18
Seiring dengan hal itu maka adapun gagasan tentang pencegahan, pemberantasan dan penanganan perdagangan orang yang di buat oleh pemerintah Indonesia dalam menangani
tindak pidana perdagangan orang yakni dengan diundangkannya Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang –
Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Menindak dan Menghukum Perdagangan Orang Terutama Perempuan dan Anak – Anak. Diundangkannya
undang – undang tersebut diatas melengkapi konvensi Perserikatan Bangsa - Bangsa PBB untuk menentang tindak pidana trans – nasional yang terorganisir
22
. Dari uraian – uraian diatas, mendorong penulis untuk mengetahui apakah kebijakan
hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang sudah dilakukan dan dilaksanakan dengan baik. Untuk itulah penulis membuat judul yang bertuliskan “ Kebijakan
Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang Human Trafficking “.
B. Perumusan Masalah
Perdagangan orang atau Human Trafficking merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia HAM yang dlindungi dalam ketentuan peraturan perundang –
undangan. Permasalahan ini tidak hanya merupakan orang - perorang saja, tetapi juga telah menyentuh berbagai aspek yakni dari nasional bahkan internasional. Maka untuk itu
permasalahan - permasalahan ini perlu dirumuskan melalui pertanyaan - pertanyaan untuk dibahas secara konkret dan menyeluruh. Adapun permasalahan yang dapat diajukan dalam
menyikapi masalah perdagangan orang Human Trafficking ini adalah :
22
Hatta, Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalan Teori Dan Praktek, Yogyakarta : Liberty, 2012, Hal 6.
Universitas Sumatera Utara
19
1. Bagaimana tindak pidana perdagangan orang Human Trafficking dilihat dari bentuk
- bentuk, faktor penyebab, dan akibatnya ? 2.
Bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana perdagangan orang Human Trafficking ?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana
perdagangan orang Human Trafficking ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan dengan latar belakang dan pokok – pokok permasalahan, maka adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk :
a. Untuk mengetahui tentang tindak pidana perdagangan orang Human
Trafficking dilihat dari bentuk - bentuk, faktor penyebab, dan akibatnya. b.
Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang tindak pidana perdagangan orang Human Trafficking .
c. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak
pidana perdagangan orang Human Trafficking .
2. Manfaat Penulisan
Adapun hasil penulisan dan studi yang dilakukan oleh penulis diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
a. Memberikan informasi mengenai tindak pidana perdagangan orang Human
Trafficking dilihat dari bentuk - bentuk, faktor penyebab, dan akibatnya. b.
Memberikan informasi mengenai perngaturan tentang tindak pidana perdagangan orang Human Trafficking yang berlaku secara nasional
maupun internasional.
Universitas Sumatera Utara
20
c. Menambah pengetahuan yang jelas tentang kebijakan hukum pidana dalam
menanggulangi tindak pidana perdagangan orang Human Trafficking .
D. Keaslian Penulisan
Adapun judul yang dipilih oleh penulis adalah “ Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang Human Trafficking “ , yang diajukan
oleh penulis dalam rangka untuk memenuhi suatu tugas serta syarat untuk memperoleh gelar “ Sarjana Hukum “. Judul skripsi yang penulis akan buatkan ini belum pernah ditulis di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun penulisan skripsi ini berdasarkan kepada referensi dari buku – buku, undang – undang, peraturan – peraturan , serta data – data
dari sumber – sumber lainnya. Penulisan skripsi ini berdasarkan atas hasil pemikiran penulis sendiri dan belum ada orang lain yang membuatkannya, hal ini telah diperiksa oleh
perpustakaan hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian skripsi ini merupakan sebuah karya asli yang berasal dari penulis dan dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Istilah “ kebijakan “ dalam tulisan ini diambil dari istilah “ policy “ Inggris atau “ politiek “ Belanda yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip – prinsip umum yang
berfungsi untuk mengarakan pemerintah dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan – urusan publik, masalah – masalah masyarakat atau bidang – bidang penyusunan
peraturan perundang- udangan dan pengaplikasian hukum peraturan, dengan satu tujuan umum yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat
warga negara . Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “ kebijakan hukum pidana “ dapat pula disebut dengan istilah “ politik hukum pidana “. Dalam kepustakaan asing istilah
Universitas Sumatera Utara
21
“ politik hukum pidana “ ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “ penal policy “, “ criminal law policy “ atau “ Strafrechtspolitiek “.
23
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, “ Politik Hukum “ adalah :
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan – peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat.
24
b. Kebijakan dari negara melalui badan – badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita – citakan.
25
Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya menyatakan bahwa melaksanakan “ kebijakan hukum pidana “ berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai
hasil perundang – undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “ kebijakan
hukum pidana “ berarti, “ usaha mewujudkan peraturan perundang – undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa – masa yang akan
datang.
26
Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa politik hukum adalah ;
“ kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. “
27
Mahfud M.D, juga memberikan defenisi politik hukum sebagai ;
23
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru , Jakarta : Kencana, 2008. Hal 22.
24
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana.........Op. Cit., Hal 159.
25
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Bandung : Sinar Baru, 1983 , Hal 20.
26
Ibid.,Hal 93 dan 109.
27
Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum, Bandung : Mandar Maju, 1989, Hal 49.
Universitas Sumatera Utara
22
“ kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah “
28
Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembutaan dan
penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal – pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam
kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya pasal – pasal, maupun dalam penegakannya.
Sedangkan menurut Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana atau “ penal policy “ dinyatakan sebagai “ suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik “. Dengan demikian yang dimaksud dengan “ peraturan hukum positif “the positive rules dalam defenisi Marc Ancel itu jelas
adalah peraturan perundang – undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah “ penal policy “ menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “ kebijakan atau politik hukum
pidana “.
29
Menurut A. Mulder, “ Strafrechtspolitiek “ ialah garis kebijakan untuk menentukan :
30
a. Seberapa jauh ketentuan – ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui; b.
Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; c.
Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dana pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Secara umum dari pendapat – pendapat di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa kebijakan hukum pidana atau “ penal policy “ adalah suatu usaha – usaha yang dapat
dilakukan untuk menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia dimasa yang akan datang dengan melihat penegakkannya dimasa sekarang.
2. Pengertian Tentang Tindak Pidana
28
Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1989, Hal 1 – 2.
29
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., Hal 23.
30
A. Mulder, “ Strafrechtspolitiek “, Delikt en Delinkwent, Mei 1980, Hal. 333.
Universitas Sumatera Utara
23
Dari berbagai literatur dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaar feit dalam bahasa Belanda.
Kata strafbaar feit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaar feit oleh
sarjana – sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delict, perbuatan pidana. Pembentuk undang – undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaar feit“
untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana “ di dalam Kitab Undang – undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan yang jelas mengenai apa yang
sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit“ tersebut.
31
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”. Sedangkan “strafbaar” berarti “dapat
dihukum” hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat,
oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.
32
Sementara dalam berbagai perundang – undangan sendiri digunakan berbagai istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaar feit. Beberapa istilah yang digunakan dalam
undang – undang tersebut adalah :
33
a. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam undang – undang
dasar sementara tahun 1950 khususnya dalam pasal 14. b.
Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan
susunan, kekuasaan dan acara – acara pengadilan sipil.
31
P.A.F Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997, hal 181.
32
Ibid.
33
Tongat, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2009, Hal 101.
Universitas Sumatera Utara
24
c. Perbuatan – perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam
Undang – undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen.
d. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam Undang –
undang Darurat Nomor 16 tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
e. Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang – undang
misalnya : 1
Undang – Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum.
2 Undang – Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pengusutan,
Penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi. 3
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatannya bagi Terpidana karena
melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan. Oleh karena itu menurut penulis, penggunaan berbagai dari istilah tersebut di atas
pada hakikatnya tidak menjadi sebuah persoalan, sepanjang dari penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan pemahaman maknanya.
Setelah diketahui berbagai istilah yang dapat digunakan untuk menunjuk pada istilah strafbaar feit atau tindak pidana, berikut ini akan dibahas tentang tindak pidana. Sebagai
salah satu masalah yang esensial dalam hukum pidana, masalah tindak pidana perlu diberikan penjelasan yang memadai. Penjelasan ini dirasa sangat urgen oleh karena penjelasan tentang
masalah ini akan memberikan pemahaman kapan suatu perbuatan dapat dikualifikasi sebagai perbuatantindak pidana dan kapan tidak. Dengan demikian dapat diketahui dimana batas –
batas suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatantindak pidana.
Universitas Sumatera Utara
25
Untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih jelas mengenai tindak pidana tersebut, dibawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli mengenai tindak pidana.
Menurut D. Simons, suatu tindak pidana adalah ;
34
“tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh
undang – undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum“ Dengan batasan seperti ini, maka menurut Simons, untuk adanya suatu tindak pidana
harus dipenuhi unsur – unsur sebagai berikut :
35
a. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif berbuat maupun perbuatan
negatif tidak berbuat. b.
Diancam dengan pidana c.
Melawan hukum d.
Dilakukan dengan kesalahan e.
Oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Dengan penjelasan seperti ini maka tersimpul, bahwa keseluruhan syarat adanya
pidana telah melekat pada perbuatan pidana. Simons tidak memisahkan antara criminal act dan criminal responbility. Apabila diikuti pendapat ini, maka apabila ada seseorang yang
melakukan pembunuhan eks Pasal 338 KUHP, tetapi kemudian ternyata orang yang melakukan pembunuhan itu adalah orang yang tidak mampu bertanggung jawab, misalnya
oleh karena orang gila, maka dalam hal ini tidak dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana. Secara gampang bisa dijelaskan mengapa peristiwa itu tidak dapat disebut tindak pidana,
sebab unsur – unsur tindak pidananya tidak terpenuhi, yaitu unsur orang yang mampu bertanggung jawab. Oleh karena itu tidak ada tindak pidana, maka juga tidak ada pidana.
36
34
P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal 185.
35
Ibid.
36
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
26
Menurut J. Bauman, tindak pidana perbuatan adalah ;
37
“ Perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan “.
Menurut Wiryono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan tindak pidana adalah ;
38
“ Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana “. Menurut E. Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana
yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen- positif atau melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya keadaan yang ditimbulkan karena
perbuatan atau melalaikan itu. Peristiwa pidana merupakan ;
39
“ Suatu peristiwa hukum rechtfeit, yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum “.
Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur – unsur
mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum unsur melawan hukum, oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat
dalam arti kata bertanggung jawab. Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit atau tindak pidana secara teoritis dapat
dirumuskan sebagai suatu ;
40
“Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelakuk
itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum“. Sedangkan menurut Hazewinkel Suringa telah membuat suatu rumusan yang bersifat
umum dari “strafbaar feit” atau tindak pidana sebagai :
41
37
P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal 106.
38
Ibid.
39
Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, Hal. 6.
40
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
27
“suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana
dengan menggunakan sarana – sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya”. Namun menurut Van Hamel telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai berikut :
42
“suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak – hak orang lain”. Berdasarkan beberapa pendapat para sarjana yang ada di atas, penulis berpendapat
bahwa tindak pidana tersebut adalah suatu perbuatan yang memiliki sifat melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang baik sengaja maupun tidak sengaja yang harus diberikan
sanksi terhadap pelanggarnya. Berdasarkan pengertian – pengertian yang terdapat di atas, penulis dapat mengambil
suatu pemikiran bahwa tindak pidana yang dilakukan seseorang akan membawa akibat hukum kepadanya yaitu berupa suatu penjatuhan hukuman pidana. Penjatuhan hukuman yang
dijatuhkan oleh hakim tersebut merupakan suatu proses pemidanaan. Adapun suatu pemidanaan yang dilakukan kepada seseorang memiliki tujuan untuk memberikan suatu
penderitaan kepada seorang pelaku tindak pidana.
3. Pengertian Perdagangan Orang
Dengan diberlakukannya Undang – undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang rumusan mengenai perdagangan orang
Human Trafficking yang terdapat dalam Undang – undang ini menjadi rujukan utama, yakni seperti yang terdapat dalam pasal 1 angka 1 mengatakan bahwa :
“perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi “
41
P.A.F Lamintang, Op.Cit., hal 182.
42
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
28
Berdasarkan Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak 2000, suplemen
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Melawan Organisasi Kejahatan Lintas Batas, memasukkan definisi perdagangan manusia sebagai berikut,
Perdagangan Manusia adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk
lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan
agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk pelayanan paksa, perbudakan atau praktek - praktek
serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh”.
Sedangkan resolusi majelis umum PBB nomor 49166 mendefenisikan istilah
perdagangan orang atau trafficking adalah : “Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across national and
international borders, largely from developing countries and some countries and some countries with economies in transition, with the end goal of forcing women and girl children
into sexually or economically oppresive and exploitative situations for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal activities related to trafficking, such
as forced domestic Labour, false marriages, clandestine employment and false adoption“. Perdagangan orang adalah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang lintas nasional dan
perbatasan internasional, sebagian besar berasal dari negara – negara berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak – anak perempuan
bekerja di bidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaan eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur dan sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan illegal lainnya
yang berhubungan dengan perdagangan seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerjaan gelap dan adopsi .
Pengertian di atas tidak menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang menentukan suatu perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang, tetapi juga
kondisi eksploitatif terkait ke dalam mana orang diperdagangkan. Dari pengertian di tersebut ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu :
a. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman,
pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang; b.
Cara, menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk – bentuk paksaan lainnya, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan
Universitas Sumatera Utara
29
kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang –
orang; c.
Tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup setidak – tidaknya eksplotiasi pelacuran dari orang lain atau bentuk – bentuk eksploitasi
seksuan lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan pengambilan organ tubuh.
Sedangkan menurut Peraturan Daerah Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Pasal 1 huruf o menyebutkan, bahwa ;
“perdagangan Trafficking Perempuan dan anak adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan,
perempuan atau anak dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau
penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak”
F. Metode Penelitian
Dalam memperoleh suatu gambaran yang jelas tentang kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang, maka penulis akan melakukan suatu
penelitian dengan metode :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris. Metode penelitian hukum normatif disebut
juga penelitian hukum doktrinal. Dalam penelitian ini seringkali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang – undangan law in book atau hukum
dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.
43
2. Bahan Hukum
43
Amiruddin Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal 118.
Universitas Sumatera Utara
30
Adapun jenis data yang akan diperoleh dalam melengkapi dari penulisan skripsi ini terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan – bahan hukum primer terdiri dari perundang – undangan, catatan – catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang – undangan dan putusan – putusan hakim. b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen – dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku – buku teks, kamus – kamus hukum, jurnal – jurnal hukum, dan komentar – komentar atas putusan
pengadilan. c.
Bahan Hukum Tersier Semua dokumen yang berisi konsep – konsep dan keterangan – keterangan yang
mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data – data yang akan diperoleh oleh penulis, maka penulis menggunakan metode :
a. Penelitian Kepustakaan Library Research
Penelitian kepustakaan adalah suatu metode pengumpulan data yang akan penulis lakukan dengan cara menghimpun atau menelaah literatur – literatur, peraturan perundang –
undangan serta buku – buku yang memiliki relevansi dengan materi yang penulis bahas dalam penulisan skripsi ini.
b. Analisis Data
Universitas Sumatera Utara
31
Data - data yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dalam menagani tindak pidana perdagangan orang seperti perundang – undangan, buku – buku, kliping – kliping,
serta media massa akan dikumpulkan kemudian akan di analisa sehingga mendapatkan gambaran yang jelas tentang kebijakan hukum pidana dalam menagani tindak pidana
perdagangan orang.
G. Sistematika Penulisan Skripsi