Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdangangan

68 “ setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana dendan paling sedikit Rp. 120.000.000,00 seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 enam ratus juta rupiah “. Kemudian juga dalam Pasal 6 juga menyebutkan bahwa : “ setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana penjara singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana dendan paling sedikit Rp. 120.000.000,00 seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 enam ratus juta rupiah “. Serta apabila seorang penyelenggara terlibat kedalam tindak pidana perdagangan orang maka akan diberikan sanksi tambahan yang berat seperti yang tertulis dalam pasal 8 di dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Human Trafficking, yang menyebutkan bahwa : Angka 1 yaitu setiap penyelengara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 13 sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6; Angka 2 yaitu selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. Angka 3 yaitu pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

8. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdangangan

Orang Human Trafficking Perempuan dan Anak Universitas Sumatera Utara 69 Adapun hal – hal yang penting dalam Peraturan daerah Nomor 6 Tahun 2004, yaitu : a. Pasal 3 yaitu bertujuan untuk pencegahan, rehabilitasi dan reintegrasi perempuan dan anak korban perdagangan trafficking . b. Pasal 4 yaitu peremuan yang akan bekerja di luar wilayah desakelurahan wajib memiliki Surat Izin Bekerja Perempuan SIBP yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Lurah dan di administrasikan oleh Camat setempat. c. Pasal 11 yaitu perlu mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan pencegahan perlu dibentuk gugus tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Trafficking Perempuan dan Anak RAN P3A. d. Pasal 17 yaitu masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas – luasnya untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan penghapusan perdagangan trafficking perempuan dan anak. Pasal 28 yaitu sanksi pidana, setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi, dan membantu secara langsung maupun tidak langsung terjadinya perdagangan perempuan dan anak dengan tujuan melakukan eksploitasi baik dengan atau persetujuan pelacuran, kerja atau pelayanan,perbudakan, atau praktik serupa dengan perbudakan, pemindahan atau transpalantasi organ tubuh, atau segala tindakan yang melibatkan pemerasan dan pemanfaatan, seksual, tenaga dan kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan cara sewenang – wenang untuk mendapatkan keuntungan baik material maupu non material dihukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan berlaku. Universitas Sumatera Utara 70 BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG HUMAN TRAFFICKING Tindak pidana perdagangan orang adalah salah satu jenis dari tindakanperbuatan yang dinamakan kejahatan, dan kejahatan dalam istilah yuridis disebut tindak pidana. Menurut Saprinah Sadli kejahatan merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dalam masyarakat, dan dalam realita tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Perilaku yang menyimpang ini, merupakan ancaman terhadap norma – norma sosial yang mendasari kehidupaketeraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan sosial; dan merupakan ancaman rill atau potensial bagi ketertiban. Kejahatan merupakan masalah dalam kehidupan masyarakat, karenanya kejahatan selain berhubungan dengan kemanusiaan, juga berhubungan dengan ketertiban sosial masyarakat. Dalam realita, tidak ada masalah sosial yang terlepas dari kejahatan. Sebagai masalah sosial, kejahatan bukan hanya ancaman bagi masyarakat tertentu saja, tetapi menjadi masalah yang harus dihadapi oleh seluruh masyarakat, tanpa terbatas oleh tempat dan waktu. 85 Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana merupakan cara yang paling tua, sama tuanya dengan peradaban manusia. 86 Penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakanpolitik hukum yang secara keseluruhan merupakan politik kriminal atau sosial defence planning , yang merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. 85 Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta : Bulan Bintang, 1976, Hal 56. 86 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1984, Hal 149. Universitas Sumatera Utara 71 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat“. 87 Salah satu bentuk kejahatan yang dilakukan melintasi batas dan dalam wilayah negara, adalah kejahatan perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan orang sudah menjadi agenda dalam penegakan hukum dan menjadi pusat perhatian dunia internasional, karena dampaknya dapat menganggu kesejahteraan sosial. Mengingat ruang lingkup dan dimensinya sudah meluas, maka kegiatan tindak tidana perdagangan Orang dapat dimasukkan sebagai organized crime kejahatan teroganisasi, white collar crime kejahatan kerah putih, corporate crime kejahatan korporasi, cyber crime kejahatan dunia maya, dan bahkan transnational crime kejahatan trasnasional. Berbagai upaya untuk melakukan pencegahan kejahatan perdagangan orang sudah dilakukan dengan berbagai cara namun hasilnya dianggap belum memuaskan, bahkan upaya dengan menggunakan sarana hukum juga masih belum menujukkan hasil yang signifikan. Penggunaan upaya hukum pidana sebagai ultimatum remedium, dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, termasuk bidang kebijakan penegakan hukum, sebagai upaya yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 88 Usaha – usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan tidak hanya cukup dengan menggunakan sarana hukum pidana penal, tetapi dapat juga menggunakan sarana – sarana sarana diluar hukum pidana non penal. Sarana non penal adalah untuk menentukan : 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar. 89 87 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru , Jakarta : Kencana, 2008, Hal 2. 88 Henny, Op.Cit., Hal 275. 89 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan....Op.Cit., Hal 159 – 160. Universitas Sumatera Utara 72 Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor – faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor – faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah – masalah atau kondisi – kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh – suburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya – upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Menurut Sudarto, penerapan non penal yang berorientasi pada kebijakan sosial merupakan kriminalisasi dalam hukum pidana, dengan mempertimbangkan pada : 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang secara materiil dan spirituiil berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan hal tersebut, maka penggunaan hukum pidana penal bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana penal harus merupakan ‘ perbuatan yang tidak dikehendaki ‘, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materill danatau spirituill bagi warga masyarakat. 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan prinsip ; biaya dan hasil cost benefit principle. 4. Penggunaan hukum pidana penal harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan – badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas overbelasting. 90 Sedangkan usaha non penal dapat meliputi bidang yang sangat luas meliputi seluruh kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha – usaha non penal ditujukan untuk memperbaiki kondisi – kondisi sosial tertentu, yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian, dari sudut politik hukum pidanakebijakan hukum pidana mempunyai kedudukan yang strategis bagi usaha penanggulangan kejahatan, yaitu dengan cara mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan dalam suatu sistem hukum yang teratur dan terpadu. 91 90 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana.......Op. Cit., Hal 44 – 48. 91 Ibid., hal 159. Universitas Sumatera Utara 73 Selain sarana penal dan non penal, dalam penanggulangan pidana dapat juga dilakukan dengan pendekatan nilai dalam melakukan pembuatan keputusan, misalnya melalui pendekatan ekonomi atau sosial lainnya. Pengenaan sarana dengan pendekatan nilai dapat dilakukan sebagai perwujudan dari reaksi masyarakat, yaitu dengan cara pendekatan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka mewujudkan sistem penegakan hukum yang baik, dan menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan terhadap tindak pidana. 92 Untuk dapat melaksanakan upaya – upaya pencegahan tindak pidana khusunya tindak pidana perdagangan orang, maka harus disesuaikan dengan rencana pembangunan hukum yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Sudarto, bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi negatif dari perkembangan masyarakat, hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal social defence planning, karena politik hukum kriminal merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. 93 Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses untuk mengubah keadaan kearah yang lebih maju, baik kualitas maupun kuantitas dengan didasarkan pemikiran menyeluruh, dapat diukur dan diamati. Pembangunan nasional yang sedang dan akan dilaksanakan hendaknya tidak hanya ditujukan pada pembangunan materiil saja, tetapi juga pembangunan immaterial termasuk pembangunan hukum nasional. Hal ini perlu diseimbangkan, karena hukum berfungsi sebagai sarana untuk mencapai pembangunan. 94 Dalam realita, tidak ada pengenaan sanksi hukuman yang dapat sepadan dengan setiap kejahatan. Dengan demikian pengenaan sanksi dan penerapan hukum pidana harus selalu diperbaharui dan disesuaikan dengan dasar kemanusiaan. Tetapi tetap mempertahankan keteraturan dan ketertiban masyarakat, sehingga penegakan hukum yang dilaksanakan tidak 92 Henny, Op.Cit., Hal 277. 93 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana...Op.Cit., Hal 104. 94 Henny, Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara 74 hanya berpedoman pada aspek – aspek yuridis saja, tetapi juga memperhatikan aspek sosiologis dengan mengikutsertakan peran serta masyarakat. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Menurut Satjipto Rahardjo pada seminar hukum nasional ke IX Tahun 2008, dikatakan bahwa hendaknya pembangunan hukum harus dilaksanakan secara hati – hati, memperhatikan perilaku manusia dan diperhitungkan secara rasional. 95 Atas dasar itu, pembangunan hukum hendaknya bersifat kompresif, integral, sistematis dan metodologis, meliputi seluruh cabang ilmu hukum termasuk juga lingkup hukum formal dan materill, yang disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan masyarakat, karena hukum berfungsi mengatur kehidupan masyrakat yang bertujuan untuk ketertiban, keadilan dan akhirnya kesejahteraan masyarkat. Selain itu juga pembangunan hukum harus memperhatikan pembangunan lainnya yang berhubungan dengan perubahan – perubahan dan proses yang berlangsung pada bidak – bidang lainnya dalam masyarakat. 96 Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, pembaruan hukum adalah “segala usaha yang dilakukan oleh kelompok – kelompok sosial dalam suatu masyarakat, yang berkenaan dengan bagaimana hukum dibentuk dikonseptualisasikan, diterapkan dan dilembagakan dalam suatu proses politik“. Abdul Hakim Garuda Nusantara menyarankan, hendaknya strategi pembangunan hukum nasional dilihat dari segi politik, dan berdasarkan prosesnya terdiri dari : a Pembangunan hukum ortodoks, yang mengandalkan pada peranan mutlak lembaga – lembaga negara. b Pembangunan hukum responsif, yaitu mendasarkan pada peranan besar lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok – kelompok sosial atau individu – individu dalam masyarakat. 97 Adapun pembangunan hukum atau pembaruan hukum memiliki hubungan yang sangat kuat dengan politik, oleh karena suatu pembaruan hukum yang diawali dari pembuatan sampai pelembagaanya dilaksanakan oleh lembaga politik, yang merupakan lembaga yang 95 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, Hal 2. 96 Henny, Op.Cit., Hal 278. 97 Satjipto Rahardjo, Membangunan dan Merombak Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing 2006, Hal. 23. Universitas Sumatera Utara 75 memiliki kekuatan dalam masyarakat. Suatu proses pembentukan peraturan perundang - undangan dilaksanakan melalui kebijakan formulasilegislatif, sedangkan proses penegakan hukum atau pelembagaan dilakukan melalui kebijakan aplikasiyudikasi dan proses pelaksanaan pidana dilakukan dengan kebijakan eksekusiadministrasi. Ketiga tahapan kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut :

A. Kebijakan Formulasi Legislasi