Pelaksanaan Manakib

I. Pelaksanaan Manakib

Upacara pelaksanaan manakib biasanya berbentuk majlis dzikir. Dalam majlis tersebut dibacakan sejarah salah seorang aulia inklusif karomahnya sebagai manifestasi rasa kecintaan terhadap seseorang tokoh yang dicintai oleh Allah swt. Sejarah tersebut berisi aqwal, ahwal, dan af‟al. Manakib Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy berisi juga ketiga hal dimaksud yang mengandung iktibar tentang perjalanan seorang wali yang berhasil dijadikan sebagai orang yang dikasihi dan dicintai oleh Allah berkat ketaatan, istiqamah, dan riyadlahnya.

Pengundang atau penyelenggara majlis manakib biasanya memberikan sodaqah atau hidangan yang terdiri dari daging ayam. Bahan dari daging ayam ini walaupun dianjurkan, tetapi tidak berlaku mutlak dan dapat diganti dengan bahan yang lain. Dua hal pokok yang harus diper- hatikan dalam mengadakan majlis manakib, sebagaimana dalam majlis walimah yang lain, adalah (a)tidak ada hal-hal yang munkarat, dan (b)hidangannya bukan dari barang yang haram, baik dibeli dengan uang hasil pekerjaan haram atau cara penyembelihan tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Keharusan berwudlu bagi para pemasak hidangan- nya bukanlah merupakan yang prinsip. Akan tetapi bila mereka berwudlu juga, itupun tidak dilarang oleh hukum agama Islam. Sebab dalam ilmu tasawuf orang dianjurkan selalu dalam keadaan berwudlu. Artinya bila sewaktu-wak- tu batal dianjurkan segera berwudlu lagi. Sampai dalam keadaan tidurpun dianjurkan untuk berwudlu dahulu jangan sampai berhadas. Kalau seseorang dalam keadaan junub dan enggan untuk mandi jinabat karena terlalu dingin misalnya, maka bolehlah ia berwudlu saja dahulu. Sesudah bangun dari tidur, barulah kewajiban mandi dilakukan. Demikianlah tuntunan Nabi Besar Muhammad saw.

Dari segi isi, pembacaan manakib dapat disamakan dengan pembacaan Maulid Rasul. Hanya saja tingkatannya lebih rendah sebab kitab maulid berisi sejarah Nabi saw, Dari segi isi, pembacaan manakib dapat disamakan dengan pembacaan Maulid Rasul. Hanya saja tingkatannya lebih rendah sebab kitab maulid berisi sejarah Nabi saw,

Bacaan manakib bukanlah seperti hizib atau wirid yang harus dilakukan pada waktu tertentu dalam sehari semalam. Oleh karena itu manakib Syaikh Abdul Qadir al- Jailaniy tidak sama dengan hizbul awtad dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy atau hizbun nashr dari Syaikh Abul Hasan asy-Syadzaliy ataupun ratibul haddad dari Imam al-Quthb al-Habib Abdullah ibn Alwi al-Haddad. Sebab hizib-hizib tersebut biasanya dibaca setiap hari dan malam. Sedangkan manakib ini mungkin dibaca kalau ada hajat yang penting atau hanya setahun sekali, yaitu pada tanggal

11 Rabiul Akhir; atau mungkin dibaca setiap tanggal 11 bulan Qamariyah khususnya bagi Thariqah Qadiriyah atau bagi yang berkepentingan untuk mengadakan pembacaan manakib. Sedangkan bagi ahli Thariqah Naqsyabandiyah saja, tanpa sebutan Qadiriyah, nampaknya tidak ada hubungannya dengan manakib Syaikh Abdul Qadir al-Jaila- niy. Apalagi bagi Thariqah Syadzaliyah, Khalwatiyah, dan Alawiyah. Sebab bagi tiap thariqah tersebut mungkin ada manakib dari syekh thariqahnya sendiri.

Dari uraian di atas jelas dipahami bahwa tawasul adalah suatu cara atau bentuk permohonan kepada Tuhan agar melepaskan kesusahan atau hajat seseorang secara indirect melalui para aulia dan anbiya. Dalam hukum Islam ada dua pendapat tentang tawasul, yaitu mujma‟ alayh dan mukhtalaf alayh.

Pendapat mujma’ alayh

Bila seseorang bertawasul kepada para anbiya dan aulia yang masih hidup agar mereka memohonkan kepada Tuhan untuk dirinya atau mengabulkan permohonannya, Bila seseorang bertawasul kepada para anbiya dan aulia yang masih hidup agar mereka memohonkan kepada Tuhan untuk dirinya atau mengabulkan permohonannya,

Jika seseorang minta tolong kepada Nabi Muham- mad saw pribadi tanpa memohon kepada Allah, maka hal demikian tidak diperkenankan. Sebab Rasulullah saw telah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam at-Thabraniy dari

Ubadah ibn as-Shamit sebagai berikut, 161

Sesungguhnya pada zaman Nabi ada seorang munafiq yang menyakiti orang-orang mukmin. Salah seorang di antara mere ka berkata, “Mari kita pergi kepada Nabi un- tuk minta to long terhadap orang munafik ini.” Kemudian Nabi saw men jawab, “Sesungguhnya permintaan tolong itu bukanlah kepadaku, tetapi permintaan tolong itu ada- lah kepada Allah."

Hal ini dikhawatirkan akan mengangkat Nabi Muhammad saw menjadi Tuhan yang berkuasa menolong dan mence- lakakan, seperti yang dilakukan oleh umat Kristen terhadap Nabi Isa as. Sehubungan dengan ini Nabi Muhammad saw memperingatkan dalam hadits riwayat Imam Bukhariy dari

Umar ra, 162

161 Muhammad ibn Abdul Wahab, Kitab at-Tawhid, Damaskus, al-Ihsan, 1966, hal 39 dan al-Ghaniyyah ‘an al-Kalam wa Ahlih, juz 1 hal. 32 162 Ibid., hal. 47 dan Shahih al-Bukhariy, juz 3 hal. 1271

Janganlah kamu sekalian memujaku sebagaimana kaum Nasrani memuja putra Maryam. Sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba Tuhan. Maka katakan olehmu, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Jadi mengajukan permintaan pertolongan, yang di- sebut dengan istighotsah, harus mutlak tertuju kepada Allah, baik langsung maupun tidak. Asal yang dijadikan wa- silah para anbiya, aulia, dan ulama yang masih hidup, maka tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama. Bah- kan dalam hal yang riil, tidak bersifat maknawiyah, Syekh

Muhammad ibn Abdul Wahab berkata sebagai berikut, 163

Istighatsah kepada selain Allah diperbolehkan di dalam hal yang nyata, seperti pertempuran, mengejar musuh, mengusir

mengusir pencuri, memadamkan kebakaran, dan yang serupa dengan itu; dengan syarat orang yang dimintai pertolongan masih hidup dan mampu untuk memberikan pertolongan secara riil atau nyata.

binatang

buas,

Contoh, ada seorang muslim sedang tenggelam di lautan. Ia boleh beristighatsah kepada selain Allah, misalnya kepa-

da orang kafir. Setelah ternyata ia ditolong oleh si “kafir” tersebut, apakah ia yakin bahwa yang bisa menolong ada- lah orang kafir? Jika ia beriktikad demikian, maka kufurlah ia meskipun nyatanya ia tidak akan selamat tanpa orang kafir tersebut. Dalam hal ini Allahlah yang menyelamatkan- nya dengan wasithah orang kafir tersebut, sedangkan orang tadi pada hake katnya berwasilah dengan si “kafir” untuk mendapatkan pertolongan Tuhan dari bahaya teng- gelam. Iktikad seperi inilah yang benar menurut ajaran Is-

163 Ibid., hal. 37 163 Ibid., hal. 37

Pendapat mukhtalaf alayh

Masalah yang diperselisihkan adalah: Dapatkah se- seorang bertawasul kepada para nabi dan wali yang telah wafat di dunia ini? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu pendapat yang tidak memperbolehkan bertawasul kepada orang yang telah mati, dan pendapat yang memperboleh- kan.

Golongan yang mengatakan tidak boleh mengemu- kakan beberapa alasan, yaitu:

1. Orang yang mati sudah habis amalnya sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Hurayrah ra, 164

Jika seseorang mati, maka putuslah amalnya kecuali dari tiga hal: dari sedekah jariyah, ilmu yang diman- faatkan, atau anak saleh yang mendoakannya.

Bagi yang mati, jangankan menolong orang yang hi- dup, sedangkan menolong dirinya sendiri saja sudah berat.

2. Ada kesan bahwa bertawasul dengan orang yang mati sama dengan menyembah atau memuja kubur- an.

3. Akan memberi kedudukan kepada wali dan nabi se- bagai sekutu Tuhan yang akan menjurus kepada perbuatan syirik. Sebab perbuatan ini disamakan de- ngan perbuatan ibadatu mawta, beribadat kepada

164 Al-Imam al-Baghawiy al- Husayn ibn Mas’ud asy-Syafiiy, Mashabih as-Sunnah , juz 1, Mesir, Muhammad Ali Shabih, t.t., hal. 20 164 Al-Imam al-Baghawiy al- Husayn ibn Mas’ud asy-Syafiiy, Mashabih as-Sunnah , juz 1, Mesir, Muhammad Ali Shabih, t.t., hal. 20

... dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat- dekatnya.” ...

Golongan yang membolehkan bertawasul kepada orang yang sudah mati berpendapat bahwa memang orang yang telah mati tidak dapat beramal lagi. Tetapi hal ini dengan pengertian bahwa ia tidak dapat melaksanakan amal-amal taklifiyah. Orang-orang yang mati itu masih hidup di alam arwah atau alam barzah. Mereka mengalami kehidupan, walaupun tidak sama dengan kehidupan di dunia secara jasmaniah. Oleh karena itu mereka masih dapat diajak berdialog walaupun hanya dalam rukyah atau mimpi misalnya. Beberapa hadits Nabi menegaskan dalam persoalan ini, antara lain:

1. Hadits yang menganjurkan orang Islam untuk mem- beri salam bila memasuki kuburan kaum muslimin

berupa ucapan salam, 166

Semoga keselamatan tetap padamu wahai penghuni rumah orang-orang mukmin dan muslim. Semoga Allah memberi rahmat kepada orang-orang yang telah mendahului kita dan yang akan datang. Sesungguhnya kita, kalau Tuhan menghendaki, akan berjumpa denganmu.

165 Al-Quran, op.cit., hal. 458 166 Musthafa Abu Yusuf al-Hamamiy, op.cit., hal. 85

Apabila mereka dianggap tidak hidup, maka perbu- atan salam ini percuma sebab sama dengan memberi salam kepada batu nisan dan bangkai.

2. ad-Daruquthniy menceritakan hadits al-qalib ( ثٌدح بٌلملا ) dalam Sunannya, yaitu setelah tiga hari se- lesai Perang Badar, Rasulullah saw berdialog de-

ngan para pahlawan Quraisy yang telah gugur di medan perang Badar dengan ulasan sebagai ber-

ikut, 167

Pada hari ketiga setelah penguburan para jenazah, datanglah Nabi saw ke tempat penguburan. Waktu itu adalah malam hari sehingga Nabi saw berdiri di pinggir sumur (tempat mengubur orang-orang kafir). Kemudian Nabi saw mulai memanggil nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka, katanya, “Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan, adakah menggembirakan kamu bahwa kamu taat

167 Muhammad Musthafa Abul Ula, al-Busyra bi al-Jihad wa Ghazwati Badr al-Kubra, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabiy, 1953, hal. 179 167 Muhammad Musthafa Abul Ula, al-Busyra bi al-Jihad wa Ghazwati Badr al-Kubra, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabiy, 1953, hal. 179

3. Ibn Saad dan al-Bazzar dengan sanad shahih me- riwayatkan hadits dari Rasul saw, 168

Hidupku adalah baik untukmu. Kamu semua dapat bicara dan kamu diberi pembicaraan (artinya kamu dapat membicarakan masalah-masalah sedangkan hukum-hukumnya diterangkan kepadamu). Apabila aku mati, maka kewafatanku itu lebih baik bagimu. Amal-amalmu akan diajukan kepadaku. Jika kulihat baik, aku dapat memuji Allah. Dan jika kulihat jelek aku dapat memintakan ampun untukmu.

168 Musthafa Abu Yusuf al-Hamamiy, op.cit., hal. 5

4. Imam at-Thabraniy, an-Nasaiy, Ibn Hibban, Asakir, Ibn Huzaymah, dan Muslim telah meriwayatkan ha-

dits 169

dari Ibn Abbas,

Pada malam aku diisrakkan, aku melewati Nabi Musa di bukit Katsib Ahmar sedang berdiri melakukan salat di kuburnya.

5. Imam Ahmad meriwayatkan kata-kata Aisyah dalam

hadits shahih menurut syarat Bukhariy Muslim dari Urwah ra, 170

Saya kalau masuk ke tempat makam Rasulullah saw dan ayahku (Abu Bakar) sungguh kutanggalkan pa- kaianku, s eraya kukatakan, “Ia adalah suamiku dan ayah ku.” Tetapi ketika Umar dimakamkan di samping mereka, demi Allah, aku tak pernah masuk ke tempat itu kecuali auratku tertutup karena malu kepada Umar.

Walaupun Umar ra telah wafat dan dimakamkan te- tapi dari perkataan Aisyah tersebut jelas menunjuk- kan seolah-olah Umar, Nabi, dan ayahnya dalam ke- adaan hidup.

169 Ibid., hal. 7 170 Ibid. dan al-Mustadrak, juz 3 hal. 63