2. Keadaan Demografi penduduk
Jumlah penduduk Kecamatan Nassau Kabupaten Tobasamosir pada tahun 2008 sebanyak enam ribu dua ratus empat belas 6214 jiwa dengan kepadatan
penduduk delapan belas koma limapuluh dua 18,52 jiwa per Km
2
Berikut tabulasi jumlah penduduk dan kepadatan penduduk dirinci menurut desakelurahan pada tahun 2008.
.
Tabel 2:Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Dirinci Menurut DesaKelurahan Tahun 2008
No DesaKelurahan Jumlah Penduduk
Jiwa Kepadatan
Penduduk Jiwa Km
2
1 Lumban Rau Tengah
2177 71,87
2 Siantarasa
1343 14,01
3 Lumban Rau Utara
1214 41,00
4 Napajoring
429 6,35
5 Sipagabu
1051 9,37
Jumlah 6214
18,52
Sumber : Kepala DesaKelurahan se- Kecamatan Nassau
3. Penggunaan Tanah
Penggunaan tanah yang menonjol di Kecamatan Nassau adalah persawahan 439 Ha dan sisanya seluas 33.111 Ha merupakan tanah kering
termasuk areal perumahan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik BPS Kabupaten Tobasa tahun 2008 bahwa penggunaan tanah adalah sebagai berikut:
No DesaKelurahan Luas Lahan Ha
Sawah Bukan sawah Non
Pertanian 1
Lumban Rau Tengah 115
2405 509
2 Siantarasa
89 5424
4071
3 Lumban Rau Utara
130 1456
1375
4 Napajoring
30 200
6530
5 Sipagabu
75 248
10893
Jumlah 439
9733 23378
Sumber : Camat Nassau Sedangkan untuk penggunaan lahan terhadap hortikultural, perkebunan,
kehutanan, pertenakan dan padi tidak dirinci berdasarkan luas penggunaan lahannya, namun berdasarkan jumlah rumah tangga pengguna lahan atau tanah
tersebut, yakni: a.
Hortikultural : 2.232 Rumah Tangga
b. Perkebunan
: 150 Rumah Tangga c.
Kehutanan : 161 Rumah Tangga
d. Peternakan
: 1. 284 Rumah Tangga e.
Padi : 2.387 Rumah Tangga
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi penggunaan tanah tersebut adalah berdasarkan Data Badan Pusat Statistik BPS Kabupaten Tobasamosir yaitu dalam tahun 2008. Artinya
bahwa telah banyak terjadi perubahan-perubahan terhadap penggunaan tanah dalam kurun waktu yang agak singkat antara tahun 2008 himgga penulisan tesis
ini yaitu tahun 2011. Sebagaimana halnya yang berhubungan dengan perkembangan penduduk
dan perkembangan pembangunan yang juga akan mempengaruhi penggunaan tanah. Hal ini dapat kita lihat dengan penggunanan tanah dengan pembangunan
perhotelan, perkantoran dan juga rumah-rumah, pertanian serta sarana-sarana lainnya.
B. Hak Ulayat 1. Istilah hak ulayat
Terhadap hak persekutuan masyarakat atas tanah terdapat beberapa istilah, yakni beschikkingsrecht Van Vollenhoven, hak purba Djojodigoeno,
hak pertuanan Soepomo, hak ulayat UUPA, dan sekarang lajim disebut dengan hak ulayat. Menurut Soekanto bahwa :
Van Vollenhoven menggunakan istilah “beschikkingsrecht”, melihat secara de fakto bahwa persekutuan mempunyai hak untuk menguasai tanah
diduduki, hak atas pohon-pohon, tebat dan lain-lainya dalam suatu wilayah penguasaan “beschikkingsrecht” bagi warganya, dan juga bagi orang luar
gemeenschapsveende yang membayar pancang atau retribusi.
42
42
Soekanto, Meninjau Hukum Adat, Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 80
Universitas Sumatera Utara
Dalam perundang-undangan Indonesia tidak di jumpai pengertian yang tegas mengenai hak persekutuan hak ulayat. Penjelasan Pasal 3 UUPA hanya
menyebutkan bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu, ialah apa yang di dalam perpustakaan disebut beschikkingsrecht.
Sedangkan istilah hak ulayat di daerah Nassau ini lebih dikenal dengan tanah adat dan dilain pihak ada juga yang memakai istilah tanah golat. Dimana
tanah golat tersebut turun temurun dari nenek moyang satu marga dan tanah golat tersebut tidak dapat diperjual belikan, jika dilihat dari asal-usul tanah golat
tersebut yaitu tanah yang dihasilkan dari pertumpahan darah dari marga siagian dan marga pasaribu, dimana pada waktu itu antara marga siagian dan marga
pasaribu saling memperebut tanah golat itu yaitu di huta Sipagabu, yang akhirnya dimenangkan oleh marga siagian dan tanah marga tersebut jadi kepunyaan marga
Siagian.
2. Sejarah Hak Ulayat
Hak ulayat atau tanah adat golat di Kecamatan Nassau Kabupaten Tobasamosir bila dilihat dari segi sejarah lahirnya atau terbentuknya tanah adat ini
terjadi dengan: a.
berdasarkan penemuan oleh nenek moyang orang yang pertama kali tinggalmendiami daerah tersebut.
Pada umumnya Kecamatan Nassau Kabupaten Tobasamosir dihuni oleh suku Batak yang terdiri dari marga-marga yaitu marga Siagian, Pasaribu dan
Sianipar, dan Siahaan. Sehingga adapun tanah adat adalah didasarkan atau
Universitas Sumatera Utara
sifatnya kemargaan. Apabila ditelusuri dari sejarah dari pada struktur penguasaan tanah adat tersebut adalah dikarenakan ketika dahulu kala marga tersebut adalah
orang yang pertama kali membuka lahan atau bertempat tinggal ke daerah tersebut yang pada waktu itu masih kosong semak belukar.
Dengan waktu yang sangat lama marga tersebut beranak cucu dan tetap tinggal di daerah tersebut dan lama kelamaan terbentuklah sebuah perkampungan
atau komunitas manusia yang ditempati oleh satu marga. Karena wilayahdaerah tersebut masih dalam penguasaan satu garis keturunan, tidak ada pembagian
antara anak, melainkan untuk sebagai tempat mencari nafkah generasi ke generasi. Dengan waktu yang tak terhitung maka marga tersebut terus berkembang
hingga sampai beberapa keturunan suddut, sehingga tak memungkinkan adanya lagi hak untuk melakukan pembagian. Karena hal tersebut maka dijadikanlah
sebagai tanah adat yang berlaku secara terus menerus generasi ke generasi sebagai mereka mencari nafkah.
b. Berdasarkan Kemenangan Perang Penguasaan terhadap tanah adat berdasarkan penemuan nenek moyang
terdahulu terjadi di berbagai daerah atau di beberapa lahan serta oleh marga- marga yang saling berbeda pula. Seperti halnya dalam bab sebelumnya telah
dijelaskan, bahwa pada umumnya daerah Nassau pada zaman dahulu adalah tanah adat. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa Nassau merupakan tanah
adat dari berbagai marga-marga. Oleh karena adanya klaim marga-marga tersebut atas tanah adat tersebut
sehingga menimbulkan perkelahian antar marga. Yang mana marga yang berbeda
Universitas Sumatera Utara
tersebut saling mengklaim bahwa tanah tersebut adalah kekuasaan mereka. Marga-marga tersebut saling mengklaim bahwa tanah tersebut adalah merupakan
peninggalan atau wrisan nenek moyang mereka. Setelah timbulnya konflik, lahir pulalah konflik yang lebih besar yaitu
perang antar marga. Perang antar marga yang memperebutkan tanah tersebut akhirnya berujung kepada setelah adanya pemenang dari pada perang tersebut.
Sehingga yang menjadi berhak atas tanah tersebut adalah mereka marga yang menang dalam perang tersebut.
Konflik yang terjadi di Desa Sipagabu antara marga Siagian dan Pasaribu yaitu memperebut tanah ulayat. Dahulu daerah ini khusus punya kerajaan marga
pasaribu, sebelum pemerintahan Belanda. Pada saat terjadinya konflik antara marga Siagian dan marga Pasaribu banyak pertumpahan darah, dimana kedua
marga ini saling membunuh untuk memiliki status tanah tersebut. Semakin banyaknya pertumpahan darah di daerah ini, sehingga daerah ini disebut dengan
tanah golat yang artinya tanah darah, maka marga Pasaribu menarik diri dari daerah ini, sehingga yang berkuasa di daearah Sipagabu sampai sekarang yaitu
marga siagian. Tetapi seiring dengan waktu kekuasaan marga Pasaribu di daerah Sipagabu ini dihidupkan kembali hak marga Pasaribu, karena sebenarnya yang
mempunyai hak atas daerah ini adalah marga Pasaribu yaitu kepunyaan Raja Malintang.
Nassau yang disebut juga dengan tanah Batak, dimana dahulunya masih kentalnya tanah-tanah adat, sebagaimana bahwa keseluruhan tanah pada zaman
dulu tidak adanya hak kepimilikan oleh perseorangan melainkan tanah adat.
Universitas Sumatera Utara
Hukum adat dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang sangat erat karena aplikasi hukum adat berada pada masyarakat itu sendiri, sesuai
dengan adagium yang menyatakan.”ubi societas, ibi ius” dimana ada masyarakat disana ada hukum.
Masyarakat adat sebagai suatu struktur masyarakat merupakan pendukung pelaksanaan dan perkembangan hukum adat secara nyata. Demikian juga halnya
hukum adat yang tertib dan damai sehingga segala hak dan kewajiban masyarakat senantiasa diatur oleh hukum termasuk hukum adat.
Selanjutnya jika ditinjau dari segi strukturnya, maka masyarakat hukum adat Batak Toba mempunyai struktur bertingkat dan dipengaruhi aturan-aturan
adat dan agama. Pada tingkat paling atas disebut “Bius”, di bawahnya disebut “Horja” dan pada tingkat paling bawah disebut “Huta”. Bius pada masyarakat
Batak Toba merupakan suatu unit yang bersifat geneologis dan teritorial. Setiap warga dalam suatu bius diikat oleh hubungan darah dan merupakan keturunan dari
suatu leluhur. Berdasarkan mitos Batak bahwa seluruh orang Batak adalah keturunan
dari satu nenek moyang yang secra kolektif disebut Si Raja Batak”. Si Raja Batak menurunkan suku Batak Toba, membangun suatu paguyuban yang disebut bius,
terletak di Sianjur Mula-Mula di lereng Lembah “Pusuk Buhit” dan sampai sekarang orang Batak memandangnya sebagai awal mula seluruh suku Batak
dan huta kampung pertama suku Batak terletak di Sianjur Mula-mula. Menurut legenda Batak Toba tarombo yang diturunkan dari suatu
generasi ke generasi lainnya, pemukiman pertama sebagai desa yang teroganisir
Universitas Sumatera Utara
didirikan oleh leluhur orang Batak, dengan usaha pertanian, bersawah dengan memakai sistem irigasi. Kemudian faham bius mendasari hukum adat Batak dan
sekaligus menjadi sumber perkembangan adat di kemudian hari. Bius-bius menurut model Sianjur Mula-mula sudah berfungsi sejak abad 13. Dari bius-bius
di atas kemudian timbul arus migrasi ke daratan Pulau Samosir dari pantai Barat dan daratan tinggi sebelah Barat daerah “Humbang”. Kemudian berkembang
kearah lembah Silindung hulu sungai Batang Toru dan keBarat sungai di tebing- tebing pegunungan Bukit barisan. Mengenai hal ini Sitor Situmorang mengatakan
“Adat bius yang diwariskan Sianjur mula-mula menjadi konstitusi setiap bius desa, yang berfokus pada faham sakralitas tanah dan hak warga penggarap”.
43
Adapun keberadaan bius menjadi hilang sejak Pemerintah Belanda 1908 mulai mengatur administrasi tingkat terbawah untuk seluruh Batak Toba dan
menggunakan bius sebagai titik tolak unit pemerintahan yang disebut “Negeri” dengan gelar “Jaihutan”. Dengan penghapusan bius, hukum adat tidak hilang
karena hukum adat tetap dipelihara oleh marga sebagai alat legitimasi bagi hak- hak dan kewajiban dalam kewargaan dalam bius dan hak ulayat.
Mengenai hal ini Sitor Situmorang mengatakan “Ideologi bius dinyatakan dalam ungkapan: Jonok partubu, Jumonok dope parhundul betapapun hubungan
darah penting, tetapi domisili lebih penting. Artinya, marga terikat mutlak pada tempat lahirtempat berkubur bius”.
44
43
Sitor Situmorang, 1993, Toba Na Sae, Cetakan Pertama, Penerbit Balai Pustaka Sinar Rajawali, Jakarta, hal.29.
44
Sitor Situmorang, Op. Cit, hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, horja merupakan gabungan dari beberapa huta. Bius membawahi horja sebagai sub devisi bius. Horja terbentuk oleh kelompok marga
raja, kelompok yang bukan marga raja beserta kelompok marga boru. Di samping itu, horja juga berarti sebagai upacara yang bersifat pesta orang seketurunan atau
kumpulan satu ompu nenek moyang. Mengenai horja ini, M.A. Marbun mengatakan sebagai berikut: “Horja
dikepalai oleh raja horja atau raja marga yang dipilih dari antara raja-raja huta. Masing-masing raja huta duduk dalam dewan raja. Dalam sidang-sidang horja
dibicarakan hal-hal yang mengenai kepentingan bersama”.
45
Adapun struktur persekutuan yang berada pada tingkat paling bawah dalam masyarakat Batak adalah lembaga “Huta”. Huta adalah tempat tinggal satu
marga, sebagai milik bersama dan merupakan satu kesatuan yang didiami sekelompok anggota masyarakat yang semarga. Rasa persaudaraan sangat kuat
sekali dalam huta karena masih ada hubungan sedarah dan merupakan turunan dari seorang leluhur.
Pada umumnya, setiap huta dikepalai oleh seorang raja huta atau tunggane huta atau disebut juga Kepala hapung yaitu keturunan pendiri atau pembuka huta
kampung dan jabatan ini bersifat turun temurun berdasarkan prinsip Primogeniture hak waris di tangan putra tertua.
Raja huta mempunyai tugas dan wewenang yang berkaitan dengan pengolahan kampung, penegakan hukum, ketertiban dan disiplin. Penduduk
kampung harus menerima kepemimpinan seorang raja huta dalam transaksi
45
M.A. Marbun, Op.Cit,hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
penjualan ternak, pelepasan tanah, perkawinan dan lain-lain. Untuk penghormatan kepada raja huta, maka raja huta berhak menerima upah raja atau jambar.
Sejalan dengan hilangnya bius sejak Pemerintah Belanda 1908 maka keberadaan “Horja” dan “Huta” pun semakin lama semakin hilang. Kepala Bius,
Kepala Horja dan Kepala Huta menjadi semakin tidak berperan dalam struktur masyarakat Batak Toba dan setelah Indonesia merdeka, maka struktur
pemerintahan berdasarkan struktur yang diatur oleh hukum adat Batak Toba tersebut, semakin tidak relevan karena pengaturan daerah termasuk desa-desa di
seluruh Indonesia diatur secara nasional melalui perundang-undangan. Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah mengatur secara tegas mengenai desa,
kelurahan, dusun dan lingkungan, dan semuanya tidak berdasarkan hukum adat termasuk hukum adat Batak Toba.
Orang Batak Toba mempunyai marga dalam sistem kekerabatan mereka, yaitu Mereka yang satu marga, dengan arti satu asal keturunan, satu nenek
moyang disebut dongan sabutuha, artinya “teman satu perut”, satu asal. Jadi marga menunjukkan asal keturunan , karena orang Batak menganut paham garis
keturunan bapak Patrilineal, maka dengan sendirinya marga tersebut juga disusun berdasarkan garis bapak.
Dengan demikian bahwa tiapa-tiap keluarga memakai marga sebagai pertanda satu kakek yang sama nenek moyang asal. Menurut orang Batak Toba,
marga mempunyai arti yang sangat penting karena juga marga menentukan sejarah tiap generasi yang tidak akan terputus. Marga bukanlah pengertian
teritorial, tetapi marga selalu dkaitkan dengan teritorial sebagai tempat lahir dan
Universitas Sumatera Utara
tempat kubur. Marga mengandung aspek identitas sedarah, sekuturunan, satu nenek moyang yang sama. Dalam status sosial marga menentukan perbedaan
kedudukan apa sebagai marga raja, marga boru atau marga penumpang dalam lingkungan huta kampung.
Sejarah lahirnya marga-marga juga didasarkan pada nama nenek moyang laki-laki. Jadi marga merupakan suatu kesatuan kelompok yang mempunyai garis
keturunan yang sama berdasarkan nenek moyang yang sama sehubungan dengan cerita mitos. Berdasarkan hasil data lapangan dapat dikemukakan, fungsi marga
bagi orang Batak Toba adalah sebagai dasar pokok mengatur ketertiban mengenai semua jenis hubungan dan bertujuan menjaga kesatuan satu keturunan darah
leluhur saopu. Ditinjau dari segi sejarahnya, maka leluhur orang Batak yaitu Si Raja Batak
yang mendiami sekitar Pusuk Buhit, mula-mula memberi silsilah dengan memberi nama-nama kepada keturunannya dan selanjutnya nama itu menjadi marga pada
setiap keturunannya. Marga tersebut berkembang sehingga terdapat marga induk dan kemudian timbullah sub-sub marga atau cabang marga.
Marga Batak merupakan kelompok geneologis, berupa persekutuan dari orang-orang bersaudara, sedarah dan mempunyai nama tersendiri, seketurunan
menurut garis satu bapak leluhur. Mengenai hal ini J. H. A. Promes mengatakan sebagai berikut :
Menurut hukum adat Batak Toba, marga merupakan satu kesatuan karena kekerabatan darah sebagai dongan sabutuha yang berasal dari
rahim yang sama, larangan endogamy, solidaritas satu sama lain, satu
Universitas Sumatera Utara
komunitas kurban, mempunyai tanah sendiri golat dan hubungan perkawinan.
46
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa marga dalam suku Batak Toba merupakan identitas seseorang yang mencakup aspek-aspek :
1. Menyatakan asal usul atau silsilah seseorang tarombo
2. Membina kekompakan dari atau solidaritas sesama anggota marga sebagai
keturunan dari satu leluhur nenek moyang 3.
Sebagai landasan pokok yang mengatur dan menjaga hubungan kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu.
Struktur masyarakat Batak Toba didasarkan pada dasar kehidupan bermasyarakat yaitu Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu merupakan filosofi
bermasyarakat bagi masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu digambarkan seperti batu tungku tempat perapian memasak nasi yang mengungkapkan kesatuan
hubungan kekeluargaan pada suku Batak Toba. Tungku dalihan yang terdiri dari tiga buah batu, merupakan
penggambaran yang menyangkut kepercayaan masyarakat batak toba dalam bentuk kesatuan Tri Tunggal yang terdiri dari tiga unsur hubungan kekeluargaan.
Sistem marga itu diatur berdasarkan apa yang disebut Dalihan Na Tolu Toba, sistem ini yang merupakan ikatan kekerabatan pada masyarakat Batak
Toba. Sistem yang merupakan ikatan kekerabatan pada masyarakat Batak Toba . sistim itu terdiri dari tiga unsur yaitu:
46
J . H. A. Promes, dkk, 1993, Samosir Silsilah Batak Toba, Ordo Kapusin Regio Medan, Siantar, hal. 18
Universitas Sumatera Utara
a Dongan Tubu atau dongan Sabutuha, yakni orang-orang yang semarga
saudara semarga. b
Hula-hula , yakni pihak pemberi isteri pihak orang tua isteri. c
Boru pihak penerima isteri atau pihak yang mengambil isteri dari suatu kelompok marga.
Bahwa pihak hula-hula adalah pihak marga pemberi anak perempuan kepada pihak marga penerima anak perempuan. Hula-hula tidak hanya ditujukan
kepada mertua, tetapi kepada semua saudara semarganya. Yang golongan hula- hula adalah simatua mertua, tulang mertua bapak, bona tulang mertua
nenek, bona ni ari mertua dari keturunan bapak dari keturunan laki-laki. Pihak hula-hula menempati kedudukan yang terhormat, harus somba marhula-hula,
yang berarti harus bersikap sujud, tunduk serta patuh terhadap hula-hula. Dalam ungkapan disebutkan hula-hula, mata ni mual sipatiohon, mata ni ari so suharon,
artinya hu la-hula adalah sumber air yang dipelihara supaya tetap jernih, matahari yang tak boleh ditentang, hula-hula sebagai sumber berkat dan kebahagian.
Dongan sabutuha adalah orang satu keturunan menurut garis bapak saudara semarga. Golongan ini merupakan hubungan yang sangat erat sekali.
Dalam ungkapan tampulon aek do na mardongan sabutuha, artinya, ibarat air yang kalua dipotongpun tidak dapat dipisahkan.
Boru adalah pihak marga yang menerima anak perempuan dari pihak yang member anak perempuan. Ini berarti tidak hanya pengantin, melainkan
semua keluarga terdekat teman semarga dari pengantin pria, termasuk juga bere saudara perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga unsur Dalihan Na Tolu merupakan satu kesatuan yang menciptakan hubungan yang harmonis, satu sama lain saling menompang. Dari uraian-uraian di
atas dapat ditegaskan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan dasar atau pedoman bermasyarakat pada suku Batak Toba dan berfungsi menentukan kedudukan, hak
dan kewajiban seseorang atau marga serta mengatur tingkah laku seseorangmarga dalam kehidupan bermasyarakat.
Perkawinan exogamie yaitu kawin dengan marga lain masih dipegang teguh. Sekalipun kawin semarga diperkenankan menurut hukum agama Islam,
kecuali sepenyusunan, tetapi bagi masyarakat adat Toba yaitu satu pantangan atau larangan tidak boleh terjadi dan dihukum menurut hukum adat, apabila kawin
semarga; kiranya permasalahan ini tidak perlu mencari jalan keluar dengan hanya memakai cabang marga untuk menghindarkan yang dinamakan kawin semarga
yang terlang menurut adat. Dongan Sabutuha adalah pihak keluarga yang semarga dalam hubungan
bapak patrilienal, sehingga anak laki-laki dan perempuan yang semarga tidak boleh kawin.
3. Keberadaan hak ulayat