Ziarah ke Makam Anbiya’ dan Aulia
J. Ziarah ke Makam Anbiya’ dan Aulia
Apakah berziarah ke dlarihul anbiya dan aulia dapat dianggap sama dengan memuja kuburan dan menyembah
serta beribadat kepada mereka? Hal ini memerlukan pem-
bahasan yang tenang dan mendalam. Untuk pembahasan ini perlu diketengahkan beberapa hadits:
1. Hadits riwayat Muslim dari Ummul Mukminin Sayyi- datuna Aisyah ra, 171
Bahwa Rasulullah saw telah mengabari Aisyah ra bahwasanya Jibril as telah datang kepada beliau sera ya berkata, “Sungguh Tuhanmu memerintahkan Tuan agar Tuan da tang ke kuburan Baqi‟ untuk memintakan ampun mere ka.” Dan sungguh Rasul saw telah datang ke Baqi‟. Di sana beliau lama berdiri, kemudian mengangkat kedua tangan beliau tiga kali ...... “Ya Allah, ampunilah ahli Baqi‟ yang sejahtera.”
2. Hadits riwayat ad-Daruquthniy dan al-Bayhaqiy, 172
Barang siapa menziarahi kuburku, pasti ia mendapat syafaatku.
3. Hadits riwayat Ibn Hajar, 173
171 Ibid., hal. 81-82 172 Ibid., hal. 92 173 Ibid., hal. 93
Barang siapa yang tidak menziarahi aku maka benar-benar ia telah mengesampingkan aku.
4. Hadits riwayat Ibnu Hajar yang lain, 174
Tiadalah seseorang dari umatku yang mempunyai kekayaan kemudian tidak mau menziarahi aku, maka tiadalah alasan baginya.
Dari hadits-hadits di atas jelas bahwa sunnah ber- ziarah ke makam Nabi Muhammad saw. Demikian pula ke makam para sahabat, Ummahatul Mukminin, aulia, shali- hin, orang tua, dan kaum muslimin serta muslimat pada umumnya.
Hal-hal apakah yang dilakukan selama berziarah di makam? Banyak orang menyangka keliru terhadap mereka yang melakukan ziarah ke makam dengan sangkaan me- minta kepada orang yang dimakamkan di situ. Bahkan ada yang lebih ekstrim menganggap mereka sebagai penyem- bah kuburan.
Pada umumnya perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berziarah di makam adalah berupa pembacaan istighfar, baik bagi orang yang sudah mati maupun bagi yang masih hidup inklusif diri pembaca sendiri, salawat ke- pada Nabi saw, dan ayat-ayat al-Quran yang pahalanya dihadiahkan kepada mereka yang telah mati. Amalan ini dilakukan oleh mereka yang yakin bahwa pahala dari baca- an tersebut dapat disampaikan kepada mereka yang telah mati sebagaimana yang dikehendaki oleh hadits berikut:
1. Hadits riwayat ar- 175 Rafi‟iy dari Ali bin Abu Thalib,
174 Ibid. 175 Husnain Muhammad Makhluf, Fata wa Syar’iyyah wa Buhuts Islamiy-
yah , Mesir, Dar al-Kitab al-Arabiy, 1951, hal. 146 dan Kanz al-Amal, juz 15 hal. 1018
Barang siapa yang melewati kuburan dan kemudian mem baca surat “Qul huwallahu ahad” sebelas kali yang pahalanya dihadiahkan kepada orang-orang yang telah mati, maka ia diberi pahala sebanyak bi- langan orang yang mati.
2. Hadits riwayat dari Anas ra, 176
Sesungguhnya Nabi saw ditanya, “Wahai Rasulullah kami bersedekah untuk orang-orang yang mati, ber- haji, dan berdoa bagi mereka. Sampaikan pahala kami kepada mere ka?” Jawab Nabi, “Ya! Semuanya sampai kepada mereka. Mereka pasti gembira sebagaimana seseorang dari kamu yang bergembira jika diberi hadiah talam (yang berisi barang, benda, atau makanan).
Ibn Taymiyyah, salah seorang tokoh/pemuka madz- hab Hanbali berpendapat bahwa orang mati bisa menda- patkan manfaat dengan bacaan al-Quran sebagaimana ia bisa mendapat manfaat dari ibadah maliyah, ibadah de- ngan mengeluarkan harta, misal sedekah dan lain sebagai- nya. Ibn Qayyim dalam kitab ar-Ruh berpendapat bahwa hadiah yang paling utama kepada orang mati ialah sede- kah dan istighfar, doa, dan haji untuk yang bersangkutan. Adapun bacaan al-Quran dan penghadiahannya dapat sampai apabila orang yang membaca itu tidak diberi upah sebagaimana pahala puasa dan haji. Di bagian lain dari ki-
176 Ibid. dan ‘Umdah al-Qariy, juz 3 hal. 119 176 Ibid. dan ‘Umdah al-Qariy, juz 3 hal. 119
berikut, 177
Argumentasi serupa dijelaskan oleh Dr. Ahmad asy- Syarbashiy dalam kitab Yas‟alunaka fi ad-Din wa al- Hayah, 178
177 Ibid., hal. 145 178 Ahmad asy-Syarbashiy, Yas’alunaka fi ad-Din wa al-Hayah, juz 1 hal.
441-443
بهذلللملا ةلللمئأ نلللم ولللهو - ةلللٌمٌت نلللب إ مالللملإا لالللل دللللو علللفتنٌ الللمك ، نآرلللملا ةءارلللمب علللفتنٌ تلللٌملا نإ" : - ًللللبنحلا
Tentang bacaan surat Yasin di kuburan, banyak ha- dits Nabi yang mendukungnya, antara lain hadits yang diri- wayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasaiy, dan at-Turmudziy
dari Ma‟qil ibn Yasan, Rasulullah saw bersabda, 179 رادلاو هلوسرو الله دٌرٌ لجر اهإرمٌ لا سٌ نآرملا بلل
Hati al-Quran adalah surat Yasin. Bila seseorang membacanya karena Allah dan Rasul-Nya serta kehidupan akhirat, pasti diampuni dosanya. Oleh karena itu bacakanlah untuk orang yang mati.
Ibn Hibban dalam Shahih-nya memberi komentar terhadap hadits tersebut, yaitu bahwa yang dimaksud de- ngan iqrau ala mawtakum ialah pembacaan surat Yasin ter- hadap orang yang akan meninggal. Tetapi at-Thabariy me- nolak pendapat tersebut dan mengatakan bahwa kata mawta dalam hadits tersebut maksudnya adalah mati yang sesungguhnya, yaitu sudah mati dan bukan akan mati. Ini adalah tafsiran yang benar dan tidak ada alasan untuk memberi arti atau tafsiran selain makna yang hakiki. 180
179 Muhamamad ibn Ali ibn Muhammad asy-Syaukaniy al-Yamaniy as- Shan’aniy, Tuhfatudz Dzakirin, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabiy, 1955, hal. 285
180 Ibid.
Mengenai pembacaan awal dan akhir surat al-Baqa- rah di atas makam setelah selesai penguburan, ada nukilan keterangan yang terdapat dalam Tuhfatudz Dzakirin
sebagai berikut: 181
Hadits diriwayatkan oleh al-Bayhaqiy dalam kitab Sunan al-Bayhaqiy, sebagaimana kata pengarang kitab Sunan tersebut, hadits ini dari Ibnu Umar ra katanya, “Akan lebih disenangi jika sesdah penguburan mayit dibacakan awal dan akhir surat al-Baqarah di atas kubur tersebut.” Imam Nawawi menghasankan sanad hadits tersebut. Walaupun kata-kata tersebut dari Ibnu Umar ra, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa itu adalah pendapatnya sendiri. ... Bacaan tersebut lebih disenangi di atas kuburan karena lebih utama dengan harapan agar si mayit dapat mengambil manfaat bacaan tersebut.
Bagaimana halnya dengan seseorang yang ingin bertawasul dengan dlarihah atau makam para nabi di makamnya? Dapatkah perbuatan tersebut sama dengan menyembah atau beribadat kepada yang mati?
Sebenarnya doa tawasul dapat dibaca di tempat ma- kam atau tempat yang lain. Hal ini tidak ada bedanya. Ha- nya saja kalau dibaca di tempat makam itu akan lebih khu- syuk dan khidmat. Sebab di dekat makam para nabi, orang saleh khususnya, dan kuburan pada umumnya akan terda-
181 Ibid., hal. 264 181 Ibid., hal. 264
Dahulu saya melarang kamu untuk ziarah kubur (waktu itu belum ada orang Islam yang meninggal), (maka sekarang) berziarahlah. Sebab ziarah kubur dapat melunakkan hati, mencucurkan air mata dan mengingatkan kepada akhirat. Maka berziarahlah dan janganlah berkata yang jelek. (Diriwayatkan oleh al- Bayhaqiy.)
Dalam sebuah hadits lain Rasulullah pernah menje- laskan bahwa Allah tidak dapat menerima doa seseorang yang hatinya tidak khusyuk, lupa, atau lengah.
Hal di atas nampaknya bertentangan dengan bunyi ayat 3 surat az-Zumar: 183
Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah ber kata, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.”
dan hadits Nabi yang berbunyi: 184
182 Musthafa Abu Yusuf al-Hamamiy, op.cit., hal. 83 dan al-Mustadrak, juz 1 hal. 532
183 Al-Quran, op.cit., hal. 458 184 Muhammad ibn Abdul Wahab, op.cit., hal. 51 dan Sunan Abi Dawud,
juz 1 hal. 622, Shahih Abi Dawud, juz 1 hal. 383
Dari Abu Hurayrah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kau jadikan rumahmu sebagai kuburan dan janganlah kau jadikan kuburan saya sebagai keramaian (tempat pesta) dan bacakanlah salawat kepada saya sebab bacaan salawat itu akan
sampai kepada saya di mana saja kau berada.”
Akan tetapi apabila diperhatikan isinya, hadits terse- but bukanlah melarang bertawasul, melainkan melarang umat Islam melakukan hal-hal yang terkait dengan:
a. mempergunakan dan memperlakukan dlarih Nabi Mu- hammad saw khususnya dan makam para salihin umumnya sebagai tempat peribadatan.
b. Menjadikan Nabi sendiri atau para salihin sebagai dzat yang dipuja, sehingga ada pengkultusan terhadap me- reka ke tingkat uluhiyah dan menjadi sekutu Tuhan Allah swt.
Inilah hal-hal yang dengan tegas dilarang oleh hadits nabawiy: 185
Janganlah kamu sekalian memujaku sebagaimana kaum Nasrani memuja putra Maryam. Sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba Tuhan. Maka katakan ole hmu, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Kita dilarang menjadikan makam Nabi Muhammad saw sebagai tempat berpesta ria yang penuh dengan ke- mungkaran dan kemaksiatan. Tetapi kalau di situ diramai- kan dengan bacaan salawat, qiraatul quran dan segala ma- cam pembacaan dzikir lainnya, maka hal itu bukan disebut
sebagai ادٌع .
Disamping itu kita juga dilarang menjadikan kuburan Nabi sebagai tempat salat jamaah secara rutin. Larangan
185 Ibid., hal. 47 dan Shahih al-Bukhariy, juz 3 hal. 1271 185 Ibid., hal. 47 dan Shahih al-Bukhariy, juz 3 hal. 1271
Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Wahai Allah, semoga Engkau tidak menjadikan kuburku sebagai berhala (tempat pemujaan). Allah akan sangat murka terhadap orang-orang yang menjadikan kuburan para nabinya sebagai mas jid.”
Bila seseorang salat, sedangkan di depannya terda- pat makam para aulia atau lainnya, misal makam yang ada di sekitar masjid, apakah dapat disamakan dengan me- nyembah mereka?
Jika kita telusuri, pelaksanaan salat dan bacaan yang diucapkan waktu salat adalah sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi, tidak ada tendensi ke arah penyembahan terhadap makam. Hal ini dapat disamakan dengan pelaksanaan salat jezanah, walaupun mayat diletakkan di depan orang yang melakukan salat jenazah dan tidak di belakangnya.
Dalam surat az-Zumar ayat 3 al-Quran mengata- kan, 187
Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Terhadap ayat ini, Syekh Ahmad Musthafa al-Mara- ghiy memberikan ulasan sebagai berikut: 188
186 Ibid., hal. 50 dan al- Muwattha’, hal. 172 187 Al-Quran, loc .cit., hal. 458 188 Ahmad Musthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, juz 23, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabiy, t.t., hal. 142-143
Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah ber kata, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” Artinya, dan orang- orang yang mengambil pelindung selain Allah, mereka itu menyembahnya. Mereka berka ta, “Kami tidak menyembah mereka kecuali untuk mendekatkan diri kami dan mereka memberi syafaat dan mengabulkan hajat k ita.”
Dan dari cerita peribadatan mereka terhadap berhala- berhala itu, sesungguhnya mereka membuat arca-arca untuk bintang-bintang, para malaikat, para nabi, dan orang-orang saleh yang telah lalu. Dan mereka menyembah arca-arca tersebut dengan anggapan bahwa arca-arca itu adalah isyarat kepada hal-hal yang dipatungkan. Mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Agung adalah terlalu besar untuk disembah manusia secara langsung. Maka kami menyembah tuhan-tuhan ini, sedangkan tuhan-tuhan ini menyembah kepada Tuhan Yang Maha Agung (maka berarti secara tidak langsung kami menyembah kepada Tuhan Yang Maha Agung).
Al-Allamah Ibn Katsir menjelaskan, 189
Artinya, adapun yang membawa mereka kepada peribadatan terhadap patung-patung ialah bahwa sesungguhnya mereka sengaja membuat patung itu menurut gambar para malaikat yang terddapat dalam anggapan mereka. Kemudian gambar itu disembah sebagai pengganti penyembahan mereka terhadap malaikat agar para malaikat memberikan bantuan kepada mereka di sisi Allah dalam menolong dan memberi rizki mereka dan hal-hal yang berhubungan dengan keduniaan. Adapun tentang hari kiamat, mereka menentang serta ingkar. Qatadah, as-Siddiy, dan Imam Malik mengkonstatiren perkataan Zaid ibn Aslam dan Ibn Zaid, “Kalimat illa liyuqarribuna ilallahi zulfa artinya supaya mereka membantu kita dan mendekatkan kita di sisi Allah. Dari itu dalam talbiyah haji zaman Jahiliah mereka mengucapkan „labbayka la syarika lak, illa sya- rikan huwa lak, tamlikuhu wama malak‟.” (Ya Allah, kami telah datang, tiada serikat bagi-Mu kecuali serikat yang Kau setujui.)
Dari penjelasan di atas timbul pertanyaan, apakah bertawasul dengan para anbiya dan aulia dapat dikategori-
189 Abu al- Fida’ Ismail Ibn Katsir al-Qurasyiy ad-Dimasyqiy, op.cit., juz 4 hal. 45 189 Abu al- Fida’ Ismail Ibn Katsir al-Qurasyiy ad-Dimasyqiy, op.cit., juz 4 hal. 45
memberikan definisi ibadah sebagai berikut: 190
Sesungguhnya ibadah yang dikenal oleh orang-orang mukmin adalah puncak kecintaan, khudluk atau tunduk, takut, pengharapan, ketaatan, dan rendah diri untuk mendekatkan diri kepada Yang Disembah karena Dialah yang memberikan kenikmatan dan kebaikan. Pada kekuasaan-Nyalah terletak kemelaratan dan kemanfaatan, kebahagiaan dan kecelakaan, serta kemuliaan dan kerendahan di dunia dan akhirat.
Inilah ibadah dan inilah Allah Yang Disembah, yang orang-orang mukmin tidak rela kalau yang lain disembah sebagai gantinya, meskipun mereka dibakar dengan api dan dipotong dengan gergaji.
Setelah kita ketahui definisi tentang ibadah seperti di atas, maka jelas bahwa bertawasul tidak dapat disamakan dengan menyembah. Hal itu dapat dimaklumi karena bertawasul hanyalah sekedar mengajukan permohonan ke- pada Allah dengan bantuan anbiya dan aulia baik yang ma- sih hidup maupun yang sudah mati agar Allah, sebagai satu-satunya Dzat Yang Kuasa, sudi menerima permohon- an dimaksud.
190 Musthafa Abu Yusuf al-Hamamiy, op.cit., hal. 74
Perbuatan tawasul timbul karena ada firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 27 yang berbunyi: 191
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qa bil). Ia (Qabil) berkata, “Aku pasti membunuhmu!” Habil berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang
bertakwa.” Dari firman tersebut maka orang-orang yang merasa
berdosa dan kurang takwanya merasa perlu harus meminta bantuan orang lain. Perbuatan ini menurut ajaran Islam ti- dak dianggap syirik selama orang yang bertawasul berke- yakinan bahwa para anbiya dan aulia yang dijadikan wasi- lah itu tidak dianggap sebagai ilahul ma‟bud dan rabbul ma‟bud.
Perbuatan tawasul inipun tidak berarti mengurangi kekuasaan Allah. Kita semua yakin bahwa Allah adalah Maha Kuasa untuk mencabut nyawa makhluk-Nya, meng- awasi amal perbuatan para hamba-Nya, dan memberi rizki kepada sekalian makhluk-Nya secara langsung tanpa mempergunakan perantaraan siapapun. Tetapi mengapa Allah mempergunakan Malakul Maut, Izrail, untuk mencabut
Mengapa Allah mempergunakan malaikat Kiraman Katibin, Raqib dan Atid, untuk mencatat amal para hamba-Nya? Mengapa Allah mempergunakan malaikat Rahman, Mikail, untuk membagikan rizki kepada sekalian makhluk-Nya dan sebagainya dan sebagainya?
nyawa
makhluk-Nya?
191 Al-Quran, op.cit., hal. 112
رملأاو نلملا هل الله ناحبسو نوفصٌ امع الله ناحبس . Maha suci Allah dari segala yang mereka sifatkan. Maka
suci Allah, bagi-Nyalah kerajaan dan urusan. Kalau kita menyembelih ayam tentu kita yakin bah-
wa Allahlah yang membunuh ayam tersebut walaupun kita berwasitah dengan pisau. Kalau kita ingin kenyang, kita berwasitah dengan makanan. Namun demikian, hal terse- but tidak berarti mengurangi kekuasaan-Nya yang mutlak. Bahkan sudah merupakan sunnatullah yang sudah digaris- kan untuk kehidupan di alam nasut ini. Sedangkan peratur- an yang ada di alam malakut dan jabarut, kita semua buta dan tidak tahu sama sekali. Apalagi yang terdapat dalam kehidupan alam arwah dan barzah. Meskipun demikian, kita yakin bahwa hayatul arwah dan al- malaul a‟la pasti ada. Kecuali bila kita mau digolongkan sebagai orang athe- is atau komunis.
Jadi di dunia ini orang boleh bertawasul dengan an- biya dan aulia sebagaimana kita dapat bertasyafuk dengan mereka di akhirat kelak. Sabda Nabi Muhammad saw riwa-
yat Ibn Majah dari Utsman bin Affan ra, 192
Yang dapat memberi syafaat pada hari kiamat ada tiga, yaitu para nabi, para ulama, dan para syuhadak.