Kondisi Umum Komoditas Kelapa di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Komoditas Kelapa di Indonesia

Pada tahun 2005, luas areal perkebunan di Indonesia sudah mencapai lebih dari 13 juta hektar yang terdiri atas perkebunan rakyat PR dan perkebunan besar, baik yang dikelola oleh perusahaan negara PTPN maupun swasta PBSN. Dari sejumlah komoditi yang diusahakan oleh perkebunan di Indonesia, kelapa merupakan tanaman yang terluas arealnya. Pada tahun 2005, luas arealnya mencapai 3.74 juta hektar dan lebih dari 96 persen diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat APCC, 2006. Sebagai tanaman perkebunan yang dominan diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat, kelapa di Indonesia mempunyai ciri-ciri pengusahaan sebagai berikut: 1. Rata-rata luas lahan usahatani sempit, hanya 0.5 hektar per KK. Dalam jangka panjang, kecenderungan rata-rata pemilikan lahan usahatani akan lebih sempit lagi sejalan dengan terjadinya fragmentasi lahan Allorerung dan Tarigans, 2003; Bavappa, et al., 1995 2. Sebagian besar tanaman kelapa yang diusahakan umurnya telah tua, lebih dari 50 tahun, sehingga tidak produktif lagi akibat tidak optimalnya pelaksanaan program peremajaan tanaman secara nasional Kasryno, et al., 1998; Allorerung dan Tarigans, 2003 3. Produk yang dihasilkan masih sangat tradisional dan terbatas pada produk primer seperti kelapa butiran dan kopra, kualitasnya rendah dan tidak kompetitif untuk dipasarkan Mahmud, 1998; Sulistyo, 1998; Allorerung dan Tarigans, 2003 4. Pola pengusahaan pada umumnya bersifat monokultur dan belum memanfaatkan potensi lahan usahatani secara maksimal sehingga produktivitas lahan usahataninya sangat rendah Darwis dan Tarigans, 1990; Mahmud, 1998; Allorerung dan Tarigans, 2003 5. Produktivitas tanaman sangat rendah, rata-rata hanya 1.2 ton setara koprahektartahun. Hal ini disebabkan oleh digunakannya jenis Kelapa Dalam Lokal, dengan potensi produksi hanya 2.5 ton setara kopra, sebagai tanaman yang dominan oleh petani Allorerung dan Tarigans, 2003 6. Pendapatan usahatani per satuan luas lahan masih sangat rendah dan fluktuatif, sehingga tidak mampu dijadikan sebagai tumpuan pendapatan keluarga. Akibat lainnya adalah petani tidak mampu melakukan pemeliharaan tanaman dan kebunnya dengan mengandalkan dari hasil kebun atau usahatani kelapa Tarigans dan Sumanto, 2004 7. Adopsi teknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan lahan berjalan sangat lambat karena tidak ditunjang oleh ketersediaan modal yang dihasilkan dari usahatani kelapa sendiri Mahmud, 1998; Allorerung dan Tarigans, 2003. Namun demikian, peranan kelapa sebagai komoditas perkebunan bagi masyarakat Indonesia dan negara sangat besar. Setidaknya ada enam peranan komoditas kelapa dalam perekonomian nasional, yaitu: 1 sebagai sumber utama minyak nabati dalam negeri; 2 sebagai komoditas ekspor dan sumber devisa negara; 3 sebagai sumber pendapatan petani; 4 sebagai sumber penyedia bahan baku industri dalam negeri; 5 sebagai sumber penyedia lapangan kerja bagi masayarakat, dan 6 sebagai salah satu unsur pelestari lingkungan hidup. Sebagai sumber utama minyak nabatai dalam negeri, kelapa memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan kelapa sawit yang juga menjadi sumber minyak nabati dalam negeri. Beberapa produk kelapa seperti kelapa segar, santan, tepung kelapa kering, kelapa parut kering DC, tidak dapat disubstitusikan oleh komoditas dan tanaman perkebunan lainnya. Secara nasional, rata-rata konsumsi masyarakat Indonesia adalah 2.18 kg per kapita per tahun atau setara dengan 22.4 persen dari total konsumsi minyak makan nasional Kasryno, et al., 1998; Allorerung dan Tarigans, 2003 dengan kecenderungan yang terus bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk Indonesia yang terus meningkat. Sebagai komoditas ekspor dan sumber devisa negara, nilai ekspor produk kelapa terus meningkat. Bila pada tahun 1994 ekspor produk kelapa Indonesia adalah sebesar US 280.241 juta, maka pada tahun 2000 nilai tersebut telah mencapai US 393 juta. Pada tahun 2005, nilai ekspor komoditas kelapa Indonesia sudah mencapai US 473 juta APCC,2006. Devisa tersebut dihasilkan oleh ekspor minyak kelapa, kopra, bungkil, kelapa parut kering dan arang tempurung. Produk kelapa yang diekspor ini sebagian besar berupa produk tradisional atau produk primer yang di pasar internasional menghadapi persaingan yang ketat dengan produk sejenis dari negara pesaing serta produk- produk substitusi lainnya. Sebagai sumber penyedia lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi petani, pada tahun 1993 tidak kurang dari 12.8 juta jiwa atau 14.5 persen total angkatan kerja di subsektor perkebunan. Pada tahun 1998 angka tersebut telah meningkat menjadi 20 juta jiwa Kasryno, 1993; Sulistyo, 1998. Pada tahun 2003, sekitar 8 juta KK 40 juta jiwa dari masyarakat Indonesia terlibat langsung dan tidak langsung dalam perkebunan kelapa, baik sebagai petani, buruh tani, buruh dagang, pedagang maupun sebagai buruh industri Allorerung dan Mahmud, 2003. Pada tahun - tahun yang akan datang, angka ini akan terus meningkat sejalan dengan terus bertambahnya penduduk Indonesia, khususnya penduduk yang tinggal di pedesaan. Sebagai sumber pendapatan bagi petani, kelapa belum mampu dijadikan sebagai tumpuan utama pendapatan keluarga. Proporsi pendapatan petani dari usahatani kelapa hanya 20 persen dari total pendapatan keluarga Bavappa, et al. , 1995. Sementara studi yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kelapa dan Palma 2001, di Kabupaten Inderagiri Hilir Riau, Minahasa dan Boolang Mongondow Sulawesi Utara, dilaporkan bahwa dengan standar US 200 per kapita per tahun sebagai batas garis kemiskinan, maka petani kelapa di sentra- sentra produksi tersebut berada di bawah garis kemiskinan. Sebagai sumber bahan baku industri dalam negeri, kelapa memiliki peran penting dalam menunjang pengembangan industri pengolahan. Industri pengolahan dalam negeri yang berbahan baku kelapa diantaranya adalah industri minyak goreng, desicated coconut, santan kental, nata de coco, arang tempurung, sabut kelapa, dan industri kerajinan termasuk mebel. Selama ini pemanfaatan kelapa baru terbatas pada bagian daging buah dengan produk primer sebagai produk akhir. Sedangkan pengolahan produk turunan yang menjadi produk hilir belum banyak dilakukan. Padahal produk hasil olahan tersebut berpotensi tinggi dalam memberikan nilai tambah ekonomi dan proses penciptaan lapangan pekerjaan. Disamping itu, produk samping dan limbah usahatani kelapa seperti air kelapa, tempurung, sabut, lidi dan batang kelapa, potensi ekonominya tidak kalah penting dibanding dengan produk yang berasal dari daging buah. Diversifikasi horisontal dengan cara memanfaatkan lahan kelapa menjadi tempat mengusahakan tanaman sela, masih dilakukan dengan cara yang sangat sederhana tanpa sentuhan teknologi yang sudah banyak dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian yang ada. Oleh karena itu, agar agribisnis kelapa menghasilkan manfaat yang optimal, perlu adanya reinventing agribisnis perkelapaan nasional yang akan memperbaharui landasan struktur agribisnis kelapa nasional di masa yang akan datang sesuai dengan tantangan zaman dan isu global dalam perdagangan internasional. Dengan reinventing agribisnis kelapa nasional tersebut akan dirumuskan tujuan, langkah-langkah pokok termasuk grand design dan perencanaan yang mampu mengaktualisasikan potensi kelapa nasional. Empat tujuan pokok dari reinventing agribisnis kelapa nasional tersebut adalah: 1 menjadikan kelapa sebagai penghasil produk bernilai ekonomi tinggi, 2 mewujudkan agribisnis perkelapaan yang maju dan efisien, 3 mengembangkan diversifikasi usahatani kelapa termasuk dengan ternak sebagai bagian integral dari bisnis perkelapaan, dan 4 meminimalkan kerugian petani kelapa akibat kebijakan pemerintah di masa lalu yang pengembangannya terlalu bias ke kelapa sawit. Strategi yang akan dibangun adalah strategi yang diperlukan untuk mempercepat proses bangkitnya agribisnis perkelapaan nasional. Tujuannya agar agribisnis perkelapaan mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam rangka pemulihan ekonomi dari krisis, peningkatan pendapatan petani kelapa, penciptaan lapangan kerja di pedesaan, berkembangnya industri yang menghasilkan nilai tambah tinggi dengan menggunakan bahan baku domestik dan mampu menjadi sumber pelestari lingkungan hidup Pakpahan, 2003. Enam elemen pokok yang harus dikandung dalam strategi tersebut adalah: 1 inventarisasi dan konsolidasi perkebunan kelapa ke dalam unit-unit manajemen yang memenuhi skala ekonomi untuk pengembangan industri terpadu berbasis kelapa di setiap wilayah utama penghasil kelapa, dengan membangun Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan KIMBUN sebagai media pengembangan agribisnis kelapa terpadu yang terus dikembangkan dari waktu ke waktu, 2 penentuan dan penetapan lokasi-lokasi industri kelapa terpadu dalam KIMBUN-KIMBUN kelapa di setiap wilayah penghasil utama kelapa dengan kriteria utama daya saing dari produk yang dihasilkan terhadap produk substitusinya yang dihasilkan di dalam negeri maupun produk impor, 3 mengembangkan organisasi petani sebagai media untuk mengembangkan organisasi pengelolaan perkebunan kelapa yang efisien, produktif dan progresif dalam menerapkan teknologi baru atau pola pengembangan perkebunan yang baru, serta sebagai media negosiasi yang kuat dengan mitra bisnis mereka dan dalam bekerjasama dengan pemerintah, 4 memfasilitasi dan merangsang investasi perusahaan swasta atau BUMN dalam membangun industri berbasis kelapa dan produk lainnya yang berasosiasi dengan kelapa seperti sabut, tempurung, air kelapa, lidi dan batang kelapa, 5 mengembangkan networking antar asosiasi petani, asosiasi petani dengan asosiasi perusahaan pengolah produk hasil petani serta pelaku-pelaku lainnya dalam sistem agribisnis kelapa, dan 6 membangun kelembagaan semacam “coconut board” sebagai “services provider ” bagi para pelaku dalam usaha dan sistem agribisnis perkelapaan. Strategi tersebut akan berjalan dengan baik bila didukung oleh kebijakan pemerintah berupa: 1 penetapan landasan dan kerangka kerja untuk menyelenggarakan inventarisasi dan konsolidasi areal perkebunan kelapa ke dalam unit manajemen yang memenuhi skala ekonomis untuk pengembangan industri terpadu berbasis kelapa di setiap wilayah utama penghasil kelapa atau KIMBUN kelapa, 2 penetapan calon lokasi industri kelapa terpadu dalam KIMBUN-KIMBUN kelapa di setiap wilayah penghasil utama kelapa dengan kriteria utama berupa daya saing dan manfaat yang optimal bagi petani yang telah melakukan investasi terlebih dahulu dalam bidang on farm, 3 memfasilitasi dan membantu mengembangkan organisasi kelapa sebagai media untuk mengembangkan organisasi pengelolaan perkebunan kelapa yang efisien, produktif dan progresif, khususnya dalam hal penetapan teknologi baru atau pola pengembangan perkebunan yang baru, serta sebagai media negosiasi yang kuat dengan mitra bisnis mereka dan dalam bekerjasama dengan pemerintah, 4 menetapkan kebijakan fiskal, moneter dan perdagangan yang dapat memfasilitasi dan merangsang investasi perusahaan swasta atau BUMN dalam membangun industri berbasis hasil kelapa dan produk lainnya yang berasosiasi dengan kelapa seperti sabut, tempurung, lidi, air dan batang kelapa serta produk lainnya, 5 memfasilitasi pengembangan networking antar asosiasi petani, antara asosiasi petani dengan asosiasi perusahaan pengolah produk hasil petani dan pelaku-pelaku lainnya dalam sistem agribisnis kelapa, dan 6 membangun kelembagaan semacam “coconut board” sebagai “services provider” bagi para pelaku dalam usaha dan sistem agribisnis perkelapaan nasional.

2.2. Studi Beberapa Komoditas Perkebunan di Indonesia