236
Sebenarnya, ajaran kedaulatan rakyat yang mencerminkan prinsip demokrasi Demos Cratos atau Cratein dalam perkembangan sejarah
pemikiran hukum dan politik memang sering dipertentangkan dengan ajaran kedaulatan hukum berkaitan dengan prinsip Nomokrasi Nomos
Cratos atau Cratein
. Ajaran atau teori kedaulatan hukum itu sendiri dalam istilah yang lebih populer dihubungkan dengan doktrin the rule of law dan
prinsip Rechtsstaat Negara Hukum. Perdebatan teoretis dan filosofis mengenai mana yang lebih utama dari kedua prinsip ajaran kedaulatan
hukum dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus berlangsung sejak zaman Yunani kuno. Di zaman modern sekarang ini, orang berusaha untuk
merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi. Misalnya, dikatakan bahwa kedua prinsip itu tak ubahnya merupakan dua sisi dari mata uang yang
sama. Keduanya menyatu dalam konsepsi negara hukum yang demokratis ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum.
Namun, dalam praktiknya tidaklah mudah untuk mengkompromikan prinsip kedaulatan rakyat dan kedaulatan rakyat itu dalam skema
kelembagaan yang benar-benar seimbang. Dalam sistem UUD 1945 selama ini, lembaga tertinggi negara justru diwujudkan dalam lembaga MPR yang
lebih berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Akan tetapi, setelah dilakukan perubahan terbadap ketentuan Undang-Undang Dasar
berkenaan dengan hal itu maka lembaga kekuasaan kehakiman yang mencakup dua mahkamah itu juga harus ditempatkan dalam kedudukan
yang sederajat dengan MPR yang terdiri atas DPR dan DPD. Sekarang, kedua ajaran kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum itu dikembangkan
secara bersamaan dan berada dalam hubungan yang sederajat, sebagai perwujudan keyakinan kolektif bangsa Indonesia akan kedaulatan Tuhan
dalam
penyelengganaan kehidupan
kenegaraan Indonesia
yang berdasarkan Pancasila.
157
G. Mahkamah Konstitusi MK.
157
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan,
Ibid :‖ 84.
237
Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 24 ayat 2, yang berbunyi sebagai berikut: ―Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.‖
Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C menegaskan bahwa ―Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Di samping itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
danatau Wakil Presiden menurut UUD. Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada subject to putusan MPR, lembaga
politik yang berwenang memberhentikan Presiden Pasal 7A. Jadi berbeda dengan di Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada
proses hukum.
Mengapa keduanya dinilai perlu dipisahkan? Menurut Jimly Asshiddiqie,
karena pada hakikatnya, keduanya memang berbeda. Mahkamah Agung lebih merupakan pengadilan keadilan court of justice
sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum court of law Memang tidak dapat di bedakan seratus
persen dan mutlak sebagai
„court of justice‟ versus ‗court of law‟. Semula, formula yang Jimly usulkan adalah seluruh kegiatan ‗judicial
review‟ diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga Mahkamah Agung dapat berkonsentrasi menangani perkara-perkara yang diharapkan
dapat mewujudkan rasa adil bagi setiap warganegara. Akan tetapi, nyatanya UUD 1945 tetap memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan di
bawah undang-undang kepada Mahkamah Agung. Di pihak lain, Mahkamah Konstitusi juga diberi tugas dan kewajiban memutus dan
membuktikan unsur kesalahan dan tanggung jawab pidana Presiden
238
danatau Wakil Presiden yang menurut pendapat DPR telah melakukan pelanggaran hukum menurut UUD. Dengan kata lain, Mahkamah Agung
tetap diberi kewenangan sebagai „court of law‟ di samping fungsinya
sebagai „court of justice.‟
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi tetap diberi tugas yang berkenaan dengan fungsinya sebagai
„court of justice‟ disamping fungsi utamanya sebagai ‗court of law‟, Artinya, meskipun keduanya tidak dapat
dibedakan seratus persen antara „court of law‟ dan „court of justice‟ pada
hakikatnya penekanan fungsi hakiki keduanya memang berbeda satu sama lain. Mahkamah Agung l
ebih merupakan ‗court of justice‘ daripada „court of law‟, sedangkan, Mahkamah Konstitusi lebih merupakan „court of law‟
daripada „court of justice‟. Keduanya sama-sama merupkan pelaku
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Pasal 24 ayat 2 UUD 1945.
158
Pembagian tugas di bidang pengujian peraturan judicial review atas peraturan perundang-undangan antara Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi menurut Jimly, sama sekali tidak ideal karena dapat menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Kedepan, memang harus dipikirkan kemungkinan mengintegrasikan seluruh sistem pengujian
peraturan di bawah kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Mulanya memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Bahkan, keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dunia
memang dapat dikatakan relatif masih baru. Oleh karena itu, ketika UUD 1945 dirumuskan, gagasan Mahkamah Konstitusi ini belum muncul.
Perdebaran yang muncul ketika merumuskan UUD 1945 adalah perlu tidaknya UUD 1945 mengakomodir gagasan hak uji materiil ke dalam
kekuasaan kehakiman.
159
Namun, di kalangan negara-negara demokrasi
158
Jimly Assiddiqie, Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-undang, Makalah
Kuliah Umum Program Doktor S-3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universiras Islam Indonesia Yogyakarra 2 Okroher 2004, hlm. 5-6
159
Moh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, Jajasan Prapantha, Jakarta, hlm. 234.
Lihat juga dalam Ni‘matul Huda, Hukum Tata Negara ..., hlm. 131-133
239
baru, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dan otoritarian menjadi demokrasi pada perempatan terakhir abad ke-20,
ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat populer. Oleh karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi dan demokratisasi
dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat luas diterima.
Praktiknya tidak ada keseragaman di negara-negara di dunia ini mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, melainkan disesuaikan
dengan sejarah dan kebutuhan masing-masing negara. Ada konstitusi negara yang menyatukan fungsi Mahkamah Konstitusi ke dalam Mahkamah
Agung, ada pula konstitusi negara yang memisahkannya sehingga dibentuk dua badan kekuasaan kehakiman yaitu MA dan MK.
H. Badan Pemeriksa Keuangan BPK.