Upacara Manakib

D. Upacara Manakib

Upacara rutin diadakan setiap tanggal 11 bulan Is- lam, yaitu tanggal bertepatan Syaikh Abdul Qadir al-Jaila- niy wafat. Di beberapa tempat di Jawa orang mengadakan pembacaan manakib pada umumnya dengan maksud du- niawi atau pelarisan misal:

1. melepas nadzar berhubung sesuatu maksudnya telah tercapai (tujuan duniawi).

2. agar dagangan atau usahanya banyak laku atau mu- dah mendapat rizki (pelarisan: Jawa).

3. menolak atau menghilangkan gangguan makhluk halus, sihir, dan sebagainya di dalam rumah atau la- innya.

Praktek upacara selalu dimulai dengan membaca al-

Fatihah untuk Nabi saw, para sahabat, para aulia, khusus- nya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy. Pemimpin upacara ke- mudian membaca kasidah atau syair berlagu yang mak- sudnya memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih un- tuk menolong segenap kesulitan dan kesusahan para mus- limin. Bacaan bait demi bait tersebut diikuti oleh para hadi- rin sampai bait terakhir. Setelah itu baru dibaca manakib Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy secara bergantian. Ada pula yang dibaca sendiri oleh pemimpin upacara dengan irama naik turun seperti membaca al-Quran, namun ada juga de- ngan irama polos, suara biasa.

Setiap disebut nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy dalam bacaan itu diadakan pembacaan al-Fatihah sekali atau tiga kali, terkadang lebih menurut kesukaan tiap pe- mimpinnya. Ketika bacaan sampai pada cerita tulang belu- lang ayam yang dihidupkan kembali oleh Syaikh Abdul Qa- dir al-Jailaniy dan berkokok sambil membaca La ilaha illa- llah, Muhammadur Rasulullah, Syaikh Abdul Qadir Waliy- yullah, maka hadirin menirukan membaca kalimat tersebut tiga kali atau lebih. Arti bacaan tersebut adalah “Tiada Tu- han melainkan Allah, Muhammad Pesuruh Allah, Syaikh Abdul Qadir Wali Allah.” Demikian pembacaan diteruskan sampai selesai.

Akhirnya sampai pada bacaan istighotsah yang isi- nya mengundang para arwah suci dengan bermacam-ma- cam gelar kewalian agar mereka memberikan bantuan da- lam permohonan kepada Allah swt. Doa diucapkan dalam bahasa Arab dengan kata-kata yang sukar dimengerti oleh orang awam.

Pada beberapa upacara selama pembacaan berlangsung, di tengah hadirin disediakan nasi masakan bumbu kebuli dengan lauk ayam utuh, tidak atau tidak boleh dipotong-potong. Ayam tersebut ditempatkan dalam sebuah periuk besar dari tanah liat yang masih baru, tertutup kain putih bersih. Ada juga upacara yang menyediakan satu atau dua buah bejana berisi air bersih bercampur bunga diletakkan di tengah hadirin.

Ayam dipotong-potong selesai upacara dan dibagi- kan kepada hadirin bersama dengan nasinya. Beberapa yang hadir mengambil airnya untuk diminum. Setelah itu upacara selesai.

Ada kepercayaan sebagian orang yang hendak me- laksanakan upacara manakib, yaitu:

1. kaum wanita yang memasak makanan untuk upa- cara manakib harus suci dari haid atau menstruasi,

2. alat-alat masak khusus untuk manakib tidak hendak digunakan untuk masak keperluan lainnya,

3. periuk dari tanah (kemaron, pengaron: Jawa) dalam keadaan masih baru, dan

4. hadirin yang mengikuti upacara manakib dalam ke- adaan berwudlu, tidak punya hadats.

Peserta upacara manakib pada umumnya memiliki kepercayaan bahwa menghadiri upacara dan membaca manakib akan mendapat pahala. Mereka menganggap upacara manakib sama dengan majelis dzikir atau majelis tahlil dalam memperoleh pahala.

Mungkin orang mengadakan pembacaan manakib ingin tafa‟ul, mendapatkan kebaikan dari Syaikh Abdul Qa- dir al-Jailaniy agar yang sedang menderita, dagangannya sedang sepi, atau nasib hidupnya buruk menjadi baik, da- gangannya laris dan sebagainya. Ibaratnya ayam yang tinggal tulang belulang pulih kembali menjadi hidup. Ini pula sebabnya dalam upacara manakib selalu dihidangkan lauk berupa ayam yang masih utuh.