Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking) Oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara

(1)

PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(TRAFFICKING) OLEH KEPOLISIAN DAERAH

SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

GULTOM ROSMAIDA FERIANA 087005067 / HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(TRAFFICKING) OLEH KEPOLISIAN DAERAH

SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

GULTOM ROSMAIDA FERIANA 087005067 / HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

ORANG (TRAFFICKING) OLEH KEPOLISIAN

DAERAH SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : Gultom Rosmaida Feriana Nomor Pokok : 087005067

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 28 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Perdagangan Orang merupakan kejahatan yang serius terhadap kehidupan manusia dan kemanusiaan, mengingat kasus perdagangan orang semakin hari semakin luas dan semakin rumit modus operandinya. Modus operandinya juga semakin canggih dan rumit (complicated) yang dikaitkan secara intensif dengan pasar perdagangan seks internasional dan perdagangan tenaga kerja ilegal. Karena posisi geografis dan demokratis, maka Indonesia khususnya wilayah Sumatera Utara rentan menjadi daerah asal, transit dan tujuan perdagangan orang.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan atau menelaah permasalahan terhadap penanganan di Polda Sumut dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking dan kendala-kendala yuridis yang dihadapi penyidik Polri. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang di dalam UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO terbagi dalam tiga komponen utama yaitu elemen tindakan/aktivitas, kedua elemen cara, ketiga elemen tujuan/maksud, patut dipahami bahwa tidak selalu eksploitasi harus sudah terjadi, apabila dapat dibuktikan bahwa ada maksud atau niat untuk mengeksploitasi korban, maka pelaku dapat dijerat pasal-pasal dalam UU PTPPO. Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Polda Sumut mendapatkan pelayanan yang khusus yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Direktorat Reserse Kriminal Satuan Pidum yang memiliki wadah/tempat yang khusus yaitu Ruang Pelayanan Khusus (RPK), dengan melakukan upaya penegakan hukum menjerat pelaku perdagangan orang melalui UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO. Pemerintah Provinsi Sumut membantu Penyidik Polri dalam Upaya penghapusan perdagangan orang (trafficking) salah satunya dengan mengeluarkan Perda No.6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak dan Peraturan Gubsu No.24 tahun 2005 tentang RAN Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak.

Polda Sumut dalam penanganan TPPO menghadapi beberapa kendala yang meliputi kendala yuridis/Undang-undang, kendala aparat penegak hukum dan kendala kultur budaya, antara lain Pasal 30 UU PTPPO yang mengatakan bahwa sebagai alat bukti yang sah keterangan seorang saksi saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya, namun hal ini belum dapat dipraktekkan karena faktanya banyak petunjuk yang harus dipenuhi oleh penyidik, kemudian kendala lain dimana korban enggan untuk memberikan informasi yang lengkap guna mengungkap jarngan TPPO dikarenakan korban merasa malu aib (tabu) untuk menceritakan masalahnya, serta kendala masih kurangnya kualitas penyidik terutama yang bertugas di Polsek maupun Polres, dan selanjutnya yang menjadi kendala juga apabila tersangka berada di luar negeri dan tidak diketahui alamatnya maka sangat penting diperlukannya hubungan antar negara seperti perjanjian bilateral guna tercapainya penegakan hukum bagi si pelaku TPPO.

Kata Kunci : Penanganan, Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Tindak Pidana Perdagangan Orang


(6)

ABSTRACT

Human trafficking is a serious crime toward human life and humanity since the case of human trafficking is increasingly spread and its modus operandi becomes increasingly sophisticated and complicated day to day which is intensively related to the international sex market and illegal worker trade. Because of its geographic position and democracy, Indonesia, especially the Province of Sumatera Utara, becomes the place of origin, transit and destination of human trafficking.

This was an analytical descriptive study describing or analyzing the problem of how Sumatera Utara Police Department (Poldasu) handles the process of law enforcement in trafficking crime prevention and the juridical constraints faced by the investigators of Indonesian Police. In Law No. 21/2007 on Regulation on Human Trafficking Criminal Act, the practice of human trafficking is divided into 3 (three) main components; first, Element of Action/Activity, second, Element of Way/Modus Operandi, and third, Element of Purpose. It needs to be understood that the exploitation is not always to have occurred, if the purpose or intention to exploit the victim can be proven, the doer or the actor can be charged based on the articles found in the Law on Regulation on Human Trafficking Criminal Act. In Sumatera Utara Police Department (Poldasu), the handling of Human Trafficking Criminal Act is especially implemented by the Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Child and Woman Service Unit) which takes place in the Ruang Pelayanan Khusus (Special Service Room) through law enforcement and charging the actor of human trafficking based on Law No.21/2007 on Regulation on Human Trafficking Criminal Act. The Provincial Government of Sumatera Utara assists the investigators of the Indonesian Police in eliminating human trafficking by, among other thing, issuing the Provincial Regulation No.6/2004 on the Elimination of Child and Woman Trafficking and the Regulation of the Governor of Sumatera Utara No.24/2005 on RAN of the Elimination of Child and Woman Trafficking.

In handling the Human Trafficking Criminal Act, the Sumatera Utara Police Department (Poldasu) faces a juridical constraint concerning the Article 30 of Law on Regulation on Human Trafficking Criminal Act stating that, as a legal evidence, a statement given by only a victim witness is enough to prove that the defendant is guilty, if accompanied by another legal evidence, but this has not been able to be applied because, in fact, there are a lot of indications which must be met by the investigators, and the technical constraints showing that the victims are reluctant to give a complete information because the victims feel embarrassed if their shame is told to the other persons, moreover, the quality of the investigators, especially those who are serving in the resort and sector police offices, is still inadequate, the existence of the defendant or the victim is unknown especially if the defendant or the victim resides abroad. For this reason, a bilateral agreement between the two countries is needed because it plays an important role in law enforcement.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan Rahmat dan KaruniaNya berupa kemampuan, kesabaran, kesehatan, kekuatan dan kesempatan kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Adapun topik penelitian yang penulis pilih yaitu: “Penanganan Tindak

Pidana Perdagangan Orang (Trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara” Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan terlaksana tanpa

saran maupun petunjuk yang diberikan oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul, seminar proposal, seminar hasil penelitian sampai pada akhir penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan


(8)

sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Kelas Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, M.S, Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Kelas Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. Dr. Suhaidi. SH, M.H sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan petunjuk, masukan dan mengarahkan kepada penulis, untuk menyelesaikan tesis ini.

6. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan petunjuk, saran dan masukan kepada penulis.

7. Prof Dr. Sunarmi, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai penguji yang telah banyak memberikan arahan, saran, pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini.

8. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku penguji yang telah banyak memberikan arahan, pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini.

Kepada seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terimakasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti Studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(9)

semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis di dalam mengembangkan pelaksanaan tugas sehari-hari,

Kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan jajaran, yang telah memberikan izin mengikuti studi pendidikan Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, izin Penelitian dan dukungan serta motivasi selama menjalankan studi dan dalam penyelesaian tesis ini.

Kepada Kepala Sekretariat Umum Polda Sumut AKBP Rauli Siahaan, SH, M.Hum, Kanit PPA Polda Sumut Kompol Fransisca Munthe, SH, AKP Sitiani Purba, SH dan Dra Emmy Suryana Lubis, MAP serta Sofyan, SH, yang telah membantu dalam diskusi maupun masukan dan juga memberikan dukungan untuk penyelesaian tesis ini.

Kepada Ayah ku Letkol (Purn) B.Gultom dan mertua ku J.Simanjuntak, adikku Gultom Ridwan Parlin, S.SIT, MT dan adik ipar Harayanti Anne Br Silalahi, yang saya hormati, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungannya dan doa penulis untuk mereka, semoga Tuhan membalas semua kebaikan-kebaikannya dan memberikan umur yang panjang.

Khusus kepada suamiku Dr.Samuel Simanjuntak dan anak-anakku tercinta dan tersayang Safhera Angelia Simanjuntak, Seylla Agatha Simanjuntak, Febby Gabriela Simanjuntak, yang telah banyak berkorban dan bersabar dan banyak mendoakan penulis serta selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan tesis ini.


(10)

Kepada seluruh saudara, sahabat, kerabat yang telah mendukung penulis untuk cepat menyelesaikan tesis ini.

Dan beserta seluruh staff Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu penulis dan tidak mungkin disebutkan satu persatu penulis banyak mengucapkan banyak terimakasih atas segala bantuan dan perhatiannya. Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Hormat penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Gultom Rosmaida Feriana

Tempat/Tanggal Lahir : Cimahi Bandung / 22 Februari 1971 Jenis Kelamin : Perempuan.

Agama : Kristen Protestan.

Instansi : Polda Sumatera Utara. Pendidikan Sekolah :

a. SD Kristen Andreas Cimahi Bandung Tahun 1983 b. SMP Negeri I Cimahi Bandung Tahun 1986 c. SMF BPK Penabur Bandung Tahun 1989

d. Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung Tahun 1998

Pendidikan Polri :

a. Perwira Polri Sumber Sarjana (PPSS) Angkatan I Tahun 1999-2000 b. Pendidikan Kejuruan Dasar Perwira Reserse Tahun 2001.

c. Pendidikan Kejuruan Lanjutan Perwira Reserse Tahun 2001. d. Pendidikan Trans National Crime di Bangkok Tahun 2005


(12)

Riwayat Jabatan :

a. Panit I Bag. Serse. Umum Polda Sumut Tahun 2000-2002 b. Panit Vice Control Polda Sumut Tahun 2003 – 2005

c. Kanit RPK Polda Sumut Tahun 2006-2009

d. Panit Sat I / Pidum Polda Sumut Tahun 2010 sampai sekarang.

Tugas ke Luar Negeri :

a. Bangkok Thailand – tahun 2005


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian ... 18

E. Keaslian Penulisan ... 18

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 30

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NO.21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PTPPO) ... 36

A. Pengertian dan Terminologi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ... 36

1. Lahirnya UU PTPPO ... 36


(14)

3. Pengintegrasian Perspektif jender ... 44

B. Tindak Pidana Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) ... 46

1. Perbuatan Pidana ... 46

2. Pertanggung jawaban Pidana ... 51

3. Sanksi Pidana ... 56

BAB III : UPAYA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) ... 64

A. Eksistensi Kasus Trafficking di Sumatera Utara ... 64

B. Faktor-faktor penyebab terjadi TPPO di Sumatera Utara ... 68

C. Penanganan TPPO di Polda Sumut ... 80

1. Upaya Preventif ... 80

2. Upaya Represif ... 82

D. Kendala yang dihadapi Polda Sumut dalam menangani TPPO ...103

1. Kendala Yuridis (Undang-undang) ...104

2. Lemahnya Koordinasi antar Aparat Penegak hukum ...106

3. Masalah Kultur Budaya ...108

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ...113

A. Kesimpulan ...113

B. Saran ...115


(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Daerah sumber, translit dan tujuan perdagangan (Trafficking) perempuan dan anak di Sumatera Utara

...………..

67 2 Data korbanTrafficking di Propinsi Sumatera Utara Tahun 2004 s/d

Desember 2008

...……….


(16)

ABSTRAK

Perdagangan Orang merupakan kejahatan yang serius terhadap kehidupan manusia dan kemanusiaan, mengingat kasus perdagangan orang semakin hari semakin luas dan semakin rumit modus operandinya. Modus operandinya juga semakin canggih dan rumit (complicated) yang dikaitkan secara intensif dengan pasar perdagangan seks internasional dan perdagangan tenaga kerja ilegal. Karena posisi geografis dan demokratis, maka Indonesia khususnya wilayah Sumatera Utara rentan menjadi daerah asal, transit dan tujuan perdagangan orang.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan atau menelaah permasalahan terhadap penanganan di Polda Sumut dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking dan kendala-kendala yuridis yang dihadapi penyidik Polri. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang di dalam UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO terbagi dalam tiga komponen utama yaitu elemen tindakan/aktivitas, kedua elemen cara, ketiga elemen tujuan/maksud, patut dipahami bahwa tidak selalu eksploitasi harus sudah terjadi, apabila dapat dibuktikan bahwa ada maksud atau niat untuk mengeksploitasi korban, maka pelaku dapat dijerat pasal-pasal dalam UU PTPPO. Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Polda Sumut mendapatkan pelayanan yang khusus yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Direktorat Reserse Kriminal Satuan Pidum yang memiliki wadah/tempat yang khusus yaitu Ruang Pelayanan Khusus (RPK), dengan melakukan upaya penegakan hukum menjerat pelaku perdagangan orang melalui UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO. Pemerintah Provinsi Sumut membantu Penyidik Polri dalam Upaya penghapusan perdagangan orang (trafficking) salah satunya dengan mengeluarkan Perda No.6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak dan Peraturan Gubsu No.24 tahun 2005 tentang RAN Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak.

Polda Sumut dalam penanganan TPPO menghadapi beberapa kendala yang meliputi kendala yuridis/Undang-undang, kendala aparat penegak hukum dan kendala kultur budaya, antara lain Pasal 30 UU PTPPO yang mengatakan bahwa sebagai alat bukti yang sah keterangan seorang saksi saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya, namun hal ini belum dapat dipraktekkan karena faktanya banyak petunjuk yang harus dipenuhi oleh penyidik, kemudian kendala lain dimana korban enggan untuk memberikan informasi yang lengkap guna mengungkap jarngan TPPO dikarenakan korban merasa malu aib (tabu) untuk menceritakan masalahnya, serta kendala masih kurangnya kualitas penyidik terutama yang bertugas di Polsek maupun Polres, dan selanjutnya yang menjadi kendala juga apabila tersangka berada di luar negeri dan tidak diketahui alamatnya maka sangat penting diperlukannya hubungan antar negara seperti perjanjian bilateral guna tercapainya penegakan hukum bagi si pelaku TPPO.

Kata Kunci : Penanganan, Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Tindak Pidana Perdagangan Orang


(17)

ABSTRACT

Human trafficking is a serious crime toward human life and humanity since the case of human trafficking is increasingly spread and its modus operandi becomes increasingly sophisticated and complicated day to day which is intensively related to the international sex market and illegal worker trade. Because of its geographic position and democracy, Indonesia, especially the Province of Sumatera Utara, becomes the place of origin, transit and destination of human trafficking.

This was an analytical descriptive study describing or analyzing the problem of how Sumatera Utara Police Department (Poldasu) handles the process of law enforcement in trafficking crime prevention and the juridical constraints faced by the investigators of Indonesian Police. In Law No. 21/2007 on Regulation on Human Trafficking Criminal Act, the practice of human trafficking is divided into 3 (three) main components; first, Element of Action/Activity, second, Element of Way/Modus Operandi, and third, Element of Purpose. It needs to be understood that the exploitation is not always to have occurred, if the purpose or intention to exploit the victim can be proven, the doer or the actor can be charged based on the articles found in the Law on Regulation on Human Trafficking Criminal Act. In Sumatera Utara Police Department (Poldasu), the handling of Human Trafficking Criminal Act is especially implemented by the Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Child and Woman Service Unit) which takes place in the Ruang Pelayanan Khusus (Special Service Room) through law enforcement and charging the actor of human trafficking based on Law No.21/2007 on Regulation on Human Trafficking Criminal Act. The Provincial Government of Sumatera Utara assists the investigators of the Indonesian Police in eliminating human trafficking by, among other thing, issuing the Provincial Regulation No.6/2004 on the Elimination of Child and Woman Trafficking and the Regulation of the Governor of Sumatera Utara No.24/2005 on RAN of the Elimination of Child and Woman Trafficking.

In handling the Human Trafficking Criminal Act, the Sumatera Utara Police Department (Poldasu) faces a juridical constraint concerning the Article 30 of Law on Regulation on Human Trafficking Criminal Act stating that, as a legal evidence, a statement given by only a victim witness is enough to prove that the defendant is guilty, if accompanied by another legal evidence, but this has not been able to be applied because, in fact, there are a lot of indications which must be met by the investigators, and the technical constraints showing that the victims are reluctant to give a complete information because the victims feel embarrassed if their shame is told to the other persons, moreover, the quality of the investigators, especially those who are serving in the resort and sector police offices, is still inadequate, the existence of the defendant or the victim is unknown especially if the defendant or the victim resides abroad. For this reason, a bilateral agreement between the two countries is needed because it plays an important role in law enforcement.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. L a t a r B e l a k a n g

Perdagangan manusia / trafficking in persons (khususnya perempuan dan anak) merupakan masalah yang hingga saat ini belum terpecahkan. Kecenderungan global menunjukkan bahwa masalah tersebut semakin mengkhawatirkan. Dalam catatan International Information Program, U.S. Department of State (2004) masalah perdagangan anak dan perempuan merupakan bentuk kejahatan terorganisire terbesar nomor tiga di dunia setelah kejahatan perdagangan obat bius dan perdagangan senjata. 1

Salah satu alasan yang kuat adanya sindikat perdagangan manusia antar negara ini adalah adanya keuntungan yang besar disamping masih banyak juga negara atau perusahaan-perusahaan lintas negara yang memerlukan tenaga-tenaga kerja murah dan illegal. PBB menyebutkan bahwa sindikat perdagangan (trafficking) perempuan dan anak meraup keuntungan tujuh milliar dolar AS setiap tahunnya dan sekitar dua juta orang diperdagangkan tiap tahunnya. Sementara itu, di Indonesia sendiri, diperkirakan sekitar 40 ribu sampai 70 ribu perempuan dan anak menjadi korban perdagangan. Ada banyak faktor penyebab yang mendorong terjadinya tindak kejahatan trafficking dan memberi andil bagi keberhasilan jaringan kejahatan yang

1

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Persons) Di Indonesia, Jakarta, 2003.hal 5


(19)

terlibat dalam perdagangan manusia. Kebanyakan orang-orang yang menjadi korban Trafficking itu adalah orang miskin dan tidak cukup memiliki peluang kehidupan ekonomi, kurang pendidikan.2

Praktek perdagangan orang di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak lama, hanya saja karena kurangnya kesadaran masyarakat dan belum adanya ketentuan yang komprehensif bagi penegak hukum serta kurang sensitifnya aparatur pemerintah terhadap praktek perdagangan orang, menyebabkan tingginya kasus perdagangan orang. Intenational Organization for Migration (IOM) sampai saat ini telah mengidentifikasikan dan memberikan bantuan bagi 3.339 korban perdagangan orang sepanjang 4 tahun terakhir (data Maret 2005 – Desember 2009). Hampir 90% diantaranya adalah perempuan dan lebih dari 25% diantaranya anak-anak yang memang paling rentan untuk diperdagangkan. Data tersebut tentu saja tidak mencerminkan jumlah korban yang sesungguhnya, karena perdagangan orang adalah jenis underreported crime. Hal ini disebabkan karena banyak korban yang tidak mempunyai kesempatan melaporkan kasusnya ke kepolisian atau merasa takut melaporkan kasus yang menimpanya.3

Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara pengirim, namun juga transit dan penerima. Artinya beberapa daerah di Indonesia, dikenal sebagai daerah korban berasal dan ada beberapa daerah yang menjadi tempat korban dieksploitasi. Mereka

2

IOM International Organization for Migration, Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta 2008,hal 33

3


(20)

tidak hanya diperdagangkan dalam wilayah Indonesia namun juga keluar wilayah negara Indonesia misalnya Malaysia, Arab Saudi dan Jepang.

Perdagangan orang (trafficking) merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dimasa lalu perdagangan orang hanya dipandang sebagai pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Para traffiker tergiur dengan keuntungan bebas pajak dan tetap menerima income dari korban yang sama dengan tingkat resiko kecil.

Berdasarkan penelitian di lapangan, sekurang-kurangnya ada tujuh modus operandi perdagangan orang (trafficking) yang paling sering ditemukan, yaitu : a. Eksploitasi buruh migran.

TKW / TKI yang dijanjikan pekerjaan sebagai pekerja informal seperti pembantu rumah tangga, pelayan toko, pekerja pabrik, atau pelayan restoran, lalu dikirim dan diterima oleh Agen di negara tujuan. Di negara tersebut mereka dipekerjakan layaknya seperti budak, tidak mendapatkan haknya sebagai pekerja seperti gaji dan waktu istirahat, tidak boleh meninggalkan tempat kerja ditambah dengan siksaan fisik, psikologis maupun seksual.

b. Eksploitasi Prostitusi.

Calon tenaga kerja dijanjikan sebagai pekerja informal seperti pembantu rumah tangga, pelayan restoran, engasu anak dan sebagainya, ternyata dilacurkan baik didalam maupun di luar negeri. Pelaku Perdagangan Orang, tidak hanya


(21)

melacurkan korban di lokalisasi-lokalisasi prostitusi biasa, namun juga mengorganisir kejahatan ini dengan cara membawa korban ke hotel-hotel dan melakukan transaksi disana. Korban biasanya dikurung disebuah hotel kamar apartemen, kemudian dibawa keluar untuk melayani pelanggan dihotel-hotel tempat pelaku bertemu dengan pelanggan dan pelanggan bebas memilih korban. Pelakulah yang bertransaksi langsung dengan pelanggan sementara korban tidak memiliki kekuasaan untuk menolak, apalagi dengan penjagaan ketat dari para bodyguard, dipaksa untuk melayani pelanggan. Walaupun kadang korban tahu bahwa dia akan bekerja sebagai prostitusi, namun biasanya karena ditipu oleh pelaku, seperti tentang kondisi pekerjaannya, dijerat utang, dipaksa melayani sejumlah laki-laki dalam satu hari dan dilarang meninggalkan lokalisasi sebelum membayar sejumlah besar uang yang dianggap utang kepada mucikari, maka korban tidak dapat berbuat apa-apa. Eksploitasi prostitusi juga dapat terjadi dilokasi perkebunan, dimana pelaku mengorganisir kegiatan ini dilokasi perkebunan terpencil dengan target pelanggan para pekerja perkebunan tersebut. c. Kerja Paksa.

Laki-laki dewasa dan anak ditawari pekerjaan diperkebunan, pabrik kayu atau sebagai pekerja bangunan di luar negeri dan dijanjikan mendapatkan gaji tinggi dan fasilitas mess yang disiapkan oleh perusahaan. Sesampainya di lokasi kerja, ternyata korban dipaksa bekerja tanpa gaji dan istirahat yang cukup, dilarang meninggalkan tempat kerja dan tidak mendapatkan tempat tinggal yang layak,


(22)

atau mereka yang dieksploitasi diwilayah perkebunan, biasanya tinggal digubuk-gubuk tidak permanen dan dilarang meninggalkan tempat kerja sebelum mereka menyelesaikan kontrak (biasanya 2 tahun). Lebih mengenaskan lagi, kadang-kadang, ketika pekerjaan hampir selesai, pelaku melaporkan kepada polisi setempat tentang keberadaan meeka yang biasanya tidak berdokumen. Akhirnya mereka ditangkap polisi dan dianggap melanggar peraturan keimigrasian dan tentu saja pelaku tidak perlu membayar gaji mereka.

d. Training atau Pelatihan.

Anak-anak yang dikirim ke luar negeri dengan alasan training atau pelatihan ternyata kemudian dipaksa bekerja di hotel, restoran, di kapal nelayan dan jermal tanpa gaji dan waktu istirahat yang cukup. Disamping merupakan suatu situasi yang eksploitatif yang dapat dianggap sebagai perdagangan manusia dewasa, situasi-situasi seperti itu melanggar hak-hak anak berdasarkan perundang-undangan Indonesia. Korban ditipu dengan alasan sebagai duta budaya, ternyata kemudian dilacurkan atau dipaksa menjadi penari erotis.

e. Penculikan.

Anak perempuan remaja diculik saat pulang sekolah lalu dibius dan dipindahkan untuk kemudian dilacurkan. Pembiusan yang sering terjadi terhadap perempuan dewasa, biasanya di kendaraan umum,misalnya di dalam bus-bus antar kota.


(23)

Korban dijanjikan untuk dinikahkan dengan warga negara asing namun kemudian oleh suaminya dijadikan pembantu rumah tangga atau bahkan dilacurkan.

g. Kawin kontrak.

Korban dikawin kontrak dan dieksploitasi sebagai prostitusi oleh suaminya.

Protokol Palermo (UNICEF) menjelaskan bahwa perdagangan orang didefinisikan sebagai: perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan, atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberikan atau menerima pembayaran sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup, paling tidak eksploitasi pelacuran oleh orang lain, atau bentuk lain dari ekspolitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang mirip perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ tubuh.4

Penyebaran kasus trafficking hampir merata di seluruh wilayah Indonesia baik di kota-kota besar maupun di pedesaan. Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban Trafficking, hal ini akan mengancam kualitas penerus

4

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesi a Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta, 2008, hal 15


(24)

bangsa serta memberi dampak negatif bagi bangsa yang mengalaminya dimata dunia.5

Trafiking in person (TIP) Report yang dikeluarkan oleh Department of State, USA, June 2004, memposisikan Indonesia pada Tier III (terburuk ke III) artinya Indonesia dievaluasi sebagai negara pemasok perdagangan perempuan dan anak, berkomitmen rendah, kurang serius dan kurang kepeduliannya dalam pemberantasan TIP. Kasusnya banyak tetapi belum ada upaya strategis yang dilaksanakan. Suatu tantangan bagi Indonesia untuk menyelamatkan anak bangsa. TIP Report yang dikeluarkan tanggal 3 Juni 2005, memposisikan Indonesia pada Tier II (terburuk ke II), artinya Indonesia telah dinilai selangkah lebih maju dalam melakukan langkah dan upaya signifikan untuk pemberantasan TIP dan memenuhi standart minimum yang ditetapkan walaupun belum sepenuhnya.6

Salah satu daerah yang menyimpan banyak permasalahan perdagangan (trafficking) perempuan dan anak di Indonesia adalah daerah Propinsi Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan Propinsi Sumatera Utara dalam praktek perdagangan (trafficking) perempuan dan anak memiliki tiga fungsi strategis, yaitu sebagai daerah asal (sending area), daerah penampungan sementara (transit) dan juga sebagai daerah tujuan trafiking. Disisi lain berkaitan dengan posisi geografis daerah Sumatera Utara

5

Edy Ikhsan dkk, Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Yayasan Pusaka Indonesia, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Medan, 2005.hal 91

6

Departemen Luar Negeri AS : Laporan mengenai Perdagangan Manusia [Bagian III], www.hrw.org.html, 8 Maret 2009


(25)

yang strategis dan mempunyai aksesibilitas tinggi ke jalur perhubungan dalam dan luar negeri serta kondisi perkembangan daerah Sumatera Utara yang cukup baik di berbagai bidang. Dari 28 Kabupaten/Kota se Sumatera Utara, yang teridentifikasi daerahnya rawan trafficking sebanyak 12 Kabupaten Kota, antara lain : Medan, Binjai, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai, Langkat, Tebing Tinggi, Labuhan Batu, Pematang Siantar dan Simalungun. 7

Klasifikasi yang termasuk daerah Sumber : Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Simalungun, Binjai, Pematang Siantar, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai, Langkat, Tebing Tinggi, Labuhan Batu. Daerah Transit: Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai dan Kabupaten Labuhan Batu. Daerah Tujuan/Penerima : Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi dan Simalungun.8

Menurut keterangan dari Kompol Fransisca Munthe selaku Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda Sumut, bahwa bentuk praktek Trafficking yang ditangani di Sumatera Utara diantaranya adalah trafficking untuk prostitusi/pelacuran, perdagangan bayi, pekerja rumah tangga, pekerja jermal dan penipuan buruh migran, namun dari sejumlah data dan bentuk praktek trafficking yang berkembang sebagian besar kasusnya adalah untuk pelacuran, mulai dari trafficking domestik maupun lintas

7

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Op cit, hal 18

8

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak – IOM International Organization for Migran, Peraturan Daerah Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Medan, 2005, hal 9.


(26)

negara. Sebagai contoh kasus pada bulan Januari tahun 2009 yang dilaporkan oleh seorang bapak bernama TOGU PANJAITAN, melaporkan anaknya sudah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (trafficking), bahkan telah meninggal dunia dan dikubur di negara Malaysia, dimana korban anaknya ROMATUA usia 16 thn, alamat Jalan H.M Joni Medan Kelurahan Medan Amplas, telah ditipu oleh tetangganya sendiri yang bernama SANTI, korban Romatua ditawari pekerjaan sebagai pelayan Restaurant di negara Melaysia dengan gaji besar, namun hanya beberapa bulan saja Romatua bekerja di negara Malaysia, datang kabar bahwa Romatua sudah meninggal dunia, Romatua dikabarkan kena suatu penyakit menular yang membahayakan dan karena itu korban Romatua harus dikuburkan segera di negara Malaysia, karena Pelapor TOGU PANJAITAN dalam kondisi kesulitan ekonomi dan minimnya informasi kemana harus mengadukan permasalahan tersebut, pelapor baru mengetahui setelah ada surat dari negara Malaysia untuk penguburan anaknya dengan alasan anaknya jatuh sakit dan meninggal dunia dirumah sakit, pihak yang membawa anaknya atau pelaku memang memberi biaya TOGU PANJAITAN ke negara Malaysia untuk menyaksikan penguburan anaknya, namun pelapor merasa kecewa kepada pelaku yang membawa anaknya tersebut ke Malaysia, karena tidak dari awal memberitahukan bahwa anaknya sedang sakit di Malaysia, sehingga pelapor dapat bertemu dengan anaknya pada saat masih hidup, maka Pelapor atas saran pihak keluarga akhirnya membuat pengaduan ke pihak Kepolisian, namun ironisnya dalam perjalanan proses penyidikannya, kasus tersebut


(27)

banyak mendapat kendala, salah satunya kurangnya persamaan persepsi antara aparat penegak hukum, padahal faktanya korban ROMATUA, usia 16 thn, alm Jalan H.M Joni Medan Kelurahan Medan Amplas berangkat ke negara Malaysia dengan menggunakan identitas palsu atau bukan identitas dirinya sendiri, melainkan identitas atas nama SITI, usia 23 tahun, alamat Jalan Titipanan, Medan Marelan, fakta hukum ini saja seharusnya sudah dapat menjadi dasar/pedoman untuk menjerat sipelaku dengan undang-undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana Perdagangan Orang dan menuntut si pelaku sampai ke tingkat persidangan, namun karena kurangnya persamaan persepsi antara penyidik dengan Jaksa penuntut umum akhirnya berkas perkara belum bisa maju ke persidangan, tetap saja ada kekurangan dari pihak Kejaksaan yang harus dipenuhi oleh penyidik, sehingga kasus tersebut bolak-balik dari pihak Kejaksaan dan sampai sekarang belum dapat dipenuhi oleh pihak penyidik, ironis sekali disatu pihak pelapor sudah kehilangan anaknya, pada saat yang sama pelapor juga belum mendapatkan keadilan dengan terlaksananya penegakan hukum kepada si pelaku untuk mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Keadilan yang diharapkan pelapor masih membutuhkan jawaban yang panjang dan waktu yang lama. 9

Permasalahan seperti contoh kasus diatas sering dialami oleh pihak Kepolisian sehingga menarik untuk diteliti dan dijadikan bahan analisa, sehingga diharapkan

9

Fransisca Munthe, Kanit PPA Polda Sumut, wawancara di Polda Sumut tanggal 02 Maret 2010, Pukul 10.00 Wib.


(28)

dapat memberikan solusi atau bahan masukan demi tercapainya tujuan dari penegakan hukum sendiri, yaitu mendapatkan keadilan, dimulai pada saat pelapor datang ke kantor polisi membuat pengaduan, sampai ke tahap penuntutan dan persidangan. Data yang telah dihimpun oleh peneliti sejak tahun 2007 Kepolisian Daerah Sumatera Utara telah menangani kasus tindak pidana perdagangan orang sebanyak 7 (tujuh) kasus yang terus meningkat sangat cepat di tahun 2008 menjadi 32 (tiga puluh dua) kasus perdagangan orang, namun dari 32 kasus tersebut hanya 19 (sembilan belas ) kasus yang bisa sampai ke persidangan dan memperoleh putusan hakim, sisanya masih ada 13 (tiga belas) kasus yang belum sampai ke tingkat penuntutan dikarenakan berbagai macam kendala yang dialami oleh penyidik untuk melengkapi berkas perkara, antara lain korban dan tersangka masih berada di negara Malaysia dan tidak diketahui keberadaannya sampai saat ini, kemudian petunjuk agar menghadirkan alat bukti yang seperti tiket, paspor yang tidak diketemukan lagi pada korban, dikarenakan sampai di negara tujuan Malaysia, korban tidak pernah memegang paspor maupun tiketnya, paspor dan tiket tersebut dipegang oleh Majikan, namun karena Jaksa penutut umum meminta alat bukti tersebut dihadirkan dan hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh penyidik membuat berkas perkara tidak bisa dilanjutkan ke persidangan, dan lain sebagainya.10

Salah satu faktor terjadinya trafficking adalah kemiskinan dan pendidikan rendah. Kondisi seperti ini cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk

10


(29)

kepentingan bisnis dengan memangsa perempuan dan anak, karena mudah diiming-imingi/bujukan, ditakut-takuti, dibohongi, ditipu, dan pekerja dengan upah murah. Selain itu terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia menyebabkan perempuan dan anak cenderung ingin menjadi TKI/TKW ke Luar Negeri, dengan tujuan memperoleh penghasilan untuk menutupi beban ekonomi keluarga. 11

Disisi lain ada persepsi masyarakat bahwa bekerja ke luar negeri akan mendapatkan gaji yang relatif lebih besar sekalipun sebagai pembantu rumah tangga, dibandingkan bekerja di dalam negeri. Kondisi seperti ini selalu dimanfaatkan oleh sindikat trafficking untuk mengeksploitasi perempuan dan anak dalam posisi

Situasi semacam inilah yang merupakan kesempatan untuk mendapat keuntungan yang besar bagi sindikat trafficking untuk melakukan perekrutan, bahkan nyaris jauh dari jangkauan hukum. Biasanya sindikat diawali dengan transaksi utang piutang antara pemasok/agen tenaga kerja ilegal dengan korban/keluarga. Jika korban/keluarga tidak mampu untuk menyelesaikan transaksi yang telah disepakati maka keluarga terpaksa mengorbankan perempuan dan anak untuk pelunasannya, karena pelakunya selalu melibatkan orang-orang terdekat, kuat, berpengaruh di dalam masyarakat, seperti keluarga terdekat, tetangga, teman, orang yang berpengaruh/dipercaya. Oleh karena itu kasus trafficking sulit untuk diketahui dan

11


(30)

diberantas, maka perlu tindakan serius dan kontinyu dengan melibatkan seluruh komponen bangsa untuk memerangi dan memberantasnya.12

Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan sumber daya yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen Pemerintah yang lebih kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang terencana dan konsisten serta melibatkan jaringan luas baik antar daerah didalam negeri maupun dengan pemerintah negara sahabat dan lembaga internasional. Sikap Pemerintah RI sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, perbudakan dan perhambaan telah dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang, sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wet boek van Strafrecht) untuk selanjutnya disingkat KUHP.13

Mengingat Fungsi Polri dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat, penegakan hukum, mempunyai tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tentram, khususnya dalam penegakan hukum bagi pelaku perdagangan orang sebagaimana tercantum

12

Komisi Nasional Perlindungan Anak, Beberapa isu Hukum Kejahatan Perdagangan Orang, hal 1.

13


(31)

dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. (UU PTPPO) 14

Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan dan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dan Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa Polri bertugas untuk melakukan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua Tindak Pidana, termasuk pelaku perdagangan orang.

Peranan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara membantu penyidik Polri dalam upaya penghapusan perdagangan (trafficking) salah satunya dengan mengeluarkan Perda No. 6 Tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak dan Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005 tentang Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak dan dalam Peraturan Gubsu tersebut terbentuk Gugus Tugas Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RAP-P3A), sebagaimana yang diamanatkan Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang

14

Kendala Dana Selalu Dijadikan Alasan Polisi untuk Menangani Kasus Trafiking,


(32)

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak (RAN –P3A). 15

RAN-P3A tersebut merupakan landasan pedoman bagi Pemerintah dan Masyarakat dalam melaksanakan Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak. Hakekat dan tujuan RAN-P3A adalah untuk :

1) Menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya perlindungan terhadap korban perdagangan (trafficking) perempuan dan anak.

2) Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan pencegahan dan penanggulangan atas praktek-praktek perdagangan (trafficking) perempuan dan anak.

3) Mendorong untuk adanya pembentukan dan /atau penyempurnaan peraturan yang berkaitan dengan tindakan perdagangan (trafficking) perempuan dan anak. Untuk menjamin terlaksananya RAN-P3A dibentuk satu gugus tugas nasional sementara untuk menjamin terlaksananya RAN-P3A didaerah dilakukan oleh gugus tugas daerah.

Pemerintah Propinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005 tentang Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak (RAP-P3A). Hal terpenting dalam Peraturan Gubsu tersebut adalah Stakeholders (pihak-pihak terkait) di Provinsi

15

Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Jakarta : 2003.hal 37


(33)

Sumatera Utara. Dalam upaya penghapusan perdagangan (trafficking) perempuan dan anak, pihak terkait berperan dan bertanggung jawab sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta kewenangannya masing-masing.16

Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RAP-P3A) di Sumatera Utara, sangat penting dalam upaya memerangi perbudakan modern trafficking secara terencana, terintegrasi dengan langkah-langkah untuk mengatasi akar permasalahan yakni : kemiskinan, kurangnya pendidikan dan ketrampilan, kurangnya akses kesempatan dan informasi serta nilai-nilai sosial budaya yang memarginalkan dan mensubordinasikan kaum perempuan, dimana sebagai penggiat (Focal Point) dari pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Utara adalah Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta Keluarga Berencana Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk membahas : “Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara.”

B. Perumusan Masalah

Permasalahannya perlu jelas dan tegas sehingga proses penelitian benar-benar terarah dan terfokus kepermasalahan yang jelas. Berdasarkan latar belakang tersebut

16

Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Jakarta : 2003.hal 58


(34)

diatas, jelas bahwa Penanganan tindak pidana Perdagangan Orang (Trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara merupakan hal yang sangat penting dan signifikan dalam upaya penghapusan perdagangan (Trafficking) di Sumatera Utara. Mengingat luasnya permasalahan tersebut maka perlu dilakukan perumusan masalah yang bersifat spesifik, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

2. Bagaimana Upaya Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking).

C. T u j u a n P e n e l i t i a n

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui Upaya Kepolisian dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (trafficking) dan secara khusus bertujuan untuk mengetahui :

1. Untuk mengetahui tentang pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang menurut Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

2. Untuk mengetahui upaya Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking).


(35)

D. M a n f a a t P e n e l i t i a n

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah serta menambah khasanah pengetahuan, wawasan khususnya yang berkaitan dengan penelitian dibidang hukum dengan menerapkan pengetahuan dan pengalaman praktis yang diperoleh selama ini. 2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan

dan referensi bagi Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan masyarakat dalam melakukan evaluasi terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara untuk Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking).

E. K e a s l i a n P e n e l i t i a n

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Penanganan Tindak Pidana perdagangan (Trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara“ belum pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang perdagangan orang namun pendekatan permasalahan yang diteliti berbeda. Obyek penelitian yang dilakukan merupakan


(36)

suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah.

Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam pembahasan mengenai Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara, teori utama yang digunakan adalah teori Lawrence M.Friedman, dalam bukunya yang berjudul “The Legal System A Social Science Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum, substansi hukum (perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.17

Analisis yuridis terhadap perdagangan orang, dapat juga dilakukan melalui pendekatan legal system (sistem hukum) yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Sistem Hukum Harus Memuat Substantive Law, Legal Structure, dan

17


(37)

Legal Culture. Secara substansi hukum masalah perdagangan manusia diatur dalam kerangka hukum Internasional dan hukum nasional.

Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.18

Menurut Lawrence M.Friedman, tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya, sementara itu budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan dan kepentingan-kepentingan.19

Menurut Mahmud Mulyadi dalam bukunya “Kepolisian dalam sistem Peradilan Pidana” bahwa pihak Kepolisian merupakan salah satu komponen sistem peradilan pidana yang menjadi ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan dan Peranan Kepolisian kelihatannya lebih besar bila dibandingkan dengan komponen lainnya, sehingga Kepolisian disebut sebagai the gate keeper of Criminal Justice. 20karena Kepolisian merupakan subsistem yang secara langsung berhubungan dengan pelaku kejahatan dan masyarakat.

18

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung : Refika Aditama,2007), hal 26

19

Bismar Nasution, Ekonomi Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”, (Medan : Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004), hal 21.

20

Mahmud Mulyadi, Peranan Kepolisian dalam Penegakan hukum pidana, Medan 2009, hal 12


(38)

Fungsi Kepolisian (Pasal 2 UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI ) adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang :

1. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. Penegakan hukum,

3. Perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Tujuan Kepolisian RI (Pasal 4 UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI) adalah mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi :

1. terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. tertib dan tegaknya hukum,

3. terselenggaranya perlindungan, pengayoman, 4. dan pelayanan kepada masyarakat,

5. serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Pasal 5 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan :

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Repulik Indonesia adalah :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.


(39)

Pasal 14 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan :

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia brtugas :

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khususnya penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidna sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian,kedokteran

kepolisian,laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk membrikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta melaksanakan tugas lain sesuai peraturan perundang-undangan.21

Khusus mengenai penyidikan menurut Pasal 6 ayat (1) UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.

21


(40)

Fungsi Kepolisian sebagai Penyelidik dalam Pasal 1 KUHAP ayat 1 dan 4, menyatakan bahwa kedudukan Polri dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai penyelidik dan penyidik. Pada Pasal 1 ayat 4 KUHAP dinyatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Yang dimaksud dengan penyelidikan dalam pasal ini adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.22

Penyelidikan bukanlah fungsi tersendiri yang terpisah dari penyidikan, tetapi hanya merupakan salah satu cara atau metode dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.23

Latar belakang dibuatnya fungsi penyelidikan antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhada hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi. Tidak semua peristiwa yang terjadi dapat diduga adalah tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensinya digunakan upaya paksa, dengan berdasarkan data

22

Mahmud Mulyadi, Op Cit , hal 10

23


(41)

atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan ditentukan terlebih dahulu bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar-benar merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan penyidikan.24

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP) memberikan peran utama kepada Kepolisian Negara republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa soal-soal sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana.25

Istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan artinya oleh KUHAP walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar sidik, yang artinya memeriksa, meneliti. Menurut Pasal 1 UU No.8 tahun 1981 KUHAP yang dikutip oleh Andi Hamzah bahwa definisi sebagai berikut :

“ Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini.”

Apakah maksudnya ini sama dengan reserse ? Di dalam organisasi kepolisian justru istilah reserse ini dipakai. Tugasnya terutama tentang penerimaan laporan dan pengaturan serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi penyelidikan ini tindakan untuk mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum

24

Ibid, hal 10-11

25


(42)

acara pidana seperti dikemukakan oleh Van Bemmelen maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran.26

Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP Pasal 1 UU No.8 tahun 1981 memberikan definisi sebagai berikut :

“ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.”27

Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan ditempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka dan terdakwa. 5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan.

7. Pemeriksaan atau interogasi.

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat) 9. Penyitaan.

10. Penyampingan perkara.

26

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta 2009 hal 119.

27


(43)

11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.28

Kewenangan yang di miliki oleh Polri ini semata-mata digunakan hanya untuk kepentingan mencari kebenaran dari suatu peristiwa pidana. Dengan keluarnya hasil dari penyelidikan tentang tindak pidana perdagangan orang, harus diadakan penyidikan maka tindakan pertama yang diambil adalah pengumpulan bukti-bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana perdagangan orang dan mencari serta menemukan pelaku tindak pidana tersebut. Penyidikan terhadap suatu tindak pidana perdagangan orang adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk membuat jelas suatu tindak pidana tersebut dan menemukan pelaku tindak pidana guna diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.29

2. Kerangka Konsepsi

a. Kepolisian Daerah Sumatera Utara adalah Segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi di Sumatera Utara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 30

b. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

28

Ibid

29

Mahmud Mulyadi, Op Cit , hal 17

30

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 1 angka 1.


(44)

menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.31

c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.32

d. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.33

d. Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.34

e. Tindak Pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku dimana perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku. Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu :

1) Harus merupakan suatu perbuatan manusia;

31

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.

32

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.

33

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 1.

34

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 5 angka 1


(45)

2) Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh undang-undang maupun peraturan perundang-undang-undang-undangan lainnya;

3) Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat bertanggung jawab artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.35

f. Penanganan adalah proses, cara, perbuatan menangani, penggarapan;36

g. Perdagangan Orang (trafficking) adalah Setiap orang yang melakukan perekrutan,pengangkutan, penampungan,pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah negara Repulik Indonesia.37

Penanganan Trafficking di Sumatera Utara tidak dapat dipisahkan dari kebijakan penanganan trafficking di tingkat Nasional. Sebelum dilahirkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak. Lahirnya kebijakan Penanganan

35

Satochid.K, Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa.

36

Daryanto,S.S.Op Cit, hal 575

37


(46)

Trafficking di tingkat Nasional ini tidak terlepas dari perhatian masyarakat Internasional yang telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang cukup banyak warga negaranya memasok berbagai kebutuhan ketenagakerjaan di berbagai negara.

Dengan lahirnya rencana aksi di tingkat nasional, untuk menjamin terselenggaranya rencana aksi nasional (selanjutnya disebut RAN-P3A) di seluruh wilayah Indonesia, maka dibentuklah Gugus Tugas Daerah RAN P3A yang dibentuk melalui Keputusan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi dan Keputusan Bupati/Walikota untuk Pemerintah Kabupaten/Kota.

Kebijakan Penanganan Trafficking di Sumatera Utara dilakukan dengan melahirkan regulasi di tingkat daerah berupa produk hukum sebagai berikut :

1. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak;

2. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak;

3. Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak; 4. Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 463/1211/K/2002 Tentang

Pembentukan Komite Aksi Provinsi Sumatera Utara tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

Berbagai instrumen hukum di tingkat daerah sebagaimana diuraikan di atas antara yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu


(47)

kesatuan arah kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam penanganan trafficking khususnya terhadap perempuan dan anak.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.38 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judicial process).39 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan,

38

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal. 105.

39

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafitti Press, 2006), hal.118


(48)

buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.40 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.41 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu

40

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57.

41

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Prenada Media, 1997), hal. 42.


(49)

peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang urgensi pidana trafficking kepada trafiker.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.42 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan urgensi pidana trafficking kepada trafiker.

3. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Bahan Hukum Primer terdiri dari :

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

42


(50)

Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah, peraturan presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan.

b. Bahan Hukum Sekunder:

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.43

c. Bahan hukum tersier :

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah.44

Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber penelitian.

43

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005), hal 141.

44

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Grafitti Press, 1990), hal. 14.


(51)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : Studi kepustakaan.

Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. 45

5. Metode Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :46 a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum

(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut;

45

Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, (Bandung : Bina Cipta, 2004), hal. 97.

46


(52)

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah urgensi pidana trafficking kepada trafiker;

c. Menemukan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah;

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.47

47


(53)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NO.21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PTPPO)

A. Pengertian dan Terminologi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) 1. Lahirnya UU PTPPO

Pengertian Perdagangan Orang dalam UU PTPPO mencerminkan Pengertian Trafficking in Persons yang diatur dalam UN Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, yang sudah diakui dan diterima masyarakat Internasional. Ketentuan Pasal 3(a) Protocol tersebut menyatakan bahwa :

“ Trafficking In Persons” berarti Pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan ijin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain,untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi minimal berbentuk eksploitasi prostitusi pada orang lain atau bentuk bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang mirip dengan perbudakan, kerja paksa atau pengambilan organ tubuh.”48

Istilah “Perdagangan Orang” kemudian menjadi baku mengingat UU PTPPO secara lebih luas dan lengkap memberikan definisi yang bisa ditemukan dalam Ketentuan Umum, pasal 1 :

48


(54)

(1) Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

(7) Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

(8) Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.

Istilah “Perdagangan Orang” atau tindak pidana Perdagangan Orang (TPPO) digunakan dalam keseluruhan isi pedoman ini menggantikan istilah “trafficking” yang sebelumnya banyak digunakan baik dalam buku-buku maupun sosialisasi. Istilah “Perdagangan Orang juga akan digunakan sebagai terjemahan “Trafficking In Persons” yang disebutkan dalam Protokol PBB.

Indonesia pernah menjadi sorotan dunia internasional, ketika pemerintah Amerika dalam Laporan Tahunan tentang Perdagangan Orang (Tahun 2002) menempatkan Indonesia ke dalam Tier III atau negara yang tidak memenuhi standar minimal penanganan perdagangan orang atau tidak melakukan usaha-usaha yang signifikan dalam meresponnya. Pada tahun itu juga, Megawati selaku Presiden


(55)

mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang salah satu tujuan kuncinya adalah untuk mendorong dan atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak.

Sebelum UU TPPO diterbitkan, larangan praktek perdagangan orang sudah diatur dalam produk hukum nasional, diantaranya :

1. Pada Pembukaan UUD 1945, alinea ke 4 Pancasila, Sila ke dua yaitu : “ Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” , menunjukkan bahwa perbudakan tidak dimungkinkan, apalagi berdasarkan pasal 28 (1) negara menjamin “hak untuk tidak diperbudak” (amandemen ke-2, tanggal 18 Agustus 2000).

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 297 :

“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

Meskipun pada kenyataannya korban perdagangan orang tidak hanya perempuan dan laki-laki yang belum dewasa, melainkan orang-orang yang berada dalam posisi rentan, baik perempuan, laki-laki, dewasa dan anak-anak. Selain itu KUHP pasal 297 ini juga memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita kornan akibat kejahatan perdagangan orang.

3. Pasal 324 KUHP : “ Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung


(56)

dalam salah satu perbuatan tersebut diatas, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.

Pasal 324 KUHP mengatur “Perniagaan budak belian” (Slavenhandel), tetapi Perbudakan di Indonesia menurut hukum berdasarkan pasal 169 “Indische Staatsregeling” pada tanggal 1 Januari 1860 telah dihapus dengan pertimbangan bahwa perbudakan tidak akan pernah terjadi di zaman modern ini. Tetapi ternyata asumsi tersebut keliru karena justru di era globalisasi ini “Slavenhandel” marak kembali dalam wujud yang lebih canggih dan lebih berani serta dilakukan secara terang-terangan maupun terselubung. Perempuan pekerja domestik sering diperlakukan layaknya sebagai budak, dipekerjakan tanpa mendapatkan upah sama sekali, tidak diberikan tempat istirahat yang layak dan dirampas kebebasan bergeraknya. Tarif yang ditetapkan oleh agen perekrut tenaga kerja kepada calon majikan, seolah memberikan kekuasaan kepada majikan atas pekerja domestik yang telah dibelinya. Sehingga untuk mendapatkan manfaat dan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pekerja domestik, majikan mengeksploitasi korban secara terus menerus. Larangan perbudakan juga diatur dan tercantum dalam pasal 10 UUD Sementara tahun 1950.


(1)

4. Dalam meningkatkan profesionalisme Penyidik Polri, perlu dilakukan Pelatihan dan Pendidikan dalam bidang Penyelidikan dan Penyidikan disamping dukungan anggaran yang cukup untuk mengoperasionalisasikan penyelidikan dan penyidikan tersebut, serta peningkatan Kesejahteraan Penyidik untuk menghindari praktek KKN dengan pelaku perdagangan orang (trafficer) terutama cukong/pemilik modal ataupun mafia.

5. Dalam proses penegakan hukum perlu juga dibangun hubungan yang harmonis dengan instansi sektor antar pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana untuk mengungkap perkara TPPO, antara lain tersedianya Ruang Pelayanan Khusus disetiap Polres / Polsek, dan juga tersedianya fasilitas Rumah Aman bagi korban TPPO yang sangat berguna untuk korban mendapatkan rehabilitasi berupa bantuan pemulihan, sehingga diharapkan korban dapat pulih secara penuh untuk kebaikan diri sendiri dan masyarakat serta dengan adanya Rumah aman tersebut korban juga dapat memperoleh pembekalan berupa keahlian/kursus dibidang kecantikan atau menjahit dll (reintegrasi) yang dapat menunjang kehidupannya kelak apabila kembali ketengah-tengah masyarakat, sehingga korban tidak mudah kembali menerima bujuk rayu dari trafficker/pelaku untuk menjadi korban dari perdagangan orang kembali.

6. Kerja sama Internasional perlu juga dikembangkan mengingat tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan tidak saja dalam wilayah negara RI,


(2)

tetapi juga merupakan kejahatan transnasional, melewati lintas batas negara antar negara, baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral, dimana kasus perdagangan orang ini modusnya semakin canggih dikaitkan dengan perdagangan tenaga kerja ilegal dan pasar perdagangan seks internasional, maka diperlukan adanya pertemuan tingkat tinggi antar negara-negara misalnya ASEAN dengan tujuan meningkatkan kesadaran maupun dalam rangka membangun kesepahaman dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPO, misalnya seperti Deklarasi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-buku

Aulia HS., Belajarlah ke Negeri Cina, Majalah Panji Masyarakat, No. 19 Tahun IV, 30 Agustus 2000.

Daryanto,S.S, Kamus Bahasa Umum Indonesia Lengkap (Surabaya:Apollo,1997) Harkrisnowo, Harkristuti, Laporan Perdagangan Indonesia, (Jakarta : Sentra

HAM,UI 2003 )

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Rineka Cipta, 1994.

Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta 2009.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pembernatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta, 2008.

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Persons) Di Indonesia, Jakarta, 2003.

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta, 2005)

Komisi Nasional Perlindungan Anak, Beberapa isu Hukum Kejahatan Perdagangan Orang.

Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Jakarta:Gramedia,1999),hal 69, Lihat Buku Imam Kabul, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Kurnia Kalam,2005) Marzuki, Petter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006.


(4)

Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy : Pendekatan Integral Penal policy dan Non Penal Policy Dalam penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (medan : Pustaka Bangsa Press,2008).

Nasution Bismar, Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara” (Medan; Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004).

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak – IOM International Organization for Migran, Peraturan Daerah Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Medan, 2005.

Publikasi Komnas Perempuan – LBH APIK, Laporan Khusus PBB Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Perdagangan Perempuan, Migrasi Perempuan dan Kekerasan terhadap Perempuan : Penyebab dan Akibatnya. Jakarta, 2000

Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Jakarta : 2003.

Saleh Roeslan, Hukum Pidana, Jakarta 2003.

Satochid K, Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa. Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung:Refika Aditama,2007)

Sapardjaja Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Alumni,2002).

Simanjuntak Osman, Teknik Perumusan perbuatan pidana dan azas-azas umum, Jakarta 2007

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Subagyo, Joko.P, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : Rineka


(5)

Sunarso Siswanto, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung 2005. Syahrin Alvi, Beberapa Masalah Hukum, (Medan:PT.Sofmedia,2009)

2. Perundang-undangan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-undang No.9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.

Undang-undang No.39 tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-undang No.181 tahun 1998, Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Undang-undang No.2 tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-undang No.23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang No.39 Tahun 2004, Tentang Penempatan Dan perlindungan TKI di Luar Negeri.

Peraturan Daerah Sumatera Utara No.6 Tahun 2004, Tentang Penghapusan perdagangan Orang (Trafiking).

Peraturan Daerah Sumatera Utara No. 5 tahun 2007, Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Bentuk Terburuk Bagi Anak.

Peraturan Gubernur Sumatera Utara No.24 Tahun 2005, Tentang Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak.

Peraturan Kapolri No.10 Tahun 2007, Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayan Perempuan Dan Anak (Unit PPA) di Lingkungan Polri.


(6)

3. Internet

Departemen Luar Negeri AS: Laporan Mengenai Perdagangan Manusia (Bagian III),www.hrw.org.html,8 Maret 2009.

Departemen Luar Negeri AS: Laporan Mengenai Perdagangan Manusia (Bagian II),www.usembassyjakarta.go.html, 9 Maret 2009.

Kendala Dana Selalu Dijadikan alasan untuk menangani kasus Trafiking,

www.journalperempuan.com, 7 Maret 2009.

Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, www.id.wikisource.org, 7 Maret 2009.

Perdagangan Orang, www.profsuhaidi.web.id tanggal 10 Agustus 2010.

Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan, www.Erna Sofyan Syukrie.com tanggal 21 Agustus 2010.

4. Wawancara

Emmy Suryana Lubis, Staf Biro PPA dan KB Setdaprovsu

AKBP.Rauli Siahaan,SH,M.Hum, Kepala Sekretariat Umum Polda Sumatera Utara AKP. Sitiani Purba, Jabatan Panit Perlindungan PPA Polda Sumatera Utara

Kompol Fransisca Munthe,SH, Jabatan Kanit PPA Polda Sumatera Utara