75
memiliki kekuatan dalam masyarakat. Suatu proses pembentukan peraturan perundang - undangan dilaksanakan melalui kebijakan formulasilegislatif, sedangkan proses penegakan
hukum atau pelembagaan dilakukan melalui kebijakan aplikasiyudikasi dan proses pelaksanaan pidana dilakukan dengan kebijakan eksekusiadministrasi. Ketiga tahapan
kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut :
A. Kebijakan Formulasi Legislasi
Kebijakan formulasilegislasi adalah proses pembuatan peraturan perundang – undangan yang dilakukan oleh pembuat undang – undang pemerintah bersama – sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua badaninstitusi inilah yang berwenang membuat peraturan hukum, yaitu melalui proses mewujudkan harapan hukum dalam realita. Karena itu,
setiap aturan hukum yang dibuat hendaknya dapat menjangkau setiap kebutuhan dan kejadian dalam masyarakat, seperti halnya dalam bagan ChamblissSeidman dibawah ini.
Faktor – faktor sosial dan personal lainnya
Lembaga pembuat peraturan Umpan Balik
Norma Norma
Umpan Balik Lembaga Penerapan Peraturan
Aktivitasi Penerapan Peme
Faktor – faktor sosial dan personal lainnya Faktor – faktor sosial
dan personal lainnya
Gambar
Alur Penanggulangan dan Penegakan Hukum Pemegang
Peranan Lembaga PembuatPeraturan
Lembaga Penerapan Peraturan
Universitas Sumatera Utara
76
Sesuai dengan bagan ChamblissSeidman, masyarakat mengajukan harapan dan keinginannya kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, dimana Dewan Perwakilan
Rakyat suatu lembaga politik yang merupakan suatu institusi atau organisasi yang berwenang membuat dan mengajukan peraturan hukum, dan berupa lembaga terstruktur
sebagai badan penyelenggara hukum negara yang resmi dan disebut badan legislatif sesungguhnya institusi politik. Orang – orang yang ada di badan legislatif adalah wakil –
wakil golongan politik yang memperjuangkan aspirasi – aspirasi konstituennya, melalui proses – proses yang sebagian besar bernuansa politik, sarat dengan motivasi – motivasi
kepentingan yang tidak menutup kemungkinan akan menguntungkan golongan yang lebih dominan dalam badan tersebut, dan menyingkirkan nuansa ideologis. Namun demikina, hasil
kerja badan politik ini diperoleh dengan dasar kesepakatan parlementer, dan apabila diundangkan dalam hukum tertulis atau undang – undang, maka akan dianggap resmi,
berlaku umum dan dipercaya sebagai doktrin hukum berdasarkan kesepakatan bersama yang bersifat netral.
98
Tahap kebijakan formulasilegislasi adalah tahap yang paling strategis, karena pada tahap ini akan dihasilkan suatu peraturan hukum yang akan menjadi pedoman pada tahap –
tahap berikutnya dalam proses kebijakan hukum. Produk legislatif yang dinamakan undang – undang ini dalam tataran kebijakan hukum merupakan tataran formulasi, dan posisinya
berada dalam tataran abstrak berupa peraturanundang – undang, artinya undang – undang ini akan mempunyai makna, apabila diberlakukan dalam realitas. Untuk itu, agar undang –
undang in dapat terealisasi dalam masyarakat, diperlukan badan – badan yang dapat melakukannya dalam ilmu hukumilmu politik dinamakan badan eksekutif. Sedangkan badan
yang bertugas menerapkan atau mengefektifkan peraturan perundang – undangan dinamakan
98
Sutandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan Masalah, sebuah Pengantar Ke arah Kajian Sosiologi Hukum, Cetakan Kedua, Malang : Bayumedia Publishing, 2008, Hal 80 –
81.
Universitas Sumatera Utara
77
badan yudisialbadan yudikatif yang mandiri dan netral, serta bebas dari campur tangan badan lainnya.
99
Selain itu masalah kebijakan formulasilegislatif juga berhubungan dengan masalah penitensier, yang merupakan bagian terpenting dari kebijakan pemidanaan sentencing
policy, yang merupakan salah satu masalah kontroversial dalam hukum pidana. Demikian juga dengan pembaruan hukum legal reform yang diawali dari lahirnya
peraturan hukum, hendaknya dapat diimplementasikan dan diberlakukan dalam masyarkat, dengan tujuan untuk mencapai ketertiban, keadilan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, setiap
produk hukum yang berwujud peraturan, harus berlandaskan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat, agar peraturan yang dibuat dapat berjalan optimal dan memenuhi rasa keadilan
masyarakat.
100
Pembaharuan hukum pidana juga selain harus dilaksanakan secara integral dan komprehensif, juga harus memperhatikan nilai – nilai filosofis, sosiologis,dan kultural yang
ada dalam masyarakat Indonesia, yaitu didasarkan pada nilai – nilai luhur yang terdapat dalam pancasila yang didalamnya terdapat nilai – nilai moral KeTuhanan religius,
kemanusiaan humanistic, kebangsaan; demokrasi, serta keadilam sosial. Menurut Barda Nawawi Arief, konsepsi kebijakan penanggulangan hukum pidana
yang integral mengandung konsekuensi bahwa usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan, harus merupakan satu kesatuan yang terpadu. Ini berarti, kebijakan
penanggulangan hukum pidana harus dipadukan antara penal dan non penal, yang mencakup bidang yang sangat luas dalam kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Dengan
demikian, kebijakan hukum pidana yang integral, tidak hanya didasarkan pada pembangunan dalam bidang hukum pidana saja, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.
101
99
Ibid., Hal 94 – 95.
100
Henny, Op. Cit., Hal 281.
101
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam....Op.Cit., Hal 34.
Universitas Sumatera Utara
78
Pembaruan hukum pidana dari Barda Nawawi Arief kemudian disimpulkan oleh Yesmil Anwar, bahwa pada dasarnya pembaruan hukum pidana berorientasi pada :
1. Dari sudut pendekatan kebijakan, pembaruan hukum pidana dappat
berorientasi pada kebijakan sosial yang pada hakikatnya adalah bagian dari upaya menaggulangi masalah sosial termasuk masalah kemanusiaan.
Sedangkan sebagai kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana adalah bagian dari upaya perlindungan masyarkat.
2. Dari segi kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui substansi hukum. 3.
Pembaruan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarkat the living law, antara lain hukum agama
dan hukum adat.
102
Selanjutnya Yesmil menyatakan, bahwa usaha pembaruan hukum, khusunya hukum pidana pada dasarnya dilandasi oleh kehidupan manusia yang selalu berubah, termasuk
bidang hukum, yang disebabkan oleh : 1.
Adanya pemikiran manusia yang selalu berubah – ubah dari waktu ke waktu, terhadap segala aspek kehidupan.
2. Adanya tuntutan dari kebutuhan untuk senantiasa memenuhinya, tetapi tidak
pernah terpuaskan, sehingga membutuhkan perubahan. 3.
Perubahan yang dikehendaki ditentukan oleh cara hidup, perkembangan tekonologi dan kemajuan komunikasi yang selalu menyertai manusia.
103
Kebijakan formulasi dapat berupa kriminaliasipembaruan hukum dengan menciptakan aturan baru, atau dapat berupa regulasi yang merubah dan
menambahkanmerevisi peraturan lama. Secara umum, pembaruan hukum pidana dapat dilakukan untuk seluruh bagian hukum pidana secara global menyeluruh, ataupun secara
parsialbagian baik hukum pidana umum maupun hukum pidana khusus. Salah satu bagian hukum pidana adalah tindak pidana perdagangan orang. Oleh karena itu, pembaruan hukum
pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang, juga merupakan salah satu bagian dari upaya mencapai penegakan hukum dalam hukum pidana. Penegakan hukum merupakan
rangkaian proses dalam menjabarkan nilai, ide, dan cita – cita yang cukup abstrak, dan menjadi realita dalam tujuan hukum. Pencegahan tindak pidana perdagangan orang, harus
selaras dengan tujuan huku. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai – nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai – nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas
102
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana, Jakarta : Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2008, Hal 21.
103
Ibid., Hal 19.
Universitas Sumatera Utara
79
nyata. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai yang terjabarkan dalam wujud hukum yang berupa peraturan perundang – undangan.
104
Kebijakan formulasi dengan membuat peraturan hukum ditujukan untuk dilaksanakan, pelaksanaan hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena itu
penilaian terhadap bekerja dan berlakunya hukum sangat bergantung pada lingkungan dan struktur sosial masyarkat dimana hukum tersebut diberlakukan.
Pendekatan rasional dalam kebijakan formulasi hukum pidana, menurut Sudarto merupakan konsekuensi logis dalam melakukan kebijakan, sehingga dapat dilakukan dengan
memberikan penilaian dan pilihan dari beberapa alternatif yang dihadapi. Hal ini berarti politik hukum pidana dngan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan usaha
dan langkah – langkah yang dilakukan dengan sengaja dan sadar. Kebijakan formulasi terhadap hukum pidana berarti, memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana dalam
menanggulangi kejahatan yang harus didukung oleh berfungsinya dan bekerjanya hukum dalam masyarakat.
105
Menurut Bassiouni, kebijakan hukum pidana memerulukan pendekatan pada kebijakan pragmatis dan rasional policy- oriented approach, dan juga pendekatan yang
berorientasi pada nilai value-judgment approach. Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief, pendekatan pada kebijakan dan pendekatan pada nilai, jangan dilihat sebagai dikotomi,
karena pedekatan kebijakan sudah seharusnya juga mempertimbangkan faktor – faktor nilai.
106
Sehubungan dengan hal tersebut, Roeslan Saleh menyatakan, bahwa keharusan rasionalitas bukan berarti bahwa pertimbangan - pertimbangan etis dalam hukum pidana
dapat ditinggalkan, karena syarat rasional adalah suatu syarat moral. Jadi rasionalitas jangan
104
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Jogjakarta : Genta Publishing, 2009, Hal 7.
105
Henny, Op. Cit., Hal 284 – 285.
106
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam....Op.Cit., Hal 41.
Universitas Sumatera Utara
80
dikaburkan oleh pertimbangan – pertimbangan yang bersifat etis. Batas – batas yang bersifat etis harus dirumuskan secara baik dan teliti dan diambil dari keputusan – keputusan yang
rasional.
107
Oleh karena itu dalam melakukan suatu kebijakan formulasilegislatif terhadap tindak pidana perdagangan orang harus adanya pertimbangan mengenai pendekatan – pendekatan
yang tidak hanya berdasarkan kebijakan hukum saja, akan tetapi juga mempunyai pertimbangan – pertimbangan nilai – nilai, dan budaya yang ada dalam masyarakat kita. Ini
merupakan suatu hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena di dalam menerapkan kebijakan hukum pidana kebijakan aplikasiyudikasi peraturan perundang – undangan yang
berlaku akan dapat bekerja secara maksimal, apabila sesuai dengan nilai – nilai dan budaya yang ada dalam masyarakat.
Dalam perkembangan sejarah, awal munculnya perdagangan orang merupakan suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan nilai – nilai masyarakat bahkan diakui
keberadaannya oleh masyarakat Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Hal ini terjadi pada awal perkembangan kehidupan manusia, dimana perdagangan orang khususnya perempuan
merupakan perbuatan yang legal, namun dalam perkembangan kehidupan manusia, perdagangan orang menjadi perbuatan yang tidak sesuaiillegal dengan nilai – nilai yang
hidup dalam masyarakat. Dalam sejarah perkembangan hukum pidana yang berlaku di Indonesia dewasa ini
merupakan warisan kolonial Belanda, yang mulai diberlakukan di Hindia Belanda Indonesia sekarang sejak 2 Januari 1918. Melihat kondisi yang sekarang berlaku, banyak substansi dan
norma hukumnya sudah tidak relevan lagi dengan situasi, kondisi, dan perkembangan
107
Roeslan Saleh, Pikiran – Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982, Hal 44.
Universitas Sumatera Utara
81
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sudah selayaknya Indonesia melakukan pembaruan hukum dengan berlandaskan pada alasan politik, sosiologis dan praktis.
108
Alasan – alasan tersebut menurut Sudarto didasarkan bahwa sebagai bangsa yang merdeka sudah selayaknya Indonesia mempunyai aturan hukum yang murni buatan bangsa
Indonesia. Dengan menggunakan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana warisan kolonial Belanda, maka secara politik Indonesia belum melepaskan diri dari penjajahan Belanda.
Alasan sosiologis menegaskan bahwa pada dasarnya. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana merupakan pencerminan dari nilai – nilai kebudayaan suatu bangsa. Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana yang merupakan terjemahan dari wetboek van strafrecht Wvs hasil karya bangsa Belanda, tidak mungkin dapat mencerminkan nilai – nilai kebudayaan bangsa
Indonesia secara murni. Apalagi wetboek van strafrecht Wvs teks resminya bahasa Belanda, sehingga secara praktis akan menyulitkan, karena orang yang memahami secara tekstual
bahasa Belanda sangat terbatas. Terlebih pemahaman dan kemampuan aparat penegak hukum dalam menerjemahkan dapat berbeda – beda dan tidak seragam, bahkan dikhawatirkan akan
menyimpang dari makna aslinya yang disebabkan karena tidak tepat dalam terjemahan. Selanjutnya Muladi menambahkan satu alasan, yaitu alasan adaptif. Menurut Muladi,
KUHP pada masa yang akan datang harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan – perkembangan baru, terutama perkembangan masyrakat internasional, dan nilai – nilai yang
disepakati oleh masyarakat yang beradab.
109
Demikian juga tindak pidana perdagangan orang, dewasa ini dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan norma hukum dan perkembangan masyarakat. Karena itu
sudah sepantasnya Pasal 297 KUHP ditinjau kembali dan diperbharui dengan aturan yang mengacu pada nilai – nilai masyarakat Indonesia, dan masyarakat Internasional. Perdagangan
108
Henny, Op. Cit., Hal 287.
109
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990, Hal 3.
Universitas Sumatera Utara
82
orang yang dianggap sebagai pelanggaran harkat dan martabat manusia, sudah selayaknya mendaptkan tempat tersendiri dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
110
Atas dasar itu dengan dilandasi penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pemerintah Indonesia mengundangkan Undang –Undang Nomor 21 Tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, secara materiil ruang lingkup tindak pidana perdagangan orang mengandung unsur objektif dan unsur subjektif
sebagai berikut : 1.
Unsur objektif, yaitu : a. Adanya perbuatan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu :
1 Perekrutan
2 Pengangkatan
3 Penampungan
4 Pengiriman
5 Pemindahan
6 Penerimaan.
b. Adanya akibat yang menjadi syarat mutlak dilarang yaitu : 1
Ancamanpenggunaan kekerasan; 2
Penculikan; 3
Penyekapan; 4
Pemalsuan; 5
Peniupuan 6
Penyalahgunaan kekuasaan; 7
Posisi rentan. a.
Adanya tujuan atau akibat dari perbuatan, yaitu :
110
Henny, Op. Cit., Hal 288.
Universitas Sumatera Utara
83
1 Penjeratan utang;
2 Memberi bayaranmanfaat;
3 Eksploitasi, terdiri dari ; eksploitasi seksual, kerja paksa dan transpalantasi organ
tubuh. b.
Unsur tambahan : Dengan atau tanpa persetujuan orang yang memegang kendali.
2. Unsur subjektif yaitu :
a. Kesengajaan : 1
Sengaja memberikan kesaksian dan keterangan palsu; 2
Sengaja melakukan penyerangan fisik. b.Rencana terlebih dahulu :
1 Mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang;
2 Sengaja mencegah, merintangi, atau mengagalkan proses hukum;
3 Sengaja membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang;
4 Sengaja memberitahukan identitas saksi.
Membandingkan unsur – unsur tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka pengaturan tindak pidana perdagangan orang di atas, jelas terlihat adanya perubahan, yang merupakan kriminalisasipembaruan hukum
pidana dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dibandingkan dengan Pasal 297 Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana yang mengatur pedagangan orang sebelumnya. Secara substansi, kriminalisasipembaruan hukum dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, terlihat dari adanya perluasan pengaturan unsur subjektif dan unsur objektif. Namun demikian, dalam perjalanannya ternyata masih
Universitas Sumatera Utara
84
banyak dirasakan adanya kelemahan dalam substansi kebijakan formulasi dalam undang – undang tersebut.
Hasil kriminalisasi dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dapat terlihat dari adanya perluasan
subjek tindak pidana perdagangan orang, seperti terlihat dalam rumusan Pasal 1 angka 4, yaitu pelaku tidak hanya orang berupa perseorangan yang merupakan manusia natural
person, tetapi juga di atur adanya pelaku yang berbentuk korporasi juricial person. Berdasarkan kebijakan hukum pidana, upaya ini merupakan hasil formulasi hukumkebijakan
hukum yang berorientasi ke depan, sebagai antisipasi sebagai wujud dari upaya pencegahan yang merupakan pembaruan hukum pidana dalam tindak pidana perdagangan
orangkriminalisasi.
111
Secara substansialmaterial pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang sudah sesuai dengan harapan masyarakat dalam penegakan hukum pidana perdagangan orang. Namun dalam mendukung pelaksanaan pencegahan dan
penegakan hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang secara umum, tidak cukup dengan hanya mengandalkan pada Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang saja, melainkan perlu didukung oleh peraturan perundang – undangan lainnya, mengingat sifat dan ruang lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang
yang sangat kompleks dan berlakunya dapat melintasi batas negara, maka pencegahan dan penegakan hukumnya pun tidak hanya dapat dilakukan dengan hanya menggunakan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, melainkan memerlukan bantuan dari substansi cabang hukum lainnya legal substance.
112
111
Ibid., Hal 291.
112
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
85
Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang merupakan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan
hukum, baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap calon korban danatau korban, juga berhubungan dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
terhadap Saksi dan Korban. Oleh karena itu, untuk melakukan pencegahan dan penegakan hukum yang tujuannya untuk melindungi Hak Asasi Manusia dapat dilakukan dengan diawali
dari mengidentifikasi penyebab terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 merupakan suatu langkah positif dalam upaya perlindungan
saksi dan korban, yang selama ini masih di atur secara sektoral. Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini merupakan suatu kemajuan terhadap perlindungan korban, sesuai dengan
amanat Pembukaan Undang – Undang Dasar Tahun 1945 yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia“.
113
Pengaturan perlindungan saksi danatau korban yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 diberikan kepada setiap saksi dan korban dalam semua tindak pidana
tanpa kecuali, dan ini sudah sesuai dengan Deklarasi PBB mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, yaitu bahwa korban adalah seseorang baik
secara individu maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk fisik atau mental, emosional, kerugian secara ekonomis atau pelemahan impairment substansial terhadap hak
– hak mendasar lainnya, baik dengan melakukan perbuatan maupun tidak melakukan perbuatan yang merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional atau norma – norma
yang diakui secara internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
114
Di dalam tindak pidana erdagangan orang yang menggunakan modus penjeratan hutang, korban kebanyakan pekerja migran, baik pekerja domestik dalam negeriluar negeri
yang dikenal dengan Tenaga Kerja IndonesiaTKI , yang bekerja di rumah tanggaPembantu
113
Ibid.
114
Penjelasan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Universitas Sumatera Utara
86
Rumah Tangga PRT, dan pekerja seks komersial PSK. Jika korban sudah terjerat dengan modus tersebut, maka perekrutpenghubung akan tambah menekankan dan memaksa korban
yang sudah tidak berdaya dengan ancaman, paksaan dan kekerasan baik secara fisik, seksual, penahanan, penyekapan, untuk bekerja di luar batas kemampuannya.
Adapun cara untuk mengatasi keadaan seperti diatas, diperlukan upaya – upaya dan suatu kebijakan dalam pencegahan, penanggulangan dan penegakan hukum tindak pidana
perdagangan orang. Adapun cara pertama yang dapat dilakukan pemerintah dan masyarakat yakni melalui kebijakan formulasilegislatif dengan sarana hukum diberlakukannya tindak
pidana perdagangan orang sebagai bagian hukum pidana. Cara ini sudah dilaksanakan dan merupakan suatu hal yang tepat dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang.
Sementara itu, kebijakan formulasi dalam tingkat daerahlokal, beberapa Pemerintah Daerah di tingkat Provinsi sampai KabupatenKota, dewasa ini tengah berupaya untuk
membentuk pranata hukum berupa peraturan daerah perda sebagai penjabaran lebih lanjut dari Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Upaya tersebut patut disambut baik. Bahkan ada beberapa daerah KabupatenKota yang telah memiliki Rancangan Perda yang terkait dengan pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun masih ada juga daerah KabupatenKota yang tengah dalam proses dan wacana untuk menyusunya. Dalam rangka pengaturan yang optimal,
maka perlu adanya suatu masukan yang bersifat konstruktif terhadap proses dan wacana penyusunan peraturan daerah termaksud.
115
Dalam penyusunan perdarancangan perda, memerlukan peran serta masyarakat, oleh karena itu baik Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ProvinsiKabupatenKota dalam hal penyusunan undang – undang dan peraturan daerah, dalam melakukan kebijakan formulasi, perlu koordinasi agar peraturan yang dibuat dapat
115
Henny, Op. Cit., Hal 296.
Universitas Sumatera Utara
87
bersinergi. Dengan demikian dalam penyusunan Peraturan daerah, tentang pemberantasan tindak perdagangan orang patut digali berbagai “ ide dan gagasan “, maupun “ pokok – pokok
pemikiran “ strategis, baik yang mencakup substansi, struktur, maupun kultur. Disamping itu, sebagai pelaksana teknis dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang,
pemerintah telah membuat Rencana Aksi Nasional RAN bagi tindak pidana perdagangan orang dan eksploitas seksual anak ESA, yang program kerjanya ditentukan setiap 5 lima
tahun dan dapat ditinjau atau disempurnakan apabila diperlukan. Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan oleh Gugus Tugas, baik tingkat
pusat provinsi, maupun kabupatenkota yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008.
116
Sasaran dari Rencana Aksi Nasional Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah : a
Terlaksananya pencegahan segala bentuk dan praktik yang berindikasi pada tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi seksual anak;
b Terwujudnya pelayanan dan rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial
yang memadai; c
Terwujudnya pelayanan dan rehabilitasi kesehatan yang memadai; d
Terlaksananya norma hukum yang telah memberikan perlindungan hukum bagi saksi danatau korban;
e Terlaksananya penegakan hukum terhadap pelaku dan perlindungan hukum bagi saksi
danatau korban; f
Terwujudnya peningkatan kerjasama dan koordinasi dalam upaya pencegahan dan penanganan di tingkat internasional dan nasional.
Berbagai upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang sudah, sedang dan akan tetap berjalan sepanjang kejahatan tindak pidana perdagangan orang masih marak dalam
116
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
88
masyarakat. Hal ini karena kejahatan tindak pidana perdagangan orang makin hari makin marak, sehingga memerlukan usaha yang sistemik dan integrasi dengan adanya peran serta
dari seluruh komponen masyarakat dan pemerintah. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana perdagangan orang adalah peraturan
yang dibuat harus menyesuaikan diri dengan perkembangan – perkembangan baru dalam masyarakat, baik masyarakat internasional maupun nasional, terutama yang berhubungan
dengan kemanusiaan.
117
B. Kebijakan Aplikasi Yudikasi