225
Tugas dan wewenang DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22D, 23E ayat 2, dan Pasal 23F ayat I UUD 1945 dapatlah dikatakan sebagai
tugas dan wewenang utama dari DPD. Akan tetapi, DPD sebagai bagian dari kelembagaan MPR memiliki tugas dan wewenang ‗sampingan‘ yang lebih
luas, yakni melantik dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden; mengubah UUD; dan memilih Presiden danatau Wakil Presiden apabila
dalam waktu yang bersamaan keduanya berha1angan tetap. Tugas dan wewenang ‗sampingan‘ DPD ini justru lebih baik daripada tugas dan
wewenang utamanya.
E. Presiden dan Wakil Presiden.
Hasil Perubahan UUD 1945 yang berkaitan langsung dengan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, adalah pembatasan kekuasaan
Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7 lama, yang berbunyi ―Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali‖. Penegasan di dalam Pasal 7 dipandang terlalu fleksibel untuk ditafsirkan. Bahkan Soeharto pernah mengatakan,
tentang berapa kali seseorang dapat menjabat Presiden sangatlah bergantung pada MPR. Jadi tidak perlu di batasi, asal masih dipilih oleh
MPR, ia dapat terus menjahat Presiden dan atau Wakil Presiden. Dan Soehartolah yang telah menikmati kebebasan jabatan itu karena ia sendirii
yang membuat tafs
ir atas UUD, MPR tinggal meng‘amini‘nya. Kemudian, Pasal 7 diubah, yang bunyinya menjadi: ―Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat di pilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan‖.
Perubahan pasal ini dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mengakhiri perdebatan tentang periodisasi jabatan Presiden dan Wakil
Presiden.
Aspek perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden dan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung tampak dalam perubahan Pasal 13 dan 14,
Perubahan terhadap Pasal-pasal ini dapat dikatakan sebagai pengurangan atas kekuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai hak prerogatif
Perubahan Pasal 13 berbunyi sebagai berikut :
226
1. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat. 2.
Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebelum ada perubahan, presiden sebagai kepala negara mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri duta dan konsul serta
menerima duta negara lain. Mengingat pentingnya hal tersebut, Presiden dalam mengangkat dan menerima duta besar, sebaiknya diberi
pertimbangan oleh DPR. Adanya pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat pada ayat 1, ini penting dalam rangka menjaga obyektivitas
terhadap kemampuan dan kecakapan seseorang pada jabatan tersebut.
147
Karena ia akan menjadi duta dari seluruh rakyat Indonesia di negara lain di mana ia ditempatkan pada khususnya dan di mata internasional pada
umumnya. Adanya pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat pada ayat 2, dipandang sangat tepat karena hal ini penting bagi akurasi informasi untuk
kepentingan hubungan baik antara kedua negara dan bangsa.
Perubahan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: 1.
Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Alasan perlunya Presiden memerhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam pemberian grasi dan rehabilitasi adalah pertama,
grasi dan rehabilitasi itu adalah proses yustisial dan biasanya diberikan
147
Selama ini terkesan jabatan duta merupakan pos akomodasi orang-orang tertentu yang berjasa pada pemerintah atau sebagai ―pembuangan‖ bagi orang-
orang yang ‗kurang loyal‘ pada pemerintah.
227
kepada orang yang sudah mengalami proses, sedang amnesti dan abolisi ini lebih bersifat proses politik. Kedua, grasi dan rebabilitasi itu lebih banyak
bersifat perorangan, sedangkan amnesti dan abolisi biasanya bersifat massal.
148
Mahkamah Agung MA sebagai lembaga peradilan tertinggi adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada
Presiden mengenai hal itu karena grasi menyangkut putusan hakim sedangkan rehabilitasi tidak selalu terkait dengan putusan hakim.
Sementara itu, DPR memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada pertimbangan
politik. Bagir Manan kurang sependapat dengan rumusan tersebut, karena pemberian amnesti dan abolisi tidak selalu terkait dengan pidana politik.
Kalaupun diperlukan pertimbangan, cukup dari Mahkamah Agung. DPR adalah badan politik, sedangkan yang diperlukan adalah pertimbangan
hukum. Pertimbangan politik, kemanusiaan, sosial, dan lain-lain, merupakan isi dan hak prerogatif. Hal yang diperlukan adalah pertimbangan hukum
untuk memberi dasar yuridis pertimbangan Presiden.
149
Perubahan Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: ―Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan
undang- undang‖. Perubahan pasal ini berdasarkan pertimbangan agar
Presiden dalam memberikan berbagai tanda kehormatan kepada siapa pun baik warga negara, orang asing, badan atau lembaga didasarkan pada
undang-undang yang merupakan hasil pembahasan DPR bersama pemerintah sehingga berdasarkan pertimbangan yang lebih objektif.
Perubahan lain terjadi pada mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6, yang sebelumnya
―Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak‖, berubah me
njadi ―Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat‖ Pasal 6A ayat I. Ayat 3 menyatakan
148
Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia
Perubahan Pertama UUD 1945, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000 hlm. 190
149
Bagir Manan , Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: PH UII Press, 2003, hlm. 165
228
―Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum
dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar dilebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden
dan Wakil Presiden‖.
Pasal 6A ayat 4 tentang putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden apabila di putaran pertama tidak ada kandidat yang terpilih
maka dikembalikan ke rakyat untuk dipilih secara langsung. Rumusannya berbunyi: ―Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan
pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.‖
Pasal 6A ayat 4 ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung pada putaran
kedua second round. Ketentuan ini merupakan jalan keluar escape clausul yang hanya dijalankan jika dalam pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden tidak dipenuhi persyaratan perolehan suara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat 3.
Adanya perubahan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat diharapkan rakyat dapat berpartisipasi secara
langsung menentukan pilihannya sehingga tidak mengulang kekecewaan yang pernah terjadi pada Pemilu 1999. Presiden dan Wakil Presiden akan
memiliki otoritas dan legitimasi yang sangat kuat karena akan dipilih langsung oleh rakyat.
Perubahan UUD 1945 mengenai alasan pemberhentian Presiden danatau Wakil Presiden dalam masa jabatannya diatur dalam Pasal 7A,
rumusannya berbunyi sebagai berikut: ―Presiden danatau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
229
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden‖.
Adapun prosedur pemberhentian Presiden danatau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, diatur dalam Pasal 7B, yang rumusannya berbunyi
sebagai berikut: ―Usul pemberhentian Presiden danatau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden danatau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, danatau pendapat bahwa Presiden danatau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden‖.
Kedudukan yang DPR sejajarseimbang dengan Presiden sehingga tidak dapat saling menjatuhkan, DPR tidak memproses dan mengambil
putusan terhadap pendapatnya sendiri, tetapi mengajukannya kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat
yang berisi dugaan DPR itu. Di samping pengaturan tentang prosedur pemberhentian Presiden danatau Wakil Presiden, perubahan UUD 1945
juga mengatur mengenai larangan pembekuan danatau pembubaran DPR oleh Presiden, sebagaimana tercantum dalam Pasal 7C yang berbunyi
sebagai berikut: ―Presiden tidak dapat membekukan danatau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.‖
UUD 1945 menempatkan kedudukan lembaga lembaga tinggi negara sederajat sehingga tidak dapat saling menjatuhkanmembubarkan.
Tradisi semacam itu ada dalam sistem pemerintahan parlementer. Misalnya dalam UUD Seme
ntara 1950 Pasal 84 ditegaskan ―Presiden berhak membubarkan DPR‖. Munculnya rumusan tersebut sebagai penegasan
hahwa UUD 1945 tidak menganut prinsip ―sesama lembaga tinggi negara dapat saling menjatuhkan.‖
Bolehkah Presiden membekukan atau membubarkan MPR? Ketentuan Pasal 7C UUD 1945 hanya merumuskan larangan pembekuan
230
dan atau pembubaran DPR. Rumusan pasal ini jelas dilatari oleh peristiwa pembekuan MPRDPR oleh Presiden Abdurrahman Wahid melalui
Maklumat Presiden 23 Juli 2001, tetapi mayoritas anggota MPR menolak Maklumat tersebut.
150
Namun, penerapannya akan dilakukan secara berbeda, Artinya, dulu Maklumat Presiden tentang pembubaran MPR
digunakan sebagai isu pemberhentian Presiden karena melanggar UUD 1945. Sekarang, keputusan Presiden yang bertentangan dengan UUD 1945
menjadi objek gugatan Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak berkaitan dengan pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya. Jika Presiden
membekukan DPR, putusan ini dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak dapat digunakan sebagai alasan pemberhentian Presiden dalam
masa jabatannya. Bila Presiden tidak dapat membekukan danatau membubarkan DPR, dapatkah dibenarkan Presiden membekukan MPR?
Apakah rumusan Pasal 7C UUD 1945 dirumuskan dengan asumsi lembaga MPR dihapus? Jika tidak, mengapa tidak dirumuskan larangan
pembubaran DPR danatau MPR? Suatu saat dapat terjadi ketika DPR mengajukan permintaan pemberhentian Presiden dan perkaranya sedang
disidangkan oleh Mahkamah Konstitusi, MPR dibekukan oleh Presiden yang akhirnya MPR tidak dapat mengambil putusan pemberhentian Presiden. Di
saat pembubaranpembekuan MPR diajukan ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat membenarkan pembubaran MPR karena UUD
1945 tidak melarang pembubaran MPR.
151
Perubahan juga terjadi pada Pasal 8 UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
150
Lihat Ketetapan MPR RI No. IMPR2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia
Tanggal 23 Juli 2001
151
Suworo Mulyosudamo,
―Urgensi ...., op. Cit: 174
231
2. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya
dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dan dua
calon yang diusulkan oleh Presiden.
Perubahan Keempat UUD 1945 juga melengkapi kekurangan pengaturan dalam Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 yang telah diputuskan dalam
Perubahan Ketiga tahun 2001, dengan menambahkan ayat 3, dengan rumusan sebagai berikut: ―Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksanaan tugas kepresidenan
adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu,
Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dan dua pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan Wakil Presidennya meraih suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.‖
Sebelum terjadi Perubahan UUD 1945 tentang ke adaan Presiden dan atau Wakil Presiden berhalangan, diatur dalam Ketetapan MPR RI No.
VIIMPRI973 tentang Keadaan Presiden danatau Wakil Presiden RI Berhalangan. Dengan adanya tambahan materi di ayat E dan Pasal 8 UUD
1945 di atas, tampaknya telah mengintegrasikan muatan materi Ketetapan MPR Pasal 5 ayat 2 tersebut ke dalam UUD 1945.
Perubahan tersebut dimaksudkan untuk mempenjelas dan mempertegas solusi konstitusional untuk menghindarkan bangsa dan
negara dari kemungkinan terjadinya krisis politik kenegaraan akibat kekosongan jabatan Presiden danatau Wakil Presiden, baik secara sendiri-
sendiri maupun secara bersamaan. Penambahan faktor penyebab penggantian Presiden oleh Wakil Presiden dalam masa jabatannya, dalam
ayat 1 dengan kata ―diberhentikan‖, dirumuskan dalam konteks adanya
232
upaya konstitusional yang datang dari luar diri Presiden danatau Wakil Presiden.
152
Dewan Pertimbangan Agung DPA yang dalam UUD 1945 kedudukannya adalah lembaga tinggi negara, dengan Perubahan Keempat
UUD eksistensinya dihapuskan atau terdegradasi dari lembaga tinggi negara menjadi lembaga di dalam struktur pemerintahan negara. Rumusan
baru Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: ―Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden yang selanjutnya diatur dengan undang-
undang‖. Peruhahan ini didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan negara. Di samping itu, praktik menunjukkan bahwa selama ini Presiden tidak terikat dengan nasihat dan
pertimbangan dari DPA.
Agar kekuasaan tidak disalahgunakan maka harus di atur batas- batasnya. Caranya dengan membagi kekuasaan tersebut ke dalam ketiga
cabang kekuasaan secara seimbang.
F. Mahkamah Agung MA.