Karamah vs Cerita Aneh

E. Karamah vs Cerita Aneh

Manakib berarti cerita tentang kekeramatan orang besar, aulia. Karena itu akan terdapat cerita aneh di dalam- nya yang di luar kebiasaan dan kemampuan manusia. Ke- ramat atau karamah berarti hal-hal yang luar biasa yang di- perlihatkan oleh Allah pada tangan atau kekuasaan wali-

Nya. 8 Banyak para ulama yang membenarkan keberadaan keramat pada beberapa aulia. Pada beberapa sahabat pun

terdapat keramat dan di antaranya diceritakan dalam hadits sahih.

Karena keramat adalah hal yang di luar kebiasaan, maka sudah tentu hal itu tidak masuk akal, tidak dapat di- tangkap oleh akal manusia. Hal ini harus disadari jika kita mengikuti aliran yang membenarkan bahwa keramat itu ada. Jadi masalah keramat an sich tidaklah menjadi pembahasan bagi kita selama tidak ada hal yang bertentangan dengan syariat. Tetapi kalau menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, maka syariat harus ditegakkan, hukum harus bicara, dan hal yang dianggap keramat harus batal. Karena menyinggung masalah syariat, maka menyinggung pula masalah akal yakni apakah hal yang menyinggung syariat dapat diterima oleh akal atau tidak.

Mengenai hal ini Syaikh Syarafuddin bin Talmasaniy dalam syarahnya terhadap kitab Luma‟ al-Adillah fi Qawaidi Ahlissunnah karya Imam Haramain mengatakan, 9

Bahwa syara‟ hanya bisa kukuh dengan akal. Karena itu mustahil kalau ada syara‟ yang bertentangan dengan akal. Sebab akal ini sebagai saksi dari syara‟. Apabila ada yang demikian maka batal lah syara'‟dan akal keduanya.

Jadi fokus pembahasan bukanlah dzat keramatnya, bukan keramat an sich, tetapi hal-hal yang bertentangan dengan syariat, hal-hal yang dihubungkan dengan kekera- matan seorang wali. Karena itu perlu dipahami isi manakib atau materinya dan praktek upacaranya. Di antara isi ma- nakib adalah:

8 Fatawa Ramliy pada tepi Fatawa Kubra, juz 4, hal. 337 9 Ibid., hal. 272

1. Cerita pintu madrasah Dalam buku manakib disebutkan 10 :

Beliau ra pernah berkata ....”Setiap orang muslim yang melewati pintu madrasahku pasti akan diringankan siksanya oleh Allah nanti hari kiamat.

Kalimat ini menunjukkan begitu keramat Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy sampai seorang yang hanya melewati pintu sekolahnya akan mendapat keringanan siksa. Ini berarti diampuni sebagian dari dosanya. Padahal dalam agama dinyatakan bahwa mengampuni dan menyiksa seseorang adalah wewenang Tuhan semata dan bukan hak dari makhluknya. Dalam al-Quran dinyatakan:

(Tuhan) mengampuni siapa yang dikehendak-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. (QS Ali Imran: 139)

Dan tidak ada yang dapat mengampuni segala dosa kecuali hanya Allah. (QS Ali Imran: 135) Dalam doa Nabi mengucapkan 11 :

Maka ampunilah aku, karena tidak ada yang dapat mengampuni segala dosa kecuali hanya Engkau. (HR Bukhari dari Syaddad bin Aus.)

Sungguh mustahil kalau seorang ulama dan aulia

10 Manaqib Sayyidina Abdil Qadir, hal. 64-65 11 Dalil al-Falihin, juz 4, hal. 737 10 Manaqib Sayyidina Abdil Qadir, hal. 64-65 11 Dalil al-Falihin, juz 4, hal. 737

Dalam al-Quran atau Hadits tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa orang yang melewati pintu masjid Nabi di Madinah akan diampuni atau diringankan siksa- nya meskipun masjid tersebut derajatnya lebih seribu kali dari masjid lainnya, kecuali Masjid al-Haram. Dera-

jat seribu kali itupun kalau orang salat di dalamnya 12 , ti- dak sekedar lewat saja. Adakah madrasah Syaikh Abdul

Qadir al-Jailaniy lebih mulia dari pada Masjid Nabi, atau adakah pemilik madrasah tersebut lebih tinggi de- rajatnya dari pada pemilik Masjid Nabi?

Seorang aulia tidak akan berani mendakwakan diri de- ngan hal-hal atu sifat-sifat yang menjadi hak Allah swt.

Sayid Muhammad Alaydrus mengingatkan, 13

12 Misykat al-Mashabih, hal. 67, HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurayrah ra

13 Sayyid Muhammad Alaydrus, Idlahu Asrar al-Muqarrabin, hal. 5

Hendaklah hamba itu berhati-hati benar agar pandangannya jangan mengarah ke atas dengan menentang sesuatu dari sifat-sifat ketuhanan, yaitu dengan sombong, merasa perkasa, dan merasa lebih tinggi dari orang banyak. Karena tidak ada yang lebih berbahaya bagi orang-orang dari pada berlalai membedakan keadaan dirinya sebagai hamba, sehingga membiarkan dirinya memasuki sifat-sifat ketuhanan. Karena itu seseorang jangan menganggap ringan hal ini yangmerupakan pokok besar atau prinsip, dan inilah jalan yang ditempuh oleh para aulia yang bersih. Oleh sebab itu orang-orang yang cerdas, para aulia, dengan kecerdasannya yang tajam dan adabnya terhadap Tuhan yang indah, mereka sangat kuatir untuk mendekati sesuatu dari sifat-sifat yang hanya tertentu bagi Allah Taala. Ibnu Ibad berkata 14 ,

... dan mengaku sesuatu dari sifat-sifat ketuhanan ada- lah termasuk salah satu maksiat hati yang besar dan termasuk persekutuan seorang hamba terhadap Tuhannya ... Sebagian dari perbuatan paling kotor bagi para arifin ialah keberadaan sesuatu perbuatan menyekutukan Tuhan dalam hati seorang hamba dengan mengaku kepada dirinya sesuatu dari sifat ke- tuhanan, baik dalam iktikad ataupun ucapan, karena yang demikian adalah perbuatan yang menentang dan kesombongannya terhadap Tuhan.

Dengan demikian cerita tentang pintu madrasah Syaikh

14 Ibnu Ibad, Syarah al-Hikam, juz 1 hal. 94

Abdul Qadir al-Jailaniy tidak dapat diterima kebenaran- nya karena bertentangan dengan prinsip ajaran agama, yaitu hanya Allah yang berkuasa untuk mengampuni atau meringankan siksa seorang hamba. Tak dapat diterima oleh akal bahwa seorang wali besar kekasih Allah seperti Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy berani berkata atau berbuat sesuatu yang merupakan wewenang atau sifat ketuhanan karena hal ini

bertentangan dengan syariat dan ajaran para sufi.

2. Cerita peziarah Dalam kitab manakib disebutkan: 15

Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy diberitahu ada seseorang yang berteriak-teriak di dalam kuburnya, lalu beliau datang ke tem pat itu dan berkata, “Orang yang dalam kubur ini dulu pernah berziarah kepadaku. Karena itu ia pasti dikasihi oleh Allah. Setelah itu tidak lagi terdengar teriakan dari dalam kubur.

Cerita ini mengarah kepada salah satu hadits berbu- nyi 16 :

15 Manaqib Sayyidina Abdil Qadir, hal. 7 16 Shahih Bukhariy, juz 1 hal. 458

Dari Nabi saw bahwa beliau suatu ketika melewati dua kubur an. Beliau berkata: “Sebenarnya kedua penghuninya disiksa. Mereka disiksa bukan karena dosa besar. Salah seorang di antaranya tidaka berlindung ketika kencing, sedangkan yang lain suka mengumpat.” Kemudian diambilnya sebatang pelepah basah dan dibelah dua, lalu ditancapkannya pada masing- masing kuburan. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa Tuan berbuat demikian?” Jawab beliau, “Mudah-mudahan diringankan siksa keduanya selagi pelepah itu belum kering.” (HR Bukhari dari Ibnu Abbas ra.)

Nampaknya jauh antara sabda Nabi dalam hadits ini de- ngan cerita dalam kitab manakib. Nabi mengatakan mu-

dah-mudahan ( لعل ) diringankan siksanya, jadi dengan kata

Tuhan, dengan menggunakan adab kesopanan kepada Allah, karena yang berwenang meringankan dan mengampuni dosa hanya Allah. Dalam cerita manakib Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy berkata orang ini karena pernah ziarah

pengharapan

kepada

kepadaku pasti ( دب لا ) diringankan siksanya. Jika dalam hadits dinyatakan selama pelapah belum

kering, jadi setelah kering beliau serahkan kepada Tuhan karena beliau tidak merasa berwenang dan berkuasa. Dalam cerita manakib disebutkan orang dalam kubur tersebut tidak lagi berteriak yang berari tidak disiksa lagi untuk selamanya. Dapatkah dibenarkan oleh akal bahwa seorang aulia yang selalu merendahkan diri kepada Allah dan nabi-Nya berani melakukan tindakan melebihi Rasulullah hanya pernah berziarah kepadanya? Sikap semacam itu bertentangan dengan ayat al-Quran dan ajaran tasawuf seperti disebutkan

Meringankan atau mengampuni siksa adalah sifat Allah dan bukan sifat makhluk.

sebelumnya.

Sayyid Muhammad Alaydrus mengatakan, 17

Karena orang-orang pilihan Tuhan perilakunya selalu menjaga diri atas kedudukannya sebagai hamba, yaitu merasa hina, merasa lemah, sabar, dan penuh ketahanan. Mereka menghindari jika mendekati sesuatu yang menjadi kekhususan Tuhan, yaitu merasa berkuasa, merasa besar, merasa agung dan tinggi. Ini adalah rahasia besar (top secret) dari rahasia para ahli

makrifat.

3. Cerita kendi Dalam buku manakib disebutkan 18 :

Sebagian dari karomahnya, ada tiga orang ulama negeri Jailan berziarah kepada beliau. Mereka masuk ke tempat Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy dan melihat kendinya tidak menghadap ke arah kiblat, sedangkan si pelayan berdiri di mukanya. Para ulama itu saling berpandangan seolah-olah ingkar atas keberadaan

17 Sayyid Muhammad Alaydrus, op.cit., hal. 24 18 Manaqib Sayyidina Abdil Qadir, hal. 46-47 17 Sayyid Muhammad Alaydrus, op.cit., hal. 24 18 Manaqib Sayyidina Abdil Qadir, hal. 46-47

Ketajaman pandangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy sebagai suatu karomah tidak diingkari. Namun perlu dipertanyakan kebenaran peristiwa tersebut. Jika benar, apa seorang wali, orang suci kekasih tuhan sampai hati berbuat kejam membunuh pelayannya dengan pan- dangan mautnya? Pembunuhan tersebut adalah perbu- atan yang disengaja sebagai hukuman atas pelayan, sebab setelah melihat pelayan jatuh mati Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy tidak terkejut untuk segera bangkit me- nolongnya sebagai tanda menyesal. Bahkan beliau alihkan pandangannya kepada kendi sehingga berputar menghadap ke arah kiblat. Perbuatan kejahatan tersebut apa tidak ada hukuman dari pengadilan ketika itu?

Dalam agama seorang muslim dilarang melaknat sesa- ma muslim lainnya. 19

Melaknat orang mukmin adalah seperti membunuhnya. (HR Bukhari Muslim dari Tsabit bin al-Dlohaq ra.)

Jangankan melaknat dan membunuh, menghina sesama muslim juga diharamkan oleh Nabi saw

sebagaimana sabdanya, 20

19 Shahih Bukhari , juz 5 hal. 2264 dan Shahih Muslim, juz 1 hal. 104 20 Shahih Muslim, juz 4 hal. 1986

Cukuplah merupakan perbuatan kejahatan bagi seseorang kaau ia melakukan ejekan kepada kawannya yang muslim. Haramlah tiap muslim kepada sesama muslim darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (HR Muslim dari Abu Hurayrah ra.)

Melaknat atau menghina dan tidak membawa kematian jiwa diharamkan, apalagi membunuh dengan pandang- an maut. Para aulia Allah yang seluruh hidupnya dicu- rahkan untuk menghambakan diri kepada Allah tidak akan melakukan pembunuhan terhadap sesama makh- luk. Bahkan mereka akan selalu mengampuni dan ber- laku kasih sayang terhadap orang yang menyakiti dan menghinanya. Mereka selalu mencontoh akhlak Rasul saw dalam segala tindak tanduknya. Akhlak Rasul saw misalnya:

a. Ketika Nabi saw dilempari batu hingga bercucuran darah di muka dan badannya, datanglah malaikat untuk minta ijin membalasnya, namun beliau bersab-

da, 21

Aku berharap agar dari keturunan mereka dilahirkan oleh Allah orang-orang yang mau menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu

kepada-Nya. (HR Bukhari Muslim dari Aisyah ra)

b. Ketika Da‟tsur, pemimpin pasukan musuh, berke- sempatan hendak membunuh Nabi saw saat sendiri- an, ia menyerah gemetar dan jatuhlah pedangnya berkat kebesaran jiwa Nabi. Penyerahan diterima dan Nabi tidak menyakiti apalagi membunuhnya. Ia

dilepas dengan baik bersama senjatanya. 22

c. Ketika Nabi saw sedang duduk di masjid bersama

21 Shahih al-Bukhari, juz 3 hal. 1180 dan Shahih Muslim, juz 3 hal. 1420 22 HR Bukhari dan Muslim dari Jabir ra 21 Shahih al-Bukhari, juz 3 hal. 1180 dan Shahih Muslim, juz 3 hal. 1420 22 HR Bukhari dan Muslim dari Jabir ra

tidak untuk mempersukar. 23

mempermudah

dan

Akhlak Nabi saw sangat lembut terhadap orang yang memusuhi, apalagi terhadap sesama sahabatnya. Masih banyak hadits yang menceritakan kelembutan hati dan kasih sayang Nabi terhadap sesama orang. Jadi jauh apa yang diceritakan tentang pandangan maut Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy dengan sikap yang dicontohkan oleh Nabi saw. Padahal beliau adalah raja dari segala aulia dan ssahabatg yang menguasai raja dari segala yang keramat, yaitu mukjizat.

Andaikan masalah kendi yang tidak menghadap kiblat dan pelayan yang berani berdiri di mukanya benar terja- di, faktual, mestinya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy akan mengarahkan pandangan kepada kendi saja untuk memutarnya menghadap kiblat. Sedangkan terhadap pelayan yang lengah beliau akan bersikap menurut tun- tunan al-Quran,

Tetapi orang

dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian termasuk hal-hal yang diutamakan. (QS as-Syura: 43)

yang

sabar

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan

23 HR Bukhari dari Abu Hurayrah ra 23 HR Bukhari dari Abu Hurayrah ra

Imam Abdul Wahab as- Sya‟raniy, seorang aulia ahli ka- syaf menggariskan 24 ,

Tak ada seorang walipun yang mengambil ilmu kecuali dari Syari‟ (Allah, pencipta syariat). Dan haram baginya meletakkan kakinya ke dalam sesuatu hal yang ia tidak melihat di dalamnya kaki Nabinya yang ada di mukanya. (Haram bagi seorang wali melakukan sesuatu hal yang tidak ada sumbernya dari sunnah Nabi.)

Jadi cerita di atas yang bermaksud memuji Syaikh Ab- dul Qadir al-Jailaniy demikian tinggi kesimpulannya adalah sebaliknya, menghina dan menjerumuskan na- ma aulia besar ke dalam kungkungan hawa nafsu. Mus- tahil jika kekasih Allah terjerumus ke dalam belenggu hawa nafsu, apalagi melakukan pembunuhan terhadap pelayannya dengan tanpa menyesal. Hal ini juga berten tangan dengan ajaran Ibnu Atho‟ sebagaimana tersebut dalam Syarah Hikam, 25

Sebagian dari tanda-tanda hati yang mati ialah tidak ada rasa sedih atas perbuatan baik yang engkau tidak sempat mengerjakannya dan tidak menyesali atas perbuatan dosa yang telah engkau kerjakan. Pensyarah Hikam, Ibnu Ibad memperjelas 26 ,

24 Abdul Wahab as- Sya’roniy, Mizan, juz 1 hal. 20 25 Ibnu Ibad, op.cit., hal. 42 26 Ibid.

Hati kalau hidup dengan iman akan merasa sedih atas kebaikan-kebaikan yang tertinggal (tidak dikerjakan) dan menyesal atas dosa yang telah dikerjakannya.

4. Penentuan tempat bagi Allah Dalam satu munajat/dialog dengan Allah swt, Syaikh

Abdul Qadir al-Jailaniy berkata 27 ,

Engkau Tuhan, hanya satu di langit dan saya hanya satu di bumi.

Arti sebenarnya dari kalimat tersebut hanya Syaikh Ab- dul Qadir al-Jailaniy yang mengetahui. Namun kata yang menetapkan arah atau tempat bagi Allah swt ada- lah bertentangan dengan fatwa para ulama, khususnya dengan ajaran madzhab ahlus sunnah wal jamaah: Sya- fii, Hanafi, Maliki, dan Hanbali.

Imam Ramli pernah ditanya tentang seseorang yang berkata bahwa Tuhan berada di arah atas dan Dia ber- tempat (istiwa‟) di atas Arasy dengan cara yang patut bagi keagungan Tuhan tanpa mengetahui bagaimana caranya. Orang tersebut menggunakan dalil al-Quran:

Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy. (QS Thaha: 5)

Ia juga menggunakan kalimat yang dipakai oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy dalam kitab al-Hilyah yang me- ngatakan bahwa Tuhan ada di arah atas. Bagaimana pendapat empat madzhab? Imam Ramli menyatakan

27 Manaqib Sayyidina Abdil Qadir, hal. 67 27 Manaqib Sayyidina Abdil Qadir, hal. 67

Alhamdulillah, para ulama madzhab empat dan lainnya, selain yang akan saya sebutkan nanti, mengatakan bahwa pernyataan Tuhan ada di arah atas tidak benar sebagaimana telah ditetapkan dalam kitab-kitab ilmu kalam.

Selanjutnya secara panjang lebar Imam Ramli menge- mukakan fatwa ulama mengenai ketidakbenaran peng-

ambilan tempat/arah bagi Tuhan, misalnya: 29

Imam Malik ditanya tentang arti istiwa, beliau menjawab, “Istiwa yang Ia khabarkan tidak seperti yang terbayang da lam hati manusia.” Imam Syafii ditanya tentang istiwa, ja wabnya, “Aku beriman tanpa menyerupakan dan percaya tanpa mengumpamakan dan aku menyangka diriku sudah mendapatkan dan

kucegah benar-benar untuk memasuki secara mendalam ke masalah itu.” Imam Abu Hanifah berkata,

“Barang siapa mengatakan „aku tidak tahu apakah Tuhan di langit atau di bumi,‟ maka kafirlah orang itu.

28 Fatawa Ramliy, op.cit., juz 4 hal. 265 29 Ibid., hal.266-267

Karena perkataan demikian menimbulkan sangkaan bahwa Tuhan mengambil tempat sehingga orang itu menyerupakan Tuhan. Imam Malik ditanya tentang istiwa, beliau menjawab, “Istiwa artinya sudah maklum dan tentang caranya kita tidak tahu. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakan tentang istiwa adalah bid‟ah/berdosa. Imam Ramli mengakhiri dengan fatwa 30 ,

Dengan ini cukup kiranya penjelasan tentang iktikad ke- pada Allah bagi orang yang mendapat taufik dari-Nya. Dapat dimaklumi bahwa apa yang dikatakan seperti di atas bahwa Allah berada di arah atas tidak dapat dibenarkan. Karena itu kalau orang mendapat taufik dari Allah dan mau kembali kepada iktikad yang benar, maka memang demikianlah sebenarnya. Jika tidak, dan bila perkaranya sampai diajukan ke pengadilan serta terbukti apa yang dikatakan, hakim harus meng- hukumnya dengan hukuman yang layak bagi perbuatannya yang dapat mencegahnya dan orang- orang semacamnya dari melakukan perbuatan buruk terutama kalau sampai dikhawa tirkan perbuatan bid‟ah tersebut meluas. Allah Maha Tahu.

Dari uraian fatwa di atas dapat diketahui bahwa pernya- taan anta wahidun f is sama‟ bertentangan dengan ikti- kad madzhab Syafii, Hanbali, Maliki, dan Hanafi.

30 Ibid., hal. 284

Perkataan Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang dibahas adalah perkataan seorang aulia yang sukar dimengerti oleh orang awam. Perkataan semacam itu mempunyai pengertian hakekat yang dalam, pengertian yang tersi- rat, bukan yang tersurat. Perkataan semisal diucapkan ketika dalam keadaan tidak sadar akan kemanusiaan- nya karena sedang tenggelam dalam sifat keabadian Ilahi. Masalah hakekat adalah masalah orang tertentu dan tidak dapat dinilai dengan hukum syariat, hukum untuk orang awam. Jika demikian yang dimaksud, maka hal ini dapat ditangkal sebagai berikut:

a. Jika perkataan aulia yang aneh itu hanya bagi orang tertentu yang bisa mengerti, mengapa rahasia dibe- berkan di muka umum dengan dibaca dalam upaca- ra bersama. Jadi seharusnya perkataan yang aneh- aneh itu hanya di antara orang khusus saja agar ti- dak menimbulkan salah pengertian.

b. Hakekat dan syariat harus berjalan bersama dan ha- kekat tidak boleh bertentangan dengan syariat. 31

Maksudnya bahwa tarekat dan hakekat keduanya terhenti pada syariat. Karena itu keduanya tidak dapat tegak dan berhasil kecuali dengan keduanya. Imam Ramli menyatakan 32 ,

Ibnu Abdil Barr berkata dalam kitab Tamhid bahwa para ulama telah sepakat hukum di dunia didasarkan atas kenyataan pada lahirnya sedangkan urusan batin diserahkan kepada Allah.

31 Kifayat al- Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’, hal. 12 32 Fatawa Ramliy, op.cit., hal. 356

Berdasarkan fatwa ini bagaimanapun yang tersirat dalam perkataan seseorang, syariat hanya menghu- kumkan pada lahirnya. Menurut kaidah usul fiqh:

Yang asal dalam perkataan ialah kenyataannya (lahirnya).

Karena itu kalau ada seseorang bersumpah tidak akan memukul isterinya, tetapi kemudian ia menyu- ruh orang lain melakukan pemukulan kepada isteri- nya maka suami tersebut tidak melanggar sumpah- nya; sebab ia tidak memukul, dan kenyataannya (pa-

da lahirnya) yang memukul adalah orang lain. 33 Karena itu siapapun yang mengatakan dan apapun ke-

dudukannya, jika bertentangan dengan syariat adalah salah dan harus ditindak oleh syariat. Bila yang menga- takan adalah orang yang tidak sadar tentu saja tidak da- pat dihukum. Namun untuk apa ucapan orang yang tak sadar dipamerkan di muka orang banyak, bahkan diba-

ca semacam dzikir. Dapat dimaklumi bahwa ucapan orang sufi yang lahir-

nya bertentangan dengan syara‟ bahkan seolah-olah menimbulkan kekufuran adalah tidak demikian yang di- maksud oleh mereka. Meski nampak bertentangan na- mun mempunyai arti yang benar bagi pengertian para

aulia. 34 Namun hal ini diperingatkan oleh Syaikh Zai- nuddin al-Malibariy 35 ,

Benar, namun bagi mereka yang tidak mengerti hakekat

33 Al-Asybah wa an-Nadhair, hal. 69-70 34 I’anah al-Thalibin, juz 4 hal. 134