Keragaan Umum Model Daya Saing Udang Indonesia Blok Produksi

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN, PERMINTAAN, DAN DAYA SAING

Identifikasi pola keunggulan komparatif, seperti disajikan pada Bab V, hanya merupakan langkah awal, yang lebih penting adalah mengerti faktor pendorong dibalik itu Gonarsyah, 2007; Cai dan Leung, 2006. Oleh karena itu, pada Bab 6 melalui persamaan simultan, dianalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing udang Indonesia terkait dengan produktivitas dan upaya peningkatan mutu sesuai tujuan penelitian kedua. Pembahasan pada Bab VI ini dilengkapi dengan hasil konfirmasi pada tingkat lapangan mengenai produktivitas udang tambak Bab VII dan mutu pada rantai pasokan Bab VIII.

6.1. Keragaan Umum Model Daya Saing Udang Indonesia

Model Daya Saing Udang Indonesia yang dirumuskan pada Bab IV memperlihatkan keterkaitan sejak produksi sampai dengan perdagangan. Model Daya Saing Udang Indonesia diestimasi menggunakan motode 2SLS Two-Stage Least Square. Setelah dilakukan respesifikasi terhadap Model, diperoleh 85 persamaan yang terdiri atas 57 persamaan struktural dan 28 persamaan identitas. Respesifikasi dilakukan agar diperoleh model yang baik menurut kriteria ekonomi, statistika, dan ekonometrika. Berdasarkan hasil estimasi setiap parameter dan variabel-variabel yang terpilih telah memenuhi kriteria ekonomi yaitu memiliki tanda sign serta besaran size sesuai dengan harapan dan memenuhi logika ekonomi. Nilai koefisien determinasi R 2 cukup tinggi dengan kisaran 20 sampai dengan 99. Terdapat 68.5 mempunyai koefisien determinasi lebih dari 70. Artinya peubah-peubah penjelas secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman peubah endogen secara bersama-sama variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel penjelas. Menurut kriteria statistik 64.83 mempunyai nilai statistik t berpengaruh nyata terhadap variabel endog ennya pada taraf nyata λ = 0.20. Hal ini berarti bahwa sebagian besar variabel penjelas berpengaruh secara signifikan terhadap masing-masing variabel endogennya. Berdasarkan kriteria ekonometrika, diperoleh nilai Durbin-Watson Dw berkisar 0.73 sampai dengan 2.73 dan hasil uji statistik Durbin-h dh diperoleh kisaran nilai -3.39 sampai dengan 2.279. Terdapat beberapa persamaan yang mengandung autokorelasi. Menurut Pyndick dan Rubinfeld 1991 masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi. Dengan demikian, hasil pendugaan Model dalam penelitian dapat dinyatakan cukup representatif. Berikut disajikan hasil estimasi untuk keempat blok yang dianalisis yaitu Blok Produksi, Blok Perdagangan Udang Segar, Blok Perdagangan Udang Beku, dan Blok Perdagangan Udang Olahan.

6.2. Blok Produksi

Persamaan perilaku pada Blok Produksi mencakup persamaan permintaan faktor produksi pakan dan benur, pertumbuhan produktivitas TFP, produksi udang tambak, produksi udang hasil tangkapan, permintaan udang domestik, harga udang segar domestik, harga udang beku domestik, produksi udang beku, produksi udang olahan, permintaan udang segar oleh industri udang beku, dan permintaan udang beku oleh industri udang olahan.

6.2.1. Permintaan Faktor Produksi Udang Tambak Indonesia

Hasil estimasi pada persamaan permintaan faktor produksi penggunaan pakan dan benur disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Hasil Estimasi pada Persamaan Permintaan Faktor Produksi Udang Tambak Variabel Parameter Dugaan Elastisitas Prob [ t ] Endogen Eksogen Jangka Pendek Jangka Panjang Jumlah pakan yang digunakan QPAKN Intersep 454.8623 0.0001 Harga pakan -75.7553 -2.1594 0.0002 Selisih harga udang segar domestik 2.782065 0.0176 0.0146 Tren waktu 15.76608 0.0001 R2 = 88.28 Fhitung 0.0001 DW= 0.739925 Jumlah benur yang digunakan QBENR Intersep 3.26316 0.4580 Harga benur -0.20077 -0.1318 -0.1548 0.2807 Harga pakan -2.31852 -0.5598 -0.6573 0.3514 Harga udang segar domestik 0.378539 0.5933 0.6966 0.1500 Trend waktu 1.911489 0.0769 Jumlah benur beda kala 0.148305 0.2940 R2 = 74.50 Fhitung 0.0015 Durbin-h stat tidak ada kesimpulan Berdasarkan Tabel 21, jumlah pakan yang digunakan dipengaruhi secara nyata dan responsif oleh harga pakan. Rata-rata tiap peningkatan harga pakan 1 akan menurunkan penggunaan pakan sebesar 2.1594, ceteris paribus. Hal tersebut mengindikasikan bahwa harga pakan yang berlaku dewasa ini relatif mahal sehingga kurang mendukung pengembangan usaha budidaya. Kenaikan harga pakan tersebut akan menurunkan penggunaan pakan, dan pada akhirnya menurunkan produksi udang tambak. Tingginya harga pakan tersebut antara lain disebabkan sebagian besar bahan baku masih impor. Prosentase bahan baku impor tersebut yaitu tepung ikanMeat and Bone MealMBM 100, bungkil kedelaiSBM 100, Rape Seed meal 100 Corn Gluten MealCGM 100, Calcium phosphate 100, Feed additive 100, dan Vitamin 100. Selain itu, beberapa bahan baku masih dikenakan tarif bea masuk seperti untuk fish oil 5, rape seed 5, Lysine 5, dan DDGS 5. Selain itu, lokasi tambak yang umumnya di daerah remote area menyebabkan tingginya biaya transaksi. Jumlah perusahaan pakan udang pada tahun 2010 mencapai 27 perusahaan, akan tetapi masih didominasi oleh beberapa perusahaan besar yang tergabung dengan perusahaan ternak. Implikasi dari kondisi di atas, perbaikan infrastruktur yang akan mengurangi biaya produksi dan upaya penurunan harga pakan udang merupakan hal penting dalam rangka peningkatan daya saing. Kedua, pengaruh harga pakan terhadap jumlah penggunaan benur tidak responsif, akan tetapi pengaruh harga pakan lebih besar dibandingkan dengan pengaruh harga benur. Rata-rata peningkatan harga benur 1 menurunkan penggunaan benur sebesar 0.1318, sedangkan peningkatan harga pakan 1 akan menurunkan penggunaan benur 0.5598, ceteris paribus. Pakan dan benur merupakan barang komplementer. Kondisi di atas juga sejalan dengan fenomena di tingkat lapang, bahwa pabrik pakan cenderung meningkatkan harga jual pakan jika terjadi kenaikan harga udang, dibandingkan pengusaha pembenihan hatchery. Ketiga, pengaruh harga udang segar domestik terhadap penggunaan benur nilainya lebih besar dibandingkan terhadap penggunaan pakan. Artinya bahwa kenaikan harga output tersebut lebih mendorong penggunaan benur dibandingkan penggunaan pakan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas tambak yang ada dikelola secara non-intensif. Hal tersebut diduga karena risiko kegagalan pada budidaya intensif udang masih tinggi. Implikasinya pemerintah perlu meyakinkan pembudidaya udang apabila akan melakukan intensifikasi. Meskipun demikian, perlu kehati-hatian apabila akan melakukan intensifikasi karena berisiko tinggi terhadap agroekologis.

6.2.2. Pertumbuhan Total Factor Productivity

Kemajuan teknologi merupakan pendorong peningkatan produksi. Dalam analisis ini kemajuan teknologi diproxy oleh pertumbuhan TFP dan dihitung menggunakan angka indeks Tornqvist Theil. Berdasarkan definisi, TFP merupakan pertumbuhan output yang tidak disebabkan oleh pertumbuhan faktor produksi atau dikenal dengan pengaruh residual. Pada Model yang dibangun, TFP diduga dipengaruhi oleh variabel produktivitas tenaga kerja yang diproxy dari tingkat pendidikan dan anggaran irigasi melalui APBN untuk menambah ketersediaan air. Variabel lain seperti anggaran riset tidak diamsukan ke dalam model karena keterbatasan data. Hasil estimasi selengkapnya disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan data pada Tabel 22, pengaruh tingkat pendidikan bersifat responsif dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan TFP dibandingkan peningkatan anggaran irigasi melaui APBN. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terbuka ruang untuk peningkatan kualitas SDM dalam rangka meningkatkan produktivitas. Hasil survey Sosek Perikanan Tahun 2005 menunjukkan bahwa secara umum mayoritas pembudidaya udang berpendidikan dibawah SLTA yaitu tidak tamat sekolah sebanyak 3.2, tamatan SD sebanyak 43.6 dan hanya 7.7 yang merupakan lulusan perguruan tinggi DJPB, 2005. Kondisi tersebut jauh berbeda dengan di Thailand, Sriwichailamphan 2007 melakukan studi mencakup 350 orang pembudidaya udang menemukan 28.7 responden berpendidikan S-1 dan sebanyak 2.6 berpendidikan S-2. Tabel 22. Hasil Estimasi pada Persamaan Pertumbuhan Produktivitas TFP Udang Tambak Variabel Parameter Dugaan Elastisitas Prob [ t ] Endogen Eksogen Jangka Pendek Jangka Panjang Pertumbuhan Produktivitas Faktor Total TFPIN Intersep -0.44853 0.3900 Tingkat pendidikan pembudidaya 0.152959 1.3921 0.1933 Jumlah anggaran irigasi dari Pemerintah 5.89E-07 0.0173 0.2303 R2 = 14.08 Fhitung 0.2969 DW = 2.696481 Kedua, infrastruktur berupa pembangunan irigasi juga penting dalam mendukung ketersediaan air sehingga mendorong pembudidaya untuk meningkatkan padat tebar intensifikasi. Namun demikian, hasil studi ini menunjukkan bahwa pengaruh anggaran irigasi APBN tersebut tidak responsif terhadap pertumbuhan TFP. Hal tersebut diduga karena anggaran untuk infrastruktur melalui APBN selama ini terbatas.

6.2.3. Produksi Udang Tambak Indonesia

Hasil estimasi pada persamaan produksi udang tambak disajikan pada Tabel 23. Berdasarkan Tabel 23 dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, penggunaan pakan bersifat responsif dan signifikan pada taraf 1. Setiap kenaikan penggunaan pakan udang rata-rata 1 akan meningkatan produksi udang tambak 1.0035, ceteris paribus. Berdasarkan nilai elastisitas tersebut, berarti untuk memproduksi satu kg udang diperlukan jumlah pakan sebanyak 0.99 kg atau Feed Convertion Ratio FCR mencapai 0.99. Nilai FCR dibawah satu tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas tambak dikelola secara non-intensif semi-intensif dan ekstensif. Budidaya udang menggunakan teknologi intensif umumnya mempunyai nilai FCR sekitar 1.7 sampai dengan 2.5. Tabel 23. Hasil Estimasi pada Persamaan Produksi Udang Tambak Variabel Parameter Dugaan Elastisitas Prob [ t ] Endogen Eksogen Jangka Pendek Jangka Panjang Produksi udang tambak Indonesia QTAMB Intersep -6.30814 0.2921 Harga udang segar domestik 0.001025 0.0002 0.4958 Selisih harga BBM -0.002400 -0.0015 0.1663 Jumlah pakan 0.990892 1.0035 .0001 Selisih jumlah benur 0.087033 0.0009 0.1742 Selisih tingkat suku bunga -0.01254 -0.0003 0.4502 Dummy serangan penyakit -1.80744 0.1863 Pertumbuhan TFP 5.599316 0.0290 0.2980 R2 = 99.91 Fhitung 0.0001 Dw= 1.802372 Kedua, hasil dugaan parameter harga BBM energi terhadap produksi udang tambak bernilai negatif. Peningkatan harga BBM akan menurunkan produksi udang tambak yang pada gilirannya berpengaruh negatif terhadap daya saing. Kontribusi BBM terhadap biaya produksi pada tambak intensif dan semi-intensif sekitar 13. Penggunaan BBM terutama untuk kincir, pompa, dan penerangan. Intensitas penggunaan BBM akan meningkat dengan meningkatnya padat penebaran. Pembudidaya di beberapa daerah seperti di Jawa Timur memperoleh solar dengan harga subsidi, sedangkan daerah lain seperti Lampung, menggunakan solar harga industri. Implikasinya, pemerintah perlu memperhatikan harga BBM agar industri udang dapat berkembang. Ketiga, faktor lain yang berperan penting dalam rangka meningkatkan daya saing dari sisi biaya yaitu tingkat suku bunga pinjaman karena usaha tambak udang termasuk padat modal. Hasil estimasi tingkat suku bunga pinjaman berpengaruh negatif, namun tidak signifikan dan tidak responsif. Hal tersebut sejalan dengan studi Raharjo 2001 yang memperoleh nilai elastisitas untuk tingkat suku bunga terhadap produksi 0.0678. Studi Irwan 1997 untuk periode pengamatan 1974-1995 menunjukkan bahwa produksi udang dipengaruhi oleh harga udang domestik, tingkat suku bunga, dan jumlah produksi beda kala. Keempat, hal lain yang tidak bisa diabaikan dan merupakan salah satu kendala terbesar dalam budidaya udang adalah terjadinya serangan penyakit Devi dan Prasad, 2006. Hasil dugaan parameter dari dummy serangan penyakit yang bernilai negatif dan signifikan pada tarf 20. Serangan penyakit akan menurunkan kuantitas produksi udang dibandingkan dengan periode tidak adanya serangan penyakit. Upaya mengatasi serangan penyakit melalui penggunaan varietas udang vaname yang relatif tahan penyakit belum berhasil. Namun demikian, penggunaan udang vaname telah mendukung capaian produksi udang nasional sehingga pangsa ekspor Indonesia di tingkat dunia relatif tetap. Serangan penyakit berdampak pada pembudidaya yang menggunakan teknologi intensif, tetapi juga non intensif, serta tidak hanya pada tingkat usaha skala kecil juga terhadap perusahaan terintegrasi. Salah satu perusahaan terintegrasi di Lampung terkendala juga serangan penyakit IMNV. Produktivitas per kolam menurun bahkan ada yang mencapai 72.71 antara lain produktivitas per kolam ukuran 5 000 m menurun dari 8 405 ton kolam atau 16 810 tonha pada tahun 2008 menjadi 2 294 kgkolam atau 4 586 tonha pada kuartal kedua tahun 2010 Gambar 26. Perusahaan tersebut telah mengupayakan pengendalian yaitu dilaksanakannya Standard Operating Procedure SOP yang baru menyangkut polyculture udang dengan ikan, pengurangan padat tebar, peningkatan frekuensi pergantian air, dan penambahan kincir untuk meningkatkan sirkulasi oksigen. 6798 8405 6819 2407 2063 2370 1922 2294 6209 7136 6486 5892 6691 7170 5790 5316 335 533 2393 1253 1458 2080 1845 1529 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 2007 2008 2009 Q.1 2009 Q.2 2009 Q.3 2009 Q.4 2010 Q.1 2010 Q.2 CPB WM AWS Gambar 26. Dampak Serangan Penyakit terhadap Produktivitas Udang PT XYZ di Lampung Periode 2007-2010 Data lain terkait penyakit yaitu hasil survey oleh Global Aquaculture Alliance GAA tahun 2001 yang menemukan bahwa diperkirakan 22 dari produksi udang tahun 2001 hilang akibat penyakit. Sebanyak 60 penyakit disebabkan virus dan 40 oleh bakteri. Kerugian ditaksir mencapai US 1 milyar, dan mencapai US 6 milyar untuk periode 2001 sampai dengan 2008. Kelima, peningkatan daya saing dapat diupayakan melalui peningkatan produktivitas. Akan tetapi, produktivitas yang diukur dengan pertumbuhan TFP sebagai proxy dari kemajuan teknologi pada studi ini tidak berpengaruh signifikan meningkatkan produksi. Artinya, penambahan produksi terutama lebih karena penambahan faktor produksi. Pembahasan mengenai faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan TFP disajikan pada Bab VII.

6.2.4. Produksi Udang Hasil Tangkapan

Udang hasil tangkapan berperan penting dalam menambah ketersediaan bahan baku. Hasil estimasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi udang hasil tangkapan disajikan pada Tabel 24. Berdasarkan kriteria statistik, produksi udang hasil tangkapan secara signifikan pada taraf 5 dipengaruhi harga output udang segar domestik dan jumlah penggunaan alat tangkap pukat udang. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa dalam jangka pendek rata-rata peningkatan harga BBM 1 akan menurunkan produksi sekitar 0.0005, ceteris paribus. Artinya penting juga upaya pengurangan biaya BBM. Tabel 24. Hasil Estimasi pada Persamaan Produksi Udang Hasil Tangkapan Variabel Parameter Dugaan Elastisitas Prob [ t ] Endogen Eksogen Jangka Pendek Jangka Panjang Produksi udang Hasil Tangkapan QTNKP Intersep 109.5602 0.0166 Harga riil udang segar domestik 2.296985 0.3998 0.0079 Jumlah Alat Tangkap Pukat Udang 0.005401 0.1057 0.0142 Harga BBM beda kala -0.00401 -0.0005 0.3980 R2 = 39.68 Fhitung 0.0499 DW = 1.226172 6.2.5. Harga Udang Domestik dan Permintaan Bahan Baku Hasil estimasi pada persamaan harga udang segar, harga udang beku domestik, permintaan udang segar oleh industri udang beku, dan permintaan udang beku oleh industri udang segar disajikan pada Tabel 25. Pertama, Berdasarkan data pada Tabel 25, harga udang segar domestik secara signifikan lebih dipengaruhi oleh jumlah ekspor dibandingkan pengaruh dari permintaan udang segar domestik. Kondisi tersebut dapat dimaklumi karena udang merupakan komoditas ekspor, dan relatif mahal bagi konsumen domestik. Kedua, pada Model Daya Saing Udang Indonesia ini, permintaan udang domestik merupakan persamaan identitas sehingga perilakunya tidak diamati. Akan tetapi berdasarkan data Susenas terjadi peningkatan konsumsi udang domestik. Peningkatan konsumsi udang segar domestik dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, hal tersebut merupakan keberhasilan kampanye Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan Gemarikan untuk mengkonsumsi udang. Kedua, kemungkinan lain adalah karena ukuran udang yang dihasilkan kurang layak ekspor. Terkait dengan kemungkinan kedua, mengacu pada pengalaman di Philipina, menurut Salayo 2000 udang lebih banyak dijual ke pasar domestik disebabkan produk tersebut tidak memenuhi persyaratan ekspor dalam hal ukuran dan kualitas produk karena udang terserang penyakit. Akibatnya industri pengolahan dalam kondisi problematik. Demikian halnya di Thailand, 55 produk udang Thailand tahun 1987 dikonsumsi domestik, dan setelah dilakukan peningkatan mutu, maka pada tahun 1997 konsumsi domestik menurun menjadi 35. Sebanyak 90 udang hasil budidaya diekspor, sisanya dikonsumsi domestik dan umumnya berukuran kecil. Rendahnya konsumsi udang domestik di Thailand disebabkan harga udang lebih mahal dibandingkan harga daging ayam dan daging babi. Tabel 25. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Udang Segar Domestik, Harga Udang Beku Domestik, Permintaan Udang Segar oleh Industri Udang Beku, dan Permintaan Udang Beku oleh Industri Udang Olahan Variabel Parameter Dugaan Elastisitas Prob [ t ] Endogen Eksogen Jangka Pendek Jangka Panjang Harga udang segar domestik PUSDOM Intersep 16.47634 0.2245 Permintaan udang segar domestik beda kala 0.039417 0.4056 0.7530 0.2880 Jumlah ekspor udang segar Indonesia ke AS 38.02945 0.2737 0.5081 0.0149 Tren waktu -2.00702 0.0342 Harga riil udang domestik beda kala 0.461299 0.0286 R2 = 73.123 Fhitung= 0.0006 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Harga udang beku domestik PUBDOM Intersep 6.045446 0.0502 Harga udang beku dunia 0.142017 0.1274 0.1881 0.1305 Permintaan udang beku domestik 0.003386 0.0101 0.0150 0.4468 Tren Waktu -0.00116 0.4930 Harga udang beku domestik beda kala 0.322836 0.1110 R2 = 58.73 Fhitung= 0.0104 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Permintaan udang segar oleh industri udang beku QDUSB Intersep 30.22418 0.4653 Selisih harga udang segar domestik -0.14723 -0.0004 0.4538 Harga riil udang beku domestik 6.985118 0.3461 0.4055 Trend waktu 10.71337 0.0001 R2 = 75.96 Fhitung=0.0001 DW=2.620788 Permintaan udang beku oleh industri udang olahan QDUBO Intersep -0.24292 0.0821 Selisih harga udang beku domestik -0.00035 0.0000007 0.4959 Produksi udang Olahan Indonesia 2.00169 1.0021 .0001 Harga udang olahan dunia 0.017416 0.0065 0.0948 R2 = 99.99 Fhitung= 0.0001 DW = 2.073017 Produki udang Olahan Indonesia PruOI Intersep 9.561422 0.3175 Harga udang olahan dunia 0.574953 0.4269 0.2007 Harga udang beku domestik -1.42308 -1.1228 0.2137 Jumlah ekspor udang olahan Indonesia ke dunia 1.251376 1.1091 .0001 Tingkat suku bunga 0.003228 0.0010 0.4779 R2 = 94.00 Fhitung= 0.0001 DW = 2.262889 Ketiga, bahwa pengaruh harga output lebih besar dibandingkan pengaruh harga input untuk persamaan permintaan udang segar oleh industri udang beku. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh UPI dalam menentukan harga lebih dominan. Kasusnya berbeda untuk udang olahan, produksi udang olahan Indonesia dipengaruhi secara responsif oleh harga input udang beku. Dengan demikian bahwa ketersediaan bahan baku menjadi penting. Fluktuasi harga yang tinggi menurut Suryana 1989 menunjukkan bahwa sistem pemasaran yang ada tidak mampu mengendalikan sumber interdependensi seperti surplus produksi. Fluktuasi harga antara lain disebabkan ekspor terkonsentrasi ke negara tertentu dan exportir sebagai pembeli membentuk suatu kekuatan yang monopolistik. Keempat, mengingat tidak tersedianya data harga udang olahan domestik, maka dalam Model ini dipilih penggunaan produksi udang olahan dipilih daripada penggunaan harga udang olahan domestik. Permintaan udang beku oleh industri udang olahan secara responsif dipengaruhi oleh produksi udang olahan. Produksi udang olahan secara responsif dipengaruhi oleh harga udang beku domestik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku berupa udang segar untuk industri udang beku, dan udang beku untuk industri udang olahan berperan penting. Terkait bahan baku, apabila hasil budidaya dengan hasil tangkapan ditambahkan maka jumlahnya cukup memadai. Diduga yang menjadi permasalahan adalah akibat penawaran yang tergantung musim maka pada musim-musim tertentu melimpah dan pada musim lainnya kekurangan. Akibatnya disatu sisi, UPI mengalami kekurangan bahan baku sehingga diperlukan impor, dilain pihak pembudidaya udang yang diwakili oleh Shrimp Club Indonesia SCI menyatakan bahwa bahan baku mencukupi sehingga impor tidak diperlukan. Implikasi dari hal tersebut adalah perlunya keakuratan mengenai data perikanan. Salah satu strategi yang dilakukan UPI dalam menjaga kesinambungan ketersediaan bahan baku yaitu dengan memiliki tambak sendiri. Akan tetapi, ketika udang terkena serangan penyakit, kondisi tersebut akan mempengaruhi keberlanjutan usaha. Menurut Adriyadi 2009, hanya beberapa UPI yang dikelola dengan baik. Beberapa penyebab tutupnya UPI adalah: over investment yaitu kapasitas besar kemampuan penawaran udang kurang memadai, terjebak dalam kebijakan pembelian penjualan udang yaitu beli mahal jual murah, dan modal kerja pembelian udang ekspor digunakan untuk membiayai tambak yang gagal panen. Kelima, pada studi ini, pengaruh tingkat suku bunga pinjaman terhadap produksi udang olahan relatif kecil. Dengan demikian disamping penurunan tingkat suku bunga perlu juga upaya lain untuk mendorong industri pengolahan. Upaya tersebut antara lain kemudahan investasi, pembangunan infrastruktur, dan memberikan insentif pada perusahaan yang membuat produk udang bernilai tambah. Selain itu, perlu mengupayakan agar industri udang olahan lebih dekat dengan penyediaan bahan baku. Pengaruh hal-hal tersebut tidak tertangkap pada Model yang dibangun.

6.2.6. Perbandingan dengan Thailand

Perbandingan dengan Thailand pada aspek produksi hanya didasarkan studi pustaka. Secara umum, Indonesia memiliki beberapa kesamaan dengan Thailand. Pengembangan udang di Thailand dengan di Indonesia relatif sama, akan tetapi Thailand lebih maju. Nilai industri udang Thailand mencapai 1,1 dari GDP Thailand pada tahun 2006, memberi lapangan pekerjaan bagi lebih dari 1 juta orang dengan devisa sekitar US 2 milyar. Dari jumlah tersebut sebanyak 90 berasal dari input lokal Institute for Management Education for Thailand Foundation, 2002. Berikut disajikan beberapa hal terkait biaya produksi, penyakit, dan lainnya yang menyebabkan Thailand lebih maju dibandingkan negara lain. Dalam upaya mempertahankan daya saing perhatian utama yang dilakukan Thailand adalah terhadap kualitas produk dan keamanan pangan. Thailand menjadi pemimpin dalam ekspor udang dan memperoleh keunggulan kompetitif melalui tingginya produktivitas tambak Wyban, 2007a. Pertama, key success faktors usaha tambak di Thailand yaitu penerapan teknologi pada semua level mulai hatchery, tambak, pabrik pakan, UPI, dan perusahaan pemasaran internasional. Dukungan dari sisi keuangan tidak lepas dari peran dari Charoen Pokphan Feed, dan Thai Union Frozen Food. Pemerintah dan universitas mendukung melalui riset dan penyuluhan. Thailand’s Mahachai Shrimp Auction juga menyediakan kesempatan pembudidaya melakukan lelang yang kompetitif. Selain itu, perusahaan Thailand juga mempunyai perusahaan pemasaran di Jepang, EU, dan AS. Dilain pihak, biaya produksi untuk beberapa komponen relatif sama. Hasil studi Ling et al., 1999 yang meneliti perbandingan biaya produksi berdasarkan survey tahun 19941995 pada berbagai tingkat teknologi, mengungkapkan bahwa pada biaya tetap Indonesia lebih mahal untuk tingkat suku bunga yaitu US 0.16kg atau mencapai 3.6 dibandingkan Thailand yang hanya US 0.11 atau 2.6 Gambar 27. Sumber: Ling et al., 1991 Gambar 27. Perbandingan Biaya Produksi Udang Tambak Indonesia dengan Thailand Berbeda dengan di Indonesia, Thailand relatif lebih berhasil dalam mengatasi serangan penyakit hasil dari program bioteknologi melalui National Center for Genetic Engineering and Biotechnology BIOTEC. Hasilnya, tingkat kerugian akibat penyakit hanya 29 pada tahun 1990, sementara negara lain mengalami kerugian sampai dengan 80 China merugi 120.000 ton senilai US 400 M dan Equador merugi senilai US 350 milyar. Waktu pemulihan dari serangan penyakit juga lebih cepat Tanticharoen et al., 2008. Menurut Szuster 2003 dalam Sriwichailamphan 2007, kunci keberhasilan dalam mengatasi permasalahan penyakit adalah pelaksanaan biosecurity Wyban, 2007a. Upaya yang dilakukan antara lain deteksi pathogen pada benur sebelum ditebar menggunakan Polymere Chain Reaction PCR dan Real Time-Polymere Chain Reaction RT-PCR. Upaya lain antara lain penggunaan metode diagnostik penyakit yang mudah dikerjakan oleh pembudidaya, penggunaan probiotik, dan imunostimulan. Thailand sukses mempertahankan sebagai eksportir udang utama karena: berubahnya peran pemerintah, kebijakan publik, dan dukungan lainnya, khususnya melalui pendekatan kluster. Pemerintah mengkoordinasikan dan mengintegrasikan semua aktifitas industri, termasuk aspek ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menunjang dan mengembangkan produksi dan pemasaran. Beberapa studi menyarankan bahwa “a cooperative cluster” merupakan pendekatan terbaik untuk pengembangan industri. Semua pihak ada perwakilan baik dari pemerintah, pembudidaya sampai dengan eksportir. Pemerintah memperkuat kelembagaan koperasi. Manfaatnya terasa yaitu makin efektifnya pengelolaan budidaya melalui sistem manajemen terpadu. Pemerintah Thailand berubah peran dari “strong” regulator menjadi fasilitator dalam membantu industri udang menciptakan peluang pasar dan meningkatkan daya saing melalui penelitian dan pengembangan. Selain itu, Thailand mampu bersaing dengan China dan Vietnam karena pengolah udang memiliki peralatan tercanggih dan kualitas SDM yang tinggi. Termasuk didalamnya berupa transfer teknologi dari Jepang. Pembudidaya di daerah memiliki asosiasi dan umumnya adalah koperasi. Asosiasi ditingkat pengolah berfungsi untuk tukar menukar informasi, bantuan dari konsultan independen perusahaan, dan the Thai Industrial Standards Institute mendukung pengembangan produk Sriwichailampan, 2007. Pemerintah Thailand juga telah berupaya mengembangkan udang windu, namun kurang berhasil. Guna mengurangi penurunan produksi akibat lambatnya pertumbuhan udang windu yang menyebabkan capaian produksi hanya 260 ribu dari 300 ribu ton, maka dilakukan impor induk dan domestikasi P. monodon. Pertimbangannya, udang tersebut mempunyai pasar khusus, kurang tersaingi, dan mempunyai harga tinggi. Pada periode 2003-2007 tersebut kebutuhan dana mencapai sekitar US 18 juta. Menurut Lebel et al, 2010 industri udang Thailand diuntungkan dengan pergantian dari udang windu ke udang vaname. Selain itu, dukungan dari perusahaan multi-nasional PT CP, izin untuk impor induk, penanganan penyakit melalui penyiapan benur Specific Pathogen Free SPF dan biaya produksi lebih rendah. Pengaruh udang vaname terhadap lingkungan yaitu membutuhkan lebih sedikit sumberdaya dan menghasilkan lebih sedikit limbah. Sebagai contoh, untuk menghasilkan satu ton udang vaname hanya dibutuhkan 51 000 benur udang putih, sedangkan udang windu 128 000 ekor, air yang dibutuhkan sebanyak 2 540 m3, sedangkan udang windu sebanyak 9 240 m3, udang putih membutuhkan energi 4 610 kWh, sedangkan udang windu 8 100 kWh, kebutuhan pakan udang vaname 1 620 kg, sedangkan windu sebanyak 2 420 kg. Kunci sukses Thailand dengan vannamei adalah dengan mengontrol induk udang impor untuk menjamin kecukupan suplai dari induk vaname yang benar-benar SPF. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan ijin dari Departemen Perikanan dengan dua tahun tahun perkembangan benur yang dihasilkan SPF, dan memerlukan sertifikasi dari pemerintah AS yaitu berasal dari Oceanic Institute di Hawaii Otoshi et al., 2007. Kunci sukses usaha budidaya berada pada induk udang dan benur bersertifikat. Revolusi budidaya udang Thailand terutama diuntungkan oleh domestikasi dan breeeding P. vannamei SPF oleh perusahaan AS. Perusahaan Thailand Thai Union Feed MillTFM produsen pakan terbesar yang merupakan bagian dari Thai Union Frozen Food Ltd TUF bekerjasama dengan High Health Aquaculture HHA. Join venture tersebut diberi nama High Health Thailand dengan biaya US 11 juta mulai tahun 2005. Hatchery dibangun di pantai Khao Pilai di Phang Nga mulai tahun 2006 dan selesai April tahun 2007. Kapasitas produksi 300 juta PLbulan menggunakan induk GxTVR tm bebas penyakit, cepat tumbuh, dan resisten terhadap Taura Virus Syndrome yang berasal dari HHA di Hawaii dan ditangani oleh personil dari HHA. Kebijakan Pemerintah Thailand lainnya termasuk subsidi, infrastruktur dan riset merupakan faktor penting tumbuhnya industri Goss et al., 2009; Sagheer et al., 2007. Keberhasilan blue revolution atau intensifikasi budidaya ikan, tidak terlepas karena impor udang putih di Thailand secara ilegal dari China pada tahun 1998. Udang putih yang dibudidayakan tersebut sebagian berhasil panen dan sebagian terkena penyakit. Pada tahun 2001 banyak perusahaan melakukan impor sehinggga pada tahun 2002 Pemerintah Thailand mulai memberi izin dan mendata perusahaan yang diperbolehkan mengimpor induk vananme SPF Sitimung, 2004. Izin impor makin mudah setelah terjadinya penyakit MSG Monodon Slow Growth dengan importir utamanya yaitu Charoen Pokphan CP. Dengan kondisi tersebut, CP memperoleh kesempatan strategi baru yaitu untuk menjual pakan udang dan benur sekaligus. Pemerintah Thailand juga memberikan dukungan terutama riset bidang penyakit. Ketergantungan pada komponen impor dikurangi, semula sekitar 25- 50 berkurang menjadi 25 untuk komponen pakan, peralatan tambak, dan BBM. Pengalaman pembudidaya juga ditingkatkan melalui training secara langsung, penyuluhan melalui CD, dan penyuluhan melalui internet dan kelembagaan CORIN, 2000. Dari sisi SDM, produktivitas tenaga kerja dan produktivitas bahan baku Thailand lebih baik dari China danVietnam karena pengalaman dan keahlian tenaga kerja Thailand, termasuk transfer teknologi dari Jepang. Akan tetapi, industri udang di Vietnam dan China mempunyai pertumbuhan yang tinggi karena rendahnya biaya produksi, baik upah tenaga kerja maupun bahan baku. Pemerintah Thailand juga membuat tambak percontohan dempond, dan Code of Conduct dikembangkan ke 22 provinsi. Pemerintah melakukan sertifikasi hatchery, distributor, dan unit pengolah ikan. Promosi ekspor dilakukan untuk mempersepsikan bahwa produk udang Thailand bermutu tinggi, aman, dan ramah lingkungan. Unit Pengolah Ikan menerapkan HACCP, dan traceability dilaksanakan. Pemerintah pusat bekerjasama dengan daerah, perusahaan swasta utama seperti CP Group dan universitas Kasetsart, Mahidol and Sri Nakarindharaviroj Tanticharoen, 2002. Terkait peran swasta, CP Grup mempunyai 14 pusat penyuluhan technical extension center yang dilengkapi dengan fasilitas laboratorium kimia dan biologi, serta menyediakan pelatihan secara bebas, analisis kualitas air. Untuk daerah yang padat budidaya disediakan juga laboratorium keliling. Thailand juga concern dengan pembangunan tambak berkelanjutan. Kriteria usaha budidaya berkelanjutan sebagai tambak yang mempunyai produktivitas tinggi, low problem cost, berdampak rendah terhadap lingkungan. Hasilnya adalah tambak yang mempunyai luas kecil, usaha keluarga dengan dengan tandon, kolam pemeliharaan dengan kedalaman 1.5 m - 1.7 m dan kolam pengolah limbah. Pembudidaya menggunakan pakan komersial buatan Thailand, penggunaan kapur sebelum ditanam, rendah FCR, ada periode pengeringan kolam, menerima penyuluhan dari petugas penyuluh. Berlokasi di daerah mangrove, sehingga permasalahan dengan sedimen, salinitas, dan air relatif rendah.

6.3. Blok Perdagangan Udang Segar