Pada Masa Pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939)

2. Pada Masa Pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939)

Paku Buwana X yang bernama kecil Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Kusna, lahir pada Kamis Legi, 21 Rajab Tahun Alip 1795 atau 29 November 1866. Putra dari Paku Buwana IX dengan Gusti Raden Ajeng Kustiyah. Sejak awal, pendidikan Paku Buwana X diarahkan pada pendidikan esosetris yang meliputi berbagai bidang pengetahuaan kesusastraan, agama, pengetahuan dan ketrampilan menggunakan besi aji, kuda, kesenian olah raga, dan pengetahuan

kejiwaan. 34 Tindakan-tindakan politik sunan merupakan bentuk pembebasan, karena di dalam simbol-simbol personal dan publik terdapat unsur-unsur yang saling bertentangan. Sebagai contoh, upacara Garebeg Mulud sebagai budaya Jawa yang dapat dikatakan tidak selaras dengan sendi-sendi Islam. Hampir semua warisan tradisi budaya Jawa sudah mengalami proses Islamisasi. Dimana proses plaksanaaan „ritual‟ dalam tradisi budaya itu sudah menggunakan do‟a-do‟a

Islam. 35 Pada masa pemerintahan Paku Buwana X, pembacaan kitab-kitab agama dilangsungkan pada hari Rabu malam Kamis bertempat di Bangsal Pracimarga.

34 Ibid, hlm. 312.

35 Hermanu Joebagio, Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal: Paku Buwana X, Meniti Kebesaran Berteraskan Wahyu , (Surakarta: UNS Press, 2005),

hlm. 97-98.

commit to user

kemudian Raden Penghulu menguraikan isi kitab yang baru saja dibaca. Pada hari Kamis malam Jum‟at Paku Buwana X melakukan udhik-udhik (sedekah, artinya menyebar dana uang). Di beberapa tempat tertentu, uang sedekah disebarkan untuk rakyat yang telah menunggu, berebutan untuk memperolehnya, karena uang

itu dapat dipakai sebagai jimat. 36

Paku Buwana X melakukan sholat Jum‟at di Mesjid Ageng, ketika masih berusia muda, sunan bersama permaisuri (Ratu Paku Buwana) pergi berjalan kaki

menuju ke masjid. Setelah usia bertambah, sunan bersama Ratu Mas pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat Jum‟at dan dalam menghadiri acara-acara atau

undangan tidak lagi berjalan kaki melainkan naik kereta, seperti pada saat menghadiri peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW tahun 1924 di Masjid

Agung Surakarta. 37

36 Op.cit. hlm. 341.

37 Ibid. hlm. 342.

commit to user

Foto Paku Buwana X bersama Permaisuri Ratu Emas, menghadiri peringatan Maulud Nabi tahun 1924 M di Masjid Agung Surakarta

(Ma‟mun Pusponegoro)

Pertumbuhan sistem pendidikan pada masa kolonial saat itu sudah terbilang maju. Beberapa sekolah seperti Hooger Burger School (HBS), Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Rakyat Belanda, Sekolah Rakyat Angka II; HIS, atau Sekolah Bumi Putera. Di samping sekolah tersebut mulai dikembangkan pula sekolah lanjutan, seperti: MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs), AMS (Algemeene Medelbare School), Teccnische School atau sekolah

Teknik, dan sebagainya. 38

38 Dwi Ratna, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), hlm. 183.

commit to user

pemerintahan Paku Buwana X berkembang menjadi lebih baik. Modernisasi Islam yang muncul didalam Lingkungan Keraton Kasunanan, ditandai dengan didirikannya sekolah dan madrasah Islam di Lingkungan Keraton.

Pendirian madrasah atau sekolah agama tersebut merupakan bentuk perlawanan dari Paku Buwana X, karena dalam Staatsblad van Nederlandsh-Indie 1893, No. 125, pasal 5, dikemukakan adanya larangan terhadap pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta, baik di dalam maupun luar kelas. Bertumpu pada staatsblad tersebut, muncul pemikiran-pemikiran dari para elit keraton (ulama dan pembesar keraton), yaitu:

a. Dengan tidak diajarkannya pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah dapat mempengaruhi akhlak anak-anak pribumi. Pengajaran agama merupakan aspek penting yang diharapkan dapat membangun sikap akhlakul kharimah yang bermakna bagi kehidupan masa depan. Dalam kitab Q.S. At- Tahrim ayat 6 dikemukakan “ berilah pelajaran kepada keluargamu tentang syariat Allah, dan didiklah mereka dengan akhlak yang sempurna”. Begitu pula dalam Q.S. Al- Mujadalah ayat 11 disebutkan “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang mempunyai ilmu diantara kalian”.

b. Sejak dua dekade akhir abad XIX, gerakan Zending atau pengabar Injil mulai meluas di kota-kota Vorstenlanden. Sunan Paku Buwana X menentang dan menolak gerakan tersebut yang dilandasi pemikiran bahwa: (1) Sunan sebagai sayidin panatagama, sehingga tidak mungkin memberi

commit to user

(2) gerakan Zending dapat mendorong dan memicu radikalisme dan fanatisme Islam di Kasunanan Surakarta; (3) hampir di semua kota-kota Vorstenlanden sedang tidak aman, banyak penggarongan, perampokan dan pembakaran rumah, yang sudah bersifat endemis, sehingga gerakan Zending dikhawatirkan dapat memperkeruh suasana.

Melihat kenyataan sosial tersebut sejumlah ulama menyampaikan pemikiran-pemikiran kepada KRTP Tapsiranom ke V dan Pepatih Dalem KRA Sosrodiningrat untuk selanjutnya diajukan kepada Sunan, agar keraton memiliki madrasah dalam mengantisipasi kehidupan keagamaan di masyarakat, serta sebagai kompensasi dari tidak diajarkannya pelajaran agama Islam disekolah- sekolah formal. Dikemukakan pula alasan lain, yaitu sulitnya mencari ulama- ulama baru sebagai pengganti ulama-ulama pengelola langgar dan masjid yang telah meninggal dunia. Kesulitan keratin dalam mencari pengganti terletak pada ketidaksepadanan kualifikasi yang ditentukan keraton.

Sunan menyetujui usulan tersebut dan selanjutnya dimintakan izin kepada pemerintah Belanda dengan alasan dan landasan pemikiran, yaitu: (1) untuk mengadakan pergantian ulama-ulama pengelola langgar dan masjid yang telah meninggal dunia di seluruh district dan onderdistrict Kasunanan Surakarta; (2) berlandaskan pada Undang-Undang Hindia Belanda 1855, pasal 24, dan Staatsblaad van Nederlandsch-Indie 1905, No. 550, pasal 1 yang disebutkan bahwa siapa saja yang hendak memberikan pengajaran agama Islam diwajibkan

commit to user

pengajaran tersebut. 39