatirkan akan bercampur aduk antara ayat-ayat al-Qur- an yang merupakan firman Allah swt dan sabda nabi-Nya. Umat Islam amat taat terhadap perintah ini sehingga sampai al-Quran dimushafkan baru pada periode tabiin me- reka ingin membukukan hadits nabawiyah. Menurut se- jarah, Umar bin Abdul Aziz, seorang tokoh tabiiy dan tokoh khalifah yang adil serta saleh dari bani Umayyah yang mengambil inisiatif untuk membukukan hadits nabi. Pada zaman tersebut sudah tersebar ratusan ribu hadits nabawi- yah yang tercampur aduk antara hadits yang benar-benar diucapkan Nabi dan hadits buatan yang dikeluarkan untuk kepentingan politik, ambisi, dan kepentingan golongan ser- ta pribadi.

Situasi perpecahan umat Islam akibat pertikaian poli- tik, kerusakan akhlak yang mendalam hingga menjalar ke kalangan ulama merupakan fitnah yang menyuburkan per- soalan tersebut. Untuk meneliti kebenaran setiap hadits yang bersifat saneering dan selecting itulah, maka di kalangan umat Islam diperlukan metode isnad yang dapat memperbedakan secara aman dan meyakinkan bahwa riwayat sebuah hadits sampai kepada Rasul atau tidak. Padahal zaman sahabat tidak dilazimkan seorang menuntut isnad suatu hadits. Sebab pada waktu itu umat Islam di kalangan sahabat tidak terdapat saling menfitnah, bohong, atau menipu. Hal ini sesuai dengan hal yang

digambarkan oleh hadits nabawiy yang berbunyi, 109

نارمع لال - مهنولٌ نٌذلا م ث مهنولٌ نٌذلا مث ًنرل مكرٌخ نوكٌ مث - اثلاث وأ نٌترم هلول دعب صلى الله عليه وسلم ًبنلا لال يردأ امف

109 Ibid., juz 3 hal. 81 dan Shahih al-Bukhariy, juz 5 hal. 2362

Sebaik-baik umat adaloah abad saya, kemudian abad berikutnya, dan abad berikutnya lagi. Imran berkata bahwa ia tidak tahu pasti apakah Nabi saw mengatakannya dua kali atau tiga kali.Sesudah itu nanti ada suatu kaum yang bersaksi padahal mereka tidak diminta untuk menjadi saksi. Mereka berkhianat dan tidak mau jujur. Mereka berjanji tetapi tidak mau memenuhinya. Di kalangan mereka timbul gejala hidup mewah (tidak hidup sederhana). (HR al-Bukhariy dari Imran bin Hashin ra.)

Dalam kitab as-Sunnah Qabla at-Tadwin karya se- orang sarjana Mesir bernama Muhammad Ajjaj al-Khatib terdapat uraian sebagai berikut, 110

Setelah para sahabat, maka para tabiinlah yang membiasakan isnad dan mempersoalkannya. Termasuk dalam hal ini adalah sesuatu yang pernah diceritakan oleh Ibnu Ab dil Barr dari Syi‟biy dari Rabi‟ bin Khutsaim, Ra sulullah

pernah

bersabda,

“Barang siapa

110 Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, Kairo, Maktabah Wahibah, 1963, hal. 222 110 Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, Kairo, Maktabah Wahibah, 1963, hal. 222

Persoalannya sekarang adalah bahwa untuk me- nyatakan kebenaran kitab manakib Syaikh Abdul Qadir al- Jailaniy harus digunakan metode isnad. Penggunaan isnad diperlukan untuk dua hal, yaitu:

1. Untuk mencegah para petualang yang ingin men- ciptakan hadits yang tidak semestinya.

2. Untuk mencegah jangan sampai orang terperosok ke dalam warning, peringatan hadits nabawiy yang ber-

bunyi: 111

Barang siapa yang dengan sengaja berdusta atas nama saya, maka hendaklah ia menempati tempat di

neraka. (HR Jumhur 112 dari Abu Hurayrah ra.)

111 Manshur Ali Nashif, op.cit.,, juz 1 hal. 72 112 Note: Pencarian dari 320 kitab hadits terdapat 531 hadits yang serupa dengan hadits ini.

Contoh tentang petualangan dalam pembuatan ha- dits diceritakan oleh Abu Jakfar bin Muhammad at-Thaya- lisiy. Cerita tersebut menyatakan bahwa pernah suatu ke- tika Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Muin salat di

Masjid ar-Rashafa 113 . Di antara jamaah dalam masjid itu terdapat seorang pengajar sedang membawakan hadits na-

bawiy sebagai berikut:

Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Muin menceritakan kepada kami, bahwa Abdur Razaq menceritakan dari Ma‟mar dari Qatadah dari Anas berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa mengucapkan la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah), maka Allah menjadikan tiap kata seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan bulunya terbuat dari marjan.

Setelah selesai mengajar, orang tersebut menerima hadiah (salam tempel?) dari para hadirin. Mendengar hadits yang dibacakan tersebut, yang mana rawinya disebut Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Muin, keduanya terbelalak matanya dan saling bertanya. Yahya bertanya kepada Imam Ahmad, “Betulkah engkau meriwayatkan ha- dits ini?” Imam Ahmad menjawab, “Wallahi, baru kali ini hadits tersebut saya de ngar.” Setelah selesai pengajian, Yahya memanggil pengajar tersebut dan orang itu meng- hampiri kedua tokoh yang memanggil dengan muka ingin mendapatkan tambahan uang lagi. Yahya berkata kepada orang ter sebut, “Kami berdua adalah Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Muin, tidak pernah satu kalipun mendengar hadits yang kau ceritak an tadi.” Orang tersebut menjawab, “Saya sudah sering mendengar Yahya bin Muin itu seorang yang goblok dan aku tidak yakin akan kegoblokannya itu

113 Muhammad Ajjaj al-Khatib., op.cit., hal, 211-212 113 Muhammad Ajjaj al-Khatib., op.cit., hal, 211-212

Kitab-kitab manakib yang ada sekarang isinya ada- lah ahwal, aqwal, dan af‟al dari Syaikh Abdul Qadir al-Jai- laniy. Sebagai suatu kitab manakib, maka pengarang dari kitab-kitab tersebut menjadi penilaian orang, juga sumber pengambilannya baik isnad maupun marajik atau literatur- nya. Sebagian besar apa yang tertuang dalam manakib ba- nyak juga dimuat dalam kitab-kitab karangan ulama ahli tawasuf, misalnya at-Thabaqah al-Kubra karangan as- Sya‟- raniy, pengarang kitab al-Mizan dan Lathaif al-Minan dan lain-lainnya.

Orang tidak setuju akan isi kitab manakib karena hal- hal yang berlainan:

1. Karena pada dasarnya tidak menyetujui keberadaan karomah seperti pendirian kaum Muktazilah.

2. Karena beraneka ragam karomah yang disebutkan dalam kitab manakib termasuk juga yang muftarayat, yang sesungguhnya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy sendiri adalah bariun minha, bebas dari hal tersebut; atau hal itu hanya karangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab saja.

3. Mungkin karena orang tersebut belum memahami way of life dari golongan tasawuf, baik ajaran mau- pun istilah yang terpakai di kalangan mereka.

Bagi golongan yang pertama tidak perlu ada pem- bahasan. Sebab secara prinsip sudah tidak setuju keber- adaan karomah aulia. Sedangkan bagi golongan kedua peru pemikiran mendalam. Karena dalam penyusunan sejarah ketokohan seorang ulama besar dan aulia beserta para pahlawan terkadang tercampur oleh sesuatu yang disebut dichtung atau waarheid. Bagi golongan ketiga, Bagi golongan yang pertama tidak perlu ada pem- bahasan. Sebab secara prinsip sudah tidak setuju keber- adaan karomah aulia. Sedangkan bagi golongan kedua peru pemikiran mendalam. Karena dalam penyusunan sejarah ketokohan seorang ulama besar dan aulia beserta para pahlawan terkadang tercampur oleh sesuatu yang disebut dichtung atau waarheid. Bagi golongan ketiga,

Menurut pendapat yang ada, kedua kejadian ter- sebut tidak menunjukkan dapat mengganti Tuhan sebagai pengampun. Sebab dalam dua kejadian tersebut masih

terdapat kata الله ؾفخ (semoga Allah meringankan) dan لا الله همحرٌ نأ دب (semestinya Allah memberikan rahmat ke- padanya). Ini merupakan doa bagi yang bersangkutan dan

karena yang berdoa adalah seorang wali, maka kemung- kinan dikabulkan oleh Tuhan adalah lebih dekat dari pada tidak dikabulkan. Lain halnya dengan doa dari orang Islam yang ahli maksiat, munafik, dan fasik.

Menurut pendapat umat Islam, sejak dunia berkem- bang hingga hari kiamat, hak untuk mengampuni dosa dan memberikan adzab adalah hanya Allah semata. Pribadi Nabi Muhammad saw sendiri pun hanya bertugas sebagai

تانمإملاو نٌنمإمللو نبنذل رفؽتسا (mintalah ampun dosamu dan orang-orang mukminin dan mukminat). Bahkan dengan تانمإملاو نٌنمإمللو نبنذل رفؽتسا (mintalah ampun dosamu dan orang-orang mukminin dan mukminat). Bahkan dengan

مٌحر ؾوإر (amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin).

Tentang pandangan maut Syaikh Abdul Qadir al- Jailaniy yang telah menyebabkan kematian khadim atau pelayannya, pendapat yang dimunculkan terlalu subyektif. Sebab persoalan tersebut belum dianalisis dari berbagai segi. Misalnya kedudukan ibriq atau kendi di tempat Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy mestinya harus selalu menghadap ke arah kiblat dan entah karena kelalaiannya atau ada un- sur kesengajaan, maka khadim tersebut membelokkan arah hadap dari ibriq tersebut. Karena ketakutannya, ia tidak ingat diri atau mati sekalipun. Kemudian ibriq tersebut berbalik menghadap ke arah kiblat lagi. Apakah menurut hukum bahwa kematian khadim tersebut dapat dikatakan dibunuh atau karena kelemahan mentalnya menjadi mati?

Untuk perbandingan ini perlu diceritakan hal yang pernah ditulis oleh as- Sya‟raniy dalam at-Thabaqah al- Kubra. Suatu saat Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy berwudlu di atas perigi. Pada waktu itu ada seekor burung yang terbang di atasnya sambil kencing dan mengenai pakaian Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy. Sontak Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy mengangkat kepalanya ke atas dan burung tersebut jatuh mati ke tanah. Beliau kemudian menjual pakaian yang terkena kencing burung tersebut. Uang hasil

penjualannya disedekahkan kepada orang fakir miskin. 114 Kalau dibandingkan dua kejadian di atas, maka hal

yang pertama tidak terdapat proses selanjutnya yaitu tun- tutan kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang terlibat dalam kasus pembunuhan. Jika terhadap seekor burung saja beliau begitu merasa bertanggung jawab, maka dapat dipikirkan bahwa tentunya kalau khadimnya mati betul

114 Lihat naskah karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy hal. 25 114 Lihat naskah karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy hal. 25

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Syaikh

Abdul Qadir al-Jailaniy dalam munajatnya berka ta, “ تنأ ضرلأا ًف دحاو انأو ءامسلا ًف دح او “ (Engkau Allah, adalah

satu atau tunggal di langit dan aku adalah satu-satunya di bumi) adalah memberikan tempat dan arah kepada Tuhan yang menjerumuskan kepada paham hulul; maka paham ini ditentang oleh golongan ulama ahlus sunnah wal ja-

maah. Nabi Muhammad saw pernah bersabda, 115

Sesungguhnya Allah adalah tertutup dari ahli langit se- bagaimana Dia juga tertutup bagi ahli bumi. Para malaikat yang menempati “al-Mala‟ al-A‟la” pada mencari Tuhan sebagaimana kamu semua juga mencarinya. Padahal Allah tidak bertempat di sesuatu dan juga tidak pernah meninggalkan sesuatu itu.

Dalam al-Quran surat az-Zukhruf ayat 84 Allah berfirman, 116

Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi dan Dialah Yang Maha Bijak- sana lagi Maha Mengetahui.

Dalam surat al-Hadid ayat 4 Allah berfirman, 117

115 Ahmad bin Muhammad bin Ajibah al-Husniy, Iqadhul Himam fi Syarh al-Hikam , Mesir, Musthafa al-Babiy al-Halabiy, 1961, hal. 50

116 Al-Quran, op.cit., hal. 495

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Dia me- ngetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Dalam surat asy- Syu‟ara‟ ayat 23-28 Allah berfir- man, 118

Fir‟aun bertanya, “Apa Tuhan semesta alam itu?” Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa- apa yang ada di antara keduanya jika kamu semua mau mempercayai- Nya.” Berkata Fir‟aun kepada orang-orang sekeli lingnya, “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Musa berkata pula, “Tuhan kamu dan Tuhan nenek moyang ka mu yang dahulu.” Fir‟aun berkata, “Sesungguhnya rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar- benar orang gila.” Musa berkata, “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya jika kamu mempergunakan akal.”

Dalam surat al-Baqarah ayat 115 Allah berfirman 119 ,

117 Ibid., hal. 538 118 Ibid., hal. 368

Maka ke manapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah.

Dalam surat al-Mulk ayat 16 Allah berfirman, 120

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu sehingga tiba-tiba bumi itu bergoncang?

Dalam keyakinan golongan ahlus sunnah wal ja- maah, Allah ada di mana-mana, tidak terikat oleh tempat dan waktu sesuai dengan hadits nabawiy riwayat dari

Ubadah ibn ash-Shamit yang berbunyi: 121

Memang sudah menjadi kelaziman dalam agama Islam bahwa salat mengarah ke Ka‟bah karena merupakan qiblatus shalah. Kalau kita berdoa, kita menengadah ke atgas karena langit menjadi qiblatud dua‟. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bertemat di Ka‟bah atau di langit. Semua orang Islam sudah tahu akan hal ini, walaupun ia bukan seorang ulama. Apalagi seorang wali.

Allah sebagai Tuhan yang tunggal dengan segala keagungan dan kemuliannya tak dapat dibandingi atau di- sejajari oleh yang lain. Sedangkan Syaikh Abdul Qadir al- Jailaniy sebagai wali quthub pada waktu itu merupakan ke- pada segala aulia. Dr. Ahmad Amin dalam bukunya Dhuhrul Islam mengatakan bahwa ada hal yang penting yang harus diungkapkan dari ajaran ahli tasawuf, yaitu ajaran tentang wali quthub. Golongan tasa wuf berkata, “Seorang wali quthub adalah termasuk manusia sempurna yang mungkin

119 Ibid., hal. 18 120 Ibid., hal. 563 121 Al- Mu’jam al-Awsath, juz 8 hal. 336 119 Ibid., hal. 18 120 Ibid., hal. 563 121 Al- Mu’jam al-Awsath, juz 8 hal. 336

dalam setiap zaman. 122 Sedangkan Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitabnya

al-Fatawa al-Haditsiyyah halaman 276-280 mengupas tentang rijal al-ghayb atau rijalullah atau para aulia dan kewalian. Ada beberapa hadits yang beliau bawakan untuk menjelaskan tentang kewalian ini. Beberapa hal yang penting antara lain adalah:

1. Hadits riwayat ath-Thabraniy, 123

Sesungguhnya wali abdal umat saya ada 30. Oleh karena merekalah bumi ini ada. Karena merekalah umat saya diberi hujan dan ditolong.

2. Hadits riwayat Ibnu Asakir, 124

Sesungguhnya wali abdah di Syam berjumlah 40 orang. Karena merekalah kamu diberi minum dan di- tolong dalam menghadapi musuh. Dan karena mere- ka pulalah bencana dan ketenggelaman penduduk bumi dibelokkan.

3. Hadits riwayat Ahmad ibn Hanbal, 125

122 Ahmad Amin, Dhuhr al-Islam, jilid 4, Kairo, Maktabah an-Nahdlah al-Mishriyyah, 1964, hal. 169

123 Ahmad Syihabuddin ibn Hajar al-Haytamiy, al-Fatawa al-Haditsiyyah, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabiy, 1937, hal. 278

124 Ibid. 125 Ibid.

Wali abdal di Syam berjumlah 40 orang. Setiap ada seorang yang wafat, maka Allah menggantikannya seorang lagi. Sebab merekalah kamu semua dapat minum dari air hujan dan ditolong dalam menghadapi musuh. Dan sebab mereka pula siksaan penduduk Syam dibelokkan.

4. Hadits riwayat ad-Daylamiy, 126

Wali abdal ada 40 orang laki-laki dan 40 orang pe- rempuan. Setiap ada seorang wali laki-laki yang mati, Allah menggantinya dengan seorang yang lain. Dan setiap ada seorang wali perempuan yang mati, maka Allah menggantinya dengan wali perempuan yang lain.

5. Hadits riwayat Ibn Abi Dunya, 127

Tanda dari wali abdal umat saya adalah bahwa me- reka tidak melaknat sesuatu apapun selamanya. Hadits ini dini lai marfu‟ oleh Mu‟dlal.

6. Hadits riwayat al-Baihaqiy, 128

126 Ibid. 127 Ibid. 128 Ibid.

Sesungguhnya wali abdal umat saya tidak akan dapat masuk surga sebab amalnya, tetapi karena rahmat Allah, kemurahan jiwa dan keselamatan batin serta rahmat bagi seluruh orang Islam.

7. Hadits riwayat at-Thabraniy dalam al-Awsath, 129

Bumi ini tidak akan sunyi dari 40 orang seperti Khali- lur Rahman. Karena merekalah kamu semua minum dan ditolong. Tak ada satupun di antara mereka yang mati kecuali oleh Allah akan digantikan seorang yang lain.

8. 130 Hadits riwayat Abu Nu‟aim dalam al-Hilyah,

Sesungguhnya bagi Allah ada seorang wali salih da- lam setiap ada bid‟ah di mana Islam dan pemeluknya tertipu, yang akan mempertahankan dan membicara- kan tentang tanda-tandanya. Oleh karena itu sempatkanlah untuk mendatangi majlis tersebut dengan mempertahankan orang-orang yang lemah. Dan bertawakallah kepada Allah. Cukup Allah sebagai pelindung.

129 Ibid. 130 Ibid.

Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka dalam ka- langan tasawuf mempunyai keyakinan keberadaan wali ab- dal, awtad, dan di antara para awtad yang ada dipilih satu oleh Allah menjadi wali quthub.

Juga dalam memperkuatkan pendapatnya, Ibn Hajar membawakan hadits Bukhariy dan Muslim yang berbu-

nyi: 131 مهو الله رمأ ًتؤٌ ىتح نٌرهاظ ًتمأ نم ةفئاط لازت لا

Sebagian dari umatku selalu muncul sehingga datanglah putusan, maka akan merupakan umat yang menang.

Inilah yang menjadi dasar keyakinan ahli tasawuf tentang keberadaan wali quthub yang hanya satu dan baru akan diganti lagi oleh wali quthub lainnya bila sudah me- ninggal. Di kalangan para ulama masih mukhtalaf alayh atau diperselisihkan tentang keberadaan wali quthub, sedangkan keberadaan wali abdal sudah disepakati semua, atau mujtamak alayh.

Hadits-hadits tersebut mungkin hanya satu saja yang paling sahih, sedangkan di antaranya ada yang dlaif dan hasan menurut penilaian ulama muhadditsin. Tetapi yang jelas bahwa di antara hadits tersebut tidak ada yang maudluk. Hadits yang banyak jalan dan rawinya tetapi dlaif dapat menjadi kuat karenanya. Hal ini pernah ditegaskan oleh seorang ulama besar murid Ibn Taymiyyah dalam kitab Zad al- Ma‟ad fi Hadyi Khayr al-Ibad sewaktu beliau membicarakan tentang fadlilah pembacaan ayat kursiy se- tiap selesai salat fardlu. Menurut hadits-hadits yang ada tentang hal itu semuanya dlaif, tetapi dapat digunakan sebagai amalan dan sandaran hukum dalam agama. Inilah

ulasan beliau, 132

131 Ibid. 132 Al-Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Zad al- Ma’ad fi Hadyi Khayr al-

Ibad , juz 1, Mesir, al-Mishriyyah, t.t., hal. 78

Hadits ini telah diriwayatkan dari hadits Abi Umamah, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Umar, al-Mughirah ibn Syu‟bah, Jabir ibn Abdullah, dan Anas ibn Malik. Semuanya adalah dlaif. Tetapi kalau digabungkan dengan jalan yang berbeda dan riwayat yang bermacam-macam, maka terbukti bahwa hadits tersebut ada pokoknya dan tidak maudluk. Dari syaikh Abul Abbas ibn Taymiyyah qaddasallahu sirrahu bahwa ia berkata, “Saya tidak meninggalkan bacaan tersebut setiap se lesai salat.”

Tentang kedudukan para wali tersebut, pernah diaju- kan sebagai masalah kepada Ibn Shalah. Beliau menja-

wab, 133

Tentang wali abdal, maka riwayat yang paling kuat ada- lah kata Sayyidina Ali r.a., “Sesungguhnya di Syam ter- dapat wa li abdal.”

Syekh Abu Zakariya Ibn Muhammad al-Anshariy yang mendapat gelar Syaikh al-Islam pernah memberikan

fatwa tentang wali quthub, 134

133 Abu Amr Utsman ibn Abd ar-Rahman Taqiyyuddin asy-Syahruzuri, Fatawa Ibn Shalah , Mesir, al-Muniriyyah, t.t., hal. 23

134 Abu Yahya Zakariya ibn Muhammad al-Anshariy, al- I’lan wa al- Ihtimam bi Jami’i Fatawa Syaikh al-Islam, Damaskus, at-Turqiy, t.t., hal.479

(Ditanyakan) tentang seseorang yang mengira bahwa wali quthub itu tidak ada pada zaman apa saja dan tidak ada arah wujudnya. Apakah dugaan ini benar atau tidak?

(Dijawab) bahwa sesungguhnya wali quthub itu ada pa-

da setiap masa. Setiap ada yang meninggal seorang, maka Allah mengganti dengan yang lain. Semoga Allah memberi manfaat sebab barokah mereka. Masalah ini sudah masyhur. Sedangkan orang yang memungkiri hal tersebut tidak akan dapat mendapat barokah dari wali quthub dengan mengakui bahwa pemberian Allah dengan cara menjumpai mereka adalah tidak dapat dicapai. Barangkali kalau pemberian itu tidak sampai, maka tidak percaya terhadap pemberian dimaksud. Allah adalah lebih tahu.

Tentang kedudukan Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy sebagai wali quthub dan kedudukannya sebagai ulama pada zamannya tidak ada yang menentang. Hal tersebut terbukti sewaktu Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy berkata,

“ ًّلو لك ةبلر ىلع ًمدل ” (Telapak kakiku berada di atas

leher semua wali). Ucapan ini adalah suatu ramalan hasil kasysyaf seorang wali ghauts atau quthbu zamanihi ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy berkunjung bersama Imam asy-Syafiiyyah Abu Said Abdullah bin Asrun dan Ibn as- Syaqa‟ kepadanya. Prediksi atau ramalan tersebut ialah bahwa nantinya kewalian Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy leher semua wali). Ucapan ini adalah suatu ramalan hasil kasysyaf seorang wali ghauts atau quthbu zamanihi ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy berkunjung bersama Imam asy-Syafiiyyah Abu Said Abdullah bin Asrun dan Ibn as- Syaqa‟ kepadanya. Prediksi atau ramalan tersebut ialah bahwa nantinya kewalian Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy

Penjelasan singkat tentang perkataan Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy ضرلأا ًف دحاو انأو ءامسلا ًف دحاو تنأ

(Engkau Tuhan yang Esa/Tunggal di langit dan saya tunggal di bumi) adalah sebagai berikut. Kata wahidun fis

sama‟ tidaklah berarti memberikan arah dan tempat kepada Allah sewaktu Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy berdoa dan bermunajat kepada Allah. Hal ini sama halnya ketika orang Islam melakukan salat lalu dikatakan bahwa ia memberi arah dan tempat kepada Allah di Ka‟bah. Para ulama dalam agama Islam mempunyai pengertian yang cukup dalam menanggapi para wali ya ng sedang mengalami fana‟ dan ghaybubiyyah karena hasil makrifat kepada Tuhan.

Ada seorang sufi atau ahli tasawuf bersyair, 136

Aku tahu Tuhanku dengan mata hatiku. Kukatakan, “Tak ada keraguan, Engkau, Engkau.

Engkaulah yang membayangi semuanya. Dengan pengertian tak ada di mana, lalu Engkau. Karena itu tak ada di mana untuk-Mu,

135 Ahmad Syihabuddin Ibn Hajar al-Haytamiy al-Makkiy, op.cit., hal. 270

136 Ahmad Ibn Muhammad ibn Ajibah al-Husniy, Iqadhul Himam, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabiy, 1961, hal. 59 136 Ahmad Ibn Muhammad ibn Ajibah al-Husniy, Iqadhul Himam, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabiy, 1961, hal. 59

Dalam kemusnahanku mencintai diri-Mu, hilanglah kemus-

nahanku. Dalam kemusnahanku mencintai diri-Mu itu, kutemukan

Engkau.

Di sinilah yang dimaksud dengan fana‟ an ibadatis siway sehingga menghasilkan al- fana‟ anisy syuhudis siway dan meningkat menjadi al- fana'‟an wujudis siway. Namun masih ada status antara makhluk yang harus menyembah dan mentasbihkan Tuhannya dengan al- Khaliqul Ma‟bud yang kuasa dan disembah. Perkataan Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy di atas masih ada garis pemisah antara Tuhan dengannya, sehingga tidak terdapat ittihadiyyah atau ma- nunggal antara keduanya.

Banyak aulia yang sedang dalam ghaybubiyyah mengalami jadzab (gandrung, Jawa), sehingga tidak sadar akan keadaan sekitarnya. Akhirnya keluarlah ucapan yang mungkin merusak rasa ketauhidan dan mengarah kepada tasyabuh atau penyerupaan dengan paham jihatiyyah dan hululiyyah. Sebagai contoh adalah perkataan Abu Yazid al-

Busthamiy, ىناحبس (Maha Suci saya); dan perkataan al- Hallaj, الله لاإ ًتبج ًف ام (Tidak ada sesuatu yang terdapat

dalam jubahku kecuali hanya Allah). Dr. Ahmad Amin dalam Dhuhrul Islam berpendapat

bahwa pembunuhan al-Hallaj oleh penguasa waktu itu formalnya karena dianggap mempunyai paham hulul. Padaha hakekatnya adalah karena ada motif politik, political background. Al-Hallaj dianggap dari golongan Syiah Koro- mithah yang bersikap anti pemerintah yang berkuasa waktu itu, yaitu rejim Abbasiyyah. Al-Hallaj adalah seorang yang bahwa pembunuhan al-Hallaj oleh penguasa waktu itu formalnya karena dianggap mempunyai paham hulul. Padaha hakekatnya adalah karena ada motif politik, political background. Al-Hallaj dianggap dari golongan Syiah Koro- mithah yang bersikap anti pemerintah yang berkuasa waktu itu, yaitu rejim Abbasiyyah. Al-Hallaj adalah seorang yang

is a political thing, not a matter of principle. 137 Ibn Taymiyyah, seorang yang dianggap paling keras

d alam memberantas bid‟ah dan tawasul berpendirian tidak sekeras tindakan rejim Abbasiyyah. Dalam ki tab Majmu‟ah ar-Rasail beliau mengulas sebagai berikut, 138

Terkadang ada sebagian orang yang sudah berhak suatu hal mengalami semacam hulul atau ittihad. Dalam hal ini ittihad tersebut benar, tetapi juga salah. Namun karena hal itu terjadi ketika akalnya tidak tahu atau ia telah menafikan segala sesuatu selain yang dicintainya, lagi pula tidak ada dosa darinya, maka ia dianggap dimaafkan, tidak disiksa selama tidak berakal. Sebab dalam agama Islam dinyatakan bahwa putusan atau al- qalam dihapus bagi orang yang gila sampai ia sadar. Kalau ia salah dalam hal itu, maka ia termasuk kategori fir man Allah yang artinya “Wahai Tuhan, janganlah Engkau ambil tindakan apabila kami terlupa atau salah,” atau firman Allah yang artinya “Tiada dosa bagimu apabila kamu salah.”

137 Ahmad Amin, op.cit., juz 3, hal. 69-73 138 Ibn Taymiyyah, op.cit., hal. 64

139 Syekh Zakariyya dalam fatwanya mengatakan,

Terkadang keluar dari orang yang arif billah bila ia teng- gelam dalam lautan tauhid dan makrifat, dengan percampuran antara dzatnya dan Dzat Allah, sifatnya dan sifat Allah, dan sudah ghayb baginya segala yang selain Allah, beberapa isyarat yang menggambarkan rasa hulul dan ittihad disebabkan tidak bisa memberikan gambaran tentang keadaan yang telah dicapainya sebagaimana yang dikatakan ulama ilmu kalam. Tetapi sebaiknya menyembunyikan ibarat itu dari orang yang tidak bisa mengerti, sebab tidak semua hati dapat cocok untuk sirr ini. Lagi pula tidak semua bingkai cocok untuk mutiara. Tiap golongan mempunyai idiom dan tidak semua yang diketahui itu diucapkan. Kata penyair Arab,

“Jika engkau tidak dapat mencapai beberapa pengertian, kemudian kau lihat orang pandai, janganlah

berlagak.

Jika engkau tak dapat melihat bulan tanggal satu,

139 Abu Yahya Zakariyya ibn Muhammad al-Anshariy, op.cit., hal. 482 139 Abu Yahya Zakariyya ibn Muhammad al-Anshariy, op.cit., hal. 482

Sayid Abdullah ibn Alwy ibn Hasan al-Athas dalam kitabnya berjudul al-Ilm an-Nabras fi at- Tanbih „ala Manhaj al-Akyas mensitir kata-kata Syekh Zarruq, 140

Dasar ilmu adalah atas pembahasan dan penelitian, tetapi dasar hal adalah penyerahan dan percaya. Apabila orang yang arif billah berbicara dengan dasar ilmunya, maka harus diselidiki dengan dasar dari Kitab Allah, Sunnah Rasulullah, dan Atsarus Salaf. Sebab ilmu harus dicocokkan dengan aslinya. Apabila ia berbicara dengan dasar hal, maka dzauq atau perasa- annya harus diserahkan. Sebab hal itu tidak dapat dicapai kecuali dengan hal yang sepadan dengan dzauq. Hal itu dianggap diucapkan dengan intuisi. Ilmu dalam hal ini diserahkan kepada amanat yang memiliki dan tidak perlu diikuti karena tidak ada dasar hukumnya kecuali dalam hal yang sama.

Alasan pendapat Ibn Taymiyyah di atas dikecam oleh golongan beliau yang lebih ekstrim karena dipandang terlalu toleran dan husnudhon terhadap tokoh ahli tasawuf.

140 Sayyid Abdullah ibn Alwiy ibn Hasan al-Athas, al-Ilm an-Nabras fi at- Tanbih ‘ala Manhaj al-Akyas, Mesir, Isa al-Baby al-Halabiy, t.t., hal. 18