Penambahan kalimah “waliyyullah”

H. Penambahan kalimah “waliyyullah”

Penambahan ucapan dalam kalimat La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah, Syaikh Abdul Qadir Waliyyullah timbul sehubungan dengan cerita ayam yang hidup kembali dari tulang-tulang lalu mengucapkan kalimat tersebut. Ke- tersambungan (ittishal) sanad ke Syaikh Abdul Qadir al-Jai- laniy belum diketahui. Ada penjelasan dalam Fatawa Khalil

yang terkait dengan cerita ayam: 49

Menurut Imam Yafii, sah dengan sanad yang tersambung sampai kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy bahwa ibu seorang muridnya masuk ke tempat Syaikh ketika beliau sedang makan daging ayam. Hal ini membuat masygul hati perempuan itu karena anaknya hanya diberi makanan yang buruk sekali. Lalu Syaikh berka ta kepadanya, “Kalau anakmu dapat berkata kepada ayam semacam ini agar

49 Fatawa al-Khaliliy, juz 1 hal. 81 49 Fatawa al-Khaliliy, juz 1 hal. 81

da ging ayam.” Di sini disebutkan oleh Imam Yafii cerita tentang

ayam yang sanadnya bersambung, namun tidak disebutkan tentang ucapan ayam la ilaha illallah dan seterusnya. Nukil- an di atas juga tidak menerangkan tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy berhasil menghidupkan ayam. Beliau ha- nya berkata kalau anakmu dapat menghidupkan. Masalah tentang ayam yang hidup kembali tidak menjadikan kesim- pangsiuran di bidang akidah karena tanpa ada ucapan dari ayam La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah, Syaikh Ab- dul Qadir Waliyyullah.

Bolehkah memberikan tambahan Syaikh Abdul Qadir Waliyyullah dalam syahadat seperti bunyi di atas? Hal ini akan dibahas dalam beberapa segmen.

1. Syahadat vs bukan syahadat Ada pendapat yang menyatakan bahwa La ilaha illa-

llah muhammadur rasulullah syaikh abdul qadir waliy- yullah bukan menambah syahadat dan bukan pula sya- hadat se bab di situ tidak ada kata “asyhadu”. Menurut pendapat tersebut kalimat tersebut adalah dzikir.

Sebenarnya dzikir atau syahadat dalam hal ini sama saja, karena mempunyai kedudukan hukum yang sama.

Perhatikan ulasan berikut: 50

50 Fatawa Ramliy, op.cit., juz 4 hal 26-27

Menurut Kamal bin Abi Syarif bahwa untuk keislaman orang yang murtad diharuskan mengucapkan dua syahadat. Apabila murtadnya karena menentang wajib atau menghalalkan yang haram, maka harus disertai pencabutan kembali iktikadnya. Mengenai orang kafir asli, bila ia penyembah berhala atau golongan tsanawi yang tidak percaya terhadap keesaan tuhan dan kemudian mengucap “la ilaha illallah”, maka ia di- hukumkan Islam dan dipaksakan menerima semua hukum agama. Demikian pendapat al-Baghawiy. Menurut Imam al-Ghuzzi, jalan yang dikatakan al- Baghawiy tersebut menurut ar-Rafiiy dan an-Nawawiy adalah lemah. Abu Yahya Zakariya dalam Syarah al- Bahjah mengatakan bahwa untuk keislaman orang yang murtad dan lainnya diharuskan mengucapkan dua syahadat, meskipun orang tersebut semula hanya mengakui salah satu dari kedua syahadat. Cukup dengan mengucapkan kedua syahadat bagi orang yang ingkar akan keutusan Nabi Muhammad, kecuali kalau orang-orang yang percaya bahwa keutusan Nabi Muhammad hanya untuk orang Arab. Orang ini baru sah keislamannya jika sudah mengucap “muhammadur rasulullah ila jami‟il khalqi” yang artinya Muhammad utusan Allah untuk seluruh makhluk.

Dalam ulasan fatwa di atas dinyatakan bahwa keab- sahan Islam seseorang yang murtad atau orang kafir harus mengucapkan dua syahadat dan dalam penjelasan berikutnya hanya dikemukakan la ilaha illallah dan muhammadur rasulullah tanpa disertai kata asyhadu.

Memang ada sebagian ulama yang mewajibkan de- ngan mengucapkan asyhadu untuk keabsahan Memang ada sebagian ulama yang mewajibkan de- ngan mengucapkan asyhadu untuk keabsahan

Dalam Hasyiyah al-Bajuri „ala Jawharah disebutkan “dan harus mengucapkan dan mengulangi kata asyhadu dan tidak disyaratkan mengucapkan kata wa (huruf athaf)” menurut pendapat az-Zubadi . . . Selanjutnya syarat-syarat yang disebut di muka adalah didasarkan atas pendapat yang muktamad dalam madzhab Syafii. Demikian pula pendapat Ibnu Arafah dari madzhab Maliki yang mengatakan bahwa orang itu harus mengucapkan ”asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu an na muhammadar rasulullah”. Dalam hal ini muridnya bernama Ubay bertentangan pendapat dengan gurunya. Ubay mengatakan bahwa tidak wajib mengucapkan kata “asyhadu” bahkan cukup kalau orang tersebut menyebutkan kata yang menunjukkan iman. Jika orang mengatakan “allah wahid wa muhammad rasulullah”, maka hal itu cukup. Demikian pula pendapat sementara ulama Syafii yaitu Ibnu Hajar dan dalam pendapat an- Nawawi ada juga yang bersesuaian dengan pendapat Ubay.

Dalam nukilan di atas ada pendapat yang mewajib- kan lafadh asyhadu dan ada yang mencukupkan tanpa lafadh tersebut untuk keabsahan Islam seseorang.

51 I’anah at-Thalibin, juz 4 hal. 140-141

Imam an-Nawawi berpendapat: 52

Adapun jika orang kafir hanya mengucapkan “la ilaha illa llah” dan tidak mengucapkan “muhammadur rasulullah”, maka ia bukan Islam menurut pendapat yang tersohor dalam madzhab Syafii dan madzhab jumhur ulama. Ada pula sebagian ulama kita yang berpendapat bahwa orang tersebut menjadi orang Islam namun harus dituntut untuk mengucapkan syahadat yang lainnya. Kalau menolak, maka ia murtad.

Menurut Imam an-Nawawi jelas bahwa orang yang mengucap la ilaha illallah tanpa muhammadur rasulullah, maka ia diminta untuk mengucapkan syahadat lanjutannya, yaitu muhammadur rasulullah. Ibnu Hajar juga menyebut la ilaha illallah sebagai

syahadat seperti ditulis dalam kitab Tuhfah, 53

Adzan itu dua dua, maksudnya sebagian besarnya; karena takbir dalam permulaan adzan empat kali dan baca syahadat pada akhir adzan sekali.

Abul Hamid Syarwani, pensyarah Tuhfah berpenda- pat sama: 54

Dan syahadat dan seterusnya maksudnya adalah “la ilaha illa llah”.

52 Syarh an-Nawawiy dalam Syuruh al-Bukariy, hal. 114 53 Ibnu Hajar, Tuhfah Hamisy Syarwaniy, juz 1 hal. 484 54 Abu al-Hamid, Hasyiyah Syarwaniy, juz 1 hal. 484

Dari pembahasan di atas jelas bahwa kalimat la ilaha illallah, muhammadur rasulullah meskipun tanpa kata asyhadu disebut dengan kalimat syahadat atau syahadatain. Pembahasan berikutnya terkait dengan penambahan kata syaikh abdul qadir waliyyullah. Tambahan tersebut di sini diistilahkan dengan “dzikir Jailani” yang dalam pembahasan berikutnya akan ditinjau kedudukannya, baik dari segi dzikir ataupun taajub (takjub, heran, kagum).

2. Syahadat sebagai taajub Untuk mengetahui pengucapan dzikir Jailani dimak-

sudkan sebagai dzikir atau taajub tidak mudah, karena terkait dengan niat dalam hati. Tak dapat diketahui ayam yang berucap termasuk berniat dzikir atau niat ta- ajub. Namun demikian dapat dirunut dari tanda-tanda petunjuk ke arah maksud tersebut dari keadaan.

Jika ayam yang sudah merasakan kesakitan disem- belih dan sudah mati, bahkan tinggal tulang, dapat hidup dan bangkit kembali maka secara naluri ia bingung dan heran. Keherannya diungkapkan dengan ucapan la ilaha illallah, muhammadur rasulullah, syaikh abdul qadir wa- liyyullah karena taajub akan kekeramatan Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang telah dapat menghidupkannya kembali. Jika ucapan tersebut dalam maqam dzikir, maka akan diulang-ulang sebagai tanda syukur ingat ke- pada yang menghidupkannya kembali. Kalau ia ber- dzikir, hal itu tidak logis karena seolah-olah hidup kem- bali dari kematian adalah hal yang biasa, tanpa ada un- sur keheranan. Jika demikian, maka Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy tidaklah keramat karena menghidupkan yang sudah mati bukan hal yang luar biasa.

Dalam hubungan dengan taajub, orang dapat meng- ucapkan la ilaha illallah dan sejenisnya sebagaimana fatwa Imam Khalil, 55

55 Imam Khalil, Fatawa al-Khaliliy, juz 2 hal. 275

Ketahuilah, semoga Anda mendapat taufiq dari Allah, para ulama bersepakat bahwa membaca salawat kepada Nabi adalah dianjurkan oleh Quran dan Hadits, baik secara wajib atau sunnah. Bacaan salawat yang wajib menurut madzhab Syafii ialah pada tasyahud akhir. Adapun membaca salawat ketika taajub karena sesuatu misalnya taajub terhadap kuda, onta, atau barang lainnya, maka hal itu boleh saja menurut kete- rangan Imam al-Halimiy dari salah seorang ulama kita. Bahkan kalau dikatakan sunnah, maka hal itu dikiaskan kepada ba caan “subhanallah” yang dalam hadits banyak digunakan untuk taajub. Imam an-Nawawi juga mengeluarkan hadits dalam kitab al-Adzkar. Demikian pula “la ilaha illallah” yang digunakan untuk taajub atau lainnya. Hanya saja hal demikian jarang sekali.

Dengan demikian penyebutan syaikh abdul qadir wa- liyyullah secara bersama-sama dalam maqam taajub yang dirangkaikan dengan kalimat syahadat dalam ceri- ta ayam tidak menjadi masalah, bahkan sebagian ulama menganggap sunnah. Hal ini tidak berarti menambah syahadat dengan kalimat lain, tetapi merupakan penje- lasan atau alasan terhadap hal yang dikagumi sebagai-

mana pendapat Imam Khalil, 56

56 Ibid.

Alasan sunnah membaca salawat ketika taajub ialah Nabi saw telah memberitahukan kepada kita dalam al- Quran dan Hadits akan hakekat benda-benda yang ada, seperti dalam al-Qur an, “Tidakkah mereka melihat onta bagaimana ia dijadi kan?” Kalau orang mengucapkan salawat Nabi karena taajub terhadap sesuatu, maka seolah- olah ia mengatakan, “Semoga Allah memberikan salawat dan sejahtera kepada Nabi yang telah memberitahukan kita akan hakekat benda-benda tersebut.”

Dengan demikian ketaajuban ayam saat mengucap dzikir Jailaniy seolah-olah mengatakan la ilaha illallah, muhammadur rasulullah, alangkah keramat syaikh ab- dul qadir waliyyullah hingga dapat menghidupkanku kembali dengan ijin Allah. Jadi yang menjadi sasaran ucapan

minhu) adalah kekeramatan Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy sebagai wali Allah, sedangkan kalimat syahadat yang diucapkan (muta‟ajjab bih) merupakan kalimat tafaul dan tabaruk bagi yang heran. Dalam hal taajub, tidak ada takhsis atau pengkhususan. Artinya suatu ketika orang akan mengatakan la ilaha illallah, alangkah indahnya gedung itu, atau la ilaha illallah, pandainya guru itu dan sebagainya.

terse but

(muta‟ajjab

3. Syahadat sebagai dzikir Arti dzikir

Niat setiap hadirin dalam acara manakib sukar untuk diketahui, namun dapat diambil kesimpulan dari qarinah atau tanda-tanda yang ada, seperti:

a. ucapan taajub ayam ditirukan oleh hadirin setiap upacara manakib, berarti tidak menunjukkan taajub, a. ucapan taajub ayam ditirukan oleh hadirin setiap upacara manakib, berarti tidak menunjukkan taajub,

c. nada mengucapkannya bukan nada heran,

d. selalu sama yaitu syaikh abdul qadir waliyyullah, jadi ada takhsis.

Dari tanda-tanda di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mereka mengucapkannya dalam hubungan de- ngan dzikir atau dalam kedudukan kalimat itu sebagai dzikir, bukan taajub. Jika mereka ditanya, niatnya juga berdzikir.

Dalam subbab F. Hukum Membaca Manakib di atas telah diulas definisi dzikir menurut para ulama. Dari defi- nisi tersebut dapat diketahui bahwa dzikir adalah ucap- an yang mengandung pujian, pengagungan, atau doa ke pada Allah, dianjurkan oleh syara‟ untuk sering atau memperbanyak melakukan, dan pelakunya mendapat pahala. Dalam hal ini termasuk syahadatain. Dengan harapan itu orang yang melakukan upacara manakib mengucapkan dzikir Jailaniy berulang-ulang, dan karena sering dilakukan pertanda hadirin berniat dzikir.

Menambah syahadatain Ucapan la ilaha illallah, muhammadur rasulullah,

ada lah dua kalimah syahadat dan syara‟ mendorong untuk memperbanyak melantunkan. Dzikir dengan kal imat syahadat ini adalah ajaran langsung dari syara‟ atau tawqif. Nabi saw bersabda, 57

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas api neraka ba gi orang yang membaca “la ilaha illallah” yang dengan bacaan tersebut ia menginginkan keridlaan

57 Shahih al-Bukhariy, op.cit., juz 1 hal. 164 dan Shahih Muslim, juz 1 hal. 454

Allah. (HR Bukhari Muslim dari Atban bin Malik ra.) Penambahan dzikir tawqif dengan sifat-sifat kesem-

purnaan Allah dan sifat-sifat Nabi saw diperkenankan ji- ka ada tawqif dari syara‟ atau tidak ada takhsis. Bahkan

hal tersebut sunnah karena menambah pujian kepada Allah. Misalnya:

La ilaha illallah, saya hari ini ada tamu! Di sini diucap- kan oleh seseorang yang terkejut karena lupa dan kemudian ingat bahwa hari itu ada janji dengan tamu. Di sini tidak ada takhsis.

Jika tambahannya merupakan kalimat yang tak ada hubungannya dengan sifat-sifat Allah atau rasul-Nya, tak ada petunjuk dari syara ‟, maka diperlukan pemba- hasan. Para ulama sepakat bahwa dua kalimat

syahadat menjadi pokok kesempurnaan iman. 58 Dalam syahadat pertama berisi pengagungan dan pengesaan

Allah, dalam syahadat kedua berisi pengakuan atas keutusan Nabi Muhammad saw. Penyebutan nama Muhammad di samping asma Allah merupakan kehormatan dan kemuliaan bagi beliau. Karena Tuhan Maha Besar dan Maha Sempurna, maka orang yang dekat kepada-Nya dan disebut-sebut di samping-Nya ikut pula mendapatkan kebesaran dan kemuliaan. Hal ini dinyatakan dalam al-Quran:

Dan Kutinggikan untukmu Muhammad penyebutanmu. (QS as-Syarh: 4)

Imam Jalalain menafsirkan ayat tersebut sebagai

58 Dalil al-Falihin, op.cit., juz 2 hal. 283 58 Dalil al-Falihin, op.cit., juz 2 hal. 283

Yaitu dengan penyebutan namamu bersama-sama nama-Ku dalam adzan, iqamah, tasyahud, khutbah, dan lain-lain.

Syarbini Khatib dalam Iqna‟ juga menafsirkan demi-

kian, 60 حٌحص ًف امك ًعم ركذت لاإ ركذأ لا يأ نركذ نل انعفرو

Kuangkat untukmu sebutanmu, maksudnya: bahwa nama-Ku tidak disebut kecuali bersama-sama dengan penyebutan namamu sebagaimana diceritakan dalam hadits sahih riwayat Ibnu Hibban.

Nama Muhammad disebut di samping Allah me- ngandung makna mengagungkan dan memuliakan be- liau. Berarti penyebutan nama Syaikh Abdul Qadir al- Jailaniy di samping asma Allah dan rasul-Nya dalam maqam dzikir juga menimbulkan makna pengagungan dan memuliakan bagi Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy. Dengan kata lain keagungan dan kemuliaan Syaikh Ab- dul Qadir al-Jailaniy sama dengan Nabi Muhammad saw karena disebutkan bersama-sama. Bolehkan me- nyamakan seseorang dengan Nabi Muhammad saw?

61 Ibnu Ziyad memberikan fatwa,

59 Jalalayn pada Hamisy as-Shawiy, juz 4 hal. 280 60 Syarbini Khatib, al- Iqna’, juz 1 hal. 7 61 Fatawa Ibnu Ziyad, op.cit., hal. 249-249

Seseorang bersumpah, “Demi kepala Ali bin Umar Syadzali yang tak ada yang menyamai kecuali Nabi saw.” Maka orang itu dihukumkan murtad. Dia harus disuruh taubat. Jika mau bertaubat selamatlah ia; dan jika tidak maka dihukum bunuh karena kemurtadannya yang telah berbuat cemar yaitu menyerupakan Nabi saw dengan orang lain. Bagaimana tidak demikian, sedangkan pengarah kitab Syifa‟ mengatakan mengenai Abu Nuwas bahwa dia kafir atau dekat kepada kafir lantaran

menyerupakan seseorang bernama Muhammad Amin dengan Nabi Muhammad saw. Sedangkan masalah ini lebih besar dari pada yang sebelumnya.

Berdasar fatwa ini dapat dimengerti bahwa menya- makan Nabi saw dengan siapapun juga adalah dilarang. Jika ada orang yang patut ditinggikan kedudukannya se telah Nabi saw, mereka adalah Khulafa‟ ar-Rasyidin sebagaimana telah disepakati para ulama ahlus sunnah.

Penyebutan nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy da- lam urutan syahadatin memberi makna penyamaan kedudukan dengan Nabi saw. Jika penyebutannya de- ngan tambahan waliyyullah sebagai tawasul, hal ini ti- dak dibenarkan. Doa tawasul ala Umar bin Khatthab, doa tawasul tiga pemuda yang terperangkap di dalam goa yang tersebut dalam hadits menjadi sumber hukum bagi ulama tentang kebolehan tawasul. Doa yang diper- gunakan dalam tawasul oleh para ulama muqarrabin ti- dak seperti penyebutan dalam tambahan syahadatain.

Hadits mengenai tawasul tidak menimbulkan kera- guan dan salah paham. Cara tawasulnya jelas, memo- hon kepada Allah dengan menyebutkan wasilah atau perantaranya. Dzikir Jailaniy tidak demikian, karena me- Hadits mengenai tawasul tidak menimbulkan kera- guan dan salah paham. Cara tawasulnya jelas, memo- hon kepada Allah dengan menyebutkan wasilah atau perantaranya. Dzikir Jailaniy tidak demikian, karena me-

menyebutkan, 62

Yang asal dalam perkataan ialah wujud sebenarnya.

Jadi sumpah seseorang untuk tidak memukul isteri- nya namun kenyataan ia menyuruh orang lain memu- kulnya, maka ia tidak melanggar sumpahnya sebab yang memukul sebenarnya bukan dia tetapi orang la-

in. 63 Demikian pula dzikir Jailaniy tidak dapat diartikan atau dialihkan kepada pengertian lain, misalnya tawa-

sul, kecuali kenyataannya yaitu menyebutkan keesaan Allah, kerasulan Muhammad, dan kewalian Syaikh Ab- dul Qadir al-Jailaniy. Oleh karena itu kupasan hukum mengenai dzikir Jailaniy didasarkan atas keadaan lahir- nya, bukan apa yang ada di baliknya yang dapat me- nimbulkan rabaan penafsiran lain.

Pengucapan dzikir Jailaniy dapat ditinjau dari tiga hal, yaitu takhsis, syiar, dan mukhalif lil mutawatir atau bertentangan dengan sunnah yang mutawatir. Ketiga- nya tidak dapat dibenarkan.

4. Takhsis Maksud takhsis di sini adalah penyebutan khusus

nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy saja setelah syaha- datain. Untuk memahami ke arah ini, dapat dilihat bebe- rapa contoh takhsis yang biasa dilakukan, misalnya:

a. Adzan dan iqamah yang dilakukan ketika mengubur jenazah tak ada sumbernya dari sunnah. Alasan me- reka yang mengamalkan ialah dikiaskan pada adzan dan iqamah ketika bayi lahir yang bersumber dari ha- dits. Kias seperti ini lemah sebagaimana pendapat

62 Al-Asybah wa an-Nadhair, op.cit., hal 69 63 Ibid., hal. 69-70

Imam Usbughiy, 64

Kias yang demikian adalah lemah. Karena hal yang semacam ini, yaitu mentakhsis adzan dan iqamah (untuk mengantar orang mati) tidak dapat ditetapkan pengamalannya kecuali harus dengan tawqif (petunjuk syara‟). Memang, jika tidak ada takhsis, dzikir kepada Allah selalu dianjurkan pada segala waktu.

Dalam menukil pendapat Imam Usbughi tersebut Ib- nu Hajar berpendapat sama dan mengatakan bahwa adzan untuk mayat adalah perbuatan bid‟ah yang tak ada sumbernya dari syara‟.

b. Membaca salawat Nabi adalah dzikir yang dianjur- kan oleh syara‟. Namun jika dikhususkan untuk sa- lam setiap tarawih hukumnya terlarang sebagaimana

fatwa Ibnu Hajar, 65

Ibnu Hajar ditanya apakah sunnah membaca salawat kepada Nabi saw yang dilakukan di antara salam salat tara wih ataukah bid‟ah yang harus dilarang. Beliau menjawab bahwa salawat yang

64 Fatawa Kubra, juz 2 hal. 17-18 65 Ibid., juz 1 hal. 186 64 Fatawa Kubra, juz 2 hal. 17-18 65 Ibid., juz 1 hal. 186

Demikian pula halnya bacaan taradli, yaitu membaca radliyallahu anhu untuk para sahabat yang secara umum sunnah, kalau ditakhsis menjadi terlarang se-

bagaimana fatwa Ibnu Husein Bafaqih, 66

Tentang bacaan taradli untuk para sahabat tidak ada hadits dengan takhsis di sini (maksudnya sesudah iqamah) sebagaimana pula di antara salam-salam tarawih. Bah kan membaca taradli adalah bid‟ah kalau dengan maksud sunnah dengan mentakhsis di tempat tersebut, namun tidak bid‟ah jika bermaksud bacaan sunnah secara umum. Hal ini karena umat Islam sepakat bahwa membaca taradli untuk para

sahabat hukumnya sunnah.

c. Takhsis yang tidak ada sumbernya dari syara‟ ditolak oleh sahabat. Dalam sebuah hadits diriwayatkan: 67

66 Baalawi al-Hadlramiy, op.cit., hal 43 67 Sunan at-Turmudzi, Juz 5 hal. 81

Dari Nafi‟ diceritakan bahwa ada seorang laki-laki bersin di dekat Ibnu Umar dan membaca, “Alhamdu lillah was salamu ala rasulillah.” Ibnu Umar berkata, “Dan akupun membaca alhamdu lillah was salamu ala rasulillah. Namun tidak demikian yang sebenarnya. Rasulullah saw mengajar kita supaya membaca alha mdu lillah ala kulli hal.” (HR at- Turmudzi dari Nafi‟ ra.)

Syaikh Waliyyuddin at-Tibriziy menjelaskan hadits yang terkait dengan ucapan Ibnu Umar “Dan akupun membaca ...” serta “Namun tidak demikian ...“ se- bagai berikut: 68

Mengenai perkataan Ibnu Umar “Akupun membaca ...” maksudnya karena kedua kalimah tersebut adalah dzikir utama yang masing-masing dari kedua orang tersebut diperintahkan mengucapkannya.

68 Waliyuddin al-Tibriziy, op.cit., hal. 406

Tetapi pada tiap tempat ada ucapan tertentu. Itulah arti perkataan Ibnu Umar "Tidak demikian sebenarnya” yakni menurut yang diperintahkan dan disunnahkan oleh syara‟ bukanlah kalau bersin lalu orang membaca salah kepada Nabi bersama de- ngan “alhamdulillah”. Tetapi aturan yang sebenarnya adalah mengikuti perintah tanpa menambah dan mengurangi dari arah dirinya sendiri kecuali bila ada kias yang jelas.

Mengenai perkataan Ibnu Umar “Tidak demikian sebenar nya”, yakni dalam keadaan demikian yang disunnahkan

membaca perkataan tersebut,

bukanlah

diajar agar mengucapkan “alhamdu lillah ala kulli hal” saja tanpa

tetapi kita bahkan

ditambah bacaan salam. Namun demikian dalam dzikir dan doa sebaiknya digunakan aurad yang ma‟tsur, tuntunan dari Nabi, tanpa ditambah atau di- kurangi. Sebagaimana pula tidak boleh ditambah de- ngan kali mat “Muhammadur rasulullah” sesudah bacaan “la ilaha illallah” dalam adzan. Hal-hal yang seperti itu masih banyak.

5. Syiar Arti syiar adalah membaca atau berdzikir secara de-

monstratif atau beramai-ramai. Namun ulasan di sini membahas syiar yang tidak ada dalilnya, misalnya:

a. Salawat selain Nabi Sebagian ulama memperkenankan bacaan salawat

untuk selain Nabi, malaikat, dan keluarga Nabi ber- dasar firman Allah:

Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya. (QS al-Ahzab: 43)

Bacaan salawat yang ditujukan untuk pribadi dan di- Bacaan salawat yang ditujukan untuk pribadi dan di-

Menurut Ibnul Qayim boleh membaca salawat kepada selain Nabi, malaikat, isteri Nabi, dan keluarganya secara ijmal atau secara umum. Untuk selain Nabi, makruh membaca salawat yang diperuntukkan kepada perorangan selain Nabi yang menjadi syiar. Jadi hanya untuk satu ketika saja, maka hal itu tak mengapa.

Hukum makruh kalau menimbulkan syiar karena ada dalil al-Quran tentang membaca salawat untuk orang umum seperti di atas. Jika tidak ada sumber dari al- Quran tentang kebolehan salawat untuk orang umum, maka hukumnya meningkat menjadi terlarang.

b. Salat raghaib dan nisfu Sya‟ban Salat raghaib adalah salat sunnah malam Jumat

pertama bulan Rajab. Salat nisfu Sya‟ban adalah salat sunnah pada pertengahan bulan Sya‟ban. Menurut Imam al- Ghazaliy dalam Ihya‟ Ulumiddin adalah sunnah berdasar hadits riwayat Ibnu Majah dan lainnya. Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar, dan ulama lain menentang dan mengatakan bahwa hal tersebut bid‟ah dan hadits yang berkaitan dengan itu palsu. Imam Jurhuziy dan Mulla Ali al-Qari mengatakan bahwa hadits nisfu Sya‟ban bukan palsu tetapi dlaif, yang jika sanad hadits dikumpulkan akan mencapai tingkat fadlailul a‟mal. Dengan

69 As- Shan’aniy, op.cit., juz 4 hal. 214 69 As- Shan’aniy, op.cit., juz 4 hal. 214

Jalan tengah terhadap keduanya dikemukakan oleh Imam Amiriy, 70

Dalam kitabnya Bahjah, Amiyiy mengatakan ... jalan tengah yang jauh dari penyelewengan ialah menjauhi salat raghaib, karena hal ini bertentangan dengan hadits sahih yakni: “Jangan mentakhsiskan malam Jumat dengan sesuatu ibadat dan seterusnya” yang untuk itu tidak ada jalan lain kecuali harus ada hadits sahih yang mengimbangi dan jalan itu tidak ada. Adapun mengerjakan salat nisfu Sya‟ban, hal itu tidak ada hubungannya dengan sesuatu dosa, karena tidak ada larangan untuk melakukan salat demikian. Hanya saja bagi orang yang ingin melakukan lebih baik ia salat sendirian, tidak berjamaah. Sebab syiar demikian terang tidak dapat dilakukan kecuali harus ada dalil yang terang pula.

70 Tarsyih al-Mustafidin, hal. 101-102

Imam Subkiy tidak dapat membenarkan hal ini, 71 ةلاصلا بلط املطم لاإ هٌف درٌ مل ام نؤب ًكبسلا هدرو

Imam Subkiy menolak yang demikian dengan alasan bah wa salat mutlak yang dianjurkan oleh syara'‟dan yang merupakan sasaran yang paling baik tidak boleh dilakukan secara takhsis. Bila ditakhsis baik dengan waktu, tempat, atau lainnya maka salat tersebut termasuk bid‟ah. Sedangkan salat sunnah yang diminta ialah sifat umumnya dan dikerjakannya karena sifat umumnya, bukan karena diminta secara takhsis.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa se- suatu perbuatan ibadah yang dibuat syiar dengan tanpa dalil sahih dari syara‟ tidak dapat dibenarkan. Penambahan syaikh abdul qadir waliyyullah pada kalimat syahadatain saja tidak dapat dibenarkan, apalagi dibaca bersama dengan membuat syiar. Oleh karena itu harus dilarang.

6. Mukhalif lil mutawatir Di atas telah disebutkan bahwa kalimat syahadatain

adalah tawqif dari syara‟ dengan mutawatir, sudah ter- sohor karena banyak yang menceritakan. Tidak ada ula- ma yang menyanggah kemutawatiran kalimat syahada- tain. Jika ditambah dengan kalimat syaikh abdul qadir waliyyullah yang tak ada hubungannya dengan sifat Allah dan rasul-Nya, maka bertentangan dengan sunnah yang mutawatir. Semua yang bertentangan dengan sunnah, apalagi yang mutawatir tidak dapat dibenarkan.

71 Ibnu Taymiyah, Ahmad bin Abdul Halim, al-Fatawa al-Kubra, juz 2 hal 80

Hal ini diambil dari intisari kaidah dalam fatwa tentang

membaca basmalah dalam salat: 72 مٌم حتف عم ةلدمحلاب ةلمسبلا لصو زوجٌ لا :)ن :ةلؤسم(

(Masalah: Sayyid

Kurdi): Tidak diperkenankan menyambung bacaan basmalah dengan alhamdulillah dengan membaca fathah huruf mim pada kata rahim. Karena bacaan al-Quran itu adalah sunnah yang harus diikuti. Oleh karena itu apa yang sesuai dengan mutawatir boleh dilakukan dan apa yang tidak sesuai tidak boleh dilakukan. Hal demikian meskipun dari segi bahasa Arab benar, namun menurut baca- annya tidak dapat dibenarkan. Demikian pula bacaan yang syadz. Dan tidak tentu apa yang dari segi bahasa Arab boleh maka menurut bacaan belum tentu boleh juga.

Sulayman

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa semua yang bertentangan dengan ajaran sunnah yang mutawatir tidak boleh dikerjakan. Meskipun masalah di atas terkait dengan bacaan dalam salat, perlu diingat

kaidah fiqh: ببسلا صوصخب لا ظفللا مومعب ةربعلا , artinya bahwa yang dijadikan pedoman adalah lafadhnya yang bersifat umum, bukan sebabnya yang bersifat khusus.

Lafadh yang bersifat umum ialah yang sesuai de- ngan mutawatir diperbolehkan dan yang tidak sesuai ti- dak diperkenankan. Kalimat ini dianggap dijadikan pe- gangan dan bukan sebabnya yang bersifat khusus yaitu bacaan rahim dengan fathah huruf mim, disambung de- ngan alhamdu, sehingga menjadi bismillahir rahmanir rahimal hamdu. Pengertian ini diperkuat dengan pema-

72 Baalawi al-Hadlromiy, op.cit., hal. 47 72 Baalawi al-Hadlromiy, op.cit., hal. 47

Wirid yang berlaku di antara orang-orang yang tidak ada hal yang bertentangan dengan kitab dan sunnah seperti Hizib Imam Syadzali, Hizib Nawawi, Hizib Abdul Qadir, dan Hizib Sidi Muhyiddin. Semuanya itu boleh dilakukan bahkan sunnah karena merupakan tawasul kepada Tuhan.

Bacaan syaikh abdul qadir waliyyullah yang ditambahkan dalam syahadat dianggap bertentangan dengan sunnah karena pada zaman Nabi dan sahabat tidak ada yang menambah demikian dan tak ada qiyas yang memperkenankan. Penambahan tanpa petunjuk syara‟ berarti rasa tidak puas dan tidak mau menyerah terhadap arahan Nabi saw. Hal ini dapat mengurangi kesempurnaan iman bagi seseorang seperti pernyataan

Imam Qasthalaniy, 74

Iman menurut bahasa adalah percaya. Menurut syara‟ adalah percaya kepada Nabi akan segala yang dibawanya dari Tuhan. Menurut Qasthalaniy, bukanlah hakekatnya percaya hati membenarkan berita atau si

73 Fatawa Khalil, juz 2 hal. 245 74 Awnul Bariy fi Syuruh al-Bukhariy, hal 108 73 Fatawa Khalil, juz 2 hal. 245 74 Awnul Bariy fi Syuruh al-Bukhariy, hal 108

Adzan dan iqamah adalah dzikir ibadah yang disun- nahkan (muakkad) untuk salat fardlu. Jika dilakukan un- tuk salat Id, hukumnya haram sebab berdasar sunnah mutawatir Nabi dan para sahabat tidak pernah me- lakukan demikian, sebagaimana dituturkan dalam Bugh-

yatul Mustarsyidin, 75 لبل ناذلأاك ةدساف ةدابع هٌطاعتل مرح دٌعلل مالأو نذأ ولو

Kalau seseorang melakukan adzan dan iqamah untuk hari raya, maka haram karena ia melakukan ibadat yang tidak benar sebagaimana halnya adzan sebelum waktunya.

7. Penambahan makna “asyhadu” Dalam ilmu ma‟ani, kalimat la ilaha illallah yang ber-

arti tidak ada Tuhan melainkan Allah adalah kalam kha- bar atau kalimat berita. Kalam khabar berfungsi membe- ritahukan kepada orang lain tentang sesuatu. Kalau se- seorang mengucap muhammadur rasulullah, berarti memberitahukan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah.

Dalam kalimat pujian dan dzikir hal itu tidak demi- kian, karena kalimatnya dianjurkan untuk sering diucap- kan. Meskipun menggunakan kalam khabar, tetapi ber fungsi lain yaitu insya‟ atau menumbuhkan sesuatu. Kalau isi pujian berfungsi pemberitahuan sebagaimana makna asli kalam khabar, maka perbuatan tersebut la- gha, tak ada gunanya dan tahsilul hasil, mengadakan barang

Apa kegunaan memberitahukan secara berulang kepada orang lain

75 Baalawi al-Hadlramiy, op.cit., hal. 42 75 Baalawi al-Hadlramiy, op.cit., hal. 42

Syaikh Syarbini Khatib mengatakan, 76

Kalimat “alhamdu lillah” menurut lafadhnya berfungsi kha bar, tetapi menurut maknanya berfungsi insya‟, menumbuhkan sesuatu. Sebab dengan mengucapkan kalimat tersebut maksud memuji berhasil disertai tunduk terhadap madlulnya atau isi maksudnya. Boleh juga

dikatakan bahwa kalimat “alhamdu lillah” dari segi syara‟ dibuat untuk makna insya‟.

Kalimat terakhir di atas dijelaskan oleh Syaikh Awab dalam Hasyiyah Iqna‟, 77

Bahwa kalimat “alhamdu lillah” dari segi syara‟ dibuat untuk makna insya‟ artinya kalimat itu menurut syara‟ adalah kalam hakekat, jadi lafadh dan maknanya sama yaitu fungsi in sya'‟ sedangkan menurut yang pertama maknanya insya‟ dan lafadhnya kalam khabar.

78 Demikian pula pendapat Ibnu Hajar al-Haytamiy ,

Kalimat itu lafadhnya khabar, maknanya insya‟ karena

76 Al- Iqna’, juz 1 hal. 6 77 Hasyiyah pada Hamisy Iqna’, juz 1, hal.6 78 Ibnu Hajar, Syihabuddin Ahmad al-Haytamiy, Tuhfah al-Muhtaj bi

Syarh al-Minhaj , juz 1 hal. 6 Syarh al-Minhaj , juz 1 hal. 6

Jadi jika seseorang mengucapkan segala puji teruntuk Allah meski lafadhnya kalam khabar, tetapi maknanya: ”Aku memuji dengan segenap pujian dan aku untuk dan menyerah akan isi dan maksud yang terkandung dalam pujian itu.” Inilah yang diartikan fungsi insya‟ dan bukan sekedar pemberitahuan bahwa pujian teruntuk Allah. Demikian pula ucapan la ilaha illallah mempu nyai makna insya‟ baik lafadh maupun makna. Pujian yang lain juga demikian.

79 Imam as-Syarwani menyatakan,

Tentang arti “asyhadu” menurut Syihab al-Asybithiy dalam penjelasannya pada pembukaan kitabnya ialah

“Aku beritahukan demikian itu dengan hatiku dan aku nyatakan dengan li sanku dengan maksud insya'‟pada ketika mengucapkannya. Demikian pula arti dzikir dan puji-pujian lainnya.

Jika ada orang mengucapkan la ilaha illallah, muhammadur rasulullah maknanya ialah aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah serta tunduk dan menyerah penuh akan maksud dan kandungan kalimat tersebut; dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah serta tunduk dan menyerah penuh akan maksud dan kandungan dari kalimat itu. Meskipun tanpa kata asyhadu kalimat itu sudah mempunyai arti kesaksian

79 As-Syarwaniy, Abdul Hamid, Hasyiyah ala at-Tuhfah, juz 1, hal. 24 79 As-Syarwaniy, Abdul Hamid, Hasyiyah ala at-Tuhfah, juz 1, hal. 24

Syarbini Khatib sebelumnya yaitu: ملكتلاب ةداهشلا لوصحل اهلولدمل ناعذلاا عم اهب . Karena itu pula orang yang murtad atau kafir dianggap sah keislamannya dengan

mengucap la ilaha illallah muhammadur rasulullah saja, tanpa menyebut asyhadu.

Jika kemudian diikuti kalimat syaikh abdul qadir wa- liyyullah maka arti dan maksudnya sesuai dengan yang diikuti yaitu “Aku bersaksi bahwa Syaikh Abdul Qadir adalah wali Allah serta tunduk dan menyerah akan mak- sud dan kandungan yang berhubungan dengan ke- waliannya.” Hal ini dapat dikandung arti bahwa ada ke- imanan terhadapnya, yang sebenarnya tidak perlu dan

dapat mengarah kepada kekafiran, 80

Atau kalau orang tersebut mengiktikadkan kewajiban sesuatu yang tidak wajib, maka ia kafir.

Karena itu penambahan kalimat syaikh abdul qadir waliyyullah setelah kalimat la ilaha illallah muhammadur rasulullah haram hukumnya meskipun tanpa kata asy- hadu.