Interaksi antara Islam dan Jawa

A. Interaksi antara Islam dan Jawa

Selama bertahta, Paku Buwana X sangat menghargai kebudayaan adat atau tradisional, seperti berbagai upacara adat yang selalu dilaksanakan. Upacara adalah suatu deret tindakan yang menunjuk pada pemujaan, penghormatan atau

peristiwa yang mempunyai arti sangat penting. 1

Salah satu upacara yang masih dilaksanakan adalah Upacara Garebeg. Menurut tradisi, Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dalam setahun melaksanakan tiga kali upacara Garebeg. Garebeg tersebut adalah Garebeg Maulud untuk memperingati lahirnya Nabi Muhammad S.A.W (12 Rabiulawal), Garebeg Puasa untuk merayakan Hari Raya Idulfitri (1 Syawal), dan Garebeg Besar untuk merayakan Hari Haji (10 Dzulhijah). Kegiatan Garebeg dilaksanakan di Sitihinggil dan Mesjid Ageng. Alun-alun Selatan tidak digunakan untuk rangkaian upacara Garebeg tersebut. Pada waktu Garebeg di Alun-alun Utara penuh dengan hiasan berupa gendera (bendera), umbul-umbul, daludag (umbul-umbul yang diberi ular-ularan di puncaknya), lalayu (tombak yang diberi bendera kecil), dan rontek (tombak pendek yang diberi bendera kecil). Selain itu juga terdapat dua pasang paying agung, berwarna gula kelapa dan pare anom juga bawat. Sepasang kuda pandengan dan gajah yang sudah dirias bagus dihadirkan untuk menambah

1 Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000), hlm.123.

commit to user

menyalakan meriam sebagai tanda penghormatan keluarnya gunungan. Raden Penghulu bersama bawahannya merupakan petugas-petugas yang sangat berperan pada hari besar itu dan berada di dalam masjid. Lalu Sunan member isyarat di Sitihinggil dengan hanya melambaikan saputangan tanpa kata-kata, untuk memerintahkan agar gamelan monggang dibunyikan, sebagai aba-aba gunungan mulai dijalankan. Berikutnya isyarat untuk memerintahkan abdi dalem tertentu untuk menyampaikan pesan raja kepada patih kerajaan di Tratagrambat, juga isyarat untuk mengganti gamelan monggang dengan kodhok ngorek. Ketika gunungan sampai di Alun-alun, benda-benda upacara dan ampilan serta dhampar dibawa oleh abdi dalem pria. Para bedhaya dan abdi dalem wanita tidak ikut ke masjid dan mereka tetap menunggu di Sitihinggil. Sekembalinya dari masjid, acara dilanjutkan dengan prosesi yang kedua hingga selesai. Acara berikutnya meninggalkan Sitihinggil menuju Kedhaton. Prosesi tersebut berlangsung seperti pada saat menuju Sitihinggil setelah beristirahat sejenak di Pendapa

Sasanasewaka. 2 Garebeg Mulud tersebut dirayakan secara besar-besaran, terlebih lagi jika jatuh pada tahun Dal. Beberapa alasan bagi masyarakat atau rakyat tertarik pada upacara Garebeg, diantaranya karena rakyat ingin memiliki benda-benda yang terdapat pada gunungan dengan anggapan bahwa benda-benda tersebut memiliki kekuatan magis, rakyat ingin melihat sang raja yang ada dalam prosesi yang megah dan

2 Ibid, hlm. 148-153.

commit to user

mengandung arti:

Bentuk yang menyerupai gunung menunjukkan kesakralannya. Sebagai hajat dalem, maka gunungan yang dibuat dari magangan dan

dianggap mempunyai kekuatan magis, dan untuk sampai di masjid disertai upacara resmi dan melewati ruang-ruang di halaman keraton.

Gunungan melambangkan negara agraris yang makmur, karena terdiri atas buah-buahan, sayuran, telur, makanan dari beras dan ketan, juga masakan dari daging lembu, ayam dan sebagainya.

Penerapan klasifikasi dualism yang saling melengkapi dengan dibuatnya gunungan laki-laki dan gunungna perempuan. Menunjukkan adanya sinkretisme dalam kehidupan beragama masyarakat keraton, karena gunungan berbentuk lingga dan yoni yang dibawa ke masjid

diberi do‟a secara Islam oleh seorang penghulu. Lewat gunungan ini sunan mengadakan selamatan makanan yang telah di

sucikan dan mengandung magis, bersama para abdi dalem dan rakyat pada

umumnya. 3