Pola Penguasaan Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat

BAB III POLA PENGUASAAN DAN PERUNTUKAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NASSAU KABUPATEN TOBASAMOSIR

A. Pola Penguasaan Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat

Wewenang mengatur penguasaan hak ulayat ada di tangan warga yang dalam pelaksanaannya diwakili kepala adat. Kewenangan dalam hak menguasai mempunyai intern, berhak untuk menguasai, mengatur, menyelenggarakan persedian dan penggunaan tanah bagi kepentingan keluarga dan keturunannya, pelaksanaannya berada di bawah pengawasan kepala adat. Sedangkan wewenang ekstern, warga luar atas izin dari kepala adat dapat menggunakan tanah dengan hak pakai atau hak memungut hasil, dan memberikan tanda pengakuan dalam bentuk “uang wajib”. Penguasaan hak ulayat ditentukan oleh kepala adat, penggunaan hak ulayat dan penguasaannya dilakukan berdasarkan kepentingan bersama, untuk Tanah golat tanah satu saudara, perkuburan bersama, pokan pekan desa, disamping kepentingan anggotanyaketurunannya untuk tempat tinggal, lahan pertanian dan lain-lain. 80 Menurut Bintasa Lumbantoruan mengatakan bahwa semula tanah di wilayah Nassau adalah hak milik marga yang dikuasai oleleh raja dari salah 80 Wawancara dengan BapakLisber Sipahutar Sekretaris Camat Nassau, tanggal 1 Juni 2011 Universitas Sumatera Utara seorang anak keluarga marga tersebut. Secara historis pada mulanya penduduk Masyarakat Adat Batak Toba tidak mempunyai “hak milik” atas tanah, yang ada hanya “hak mengusahai” atau “hak memakai”. Menurut Hukum adat Masyarakat Adat Batak Toba, marga merupakan kesatuan kelompok geneologis, teritorial, persekutuankesatuan orang-orang yang yang bersaudara, sedarah, seketurunan atau satu kakek. 81 Penguasaan tanah karena “pemberian orang tua” dan dipertahankan secara turun-temurun, diusahakan untuk tidak “dialihkan” jual,gadai dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan antara orang secara pribadi dan orang dalam arti kelompokmarga atau seketurunan berkaitan langsung dengan tanah yang mencerminkan religius magis, tanah sebgai milik bersama dari keturunan sedarah dari satu ompukakek yang sama dan dianggap sebagai tanah pusaka. 82 Ada beberapa fase yang dilalui untuk dapat mengusahakan sebidang tanah yaitu : 1. Fase Penebangan Kayu Pada fase ini ditentukan waktunya, kemudian pembakarannya dan pada saat ini melekatlah suatu hak atas pemakaian tanah, yaitu ladang yang disebut “saba nabolak”. 2. Fase dimana ladang yang dipakai disebut “gas-gas”. 3. Perlandangan yang karena ditinggalkan, tapi masih ada di atasnya taman- tanaman muda, disebut “galunggung”. 81 Wawa ncara dengan Bapak Bintasa Lumbantoruan Kepala Desa Lumban Rau Utara, Tanggal 7 Juni 2011 82 Wawancara dengan Oppung. Golas Pasaribu, Tokoh Adat SiantaRasa, tanggal 8 Juni 2011 Universitas Sumatera Utara Hak mengusahaimemakai atas tanah ini melekat apabila terus menerus dikerjakan. Dalam waktu 2 dua tahun berturut-turut tidak dikerjakan maka hak itu “kembali” kepada Kepala penghuluKepala Adat, yang kemudian dapat memberikannya kepada orang lain yang memerlukannya. 4. Tempat tanam-tanaman keras disediakan di luar pagar disebut dari perkampungan dan tempat ini disebut “pohon”. Dalam hal perluasan kampung maka tanam-tanaman yang terdapat di atas “pohon” diberi ganti rugi. 5. “Tunggane Huta”, tempat perkuburan bersama. Adakalanya pengemuka masyarakat di kampung itu dikuburkan atau menyediakan terlebih dahulu bangunan kuburannya di “pohonnya” dan cara ini dibolehkan, mengingat status tanah “pohon” itu dikerjakan secara turun-temurun. Tanah golat Hak Ulayat dikuasai oleh marga yang lahir dari suatu kenyataan dalam penggunaan tanah untuk kepentingan bersama, milik bersama keturunannya, marga sebagai kelompok masyarakat hukum mempunyai hak menguasai baik ke dalam maupun ke luar. Kepala adat sebagai pelaksana mempunyai wewenang untuk mengatur peruntukan dan penggunaan tanah untuk kepentingan bersama. Pada masa silam terdapat tradisi pemujaan terhadap leluhur dan tradisi ini masih bersisa sampai sekarang meskipun sekarang sudah menganut agama tertentu, begitu juga terhadap tempat-tempat tertentu seperti puncak gunungbukit, kuburan, pohon besar yang dinyakini sebagai tempat bersemayamnya dewa dan arwah para leluhur. Universitas Sumatera Utara Mengenai Tunggane huta, perkuburan bersama, menurut kenyakinan orang masyarakat adat Batak Toba, kuburan mempunyai arti : 1. Kuburan sebagai tempat jasad orang meninggal, jika sudah diangkat ke tempat bangunan yang terbuat dari batu dinamakan “simin”. 2. Sebagai monument yang menunjukkan bagaimana suatu silsilah tarombo dari pertalian darah geneologis. 83 Dengan monument tersebut, setiap orang baik yang tinggal di perantau atau di kampung halaman dapat mengetahui silsilahnya dan menunjukkan orang tersebut mempunyai kampung halaman. Dalam praktek, dalam hal pembuktian, kuburan dapat dijadikan sebagai alat bukti dari suatu pemilikan hak ulayat karena dalam hukum adat Batak Toba tidak diperkenankan membuat rumah dan kuburan di tanah yang bukan miliknya. Mereka pendatang harus ada izin dari pemilik tanah, jika tidak ada, maka tidak akan dapat melakukan penguburan keluarganya Tanah tidak dapat dijual, karena masyarakat Batak Toba dalam memandang tanah sebagai pusaka nenek moyang yang bersifat religious magis, tidak dikenal dengan istilah jual beliserah lepas. 84 Menurut Jassiur Siagian bahwa tanah tidak dapat dijual lepas, adalah karena : Artinya jual beli yang dikenal dalam Hukum Perdata Barat tidak sama dengan jual dalam pengertian hukum adat. Menurut pengertian hukum adat Batak Toba serah lepas jual adalah merupakan pemberian. 83 Wawancara dengan Bapak Maringin Naibaho Tokoh Masyarakat Lumban Rau Utara, Tanggal 4 Juni 2011 84 Wawancara dengan Bapak Walton Tambunan Kepala Desa Sipagabu, Pada Tanggal 3 Juni 2011 Universitas Sumatera Utara a Tanah dianggap sebagai pusaka, sebagai warisan yang diperuntukan bagi keturunan. b Merupakan milik bersama artinya tidak ada pemilikian pribadi secara mutlak. 85 Menurut Hotmer Panjaitan dari hasil penelitian ke lapangan di Kecamatan Nassau Kabupaten Tobasamosir pada tahun 2008 adanya satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat yaitu pemberlakuan SK MENHUT 44 Tahun 2005 yang menyimpulkan bahwa kebijakan ini sangat potensial menimbulkan bom waktu dan konflik yang sewaktu-waktu dapat meledak dan meledak. Sebagai contoh di Kecamatan Nassau Kabupaten Tobasamosir dimana rakyat yang bermukim di register 1 dan 2 sejak tahun 1979 secara turun temurun tinggal dan hidup disana. Namun dengan adanya operasi hutan lestari tahun 2006 yang memakai topeng SK 44 tahun 2005 total kurang lebih 56 orang warga telah berhadapan dengan hukum dituduh, ditangkap dan diadili dengan tuduhan menduduki kawasan hutan tanpa ijin. Tak pelak pengalaman pahit ini telah membuat keresahan dan beban psikologis bagi kehidupan masyarakat sekitar. 86 Padahal jauh sebelum keluar SK 44 dan jauh sebelum rezim orde baru berkuasa kawasan tersebut sudah gundul dan kritis. Warga mengusahai dan menguasai lahan dengan menanam tananam pangan seperti kemiri, mangga, durian, palawija, dan lain-lain, sehingga kawasan tersebut terlihat hijau, malah ditangkap dan diadili oleh hukum. Sementara rakyat yang mencoba mengusahai untuk program ketahanan pangan pertanian ditindak dan dituduh menduduki 85 Wawancara dengan Bapak Jassiur Siagian sebagai Tokoh Masyarakat, Tanggal 4 juni 2011 86 Wawancara dengan Hotmer Panjaitan, Kepala Bagian Dinas Kehutanan Kabupaten Tobasamosir, di Balige, tanggal 11 Juni 2011 Universitas Sumatera Utara lahan hutan tanpa ijin. Di Kecamatan Nasau desa Sipagabu terdapat kasus dimana dinas kehutanan Toba Samosir tiba-tiba saja mengklaimmemasang plank bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan Negara dengan status hutan lindung, lagi- lagi berdasarkan SK Menhut No.44 tahun 2005. Hal ini membuat keresahan luar biasa bagi masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Padahal jauh sebelum kemerdekaan diproklamirkan masyarakat Sipagabu sudah hidup dan berketurunan di lokasi tersebut dan bahkan sarana sosial, pemerintah seperti kantor camat, kantor desa, dan lain-lain sudah ada sejak lama berdiri serta daerah ini terkenal dengan Tanaman Kopi. Hal ini membuat 200 kepala keluarga warga Sipagabu merasa ketakutan akan digusur oleh adanya kebijakan SK Menhut No. 44 tahun 2005. Paling berbahaya, menurut SK Menhut No.44 tahun 2005 ada 14 Kecamatan atau 179 Desa dan 13 Kelurahan di Kabupaten Tobasamosir yang masuk dalam kawasan hutan lindung. Artinya hampir 23 Kabupaten Tobasamosir adalah kawasan hutan lindung sesuai SK No.44 tahun 2005 dan semuanya siap- siap untuk digusur. Menurut Hardi Munthe yang turun ke lokasi rawan baru-baru ini, Pemerintah seharusnya hati-hati dan realistis jika ingin membuat kebijakan, kebijakan SK Menhut No.44 tahun 2005 adalah kebijakan bombastis dan merupakan bom waktu yang sekarang sudah siap meledak. Untuk itu, Pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan, Dinas Kehutanan, BPN, Dinas Tata Ruang, dan aparat terkait harus proaktif dan realistis serta berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ini. Keluarnya SK 44 tahun 2005 ini adalah paradoksal dimana dalam kondisi pertumbuhan penduduk dan meluasnya pembukaan kawasan hutan masih Universitas Sumatera Utara menetapkan bahwa hutan di Kecamatan Nassau 4000 Hektar. Anehnya, sejak zaman Belanda sampai sekarang luas hutan Kecamatan Nassau tidak berkurang. Padahal jika dilihat lagi dalam Perda No.7 tahun 2003 tentang RTRWP luas hutan Sumatera Utara seluas 3,679 Juta hektar, ada perbedaan luasan. Disini, Pemerintah membuat kebijakan yang kacau dan tidak realistis. Sesuai UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 15 seharusnya pemerintah segera melakukan tahapan pengukuhan kawasan-kawasan hutan mulai dari penunjukan, peñata batasan, pemetaan dan penetapan. Dalam proses tahapan ini seharusnya Pemerintah tidak top down tetapi harus membuka ruang partisipasi publik khususnya masyarakat sekitar hutan dan pihak-pihak yang konsern isu hutan dan lingkungan untuk ikut terlibat dalam perencanaan, implementasi, pengawasan dan monitoring kebijakan manajemen penataan ruang kehutanam yang dimulai dari proses pengukuhan. Hal ini sangat dimungkinkan jika melihat PP No. 69 tahun 1996 tentang partisipasi masyarakat dalam penataan ruang. Batas fisik hutan tidak jelas dan Penataan Hutan yang menjadi akar permasalahan kehutanan saat ini adalah tidak jelasnya batas fisik hutan, sehingga penggarapan-penggarapan hutan dan pemberian ijin-ijin oleh Pemerintah terhadap ekspansi perkebunan sangat kacau balau dan tumpang tindih dengan kawasan hutan dan hak masyarakat lokaladat. Patok hutan zaman Belanda sudah tidak terlihat lagi dan semuannya sudah tidak jelas sehingga harus segera dilakukan kesepakatan antara negara dengan rakyat terkait dengan batas-batas hutan, mana yang menjadi wilayah kelola Negara dan wilayah kelola rakyat. Universitas Sumatera Utara Negara harus menjamin hak kelola rakyat yang diakui oleh Negara sehingga jelas alat produksi rakyat dalam memenuhi kesejahteraannya. Mandat UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 adalah jelas, distribusi tanah yang adil bagi rakyat, rakyat adalah rakyat yang langsung mengerjakan lahan untuk kesejahteraanya bukan rakyat yang menumpuk modalkapitalis. Selama ini yang terjadi adalah Negara lebih berpihak kepada kepentingan kapitalis dan memberi ruang luas bagi modal untuk mencaplok wilayah hutan sementara masyarakat lokal dan masyarakat adat tidak diakui dan malah ditindas serta diberi alat produksi sehingga menjadi buruh tani di tanahnya sendiri. Implementasi kebijakan kehutanan dalam pengukuhan kawasan hutan haruslah memandang rakyat yang secara arif dan bijaksana mengelola hutan. Kebijakan kehutanan yang berkeadilan dan pro rakyat dengan tidak mengabaikan kelestarian lingkungan hidup sangat dinantikan rakyat. Pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan, Dinas Kehutanan, BPN dan Pemerintah Daerah serta apparatur terkaitberkompeten harus berkordinasi untuk mewujudkan pengelolaa hutan yang pro rakyat dan berkeadilan. Pada waktu orde baru Departemen Kehutanan menganggap tanah ulayat itu tidak ada, kecuali dibuktikan dan tentunya pembuktian itu jika diminta pembuktian tertulis akan sulit sekali dan mengada-ada saja. 87 87 Wa wancara dengan Bapak Jasmin Panggabean Pegawai Dinas Kehutanan Tobasa, Tanggal 27 Juli 2011. Demikian pula BPN masalah ini tidak ingin dibicarakan karena menganggap hak ini akan perlahan- Universitas Sumatera Utara lahan hapus dengan sendirinya karena tanah sudah dianggap sebagai penghalang untuk pembangunan dan makin melemahnya posisi dari tanah ulayat itu. 88 Secara khusus apabila dilihat keberadaan hak ulayat, dalam kaitannya dengan keluarnya Undang-undang Pokok Kehutanan, maka fenomena permasalahan keberadaan hak ulayat juga terjadi. Di sektor kehutanan nasib hak ulayat tidak lebih baik daripada sektor lain. Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan UU Pokok KehutananUUPK maka tamatlah riwayat hak ulayat yang berkaitan dengan hutan. Kalau UUPA dengn tegas mencabut asa domein verklaring, namun UUPK justru cenderung mempertahankannya dengan berlindung di balik “hak menguasai Negara”. UUPK mengatakan, bahwa status hutan di Indonesia ada 2, yaitu hutan milik dan hutan Negara. Hutan milik adalah hutan yang tumbuh atau berada di atas tanah milik perorangan warga Negara, selain dari itu semuanya merupakan hutan Negara, termasuk hutan ulayat. Setelah era reformasi ini, keluarlah UUK Nomor 41 Tahun 1999 sebagai pengganti UUK Nomor 5 Tahun 1967. Walaupun masih tetap punya banyak kelemahan namun khusus dalam penguasaan hak ulayat hutan ulayatadat, UUK sudah menunjukkan kemajuan yang berarti. UUK ini mengakui bahwa di samping hutan milik dan hutan Negara juga diakui “hutan adat”. Memang definisi hutan adat menurut UUK ini tetap merupakan “hutan Negara” yakni berada di sekitar masyarakat hukum adat, namun sebutan Negara hanyalah sebagai konsekuensi dari adanya hak menguasai Negara. Jadi bukan hutan milik Negara. Lebih lanjut, 88 Wawancara dengan Bapak Simanjutak Pegawai Kantor Badan Pertanahan Nasional Tobasa, tanggal 28 Juli 2011 Universitas Sumatera Utara UUK menegaskan pula, bahwa pengelolaan hutan adat dilakukan oleh masyarkat hukum adat, dengan memperdayakan nilai-nilai tradisional hukum adat setempat. Pengakuan ini sebetulnya sudah sangat terlambat yakni pada saat sebagian besar hutan, termasuk hutan ulayat sudah hamper habis dieksplotasi oleh para pengusaha. Tetapi agaknya pula diakui, bahwa kebijakan ini layak disambut baik daripada tidak sama sekali. Seperti diketahui, pemerintah sekarang khususnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan tengah menggalakkan program pembangunan hutan kemasyarakatan. Hak menguasai Negara HMN dirumuskan untuk pertama kalinya secara formal dalam UUPA Pasal 2 HMN memberi wewenang untuk: 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persedian dan pemeliharaan bumi,air dan ruang angkasa. 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan buni, air dan ruang angkasa. 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi.air dan ruang angkasa. Menurut Jasmen Panggabean bahwa Hak menguasai Negara HMN ini secara defenitif dibatasi oleh keharusan etis, “sebesar-sebesar kemakmuran rakyat”, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarkat Universitas Sumatera Utara dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. 89 Namun, pelaksanaan Hak Menguasai Negara ini dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Mengenai hak asal-usul, dalam Pasl 18 UUD 1945 yang mengatur tentang Pemerintah Daerah, terdapat suatu akomodasi terdapat apa yang didefinisikan sebagai ” hak asal-usul” pada daerah yang bersifat istimewa. Disebutkan bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, denan bentuk susunan pemerintahannya, ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Wewenang pemegang Hak Menguasai Negara ini ada di pemerintahan pusat, sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 2 UUPA, “Soal Agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat”. Dengan demikian, kalau ada yang menjual tanah marga tanah Adat berarti menghilangkan sifat religius magis tanah. Karena itu sangat sulit untuk menjual tanah. Kalapun ada, diadakan dengan pembatasan-pembatasan, yaitu adanya persetujuan kepada dongan sabutuha keluarga sedarah samudar. Dengan demikian, yang dapat dilakukan ialah bentuk peralihan gadai, tasir, bagi hasil, pauseang. Dengan gadai berarti hak milik tidak hilang, karena masih dapat ditebus, jika tidak dapat ditebus dapat meningkat menjadi gadai lepas. 89 Wawancara dengan Bapak Jasmin Panggabean pegawai Dinas Kehutanan Balige, tanggal 10 Juni 2011 Universitas Sumatera Utara Informasi yang diperoleh dari Kantor Badan Pertanahan Nasional BPN status penguasaan tanah dapat dilihat sebagai berikut: Tabel.4 Status Penguasaan Tanah Di Kecamatan Nassau Tahun 2008 NO STATUS PENGUASAAN TANAH LUAS Ha 1 Hak Guna Usaha 17616 52,51 2 Kawasan Hutan 4000 11,92 3 Sertifikat Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Bangunan dan Hak Pengolahan 950 2,83 4 Tanah Negara diusahai rakyat Belum Sertifikat 10984 32,74 Jumlah 33.550 100 Sumber Data : Kantor Bandan Pertanahan Nasional Toba Samosir Pendaftaran tanah sudah dilaksanakan, tetapi lebih banyak jumlahnya yang belumtidak mendaftarkan tanah dijumpai dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1. Kesulitantidak ada dana Hasil usaha yang diperoleh dari pertanian belum mencukupi kebutuhan keluarga, untuk biaya sekolah anak-anak, kesehatan, biaya makan dan lain-lain. Pengurusan sertifikat jauh lebih besar dari harga tanah. Terlebih lagi secara Universitas Sumatera Utara factual biayanya jauh lebih tinggi dari yang sudah ditentukan, karena lokasi lahan pada umumnya jauh, jalannya sulit dan tidak bias ditempuh dengan kendaraan bermotor, sehingga pelaksana di lapangan menarik biaya yang semuanya dibebankan kepada masyarakat. 2. Pengaruh tanah adat, yaitu tanah yang pemilikannya secara kolektif. Menurut keterangan dari masyarakat setempat dan pengetua adat, jika tanah sudah disertifikatkan ini berarti sudah menjadi hak milik pribadi sedangkan tanah adalah milik keluarga, milik bersama dari keturunannya, sebagai pusaka. Jika tanah disertifikatkan akan menghilangkan sifat religious magis tanah. 3. Tidak tahu prosedurnya Masyarakat meskipun pernah mendengar sertifikat, tetapi tidak tahu caranya maupun kegunaannya, menjadi penghambat untuk pensertifikatkan tanah. Karena ini jalan satu-satunya untuk menolongnya ialah melalui penjelasan dengan cara melaksanakan penyuluhan. Dari hasil wawancara kantor BPN, mengakui bahwa kendala yang terbesar dari sertifikat tanah adalah factor pengaruh adat yang relative kuat di masyarakat. Disamping itu adanya birokarasi yang berbelit-belit, terutama tentang pembiayaan yang tidak resmi, dan adanya pelaksanaan prona yang dianggap sebagai proyek, pembiayaannya tetap dibebankan kepada masyarakat. Universitas Sumatera Utara B. Pola Peruntukkan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 1. Milik bersama ripe-ripe dan milik perseorangan Masyarakat daerah nassau memiliki tanah milik perorangan, juga memiliki secara bersama-sama ripe-ripe tanah-tanah tertentu. Masyarakat memiliki tanah berbentuk ”ripe-ripe” dan ada juga masyrakat yang tidak memiliki tanah ripe- ripe, maka hal itu berarti, tanah-tanah miliknya hanya berupa tanah milik perorangan. Hal ini terjadi karena pewarisan secara individual maupun karena jual beli tanah. Adapun tanah ripe-ripe ini berarti bahwa penduduk memiliki bidang- bidang tanah tertentu secara bersama-sama dengan saudara-saudara sekeluarga satu ayahkakek. Tanah ripe-ripe sebenarnya termasuk sebagai harta warisan yang harus dibagi-bagi oleh para ahli waris, akan tetapi ada kalanya sebidang tanah tertentu belum dibagi atau sengaja dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi untuk tujuan tertentu seperti tempat kuburan keluarga, selanjutnya masyarakat juga memiliki tanah perseorangan.

2. Tanah golat atau tanah adat