Analisis efisiensi relatif komoditas kelapa pada lahan pasang surut dan lahan kering

(1)

Oleh:

BEDY SUDJARMOKO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi Relatif Komoditas Kelapa pada Lahan Pasang Surut dan Lahan Kering. (ANNY RATNAWATI sebagai ketua dan

HARIANTO sebagai anggota Komisi Pembimbing).

Kelapa Indonesia menjadi tanaman kelapa terluas di dunia dengan pangsa 31.2 persen dari total areal kelapa dunia. Pada tahun 2005, luas arealnya tercatat 3.74 juta hektar dan 17 persen diusahakan pada lahan pasang surut. Pangsa perkebunan kelapa rakyat mencapai 98 persen dari total areal kelapa nasional, melibatkan langsung dan tidak langsung sekitar 50 juta jiwa penduduk Indonesia. Komoditas kelapa di Indonesia menjadi penghasil devisa negara yang sangat penting. Ironisnya, usahatani kelapa belum mampu menjadi sumber pendapatan utama bagi petani karena petani kelapa di Indonesia mempunyai pendapatan yang sangat rendah, hanya Rp 1.7 juta/hektar/tahun atau Rp142 ribu/hektar/bulan.

Perubahan kebijakan dari ekstensifikasi ke intensifikasi berdampak terhadap alokasi penggunaan faktor produksi. Meningkatnya terus harga input sementara harga jual produk primer sangat rendah dan fluktuatif, berdampak terhadap tingkat keuntungan, skala usaha dan efisiensi perkebunan kelapa rakyat. Hal tersebut mendasari dikakukannya penelitian ini dengan tiga tujuan pokok, yaitu: (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usaha pada komoditas kelapa, (2) mengetahui kondisi ekonomi skala usaha tanaman kelapa pada perkebunan rakyat, dan (3) menganalisis efisiensi ekonomi, harga dan teknis relatif dari kategori usahatani kelapa yang berbeda, khususnya tanaman kelapa perkebunan rakyat yang diusahakan pada lahan pasang surut dan lahan kering.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keuntungan usahatani kelapa dipengaruhi oleh upah tenaga kerja, harga pupuk Urea, SP-36, KCl dan pestisida dengan hubungan yang bersifat negatif. Sedangkan jumlah pohon, umur pohon kelapa, pendidikan petani dan pengalaman usahatani, berpengaruh terhadap keuntungan usahatani kelapa dengan hubungan bersifat positif. Secara parsial, penggunaan pupuk Urea dan SP-36 pada kelapa perkebunan rakyat telah optimal. Akan tetapi alokasi penggunaan input variabel secara keseluruhan belum optimal sehingga tidak memberikan keuntungan yang maksimum. Usahatani kelapa perkebunan rakyat berada pada fase keuntungan yang semakin meningkat. Kelapa yang diusahakan pada ekosistem lahan kering memiliki efisiensi ekonomi, harga dan teknis relatif lebih tinggi dibanding kelapa yang diusahakan pada lahan pasang surut. Begitu juga kelapa yang diusahakan pada lahan luas, memiliki efisiensi ekonomi, harga dan teknis relatif lebih tinggi dibanding kelapa yang diusahakan pada lahan sempit.

Keuntungan usahatani kelapa rakyat dapat ditingkatkan dengan cara menambah penggunaan input tenaga kerja, pupuk KCl dan pestisida. Sedangkan usaha untuk meningkatkan efisiensi kelapa di lahan pasang surut dapat dilakukan dengan cara memperbaiki sarana transportasi, percepatan proses adopsi teknologi serta mencegah terjadinya fragmentasi lahan usahatani.

Kata kunci: Cocos nucifera, return to scale, input, output, efisiensi, pasang surut, lahan kering


(3)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2007

Bedy Sudjarmoko NRP. A 151020301


(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(5)

Oleh:

BEDY SUDJARMOKO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(6)

Nama : Bedy Sudjarmoko

NRP : A. 151020301

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.S. Dr. Ir. Harianto, M.S. Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(7)

Penulis dilahirkan di Probolinggo pada tanggal 17 Desember 1959 sebagai anak kedua dari Gs. Hasbyrianto dan Halimatuzzuhra, merupakan anak kedua dari lima bersaudara.

Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Maron I, Probolinggo pada tahun 1971. Pada tahun 1973 lulus dari SMP Gotong Royong, Probolinggo, dan pada tahun 1976 lulus dari SMA Negeri I Probolinggo. Pada tahun 1977 penulis melanjutkan pendidikan sarjana pertanian pada Jurusan Agribisnis, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2002 mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1984 bekerja sebagai staf peneliti pada Sub Balai Penelitian Tanaman Industri Pakuwon, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Bogor, setelah reorganisasi berganti nama menjadi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Bogor.

Penulis menikah dengan Yanni J.A. dan telah dikaruniai dua orang puteri bernama Dheby Cynthia Dora dan Shinta Tyara Mega.


(8)

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga tesis berjudul “Analisis Efisiensi Relatif Komoditas Kelapa pada Lahan Pasang Surut dan Lahan Kering” ini dapat diselesaikan.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fokus pembahasan adalah masalah keuntungan, skala usaha, dan efisiensi relatif pada komoditas kelapa di Indonesia, khususnya perkebunan kelapa rakyat yang diusahakan pada lahan pasang surut dan lahan kering.

Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Harianto, M.S. sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala saran, arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan tesis ini.

Selanjutnya pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengikuti pendidikan program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(9)

3. Pimpinan dan seluruh staf Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Bogor, atas segala bantuan, data dan informasinya yang telah diberikan kepada penulis.

4. Pimpinan dan seluruh staf Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri Pakuwon, atas izin belajar yang telah diberikan serta segenap bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

5. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) angkatan 2002, khususnya rekan Andre, Anna, Ima, Diding, Dwi, Mimi dan Adam, atas segala bantuan, dorongan moril dan semangatnya

Secara khusus, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang mendalam kepada isteri tercinta, Yanni J.A., serta ananda tercinta Dheby Cynthia Dora dan Shinta Tyara Mega, atas segala pengorbanan, dorongan, pengertian dan cinta kasih yang diberikan kepada penulis, khususnya selama menempuh masa pendidikan di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis sadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala macam bentuk saran, kritik serta masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk perbaikannya.

Bogor, Januari 2007


(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Kondisi Umum Komoditas Kelapa di Indonesia ... 10

2.2. Studi Beberapa Komoditas Perkebunan di Indonesia ... 16

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

3.1. Fungsi Produksi ... 22

3.2. Pendekatan Fungsi Keuntungan ... 23

3.3. Fungsi Keuntungan Cobb Douglas ... 28

3.4. Keterbatasan Fungsi Keuntungan Cobb Douglas ... 30

3.5. Skala Usaha ... 36

3.6. Efisiensi Relatif ... 43

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 47

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 47

4.2. Metode Analisis ... 48

4.2.1. Analisis Fungsi Keuntungan Komoditas Kelapa ... 48

4.2.2. Analisis Fungsi Factor Share ... 50

4.3. Pengujian Hipotesis ... 50

4.3.1. Kondisi Optimum atau Keuntungan Maksimum ... 50

4.3.2. Skala Usaha ... 50

4.3.3. Efisiensi Ekonomi, Harga dan Teknis Relatif ... 51

4.4. Prosedur Pendugaan ... 54


(11)

5.2. Usaha Agribisnis Hulu ... 60

5.3. Usaha Agribisnis Hilir ... 61

5.4. Pasar dan Harga ... 63

5.4.1. Penggunaan Dalam Negeri ... 63

5.4.2. Ekspor Produk Kelapa ... 64

5.4.3. Impor Produk Kelapa ... 67

5.4.4. Harga Kelapa dan Produk Kelapa ... 67

5.5. Infrastruktur dan Kelembagaan ... 71

5.6. Kebijakan Harga, Perdagangan dan Investasi ... 71

5.7. Prospek, Potensi dan Arah Pengembangan ... 73

VI. ANALISIS EFISIENSI RELATIF PADA KOMODITAS KELAPA ... 82

6.1. Fungsi Keuntungan Komoditas Kelapa ... 82

6.2. Fungsi Factor Share ... 88

6.3. Keuntungan Maksimum ... 90

6.4. Skala Usaha... 91

6.5. Efisiensi Relatif ... 93

VII. SIMPULAN DAN SARAN... 96

7.1. Simpulan ... 96

7.2. Implementasi Kebijakan ... 97

7.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan ... 98

DAFTAR PUSTAKA... 100


(12)

Nomor Halaman

1. Profil usaha beberapa produk akhir kelapa Indonesia ... 62

2. Penggunaan domestik berbagai produk kelapa di Indonesia, Tahun 1993 – 2005... 64

3. Volume ekspor beberapa produk kelapa Indonesia, Tahun 1993 – 2005 ... 65

4. Negara utama tujuan ekspor produk kelapa Indonesia, Tahun 1999 dan 2005 ... 66

5. Impor Indonesia untuk beberapa produk kelapa, Tahun 1993 – 2005.... 68

6. Perkembangan produk kelapa di pasar domestik dan pasar dunia, Tahun 1993 – 2005... 69

7. Perekembangan harga ekspor produk kelapa Indonesia, Tahun 1999 – 2005 ... 70

8. Kebijakan perdagangan kelapa di Indonesia, Tahun 2005 ... 72

9. Pendugaan fungsi keuntungan pada komoditas kelapa ... 83

10. Pendugaan fungsi factor share pada komoditas kelapa ... ... 89

11. Hasil pengujian hipotesis keuntungan maksimum pada komoditas kelapa... 90

12. Hasil pengujian hipotesis skala usaha pada komoditas kelapa ... 92


(13)

Nomor Halaman

1. Efisiensi teknis dan harga dari sisi input... 45

2. Sebaran areal dan produksi kelapa berdasarkan wilayah pengembangan... 58

3. Pohon industri kelapa di Indonesia ... 74

4. Produk oleokimia dari minyak kelapa... 78

5. Produk turunan dari pengolahan sabut kelapa ... 79


(14)

Nomor Halaman 1. Perkembangan luas areal tanaman kelapa di Indonesia, Tahun

2001 – 2005... 107 2. Perkembangan produksi kelapa di Indonesia, Tahun 2001 – 2005 ... 108 3. Hasil pendugaan fungsi keuntungan pada usahatani kelapa untuk

pengujian efisiensi relatif berdasarkan ekosistem usahatani ... 109 4. Hasil pendugaan fungsi factor share pada usahatani kelapa untuk

pengujian efisiensi relatif berdasarkan ekosistem usahatani ... 110 5. Hasil pendugaan fungsi keuntungan pada usahatani kelapa untuk

pengujian efisiensi relatif berdasarkan luas lahan usahatani ... 111 6. Hasil pendugaan fungsi factor share pada usahatani kelapa untuk


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, sektor pertanian kembali menjadi pusat ekspektasi nasional sebagai landasan pemulihan ekonomi. Akibat krisis tersebut, pada tahun 1998 Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia turun dengan laju -13.2 persen, sementara inflasi dan pengangguran meningkat menjadi 77.6 persen dan 40.0 persen. Tingkat kemiskinan juga naik menjadi 23.55 persen atau mencapai 48.4 juta jiwa. Sementara ekonomi nasional mengalami kontraksi sebesar 13.68 persen, sektor pertanian bahkan tetap tumbuh sebesar 0.22 persen. Jika penyerapan tenaga kerja nasional turun sebesar 2.13 persen atau sebesar 6 429 530 orang, sektor pertanian justru mampu meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sebesar 432 350 orang (Saragih, 1998; Arifin, 2001; BPS, 2000; Sudaryanto, et al., 2002).

Peran strategis sektor pertanian dalam mengatasi dampak krisis ekonomi dan masalah struktural pembangunan nasional, juga ditunjukkan oleh kontribusinya dalam pembentukan PDB nasional yang mencapai 18.84 persen (kedua terbesar), dan dominannya dalam menyerap tenaga kerja (45.0 persen). Disamping itu, pangsa pengeluaran konsumsinya 48.01 persen lebih tinggi dibandingkan rumah tangga non-pertanian, elastisitas pengeluarannya juga lebih besar, dan semua subsektor dalam lingkup pertanian termasuk dalam kategori penyerapan tenaga kerja sedang sampai tinggi (Sudaryanto, et al., 2002; Arifin, 2001; Saragih 2002). Ini menunjukkan bahwa dalam masa krisis, sektor pertanian memiliki kemampuan artikulatif yang tinggi dan tangguh dalam menghadapi goncangan ekonomi dan moneter.


(16)

Tangguhnya sektor pertanian dalam menghadapi krisis tersebut sangat didukung oleh kinerja subsektor perkebunan. Dengan basis sumberdaya domestik, subsektor perkebunan terbukti memiliki keunggulan komparatif baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Komoditi ekspor yang dihasilkan subsektor perkebunan dan berorientasi ekspor, sangat diuntungkan oleh meningkatnya harga komoditas akibat depresiasi nilai tukar rupiah yang mencapai 700 persen. Akan tetapi, meningkatnya angka inflasi juga berdampak terhadap naiknya biaya hidup dan makin mahalnya harga input atau sarana produksi (Saragih, 2002; Sunderlin et al., 2000, Dradjat, 2004).

Pentingnya peranan subsektor perkebunan dalam perekonomian nasional sudah terlihat sejak awal tahun 1970-an. Subsektor perkebunan menjadi salah satu andalan perekonomian nasional dalam menghasilkan devisa, penerimaan ekspor, peningkatan pertumbuhan PDB, penyerapan tenaga kerja, sumber bahan baku industri dalam negeri, pemanfaatan dan pelesrari sumberdaya alam serta sumber pendapatan petani. Pertumbuhannya dipacu melalui kebijakan produksi, investasi, ekspor dan berbagai kebijakan lainnya (Suprihatini et al., 1996; Simanjuntak, 1992; Susila, 1999; Dradjat, 2004; Zulkifli, 2000).

Kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan perkebunan dimaksudkan untuk meningkatkan perolehan devisa negara, memperluas lapangan kerja, kesempatan berusaha, dan meningkatkan pendapatan petani perkebunan. Berbagai kebijakan pemerintah yang telah dilakukan untuk mendorong pembangunan perkebunan tersebut antara lain adalah perluasan areal tanaman melalui pola perkebunan inti rakyat (PIR) yang diberlakukan sejak tahun 1979. Disamping itu juga diberlakukan kebijakan alokasi harga dan pajak ekspor yang cukup tinggi untuk beberapa komoditas perkebunan. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi dan mengamankan kebutuhan konsumsi dalam negeri (Simatupang dan Purwoto, 1996; Saragih, 1988; Zulkifli, 2000).


(17)

Kelapa adalah komoditas perkebunan yang menjadi bahan baku utama pembuatan minyak goreng di Indonesia. Walaupun minyak goreng berasal dari nabati dan hewani, namun minyak goreng yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia umumnya didominasi oleh minyak goreng nabati yang berasal dari kelapa dan kelapa sawit.

Minyak goreng merupakan komoditi strategis karena menjadi salah satu dari sembilan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar, Indonesia tercatat menjadi negara konsumen utama minyak goreng di dunia. Dengan tingkat konsumsi dan jumlah permintaan yang sangat besar, maka terjadinya distorsi dan fluktuasi harga minyak goreng, akan menimbulkan gejolak bagi perekonomian nasional. Meningkatnya jumlah permintaan ini didorong oleh bertambahnya jumlah penduduk dan naiknya rata-rata konsumsi minyak goreng per kapita.

Dalam struktur perekonomian nasional, minyak kelapa telah berperan sebagai penghasil devisa negara yang sangat penting. Untuk pasar internasional, dengan pangsa ekspor 20 persen dari total ekspor minyak kelapa dunia, Indonesia tercatat sebagai negara produsen dan eksportir minyak kelapa kedua terbesar setelah Philipina. Pada tahun 1997, ekspor minyak kelapa Inonesia adalah sebesar 644 251 ton dengan nilai US $ 401 651. Akan tetapi, pada tahun 2001 ekspor minyak kelapa mengalami penurunan menjadi hanya 395 819 ton dengan nilai US $ 111 650 (Mahmud, 2003). Menurunnya jumlah dan nilai ekspor minyak kelapa Indonesia ini merupakan akibat dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Pada tahun 2005, ekspor minyak kelapa ini kembali meningkat menjadi 520 110 ton dengan nilai sebesar US $ 215 500 (APCC, 2006).

Perkembangan minyak kelapa di Indonesia lebih dominan didukung oleh perkembangan perkebunan kelapa rakyat yang proporsinya mencapai 97 persen


(18)

dari total areal tanaman kelapa. Dari total areal seluas 3.74 juta hektar pada tahun 2005, pangsa areal perkebunan besar tidak lebih dari tiga persen. Sebagaimana perkebunan rakyat pada umumnya, maka perkebunan kelapa di Indonesia dicirikan antara lain oleh rendahnya produktifitas tanaman dan mutu produk. Dalam periode 30 tahun terakhir ini, produktifitas tanaman kelapa di Indonesia relatif stagnan hanya pada kisaran satu ton kopra per tahun.

Kelapa ditanam meluas di seluruh kepulauan Indonesia mulai dari pulau Sumatera sebagai pulau yang terluas pertanaman kelapanya hingga mencapai 1.2 juta ha (32.9 persen), disusul Jawa seluas 0.903 juta ha (24.3 persen), Sulawesi seluas 0.716 juta ha (19.3 persen), Kepulauan Bali, NTB, NTT seluas 0.305 juta ha (8.2 persen), Maluku dan Papua seluas 0.289 juta ha (7.8 persen) dan Kalimantan seluas 0.277 juta ha (7.5 persen). Ironisnya, usahatani kelapa belum mampu menjadi sumber pendapatan utama bagi petani karena produktifitas lahan, tanaman, dan nilai produk yang dihasilkan masih sangat rendah. Petani kelapa di Indonesia mempunyai pendapatan hanya Rp 1.7 juta /ha/tahun atau sebesar Rp142 ribu/ha/bulan.

Bila dilihat dari luas arealnya, posisi perkelapaan Indonesia di tingkat dunia menduduki peringkat pertama, yaitu mencapai 31.2 persen dari total luas perkelapaan dunia, disusul Filipina sebagai peringkat kedua yaitu 25.8 persen, India 16.04 persen, Sri Langka 3.7 persen, Thailand 3.1 persen dan negara-negara lainnya 20.04 persen. Namun bila dilihat dari posisi sebagai penghasil minyak kelapa, Indonesia hanya menduduki peringkat kedua (pangsa produksinya sebesar 25.5 persen dari produksi minyak kelapa dunia) setelah Philipina yang memiliki pangsa sesbesar 41.2 persen dari total produksi minyak kelapa dunia.

Peranan kelapa sebagai komoditi perkebuan bagi masyarakat Indonesia dan negara sangat besar. Setidaknya ada enam peranan kelapa dalam


(19)

perekonomian nasional, yaitu: (1) sebagai sumber utama minyak nabati dalam negeri; (2) sebagai komoditas ekspor dan sumber devisa negara; (3) sebagai sumber pendapatan petani; (4) sebagai sumber bahan baku industri dalam negeri; (5) sebagai sumber penyedia lapangan kerja bagi masayarakat, dan (6) sebagai salah satu unsur pelestari lingkungan hidup.

Komoditi kelapa nasional pada periode Tahun 1960 -1970 pernah mengalami masa kejayaan dengan produk utama kopra, sedangkan kopra sendiri pada waktu itu menjadi produk yang menguntungkan untuk diusahakan. Namun dalam perkembangannya terutama pada dekade Tahun 1980 - 1990 an, peranan kelapa sebagai sumber bahan baku minyak goreng makin tergeser peranannya oleh kelapa sawit.

1.2. Perumusan Masalah

Kelapa merupakan tanaman perkebunan yang memiliki daya adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan, sehingga dapat tumbuh hampir di seluruh ekosistem yang ada, baik di lahan kering maupun di lahan pasang surut. Begitu tingginya adaptasi tanaman ini sehingga tidak ada satupun pulau di Indonesia yang tidak ditumbuhi oleh tanaman kelapa (Darwis, 1995).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2005), luas permukaan lahan di Indonesia tercatat seluas 191 juta hektar. Dari luas tersebut, sekitar 30 persen atau lebih dari 60 juta hektar diantaranya adalah lahan pertanian. Lebih dari 87 persen dari total lahan pertanian tersebut atau sekitar 52 juta hektar, merupakan lahan kering dan hanya 13 persen atau sekitar 8 juta hektar berupa lahan sawah. Dari jumlah 52 juta hektar lahan kering tersebut, termasuk di dalamnya adalah lahan berupa kebun/ladang dan huma, tanaman keras/perkebunan, semak belukar serta lahan yang belum dimanfaatkan atau lahan bera.


(20)

Sedangkan potensi lahan pasang surut di Indonesia mencapai 35 - 39.4 juta hektar yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Dari luas tersebut, 7 juta hektar diantaranya potensial untuk dikonversikan menjadi lahan pertanian (Darwis, 1995; Allorerung, 1992; Widjaja, 1986). Secara tradisional lahan pasang surut ini telah banyak diusahakan dengan menanam tanaman kelapa. Berdasarkan data yang ada, 17 persen dari total areal kelapa di Indonesia adalah kelapa yang diusahakan pada ekosistem lahan pasang surut (Soebiapradja dan Sudewo, 1987).

Masalah utama yang dihadapi oleh perkelapaan di Indonesia, baik yang diusahakan di lahan kering maupun lahan pasang surut adalah rendahnya pendapatan petani yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) rendahnya produktivitas tanaman; (2) sempitnya lahan usahatani; (3) rendah dan fluktuatifnya harga produk primer kelapa yang dihasilkan di tingkat petani, dan (4) turunnya nilai tukar komoditas kelapa terhadap kebutuhan primer petani. Beberapa pakar menambahkan, disamping faktor - faktor tersebut di atas, rendahnya pendapatan petani kelapa diperparah oleh banyaknya tanaman kelapa berumur tua,dominannya pola usahatani monokultur, belum konsistennya melakukan diversifikasi produk, lemahnya kondisi sosial ekonomi serta lambatnya proses adopsi teknologi (Allorerung dan Mahmud, 2003; Tarigans, 2003; Kasryno, 1999; Tarigans dan Sumanto, 2004; Allorerung dan Tarigans, 2003). Oleh karena itu, titik berat pengembangan kelapa diarahkan pada upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman, produksi dan pendapatan petani.

Sejak tahun 1990, kebijakan pemerintah dalam hal perluasan areal melalui pola PIR dan PBSN secara berangsur mulai dikurangi dan dihentikan. Hal ini dimaksudkan terutama untuk menghindari terjadinya kelebihan produksi dalam negeri dan dampak negatifnya terhadap harga di tingkat petani. Sejalan dengan kebijakan ini, maka secara mikro upaya untuk mencapai keuntungan


(21)

maksimal harus dilakukan dengan cara intensifikasi dan rehabilitasi. Terjadinya perubahan kebijakan dari ekstensifikasi ke intensifikasi ini akan berdampak terhadap alokasi penggunaan faktor produksi di bidang perkebunan. Pada tahap lebih lanjut, perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat efisiensi, keuntungan dan kondisi skala usaha, permintaan terhadap input atau faktor produksi dan juga penawaran terhadap output komoditas kelapa.

Sejalan dengan berkembangnya agribisnis dan pesatnya pertumbuhan teknologi dewasa ini, maka efisiensi mejadi tuntutan di berbagai sektor termasuk di sektor pertanian. Apalagi di sektor pertanian, seringkali terjadi biaya produksi meningkat lebih cepat dibanding naiknya nilai produksi. Pada negara-negara berkembang, secara umum nilai tambah komoditas pertanian memang lebih lamban terjadi bila dibandingkan barang-barang hasil industri misalnya. Belum lagi ditambah oleh rendahnya daya beli masyarakat pada umumnya.

Harga pupuk yang terus meningkat akan mempengaruhi penggunaan dan permintaan salah satu input utama yang berfungsi untuk memacu pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa. Begitu juga dengan meningkatnya harga pestisida yang tidak kalah pentingnya dalam mempertahankan tingkat produksi yang dihasilkan. Sedangkan meningkatnya upah tenaga kerja di bidang perkebuanan seiring dengan tuntutan kenaikan upah minimum regional dan upah minimum sektoral, pengaruhnya terhadap proses produksi tidak kalah pentingnya dengan kenaikan harga pupuk dan pestisida.

Meningkatnya terus harga-harga input usaha perkebunan kelapa, akan berdampak terhadap tingkat keuntungan yang akan dicapai, skala usaha, dan efisiensi. Masalahnya adalah apakah petani kelapa di Indonesia yang rata-rata berlahan sempit dan berada pada kondisi sosial ekonomi yang lemah, mampu mengalokasikan penggunaan input secara optimal agar keuntungannya maksimum dan usaha perkebunan kelapanya efisien. Hal ini tentu memerlukan


(22)

penelitian dan pengamatan lebih lanjut agar didapat jawaban untuk perbaikan dan pengembangan lebih lanjut.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi relatif komoditas kelapa pada lahan pasang surut dan lahan kering. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani kelapa, khususnya pada tanaman kelapa perkebunan rakyat

2. Mengetahui kondisi ekonomi skala usaha tanaman kelapa perkebunan rakyat 3. Menganalisis efsisiensi ekonomi, harga dan teknis relatif dari kategori usahatani kelapa yang berbeda, khususnya pada tanaman kelapa perkebunan rakyat yang diusahakan pada lahan pasang surut dan lahan kering serta berdasarkan luas lahan usahatani.

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan komoditas kelapa di lahan pasang surut dan lahan kering, khususnya yang dikelola dalam bentuk perkebunan rakyat pada masa yang akan datang. Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi informasi bagi peneliti lainnya, terutama bagi peneliti di bidang perkebunan.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini dibatasi hanya pada perkebunan kelapa rakyat yang merupakan bagian terbesar dari perkelapaan di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini tidak akan mengkaji perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta, walaupun keuntungan, skala usaha dan efisiensi relatif untuk masing-masing kelompok usaha tersebut memiliki perbedaan.


(23)

Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah: (1) tidak menganalisis usaha agribisnis hilir dan aspek perdagangan internasional, walaupun aspek ini sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan komoditas kelapa di Indonesia, dan (2) tidak melakukan analisis terhadap data deret waktu (time series) sehingga tidak menangkap perubahan yang terjadi antar waktu pada tanaman kelapa yang dikelola dalam bentuk perkebunan rakyat.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Komoditas Kelapa di Indonesia

Pada tahun 2005, luas areal perkebunan di Indonesia sudah mencapai lebih dari 13 juta hektar yang terdiri atas perkebunan rakyat (PR) dan perkebunan besar, baik yang dikelola oleh perusahaan negara (PTPN) maupun swasta (PBSN). Dari sejumlah komoditi yang diusahakan oleh perkebunan di Indonesia, kelapa merupakan tanaman yang terluas arealnya. Pada tahun 2005, luas arealnya mencapai 3.74 juta hektar dan lebih dari 96 persen diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat (APCC, 2006).

Sebagai tanaman perkebunan yang dominan diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat, kelapa di Indonesia mempunyai ciri-ciri pengusahaan sebagai berikut:

1. Rata-rata luas lahan usahatani sempit, hanya 0.5 hektar per KK. Dalam jangka panjang, kecenderungan rata-rata pemilikan lahan usahatani akan lebih sempit lagi sejalan dengan terjadinya fragmentasi lahan (Allorerung dan Tarigans, 2003; Bavappa, et al., 1995)

2. Sebagian besar tanaman kelapa yang diusahakan umurnya telah tua, lebih dari 50 tahun, sehingga tidak produktif lagi akibat tidak optimalnya pelaksanaan program peremajaan tanaman secara nasional (Kasryno, et al., 1998; Allorerung dan Tarigans, 2003)

3. Produk yang dihasilkan masih sangat tradisional dan terbatas pada produk primer seperti kelapa butiran dan kopra, kualitasnya rendah dan tidak kompetitif untuk dipasarkan (Mahmud, 1998; Sulistyo, 1998; Allorerung dan Tarigans, 2003)

4. Pola pengusahaan pada umumnya bersifat monokultur dan belum memanfaatkan potensi lahan usahatani secara maksimal sehingga


(25)

produktivitas lahan usahataninya sangat rendah (Darwis dan Tarigans, 1990; Mahmud, 1998; Allorerung dan Tarigans, 2003)

5. Produktivitas tanaman sangat rendah, rata-rata hanya 1.2 ton setara kopra/hektar/tahun. Hal ini disebabkan oleh digunakannya jenis Kelapa Dalam Lokal, dengan potensi produksi hanya 2.5 ton setara kopra, sebagai tanaman yang dominan oleh petani (Allorerung dan Tarigans, 2003)

6. Pendapatan usahatani per satuan luas lahan masih sangat rendah dan fluktuatif, sehingga tidak mampu dijadikan sebagai tumpuan pendapatan keluarga. Akibat lainnya adalah petani tidak mampu melakukan pemeliharaan tanaman dan kebunnya dengan mengandalkan dari hasil kebun atau usahatani kelapa (Tarigans dan Sumanto, 2004)

7. Adopsi teknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan lahan berjalan sangat lambat karena tidak ditunjang oleh ketersediaan modal yang dihasilkan dari usahatani kelapa sendiri (Mahmud, 1998; Allorerung dan Tarigans, 2003).

Namun demikian, peranan kelapa sebagai komoditas perkebunan bagi masyarakat Indonesia dan negara sangat besar. Setidaknya ada enam peranan komoditas kelapa dalam perekonomian nasional, yaitu: (1) sebagai sumber utama minyak nabati dalam negeri; (2) sebagai komoditas ekspor dan sumber devisa negara; (3) sebagai sumber pendapatan petani; (4) sebagai sumber penyedia bahan baku industri dalam negeri; (5) sebagai sumber penyedia lapangan kerja bagi masayarakat, dan (6) sebagai salah satu unsur pelestari lingkungan hidup.

Sebagai sumber utama minyak nabatai dalam negeri, kelapa memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan kelapa sawit yang juga menjadi sumber minyak nabati dalam negeri. Beberapa produk kelapa seperti kelapa


(26)

segar, santan, tepung kelapa kering, kelapa parut kering (DC), tidak dapat disubstitusikan oleh komoditas dan tanaman perkebunan lainnya. Secara nasional, rata-rata konsumsi masyarakat Indonesia adalah 2.18 kg per kapita per tahun atau setara dengan 22.4 persen dari total konsumsi minyak makan nasional (Kasryno, et al., 1998; Allorerung dan Tarigans, 2003) dengan kecenderungan yang terus bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk Indonesia yang terus meningkat.

Sebagai komoditas ekspor dan sumber devisa negara, nilai ekspor produk kelapa terus meningkat. Bila pada tahun 1994 ekspor produk kelapa Indonesia adalah sebesar US $ 280.241 juta, maka pada tahun 2000 nilai tersebut telah mencapai US $ 393 juta. Pada tahun 2005, nilai ekspor komoditas kelapa Indonesia sudah mencapai US $ 473 juta (APCC,2006). Devisa tersebut dihasilkan oleh ekspor minyak kelapa, kopra, bungkil, kelapa parut kering dan arang tempurung. Produk kelapa yang diekspor ini sebagian besar berupa produk tradisional atau produk primer yang di pasar internasional menghadapi persaingan yang ketat dengan produk sejenis dari negara pesaing serta produk-produk substitusi lainnya.

Sebagai sumber penyedia lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi petani, pada tahun 1993 tidak kurang dari 12.8 juta jiwa atau 14.5 persen total angkatan kerja di subsektor perkebunan. Pada tahun 1998 angka tersebut telah meningkat menjadi 20 juta jiwa (Kasryno, 1993; Sulistyo, 1998). Pada tahun 2003, sekitar 8 juta KK (40 juta jiwa) dari masyarakat Indonesia terlibat langsung dan tidak langsung dalam perkebunan kelapa, baik sebagai petani, buruh tani, buruh dagang, pedagang maupun sebagai buruh industri (Allorerung dan Mahmud, 2003). Pada tahun - tahun yang akan datang, angka ini akan terus meningkat sejalan dengan terus bertambahnya penduduk Indonesia, khususnya penduduk yang tinggal di pedesaan.


(27)

Sebagai sumber pendapatan bagi petani, kelapa belum mampu dijadikan sebagai tumpuan utama pendapatan keluarga. Proporsi pendapatan petani dari usahatani kelapa hanya 20 persen dari total pendapatan keluarga (Bavappa, et al., 1995). Sementara studi yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kelapa dan Palma (2001), di Kabupaten Inderagiri Hilir (Riau), Minahasa dan Boolang Mongondow (Sulawesi Utara), dilaporkan bahwa dengan standar US $ 200 per kapita per tahun sebagai batas garis kemiskinan, maka petani kelapa di sentra-sentra produksi tersebut berada di bawah garis kemiskinan.

Sebagai sumber bahan baku industri dalam negeri, kelapa memiliki peran penting dalam menunjang pengembangan industri pengolahan. Industri pengolahan dalam negeri yang berbahan baku kelapa diantaranya adalah industri minyak goreng, desicated coconut, santan kental, nata de coco, arang tempurung, sabut kelapa, dan industri kerajinan termasuk mebel.

Selama ini pemanfaatan kelapa baru terbatas pada bagian daging buah dengan produk primer sebagai produk akhir. Sedangkan pengolahan produk turunan yang menjadi produk hilir belum banyak dilakukan. Padahal produk hasil olahan tersebut berpotensi tinggi dalam memberikan nilai tambah ekonomi dan proses penciptaan lapangan pekerjaan. Disamping itu, produk samping dan limbah usahatani kelapa seperti air kelapa, tempurung, sabut, lidi dan batang kelapa, potensi ekonominya tidak kalah penting dibanding dengan produk yang berasal dari daging buah. Diversifikasi horisontal dengan cara memanfaatkan lahan kelapa menjadi tempat mengusahakan tanaman sela, masih dilakukan dengan cara yang sangat sederhana tanpa sentuhan teknologi yang sudah banyak dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian yang ada.

Oleh karena itu, agar agribisnis kelapa menghasilkan manfaat yang optimal, perlu adanya reinventing agribisnis perkelapaan nasional yang akan memperbaharui landasan struktur agribisnis kelapa nasional di masa yang akan


(28)

datang sesuai dengan tantangan zaman dan isu global dalam perdagangan internasional. Dengan reinventing agribisnis kelapa nasional tersebut akan dirumuskan tujuan, langkah-langkah pokok termasuk grand design dan perencanaan yang mampu mengaktualisasikan potensi kelapa nasional.

Empat tujuan pokok dari reinventing agribisnis kelapa nasional tersebut adalah: (1) menjadikan kelapa sebagai penghasil produk bernilai ekonomi tinggi, (2) mewujudkan agribisnis perkelapaan yang maju dan efisien, (3) mengembangkan diversifikasi usahatani kelapa termasuk dengan ternak sebagai bagian integral dari bisnis perkelapaan, dan (4) meminimalkan kerugian petani kelapa akibat kebijakan pemerintah di masa lalu yang pengembangannya terlalu bias ke kelapa sawit. Strategi yang akan dibangun adalah strategi yang diperlukan untuk mempercepat proses bangkitnya agribisnis perkelapaan nasional. Tujuannya agar agribisnis perkelapaan mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam rangka pemulihan ekonomi dari krisis, peningkatan pendapatan petani kelapa, penciptaan lapangan kerja di pedesaan, berkembangnya industri yang menghasilkan nilai tambah tinggi dengan menggunakan bahan baku domestik dan mampu menjadi sumber pelestari lingkungan hidup (Pakpahan, 2003).

Enam elemen pokok yang harus dikandung dalam strategi tersebut adalah: (1) inventarisasi dan konsolidasi perkebunan kelapa ke dalam unit-unit manajemen yang memenuhi skala ekonomi untuk pengembangan industri terpadu berbasis kelapa di setiap wilayah utama penghasil kelapa, dengan membangun Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) sebagai media pengembangan agribisnis kelapa terpadu yang terus dikembangkan dari waktu ke waktu, (2) penentuan dan penetapan lokasi-lokasi industri kelapa terpadu dalam KIMBUN-KIMBUN kelapa di setiap wilayah penghasil utama kelapa dengan kriteria utama daya saing dari produk yang dihasilkan terhadap


(29)

produk substitusinya yang dihasilkan di dalam negeri maupun produk impor, (3) mengembangkan organisasi petani sebagai media untuk mengembangkan organisasi pengelolaan perkebunan kelapa yang efisien, produktif dan progresif dalam menerapkan teknologi baru atau pola pengembangan perkebunan yang baru, serta sebagai media negosiasi yang kuat dengan mitra bisnis mereka dan dalam bekerjasama dengan pemerintah, (4) memfasilitasi dan merangsang investasi perusahaan swasta atau BUMN dalam membangun industri berbasis kelapa dan produk lainnya yang berasosiasi dengan kelapa seperti sabut, tempurung, air kelapa, lidi dan batang kelapa, (5) mengembangkan networking

antar asosiasi petani, asosiasi petani dengan asosiasi perusahaan pengolah produk hasil petani serta pelaku-pelaku lainnya dalam sistem agribisnis kelapa, dan (6) membangun kelembagaan semacam “coconut board” sebagai “services provider” bagi para pelaku dalam usaha dan sistem agribisnis perkelapaan.

Strategi tersebut akan berjalan dengan baik bila didukung oleh kebijakan pemerintah berupa: (1) penetapan landasan dan kerangka kerja untuk menyelenggarakan inventarisasi dan konsolidasi areal perkebunan kelapa ke dalam unit manajemen yang memenuhi skala ekonomis untuk pengembangan industri terpadu berbasis kelapa di setiap wilayah utama penghasil kelapa atau KIMBUN kelapa, (2) penetapan calon lokasi industri kelapa terpadu dalam KIMBUN-KIMBUN kelapa di setiap wilayah penghasil utama kelapa dengan kriteria utama berupa daya saing dan manfaat yang optimal bagi petani yang telah melakukan investasi terlebih dahulu dalam bidang on farm, (3) memfasilitasi dan membantu mengembangkan organisasi kelapa sebagai media untuk mengembangkan organisasi pengelolaan perkebunan kelapa yang efisien, produktif dan progresif, khususnya dalam hal penetapan teknologi baru atau pola pengembangan perkebunan yang baru, serta sebagai media negosiasi yang kuat dengan mitra bisnis mereka dan dalam bekerjasama dengan pemerintah, (4)


(30)

menetapkan kebijakan fiskal, moneter dan perdagangan yang dapat memfasilitasi dan merangsang investasi perusahaan swasta atau BUMN dalam membangun industri berbasis hasil kelapa dan produk lainnya yang berasosiasi dengan kelapa seperti sabut, tempurung, lidi, air dan batang kelapa serta produk lainnya, (5) memfasilitasi pengembangan networking antar asosiasi petani, antara asosiasi petani dengan asosiasi perusahaan pengolah produk hasil petani dan pelaku-pelaku lainnya dalam sistem agribisnis kelapa, dan (6) membangun kelembagaan semacam “coconut board” sebagai “services provider” bagi para pelaku dalam usaha dan sistem agribisnis perkelapaan nasional.

2.2. Studi Beberapa Komoditas Perkebunan di Indonesia

Walaupun penelitian tentang komoditas perkebunan telah banyak dilakukan, akan tetapi penelitian tentang aspek ekonomi produksi yang menggunakan pendekatan fungsi keuntungan, khususnya untuk tanaman kelapa, relatif masih sangat terbatas. Berikut ini akan dikemukakan beberapa hasil penelitian di bidang perkebunan yang menggunakan pendekatan fungsi keuntungan, baik dengan model fungsi keuntungan Cobb Douglas, translog, model lain dengan pendekatan multi output multi input, maupun model ekonometrika yang menggunakan persamaan simultan.

Saragih (1980), menggunakan fungsi keuntungan Cobb Douglass untuk menganalisis penawaran output dan permintaan input variabel pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Disamping itu, dianalisis juga uji keuntungan jangka pendek dan uji skala usaha serta uji effisiensi ekonomi relatif antara kelompok perusahaan swasta dengan perusahaan pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap peningkatan upah tenaga kerja dan harga input lainnya akan menurunkan keuntungan kelapa sawit. Perubahan upah tenaga kerja harian dan harga pupuk mempunyai pengaruh paling besar terhadap


(31)

keuntungan kelapa sawit. Sedangkan perubahan input tetap yang paling berpengaruh terhadap keuntungan adalah luas areal, umur rata-rata tanaman dan kapasitas pabrik. Secara keseluruhan perusahaan kelapa sawit gagal memaksimalkan keuntungan jangka pendek, sementara kondisi skala usaha berada pada fase increasing return to scale. Sedangkan perusahaan kelapa sawit yang dikelola oleh perusahaan swasta lebih efisien dibanding perusahaan milik pemerintah. Penawaran output tidak respon terhadap perubahan harga sendiri, harga input variabel dan input tetap. Permintaan input variabel terhadap perubahan harga output dan terhadap harga sendiri bersifat elastis, sementara elastisitas silang permintaan input variabel bernilai negatif atau bersifat komplementer.

Masih menggunakan fungsi keuntungan Cobb Douglas, Santoso (1987) menganalisis keuntungan usahatani kopi rakyat di daerah Lampung. Hasilnya menunjukkan bahwa luas kebun kopi, jumlah pohon kopi produktif dan umur rata-rata pohon kopi sangat berpengaruh terhadap keuntungan usahatani kopi rakyat. Sementara penawaran output kopi respon terhadap perubahan harga kopi itu sendiri tetapi tidak respon terhadap perubahan harga input.

Nurung (1997) juga melakukan penelitian tentang kopi rakyat dengan menggunakan fungsi keuntungan. Harga pupuk, jumlah pohon kopi produktif, luas kebun kopi dan pengalaman usahatani petani berpengaruh positif terhadap keuntungan usahatani kopi rakyat di daerah Bengkulu. Sedangkan input variabel berupa upah tenaga kerja pemeliharaan, upah tenaga kerja panen dan umur tanaman kopi berpengaruh negatif terhadap keuntungan usahatani kopi. Usahatani kopi lebih menguntungkan bila diusahakan pada lahan luas dan lahan datar dibanding pada lahan sempit dan lahan miring. Sementara skala usaha kopi rakyat berada pada fase menurun atau decreasing return to scale.


(32)

Wally (2001) juga meneliti keuntungan dan efisiensi alokatif usahatani kopi di daerah Jaya Wijaya, Irian Jaya, menggunakan fungsi keuntungan Cobb Douglas. Hasilnya menunjukkan bahwa upah tenaga kerja pengolahan, luas lahan produktif, umur tanaman kopi dan pengalaman usahatani petani berpengaruh nyata terhadap keuntungan usahatani kopi rakyat di daerah tersebut. Sementara petani yang mengusahakan kopi pada lahan datar dan dekat daerah kota memiliki keuntungan lebih tinggi dibanding petani yang mengusahakan pada lahan miring dan lokasi yang jauh dari kota. Skala usaha kopi rakyat di daerah ini berada pada fase increasing return to scale. Penawaran output respon terhadap perubahan harga kopi itu sendiri, upah tenaga kerja pengolahan, luas kebun kopi produktif, umur tanaman kopi dan lama pengalaman usahatani, tetapi tidak respon terhadap perubahan upah tenaga kerja pemeliharaan dan tenaga kerja pemasaran. Sedangkan permintaan input respon terhadap perubahan harga masing-masing input.

Siagian (1999), menggunakan pendekatan multi input multi output untuk melihat effisiensi biaya produksi gula di Indonesia. Dengan menggunakan fungsi biaya translog pada kurun waktu 1990 – 1997, ditunjukkan bahwa pabrik gula swasta memiliki efisiensi yang lebih baik dibanding pabrik gula milik pemerintah. Biaya variabel rata-rata meningkat dengan proporsi yang lebih besar dibanding kenaikan output, sehingga skala usaha ekonomi pabrik gula di Indonesia secara umum berada pada fase decreasing return to scale.

Manurung (1993), membangun model ekonometrika industri kelapa sawit Indonesia melalui analisis simulasi kebijakan dengan menggunakan data tahun 1967-1990. Model yang dibentuk berupa persamaan simultan yang dianalisis menggunakan metode Lineair Three Stage Least Square (LTSLS). Hasilnya memperlihatkan bahwa berdasarkan indikator kesejahteraan ekonomi, kebijakan yang transparan bagi konsumen, produsen, spekulator komoditas kelapa sawit


(33)

dan pemerintah adalah kebijakan deregulasi perdagangan minyak kelapa sawit, kebijakan penurunan suku bunga, dan kebijakan pajak ekspor. Kebijakan deregulasi perdagangan minyak kelapa sawit akan meningkatkan surplus devisa yang cukup besar sehingga posisi neraca perdagangan akan semakin baik. Kebijakan penurunan suku bunga tertinggi akan meningkatkan surplus semua pelaku ekonomi kelapa sawit sehingga neraca perdagangan akan semakin baik. Sedangkan kebijakan pajak ekspor akan menurunkan surplus devisa tetapi akan meningkatkan surplus produsen dan konsumen.

Suharyono (1996) juga membangun model ekonometrika industri kelapa sawit Indonesia. Analisis yang dilakukan melihat dampak kebijakan ekonomi terhadap komoditas minyak kelapa sawit dan produk industri yang menggunakan bahan baku minyak kelapa sawit di Indonesia. Data yang digunakan adalah data deret waktu dari tahun 1969 - 1993. Kebijakan ekonomi yang paling ideal adalah penurunan suku bunga, peningkatan harga output rata-rata dan peningkatan pendapatan nasional. Kebijakan - kebijakan tersebut mampu meningkatkan total surplus produsen domestik, surplus konsumen domestik dan surplus devisa negara.

Analisis ekonometrika dengan menggunakan teknik simulasi dikembangkan juga pada sistem perdagangan internasional karet alam TSR dan RSS. Teknik ini digunakan oleh Hendratno (1989) dengan menggunakan model

Almost Ideal Demand System (AIDS) untuk menduga koefisien regresi dan elastisitas pangsa permintaan karet alam. Elastisitas pangsa permintaan dihitung dengan menggunakan rumus elastisitas dari sistim permintaan yang dikembangkan oleh Armington. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah yang berpengaruh positif terhadap pasar karet alam Indonesia adalah kebijakan devaluasi dan penurunan pajak ekspor. Kebijakan pengembangan pasar ke negara lain memiliki dampak positif dan negatif sebagai


(34)

kompensasi alokasi. Sedangkan kebijakan peningkatan harga input akan membawa dampak negatif terhadap pasar karet alam Indonesia.

Djaimi (2001), melakukan penelitian tentang dampak kebijakan harga output dan input terhadap penawaran output dan permintaan input pada komoditas karet dan kelapa sawit, menggunakan fungsi keuntungan translog. Data yang digunakan bersumber dari laporan manajemen dan keuangan beberapa unit kebun di lingkungan PTPN - V dari tahun 1990 -1999. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penawaran karet alam (Ribbed Smoked Sheet dan Standard Indonesian Rubber) tidak respon terhadap perubahan harganya sendiri, harga output lainnya dan harga input, tetapi respon terhadap perubahan harga pupuk urea, rock phosfat, dan bahan penunjang. Sedangkan penawaran output kelapa sawit tidak respon terhadap perubahan harga sendiri dan harga input. Kenaikan harga output karet dan kelapa sawit dengan proporsi yang lebih besar dari kenaikan harga input berdampak positif terhadap jumlah output yang ditawarkan dan input yang diminta.

Berdasarkan pada masih terbatasnya penelitian ekonomi produksi untuk komoditas kelapa, maka untuk menambah kajian pada komoditas kelapa yang dikelola dalam bentuk perkebunan rakyat, penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan model fungsi keuntungan dengan titik berat kajian pada keuntungan, skala usaha dan efisiensi relatif antara kelapa yang diusahakan pada lahan pasang surut dan pada lahan kering.


(35)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Proses produksi di bidang pertanian secara umum merupakan kegiatan dalam menciptakan dan menambah utilitas barang atau jasa dengan memanfaatkan lahan, tenaga kerja, sarana produksi (bibit, pupuk, dan pestisida), modal dan keterampilan sebagai input (Coelli, et al., 1998, Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984). Usaha di bidang perkebunan pada umumnya adalah usaha jangka panjang, sehingga membutuhkan keputusan yang tepat untuk menjamin kelangsungan usaha dan meminimalkan resiko yang dihadapi. Keputusan tersebut tidak saja menyangkut komoditas apa yang akan diusahakan, tetapi juga terkait dengan alokasi penggunaan faktor produksi atau input, baik input variabel maupun input tetap dalam proses produksinya.

Alokasi penggunaan faktor produksi atau input dapat diukur dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi (”production function approach”) atau metoda perencanaan linier (”lineair programming approach”). Akan tetapi, secara statistik kedua pendekatan ini mempunyai kelemahan yang tidak dapat dihindarkan. Pendekatan menggunakan fungsi produksi akan menghasilkan parameter dugaan yang tidak konsisten karena adanya ”simultaneus equation bias” sedangkan pendekatan perencanaan linier tidak memberikan keyakinan ketelitian terhadap peubah yang diduga (Zellner, 1962; Zellner, Kmenta dan Drezer, 1966, Lau dan Yotopoulus, 1972).

Uraian berikut ini akan menjelaskan tentang fungsi produksi, pendekatan fungsi keuntungan, fungsi keuntungan UOP atau ”Unit Output Price Profit Function” Cobb Douglas, skala usaha, efisiensi, permintaan input dan penawaran output, serta kelemahan-kelemahan fungsi keuntungan Cobb Douglas dalam menduga elastisitas permintaan input dan penawaran output yang akan mendasari kerangka pemikiran dari penelitian ini.


(36)

3.1. Fungsi Produksi

Dalam bidang ekonomi produksi, informasi-informasi seperti keuntungan, efisiensi dan skala usaha, permintaan input, penawaran output serta karakteristik perubahan teknologi , menjadi topik bahasan yang banyak ingin diketahui peneliti. Secara klasik, informasi-informasi tersebut dapat diperoleh melalui pendekatan fungsi produksi yang menggambarkan struktur teknologi tentang hubungan antara input dengan output pada tingkat teknologi tertentu (Doll dan Orazem, 1984; Debertin, 1986).

Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara peubah yang dijelaskan (dependent variable) dengan peubah yang menjelaskan (explanatory variable). Peubah yang dijelaskan biasanya berupa produksi atau output dan peubah yang menjelaskan biasanya berupa faktor produksi atau input. Secara matematis, fungsi produksi dapat dirumuskan dengan formulasi sebagai berikut:

Yi = f (Xj, Zk) ………..… (3.1)

dimana:

Yi = jumlah produksi komoditas ke-i

Xj = jumlah input variabek ke-j

Zk = jumlah input tetap ke-k

Penentuan jenis input yang digunakan dalam proses produksi selanjutnya ditentukan oleh penggunaannya dalam jangka pendek, jangka panjang dan dalam jangka sangat panjang. Dalam jangka pendek, faktor produksi atau input terdiri dari input tetap dan input variabel dengan teknologi yang belum berubah. Dalam jangka panjang, semua faktor produksi menjadi input variabel dan belum


(37)

ada perubahan teknologi. Sedangkan dalam jangka sangat panjang, semua faktor produksi menjadi input variabel dan teknologi sudah berubah.

3.2. Pendekatan Fungsi Keuntungan

Analisa ekonomi produksi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu: (1) pendekatan fungsi produksi, (2) pendekatan fungsi keuntungan, dan (3) pendekatan fungsi biaya. Fungsi produksi sebagaimana dikemukakan pada persamaan (3.1) di atas, dalam terminologi ekonomi produksi biasa disebut sebagai bentuk primal dari struktur teknologi produksi.

Perkembangan selanjutnya dalam teori ekonomi produksi telah memunculkan pendekatan dualitas. Untuk setiap fungsi primal yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dapat diperoleh informasi-informasi yang terkandung dalam fungsi primalnya. Pada hakekatnya ketiga fungsi tersebut bersifat ”dual”, artinya bahwa dari setiap fungsi produksi dapat diperoleh fungsi biaya dan fungsi keuntungan tertentu. Demikian juga dari setiap fungsi biaya dan keuntungan, akan terdapat suatu fungsi produksi tertentu (Chambers, 1988; Lau, 1978).

Pendekatan fungsi keuntungan memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan pendekatan fungsi produksi, yaitu: (1) fungsi penawaran output dan permintaan input dapat diduga bersama-sama tanpa harus membuat fungsi produksi secara eksplisit, (2) dapat digunakan untuk menelaah masalah efisiensi tehnik, harga dan ekonomi, (3) peubah yang diamati adalah harga output dan input, sehingga dipandang lebih logis. Dalam kenyataannya seorang produsen biasanya telah memiliki garis anggaran (budget line) yang sudah tertentu sehingga faktor penentu dalam mengambil keputusan adalah tingkat harga -harga (Chambers, 1988; Lopez, 1984).


(38)

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perumusan fungsi keuntungan adalah: (1) produsen sebagai unit analisa ekonomi dan setiap produsen akan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan; (2) produsen dalam melakukan pembelian input dan menjual output berada dalam pasar bersaing sempurna dan bertindak selaku penerima harga (price taker), dan (3) fungsi produksi adalah konkaf (concave) dalam input-input peubah.

Sebagai salah satu bentuk dari fungsi dual, fungsi keuntungan memiliki ciri-ciri pokok yang menjamin konsistensi dengan bentuk fungsi primalnya, yaitu: (1) tidak dapat menurun karena naiknya harga output, (2) tidak dapat meningkat karena naiknya harga input, (3) bersifat homogen derajat satu dalam harga-harga hasil dan masukan, (4) bersifat cekung (convex) dalam harga-harga output dan input, dan (5) bersifat kontinyu dalam harga-harga ouput dan input.

Ciri pertama menunjukkan bahwa dengan naiknya harga output, maka keuntungan akan naik atau dapat saja tetap, tetapi tidak mungkin menurun. Ciri kedua menunjukkan bahwa keuntungan akan turun atau dapat saja tetap bila harga input naik, tetapi tidak mungkin meningkat. Ciri ketiga menunjukkan bahwa bila harga output dan input berubah dengan persentase tertentu, maka keuntungan akan berubah dengan persentase yang sama. Hal ini juga memberikan informasi tentang ciri dari fungsi penawaran output dan permintaan input. Karena fungsi keuntungan homogen berderajat satu dalam harga, maka fungsi penawaran output dan permintaan input homogen berderajat nol dalam peubah yang sama. Artinya bila harga ouput dan input berubah dengan persentase yang sama, maka penawaran output maupun permintaan input tidak akan berubah. Kenaikan harga ouput akan dikompensasi oleh kenaikan harga masukan, sehingga harga relatif tidak akan berubah.

Ciri keempat menyangkut kecekungan dari fungsi keuntungan, akan menggambarkan bagaimana tanda dari slope fungsi penawaran output dan


(39)

permintaan input. Secara spesifik, ciri tersebut menunjukkan bahwa slope dari fungsi penawaran output tidak mungkin negatif dan slope dari fungsi permintaan input tidak mungkin positif. Sedangkan ciri kelima menunjukkan bahwa secara matematis fungsi keuntungan akan mempunyai nilai turunan terhadap harga pada seluruh range observasi yang ada.

Perumusan fungsi keuntungan selanjutnya akan diuraikan dari pejelasan berikut ini. Misalnya dari sebuah fungsi produksi:

Y = f (x1, x2... xm; z1, z2... zn) ... (3.2)

Maka fungsi keuntungan langsung (direct profit function) jangka pendek dapat dituliskan dengan formulasi berikut:

Π = p. f (x1,... xm; z1,... zn) -

=

m

i 1

wi xi ... (3.3)

dimana:

Π = keuntungan jangka pendek p = harga output

xi = jumlah input variabel ke- i (i = 1,2, ... m)

zj = jumlah input tetap ke - j (j = 1,2, ... n)

wi = harga input variabel ke - i

Dalam jangka pendek, harga input tetap dapat diabaikan karena dianggap sebagai ”sunk cost” dan tidak mempengaruhi alokasi optimal penggunaan input variabel. Dengan asumsi bahwa petani adalah rasional dan penggunaan input tetap telah ditentukan, maka keuntungan maksimum akan tercapai pada saat nilai produktivitas marginal sama dengan harga input variabel. Secara matematis hal ini dapat diformulasikan sebagai berikut:


(40)

δ f (x1,... xm; z1,... zn)

p . __________________________ = wi ... (3.4)

δ x1

Bila persamaan (3.4) dinormalkan atau dibagi dengan harga output, maka akan didapatkan persamaan berikut:

δ f (x1,... xm; z1,... zn)

__________________________ = wi * ... (3.5)

δ x1

wi *= wi /p ... (3.6)

Persamaan (3.6) menunjukkan bahwa wi*adalah harga input ke - i yang

dinormalkan dengan harga output. Bila persamaan (3.3) dinormalkan dengan harga output, maka akan diperoleh persamaan berikut:

Π* = Π / p = f (x1,... xm; z1,... zn) -

=

m

i 1

wi* xi ... (3.7)

dimana Π * dikenal sebagai fungsi keuntungan UOP atau ”Unit Output Price Profit Function” (Lau dan Yotopoulus, 1972).

Selanjutnya dengan cara menurunkan dari persamaan (3.5), maka jumlah optimal dari input variabel yang dapat memberikan keuntungan maksimum pada jangka pendek, dapat diketahui dengan formulasi berikut:


(41)

Bila persamaan (3.8) disubstitusikan ke dalam persamaan (3.3), maka persamaan (3.3) dapat dituliskan dengan formulasi sebagai berikut:

Π = p. f (x1*,...xm *; z1,... zn) -

=

m

i 1

wi * xi * ... (3.9)

Selama xi* merupakan fungsi dari wi* dan zj , maka persamaan (3.9)

tersebut dapat ditulis dengan formulasi sebagai berikut:

Π = p. G* (w1*,...wm *; z1,... zn) ... (3.10)

Selanjutnya jika persamaan (3.10) tersebut dinormalkan dengan harga output, maka akan didapat persamaan:

Π* = Π / p = G* (w1*,...wm *; z1,... zn) ... (3.11)

Persamaan (3.11) tersebut menunjukkan bahwa fungsi keuntungan UOP merupakan fungsi dari harga input variabel yang dinormalkan dengan harga output dan jumlah input tetap. Persamaan (3.10) atau (3.11) ini merupakan bentuk umum fungsi keuntungan tidak langsung (indirect profit function) jangka pendek yang memberikan nilai maksimum untuk masing-masing harga output p, harga input variabel wi * dan tingkat input tetap zj.

Secara teoritis, fungsi keuntungan UOP ini memiliki ciri pokok : (1) menurun (decreasing) dan cekung (convex) terhadap harga-harga input variabel yang dinormalkan, (2) meningkat (increasing) terhadap jumlah input tetap, dan (3) meningkat (increasing) terhadap harga nominal output.


(42)

3.3. Fungsi Keuntungan Cobb Douglas

Untuk menduga fungsi keuntungan, bentuk fungsi yang dapat digunakan antara lain adalah Cobb Douglass, Kuadratik, Generalized Leontif (GL), Constan Elasticity Substitution (CES), dan Transendental Logaritma (Translog). Sebagai salah satu bentuk dari fungsi keuntungan, model fungsi keuntungan Cobb Douglas adalah model yang banyak digunakan oleh beberapa peneliti di bidang pertanian karena cara pendugannya yang relatif mudah. Disamping itu, melalui model fungsi keuntungan Cobb Douglas sekaligus dapat diukur tentang tingkat efisiensi pada kelompok atau kategori petani yang berbeda karakternya.

Menurut Lau dan Yotopoulus (1972), fungsi keuntungan Cobb Douglas diturunkan dari fungsi produksi Cobb Douglas dengan bentuk umum sebagai berikut:

Y = A Π xi αi Πzj βj ... (3.12)

dimana :

Y = produksi A = konstanta

xi = input variabel ke - i, (i = 1, 2, ..., m)

zj = input tetap ke - j, (j = 1, 2, ..., n)

αi = parameter input variabel xi yang diduga

βj = parameter input tetap zj yang diduga

Untuk mencapai keuntungan maksimum, maka syarat yang harus

dipenuhi adalah bila nilai

=

m

i 1

αi = u < 1 atau dicapai pada kondisi fungsi

produksi berada pada keadaan pertambahan hasil yang menurun (decreasing return to scale). Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (3.12),


(43)

Yotopoulus dan Nugent (1976) menurunkan actual normalized profit function

dengan bentuk umum sebagai berikut:

(1 - u) -1 - αi (1 – u) -1 βj(1 – u)-1

Π* = (A) (1 – u) (

=

m

i 1

wi * / αi )

=

n

j 1

zj ... (3.13)

(1 - u) -1 - αi (1 – u) -1

bila : A* = (A) (1 – u) ( αi )

αi * = -αi (1 – u) -1 < 0

βj* = βj(1 – u)-1 > 0

Dalam bentuk logaritma natural maka persamaan (3.13) tersebut akan menjadi bentuk umum dari fungsi keuntungan UOP Cobb Douglas dan dapat dituliskan dengan formulasi sebagai berikut:

Ln Π* = Ln A* +

=

m

i 1

αi * Ln wi * +

=

n

j 1

βj* Ln zj + µi ... (3.14)

dimana :

Π* = keuntungan UOP, yaitu keuntungan jangka pendek yang dinormalkan dengan harga output

A* = konstanta

wi * = harga input variabel yang dinormalkan dengan harga output

zj = input tidak tetap ke-j; ( j = 1, 2, ...n )

αi * = parameter input variabel yang diduga; ( i = 1, 2, ....m)

βj* = parameter input tetap yang diduga; ( j = 1, 2, ....n)


(44)

3.4. Keterbatasan Fungsi Keuntungan Cobb Douglas

Penggunaan fungsi keuntungan Cobb Douglas sebagai salah satu metode kuantitatif dalam ilmu ekonomi produksi telah umum dilakukan oleh para peneliti ekonomi pertanian. Akan tetapi, dalam menduga elastisitas permintaan input, fungsi keuntungan Cobb Douglas ternyata mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Hasil dugaan fungsi ini akan selalu memberikan elastisitas permintaan input atas harga sendiri dan harga output yang selalu elastis, elastisitas silang yang selalu menunjukkan adanya hubungan komplementer antar input, serta besaran elastisitas silang terhadap harga input dan input tetap yang berpola. Uraian berikut ini akan menjelaskan keterbatasan-keterbatasan tersebut.

Salah satu keuntungan dari penggunaan fungsi keuntungan adalah dapat menurunkan fungsi permintaan input dan penawaran output secara bersama-sama tanpa harus membuat fungsi produksi secara eksplisit. Lemma yang sangat berguna dalam menurunkan fungsi permintaan input variabel dari fungsi keuntungan adalah Hotelling Lemma (Young, et. al.,1985; Beattie dan Taylor, 1985; Chambers, 1988). Lemma ini menyatakan bahwa turunan pertama dari fungsi keuntungan tidak langsung terhadap harga input variabel sama dengan nilai negatif dari fungsi permintaan terhadap input variabel itu sendiri.

Secara matematis, Hotelling Lemma tersebut dapat dirumuskan dengan formulasi sebagai berikut:

δΠ*

= - xi ... (3.15)

δ wi *

bila kedua unsur dari persamaan (3.15) tersebut dikalikan dengan wi * / Π *,


(45)

δΠ* wi * xi wi * xi wi

. = - = - ... (3.16)

δ wi * Π* Π* Π

δ Ln Π* xi wi * xi wi

= - = - ... (3.17)

δ Ln wi * Π* Π

δ Ln Π* Π

xi = - . ... (3.18)

δ Ln wi * wi

αi * Π*

xi = - ... (3.19)

wi*

Untuk fungsi keuntungan Cobb Douglas, dalam bentuk logaritma natural, persamaan (3.19) tersebut dapat dituliskan dengan formulasi sebagai berikut:

Ln xi = Ln ( - αi * ) + Ln Π* - Ln wi* ... (3. 20)

Dari persamaan (3.18) juga dapat diperoleh persamaan untuk pangsa pengeluaran (factor share) input variabel ke-i terhadap besarnya keuntungan, dan secara matematis dapat ditulis dengan formulasi sebagai berikut:

xi wi * δ Ln Π*

= - . ... (3. 21) Π δ Ln wi *


(46)

Dari teori dualitas, fungsi penawaran output dapat ditulis dengan formula sebagai berikut:

Y = Π* +

=

m

i 1

wi * xi * ... (3. 23)

Bila persamaan (3.18) disubstitusikan ke dalam persamaan (3. 23) maka akan diperoleh:

δ Ln Π* Y = Π* +

=

m

i 1

- Π*

δ Ln wi *

δ Ln Π* Y = Π* + - Π*

=

m

i 1

δ Ln wi *

δ Ln Π* Y = Π* 1 -

=

m

i 1

... (3. 24) δ Ln wi *

Persamaan (3. 24) ini berguna dalam menurunkan elastisitas penawaran output terhadap harga output bersangkutan, harga input variabel dan jumlah input tetap.

Disamping itu, fungsi penawaran output dapat diturunkan berdasarkan Hotelling Lemma (Young, et. al., 1985; Beattie dan Taylor, 1985). Lemma ini


(47)

menyatakan bahwa turunan pertama dari fungsi keuntungan terhadap harga output sama dengan fungsi penawaran output itu sendiri. Secara matematis, lemma tersebut dapat dituliskan dengan formula sebagai berikut:

δΠ*

= Yr ... (3. 25)

δ Pr *

Selanjutnya, bila kedua sisi dari persamaan (3. 25) tersebut dikalikan dengan Pr*/ Π*, maka akan diperoleh:

δΠ* Pr * Yr.Pr

=

δ Pr * Π* Π*

δ Ln Π* Π

Yr = ... (3. 26)

δ Ln Pr * Pr*

αi * Π*

Yr = - ... (3. 27)

Pr*

Kembali ke bentuk umum fungsi keuntungan UOP Cobb Douglas pada persamaan (3. 14), bila persamaan tersebut dinyatakan dalam nilai nominal (tidak dinormalkan dengan harga output), maka akan diperoleh:

Ln Π = Ln A+

=

m

i 1

αi Ln wi +(1 -

=

m

i 1

αi ) Ln P+

=

n

j 1


(48)

Bila persamaan (3. 28) tersebut disubstitusikan ke dalam persamaan (3. 20), maka akan diperoleh:

Ln xi = Ln (- αi ) + Ln A+

=

m

i 1

αi Ln wi - Ln wi +(1 -

=

m

i 1

αi ) Ln P

+

=

n

j 1

βjLn zj + µi ... (3. 29)

Dari persamaan (3. 29) tersebut pada fungsi keuntungan UOP Cobb Douglas, dapat diturunkan formula untuk menghitung elastisitas permintaan input variabel terhadap harga sendiri, harga silang, terhadap harga input tetap dan harga output, masing-masing dengan formula sebagai berikut:

a. Elastisitas permintaan input variabel terhadap harga sendiri

δ Ln xi

e ii = = αi - 1 ... (3. 30)

δ Ln wi

b. Elastisitas permintaan input variabel terhadap harga silang

δ Ln xi

e ij = = αj ; untuk i ≠ j ... (3. 31)

δ Ln wj


(49)

δ Ln xi

e ik = = βk ... (3. 32)

δ Ln zk

d. Elastisitas permintaan input variabel terhadap harga output

δ Ln xi

e ip = = 1 -

=

m

i 1

αi ... (3. 33)

δ Ln P

Berdasarkan pertimbangan teoritis a priori bahwa parameter dugaan αi

akan mempunyai nilai non positif, serta memperhatikan formula untuk menghitung elastisitas permintaan input sebagaimana ditunjukkan pada persamaan (3. 30), (3. 31), (3. 32), dan (3. 33), maka keterbatasan fungsi keuntungan Cobb Douglas dalam menduga elastisitas permintaan input variabel dapat diidentifikasi sebagai berikut (Chand and Kaul, 1986; Suryana, 1987):

1. Dugaan elastisitas permintaan input variabel terhadap harga sendiri akan selalu elastis

e ii = αi - 1 > 1

2. Dugaan elastisitas permintaan input variabel terhadap harga silang akan selalu negatif, sehingga hubungan antar input akan selalu bersifat komplementer


(50)

3. Dugaan elastisitas permintaan input – input variabel terhadap harga salah satu input variabel akan sama besarnya

e ij = αj = e hj untuk semua i ≠ j ≠ h

4. Dugaan elastisitas permintaan input – input variabel terhadap salah satu input tetap akan sama tanda dan besarnya

e ik = βk = e hk

5. Dugaan elastisitas permintaan input variabel terhadap harga output akan selalu elastis

δ Ln xi

e ip = = 1 -

=

m

i 1

αi > 1

δ Ln P

Lima butir sebagaimana diuraikan di atas merupakan beberapa keterbatasan dari fungsi keuntungan Cobb Douglas dalam menduga elastisitas permintaan input variabel. Oleh karena itu dalam penelitian ini tidak akan dihitung elastisitas permintaan input dan penawaran output.

3.5. Skala Usaha

Skala usaha (return to scale) menggambarkan respon produksi atau output terhadap perubahan semua input secara proporsional. Berdasarkan pada Theorema Euler, pengertian ekonomi skala usaha menunjukkan peningkatan jumlah ouput apabila semua input digandakan dengan suatu bilangan positif K.


(51)

Bila suatu fungsi homogen berderajat S, maka akan berlaku hubungan sebagai berikut (Henderson and Quant, 1980):

Y (KX, KZ) = KSY(X,Z) ... (3. 34)

dimana:

Y = jumlah output

X = vektor input variabel dengan m elemen Z = vektor input tetap dengan n elemen

K,S = parameter-parameter

Berdasarkan besaran S, maka hubungan antara input, output dan skala usaha mempunyai tiga bentuk kemungkinan, yaitu : (1) S > 1, skala usaha dengan kenaikan hasil yang bertambah (increasing return to scale), (2) S = 1, skala usaha dengan kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale), dan (3) S < 1, skala usaha dengan kenaikan hasil yang berkurang (decreasing return to scale).

Kondisi pertama akan terjadi bila kenaikan satu unit input menyebabkan kenaikan output yang semakin bertambah. Pada kondisi ini elastisitas produksi lebih besar dari satu, atau produk marjinal (PM) lebih besar dari produk rata-rata (PR), atau biaya marjinal (BM) lebih kecil dari biaya variabel rata-rata (BVR).

Kondisi kedua akan terjadi jika penambahan satu unit input akan menyebabkan kenaikan output dengan proporsi yang sama. Dalam kondisi ini maka elastisitas produksi sama dengan satu, atau produk marjinal (PM) sama dengan produk rata-rata (PR) dan biaya variabel rata-rata (BVR) sama dengan biaya marjinal (BM).


(52)

Kondisi ketiga akan terjadi jika penambahan satu unit input akan menyebabkan kenaikan output yang semakin berkurang. Pada kondisi ini elastisitas produksi lebih kecil dari satu atau produk marjinal (PM) sama dengan produk rata-rata (PR) dan biaya variabel rata-rata (BVR) lebih kecil dari biaya marjinal (BM).

Theorema Euler sendiri diturunkan dari persamaan (3. 34) terhadap K, dengan persamaan sebagai berikut:

m δ Y

δ (KXi) m δ Y

δ (KZk)

.

+

. = S KS-1 Y i = 1 δ (KXi) δ K k = 1 δ (KZk) δ K

m δ Y

n δ Y

Xi

+

Zk

= S KS-1 Y ... (3. 35)

i = 1 δ (KXi) k = 1 δ (KZk)

Bila nilai K = 1, maka dari persamaan (3. 35) tersebut akan diperoleh sebuah persamaan (3. 36) yang disebut dengan Theorema Euler, dengan formula sebagai berikut:

m δ Y

m δ Y

Xi

+

Zk

= S Y ... (3. 36)


(53)

Dari persamaan (3. 23) dapat diketahui bahwa fungsi penawaran output dapat diekspresikan dengan formula sebagai berikut:

Y = Π* +

=

m

i 1

wi * xi *

Bila persamaan (3. 23) tersebut diturunkan terhadap input tetap, maka akan diperoleh persamaan sebagai berikut:

δ Y δΠ*

= ... (3.37) δ Z δ Z

Sementara itu dari persamaan (3. 4) dan (3. 5) diketahui bahwa syarat maksimisasi keuntungan adalah sebagai berikut:

δ f (x1,... xm; z1,... zn)

p . __________________________ = wi

δ x1

δ f (x1,... xm; z1,... zn)

__________________________ = wi *

δ x1

Secara ringkas, persamaan (3. 5) tersebut dapat ditulis dengan formula sebagai berikut:

δ Y

= wi * ... (3. 38)


(54)

Apabila persamaan (3. 37) dan persamaan (3. 38) disubstitusikan ke dalam persamaan (3. 36), maka akan diperoleh persamaan sebagai berikut:

m

n δ Π*

wi * . Xi +

Zk

= S Y ... (3. 39)

i = 1 k = 1 δ Zk

Kemudian bila persamaan (3. 23) disubstitusikan ke dalam persamaan (3. 39), maka akan diperoleh persamaan:

n δ Π*

Y = Π* +

Zk

= S Y

k = 1 δ Zk

n δ Π*

Zk

= Π* + S Y - Y

k = 1 δ Zk

n δ Π*

Zk

= Π* + Y ( S - 1 )

k = 1 δ Zk

n Zk δ Π* Y

= 1 + ( S - 1 ) ... (3. 40) k = 1 Π* δ Zk Π*


(1)

kelompok tersebut merupakan pengujian hipotesa majemuk berkenaan dengan kesamaan efisiensi ekonomi relatif dan efisiensi harga relatif.

Tabel 13. Hasil Pengujian Efisiensi Relatif pada Komoditas Kelapa

Uji Hipotesis Hipotesis F Hitung F Tabel

0.01 0.05

Keputusan Ekosistem -Efisiensi ekonomi relatif -Efisiensi harga relatif -Efisiensi teknis relatif

H0 : δDE = 0

Ha :δDE ≠ 0

H0 : α1* ’DE1= α2* ’DE2

Ha: α1* ’DE1≠α2* ’DE2

H0 : δDE = 0 dan

α1* ’DE1= α2* ’DE2

Ha: δDE≠ 0 dan

α1* ’DE1≠α2* ’DE2

9.1436

4.0217

4.8546

6.63 3.84

3.02 2.21

2.51 1.94

Tolak H0

Tolak H0

Tolak H0

Luas Lahan -Efisiensi ekonomi relatif -Efisiensi harga relatif -Efisiensi teknis relatif

H0 : δDL = 0

Ha: δDL≠ 0

H0 : α1* ’DL1= α2* ’DL2

Ha: α1* ’DL1≠α2* ’DL2

H0: δDL= 0 dan

α1* ’DL1= α2* ’DL2

Ha: δDL≠ 0 dan

α1* ’DL1≠α2* ’DL2

45.3241

38.1189

63.3587

6.63 3.84

3.02 2.21

2.51 1.94

Tolak H0

Tolak H0


(2)

Hasil pengujian tentang efisiensi relatif berdasarkan pada kondisi aktual antar dua kategori petani kelapa disajikan pada Tabel 13. Dapat dilihat bahwa hipotesis nol tentang kesamaan efisiensi ekonomi relatif antara pengusahaan kelapa pada ekosistem lahan pasang surut dan lahan kering ditolak. Begitu juga dengan pengujian efisiensi harga relatif dan efisiensi teknis relatif, hipotesis nol juga ditolak. Ini berarti terdapat perbedaan efisiensi ekonomi, harga dan teknis relatif antara kelapa rakyat yang diusahakan pada ekosistem lahan pasang surut dengan kelapa rakyat yang diusahakan pada ekosistem lahan kering. Dikaitkan dengan nilai dugaan parameter δDE=- 0.4227 seperti dapat dilihat pada

Lampiran 3, kelapa yang diusahakan pada ekosistem lahan kering mempunyai efisiensi ekonomi relatif lebih tinggi bila dibanding dengan kelapa yang diusahakan pada ekosistem pasang surut.

Dari Tabel 13 juga dapat dilihat bahwa hipotesis nol tentang kesamaan efisiensi relatif pengusahaan kelapa pada lahan sempit dan lahan luas juga ditolak. Ini berarti terdapat perbedaan efisiensi ekonomi, harga dan teknis relatif antara kelapa yang diusahakan pada lahan sempit dengan kelapa yang diusahakan pada lahan luas. Dikaitkan dengan nilai dugaan parameter δDL=-

0.3652 sebagaimana disajikan pada Lampiran 5, dapat diketahui bahwa kelapa rakyat yang diusahakan pada ekosistem lahan luas mempunyai efisiensi ekonomi, harga dan teknis relatif lebih tinggi bila dibanding dengan kelapa yang diusahakan pada lahan sempit.


(3)

VII. SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

Berdasarkan pada tujuan penelitian dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Keuntungan usahatani kelapa pada perkebunan rakyat dipengaruhi oleh upah tenaga kerja, harga pupuk Urea, SP-36, KCl dan pestisida. Lima input variabel tersebut memiliki hubungan bersifat negatif dengan tingkat keuntungan. Naiknya upah tenaga kerja, harga pupuk Urea, SP-36, KCl dan pestisida akan menurunkan tingkat keuntungan usahatani kelapa. 2. Input tetap berupa jumlah pohon kelapa, umur pohon kelapa, pendidikan

petani dan pengalaman usahatani petani kelapa, juga berpengaruh terhadap keuntungan usahatani kelapa dan memiliki hubungan bersifat positif. Bertambahnya jumlah pohon kelapa, umur pohon kelapa, pendidikan petani dan pengalaman usahatani akan meningkatkan keuntungan usahatani kelapa.

3. Walaupun penggunaan Urea dan SP-36 secara parsial telah optimal, tetapi secara keseluruhan alokasi penggunaan input variabel belum optimal sehingga tidak memberikan keuntungan yang maksimum terhadap usahatani kelapa.

4. Kelapa perkebunan rakyat yang diusahakan pada ekosistem lahan kering memiliki efisiensi ekonomi, harga dan teknis relatif lebih tinggi dibanding kelapa pada lahan pasang surut. Begitu juga dengan kelapa yang diusahakan pada lahan usahatani luas, tingkat efisiensi ekonomi, harga dan teknis relatif lebih tinggi dibanding kelapa yang diusahakan pada lahan usahatani sempit.


(4)

5. Hasil pendugaan dan pengujian hipotesis tentang skala usaha menunjukkan bahwa usahatani kelapa pada perkebunan rakyat masih

berada pada fase keuntungan yang semakin bertambah (increasing return

to scale), sehingga masih dimungkinkan untuk menambah penggunaan input atau perluasan usaha dan perbaikan teknologi.

7.2. Implikasi kebijakan

Sesuai dengan kesimpulan yang telah dikemukakan, sejumlah implikasi kebijakan berikut ini kiranya dapat dipertimbangkan:

1. Usaha untuk meningkatkan dan memaksimalkan keuntungan usahatani

kelapa pada perkebunan rakyat dapat dilakukan dengan cara meningkatkan penggunaan input berupa tenaga kerja, pupuk KCl dan pestisida. Hal ini terkait dengan hasil pengujian hipotesis tentang pencapaian keuntungan maksimum yang menunjukkan bahwa penggunaan input variabel secara keseluruhan masih belum optimum, sementara penggunaan pupuk Urea dan SP-36 secara parsial sudah optimum.

2. Usaha untuk meningkatkan dan memaksimumkan keuntungan usahatani

kelapa pada perkebunan rakyat juga dapat dilakukan melalui perbaikan teknologi dan perluasan usaha. Hal ini terkait dengan hasil pengujian hipotesis tentang skala usaha yang menunjukkan bahwa usahatani kelapa berada pada fase keuntungan yang bertambah (increasing return to scale). 3. Usaha untuk meningkatkan efisiensi usahatani kelapa pada ekosistem

lahan pasang surut dapat dilakukan dengan cara memperbaiki kondisi infrastruktur, khususnya yang berkaitan dengan masalah transportasi. Mahalnya transportasi di daerah pasang surut sangat berpengaruh terhadap proses penjualan produk kelapa dan tingginya biaya produksi sehingga akan menurunkan keuntungan dan pendapatan petani kelapa.


(5)

Memperbaiki infrastruktur tersebut tidak mungkin dapat dilakukan oleh petani tanpa dukungan aktif dari pemerintah daerah dan pusat serta para

stakeholder lainnya yang berkepentingan terhadap usaha perkelapaan nasioanal.

4. Usaha untuk meningkatkan efisiensi dan keuntungan usahatani kelapa di wilayah pasang surut ini juga dapat dilakukan melalui percepatan proses adopsi teknologi. Berbagai paket teknologi pengelolaan kelapa di lahan pasang surut telah banyak dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian yang menangani komoditi tersebut. Namun demikian proses adopsi teknologi ini tidak akan berjalan baik bila petani tidak didukung oleh akses yang memadai terhadap lembaga-lembaga penyedia, penyebar dan penyalur teknologi tersebut.

5. Petani kelapa rata-rata memiliki lahan usahatani yang sempit, sementara kelapa yang diusahakan pada lahan luas memiliki efisiensi yang lebih tinggi. Praktek waris sulit dihindarkan dalam budaya Indonesia, maka fenomena terjadinya fragmentasi lahan, khususnya dalam bentuk alih fungsi lahan menjadi lahan non usahatani harus dapat dicegah oleh pemegang dan pemilik otoritas.

7.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan

Berdasarkan pada keterbatasan penelitian, gambaran umum tentang komoditas kelapa Indonesia, hasil analisis yang telah dilakukan, kesimpulan dan implikasi kebijakan, beberapa aspek berikut ini dapat dipertimbangkan untuk diteliti lebih lanjut:

1. Selain diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat, kelapa juga

diusahakan oleh perkebunan negara (PTPN) dan perkebunan besar (PBS) baik nasional maupun asing. Oleh karena itu, melaksanakan penelitian


(6)

pada aspek yang sama untuk dua perkebunan (PTPN dan PBS), akan berguna untuk menghasilkan rekomendasi yang utuh dan menyeluruh bagi pengembangan kelapa secara nasional.

2. Penelitian tentang aspek usahatani dengan memasukkan peubah-peubah

sosial dan lingkungan petani selain peubah yang telah digunakan dalam model pada penelitian ini, akan memperkaya dan mempertajam rekomendasi yang dihasilkan. Penelitian yang sama dengan menggunakan data deret waktu (time series) dan model yang berbeda, juga berguna untuk memperbaiki rekomendasi usahatani kelapa yang diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat.

3. Usahatani dan agribisnis hulu hanya merupakan salah satu aspek dari agribisnis kelapa di Indonesia. Agribisnis hilir memerlukan lebih banyak informasi dan rangkaian penelitian lebih lanjut. Penawaran ekspor, permintaan impor, pemasaran domestik dan aspek perdagangan internasional lainnya, kelembagaan, substitusi dan kompetisi dengan penghasil minyak nabati lainnya, khususnya dengan kelapa sawit, menjadi topik menarik untuk diteliti lebih lanjut. Penelitian tentang aspek-aspek tersebut di atas urgen untuk dilakukan guna merealisir dan mengaktualisasikan besarnya potensi yang dimiliki tanaman kelapa sebagai pohon kehidupan.