Mahkamah Agung MA. Kedudukan DPR Sebagai Lembaga Negara.

232 upaya konstitusional yang datang dari luar diri Presiden danatau Wakil Presiden. 152 Dewan Pertimbangan Agung DPA yang dalam UUD 1945 kedudukannya adalah lembaga tinggi negara, dengan Perubahan Keempat UUD eksistensinya dihapuskan atau terdegradasi dari lembaga tinggi negara menjadi lembaga di dalam struktur pemerintahan negara. Rumusan baru Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: ―Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dengan undang- undang‖. Peruhahan ini didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara. Di samping itu, praktik menunjukkan bahwa selama ini Presiden tidak terikat dengan nasihat dan pertimbangan dari DPA. Agar kekuasaan tidak disalahgunakan maka harus di atur batas- batasnya. Caranya dengan membagi kekuasaan tersebut ke dalam ketiga cabang kekuasaan secara seimbang.

F. Mahkamah Agung MA.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Undang-Undang 152 Kata ―diberhentikan‖ sebelumnya tidak dicantumkan dalam Pasal 8 UUD 1945 lama. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya dan digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri dalam Sidang Istimewa MPR, pendukung Prcsiden menganggap tindakan MPR tersebut melanggar Pasal 8 UUD 1945 karena alasan untuk dapat naiknya Wakil Presiden menggantikan posisi Presiden sudah secara tegas diatur dalam Pasal 8, yaitu jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya. Untuk itu, pada Peruhahan Ketiga UUD 1945 dilakukan penambahan kata ―diberhentikan‖ pada Pasal 8 ayat 1. 233 Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula dimuat dalam penjelasan, yang berbunyi: ―Negara Indonesia berdasar atas hukum rechtsstaat tidak berdasar atas kekuasaan belaka machtsstaat.‖ Di samping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat dalam penjelasan: ―Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi hukum dasar, tidak bersifat absolutisme kekuasaan yang tidak terbatas.‖ Prinsip ini mengandung makna bahwa ada pembagian kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan tidak absolut dengan kekuasaan tidak terbatas. Dengan ketentuan baru ini, maka dasar sebagai negara berdasarkan atas hukum mempunyai sifat normatif, bukan sekadar asas belaka. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan kehakiman yang mandiri diangkat dan penjelasan menjadi materii Batang Tubuh UUD 1945. Hal ini akan lebih menguatkan konsep negara hukum Indonesia. Hans Kelsen, misalnya, dalam kaitan negara hukum yang juga menupakan negara demokratis, mengargumentasikan empat syarat rechtsstaat, yaitu: 1. Negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan Undang- undang, yang proses pembuatannya dilakukan oleh parlemen. Anggota-anggota parlemen itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat; 2. Negara yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh elit negara; 234 3. Negara yang menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; dan 4. Negara yang melindungi hak-hak asasi manusia. 153 Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil amendemen UUD 1945 lebih memberikan dasar konstitusional bagi lahir dan tumbuhnya negara hukum. Jaminan konstitusi yang lebih baik atas negara hukum adalah buah reformasi konstitusi di era transisi dari pemerintahan otoriter di zaman Soeharto. Masa transisi memang bermuka dua. Di satu sisi, keserbatidakpastian dan keserbamungkinan pasti mengiringi masa transisi. Hasil proses transisi belum tentu negara yang demokratis, tetapi tidak jarang reinkarnasi negara otoriter dalam bentuk yang baru. Di sisi lain, era transisi adalah suatu golden moment untuk melakukan reformasi konstitusi. 154 Usaha untuk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap UU No, 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan telah dicabut dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Melalui perubahan tersebut telah diletakkan kebijakan hahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. 155 Hal ini dianggap penting 153 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, 1967, hlm. 313, dikutip kembali oleh Deny Indrayana, “Negara Hukum Indonesia Pasca Socharto: Transisi Menuju Demokrasi vs. Korupsi”, dalam Jurnal Konstitusi, Volume I Nomor 1, Juli 2004, hlm. 106 154 Elster berpendapat bahwa ada delapan situasi di mana reformasi konstitusi lebih mudah dilakukan, yaitu di masa: 1 krisis ekonomi dan sosial: 2 revolusi; 3 kejatuhan suaru rezim; 4 ketakutan akan jatuhnya rezim; 5 kekalahan dari suatu perang; 6 rekonstruksi setelah perang; 7 pembentukan negara baru; dan 8 kemerdekaan dari penjajahan. Ibid. 155 Lihat Ketentuan Peralihan Pasal 42-45 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 235 dalam rangka perwujudan kekuasaan kehakiman yang menjamin tegaknya negara hukum yang didukung oleh sistem kekuasaan kehakiman yang ‗independen‘ dan ‗impartial‘. Cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan scbagai saw kcsatuan sistem yang berpuncak pada Mahkamah Agung MA dan Mahkamah Konstitusi MK. Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan, fungsi-fungsi legislatift eksekutif dan yudikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Jika kekuasaan legislatif berpuncak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR yang terdiri atas dua kamar, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat DPR dan Dewan Perwakilan Daerah DPD, cabang kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga dapat dipahami mempunyai dua pintu, yaitu Mahkamah Agung dan pintu Mahkamah Konstitusi. 156 Sekarang, setelah lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri mengalami reformasi sruktural dengan diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip hubungan checks and balances antara lembaga- lembaga negara, maka dapat dikatakan struktur ketatanegaraan kita berpuncak kepada tiga cabang kekuasaan, yang saling mengontrol dan saling mengimbangi secara sederajat satu sama lain, yaitu i Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu institusi kepemimpinan; ii MPR yang terdiri atas DPR dan DPD, dan iii kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Ketiga-tiganya tunduk di bawah pengaturan konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala perubahannya. Dengan demikian, lembaga MPR merupakan puncak dari sistem kedaulatan rakyat, sedangkan MA dan MK dapat dilihat sebagai puncak pencerminan sistem kedaulatan hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie , sangat boleh jadi bahwa MA dan MK itu secara bersama-sama dapat pula disebut sebagai Mahkamah Kehakiman. 156 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945 , Yogyakarta, Press, 2004, Ibid: 82-83 236 Sebenarnya, ajaran kedaulatan rakyat yang mencerminkan prinsip demokrasi Demos Cratos atau Cratein dalam perkembangan sejarah pemikiran hukum dan politik memang sering dipertentangkan dengan ajaran kedaulatan hukum berkaitan dengan prinsip Nomokrasi Nomos Cratos atau Cratein . Ajaran atau teori kedaulatan hukum itu sendiri dalam istilah yang lebih populer dihubungkan dengan doktrin the rule of law dan prinsip Rechtsstaat Negara Hukum. Perdebatan teoretis dan filosofis mengenai mana yang lebih utama dari kedua prinsip ajaran kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus berlangsung sejak zaman Yunani kuno. Di zaman modern sekarang ini, orang berusaha untuk merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi. Misalnya, dikatakan bahwa kedua prinsip itu tak ubahnya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya menyatu dalam konsepsi negara hukum yang demokratis ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Namun, dalam praktiknya tidaklah mudah untuk mengkompromikan prinsip kedaulatan rakyat dan kedaulatan rakyat itu dalam skema kelembagaan yang benar-benar seimbang. Dalam sistem UUD 1945 selama ini, lembaga tertinggi negara justru diwujudkan dalam lembaga MPR yang lebih berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Akan tetapi, setelah dilakukan perubahan terbadap ketentuan Undang-Undang Dasar berkenaan dengan hal itu maka lembaga kekuasaan kehakiman yang mencakup dua mahkamah itu juga harus ditempatkan dalam kedudukan yang sederajat dengan MPR yang terdiri atas DPR dan DPD. Sekarang, kedua ajaran kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum itu dikembangkan secara bersamaan dan berada dalam hubungan yang sederajat, sebagai perwujudan keyakinan kolektif bangsa Indonesia akan kedaulatan Tuhan dalam penyelengganaan kehidupan kenegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila. 157

G. Mahkamah Konstitusi MK.