Tajerin 2007 menggunakan fungsi produksi stochastic frontier memperoleh efisiensi teknis udang Indonesia sekitar 56. Kumar dan Kumar
2003 efisiensi teknis budidaya udang di India rata-rata mencapai 69. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk meningkatkan
produksi. Pembudidaya berskala besar lebih efisien karena membutuhkan biaya investasi lebih besar. Sewa kurang efisien dibandingkan milik sendiri. Upaya
peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan dan pengalaman pembudidaya udang. Selanjutnya, menurut Abubakar 2007 dummy
intensifikasi dan benur berpengaruh nyata terhadap produktivitas tambak di NTB. Akan tetapi, suatu hal yang tidak bisa diabaikan dalam budidaya udang dan
merupakan salah satu kendala terbesar adalah terjadinya serangan penyakit Devi dan Prasad, 2006.
Berdasarkan uraian di atas, produktivitas merupakan salah satu faktor penentu daya saing baik untuk tingkat negara, maupun di perusahaan. Peningkatan
produktivitas dapat berasal antara lain dari adopsi teknologi atau efisiensi usaha. Pada budidaya udang di tambak, pakan merupakan faktor paling berpengaruh
terhadap efisiensi. Adanya serangan penyakit juga merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam budidaya udang.
2.8. Mutu, Keamanan Hasil Produksi Perikanan, dan Daya Saing
Secara umum, hubungan antara mutu, keamanan hasil produk perikanan dan daya saing terkait dengan elastisitas permintaan. Elastisitas permintaan impor
akan meningkat melalui peningkatan mutu, promosi ekspor dan menjaga kontinuitas ekspor dengan memasok udang tepat: waktu, tempat, dan bentuk.
Akibatnya akan terjadi kenaikan kuantitas ekspor dan kenaikan harga udang.
Kondisi tersebut akan meningkatkan keuntungan bagi produsen atau dengan kata lain akan meningkatkan daya saing. Akan tetapi peningkatan mutu memerlukan
tambahan biaya sehingga terjadi kenaikan harga udang. Letak geografis juga berpengaruh, misalnya Thailand yang berada di daerah semi periphery menurut
Kagawa dan Bailey 2003 mempunyai biaya lebih tinggi dibandingkan Vietnam yang berada di daerah periphery. Oleh karena itu Thailand lebih fokus
memproduksi udang bermutu tinggi. Shyam et al., 2004 menambahkan bahwa mutu juga merupakan prime
mover perdagangan internasional. Kebutuhan akan produk bermutu tersebut didorong beberapa faktor. Pertama, negara maju cenderung mengkonsumsi barang
bermutu. Kedua, biaya transportasi secara proporsional lebih tinggi untuk barang kurang bermutu Alchian dan Allen, 1984 dalam Hummels dan Skiba, 2002.
Ketiga, mutu ekspor mensyaratkan sertifikasi seperti ISO 9000 dikarenakan transaksi internasional kadang dihadapkan pada permasalahan asimetris informasi
karena perbedaan: bahasa, persepsi tentang mutu Hudson dan Jones, 2003. Hubungan antara mutu produk dan perdagangan tidak dapat dilepaskan
dari studi Steffan Linder Faruq, 2006. Fan 2005 memperkuat hipotesa Linder yang menyebutkan bahwa permintaan akan produk bermutu tergantung stok
Sumber Daya Manusia SDM, dan pendapatan. Hallak 2005 menguji hipotesa tersebut menggunakan data perdagangan bilateral 60 negara. Hasilnya, terdapat
hubungan positif antara pendapatan per kapita dan permintaan akan produk bermutu. Hal tersebut memperkuat teori Hecksler-Ohlin H-O bahwa negara-
negara kaya akan berspesialisasi dengan memproduksi barang yang mempunyai intensitas faktor melimpah. Negara kaya cenderung mengekspor barang bermutu
karena produk bermutu membutuhkan padat kapital, dan negara miskin yang kaya tenaga kerja cenderung mengekspor produk kurang bermutu. Selain itu, mutu
juga tergantung pada Foreign Direct Investment FDI Faruq, 2006. Selanjutnya, menurut Voon dan Xiang-Dong 1997 mutu atau komposisi ekspor juga
merupakan penentu utama pangsa ekspor suatu negara. Salah satu permasalahan dalam menganalisis mutu adalah bahwa mutu
tidak terobservasi secara langsung dalam data perdagangan Faruq, 2006. Oleh karena itu, konsensus dan cara pengukuran mutu masih diperdebatkan. Menurut
Hallak 2005 perbedaan mutu, barangkali merupakan salah satu sumber utama dari variasi antar negara dalam harga ekspor. Akan tetapi variasi tersebut mungkin
juga merefleksikan perbedaan harga untuk produk yang sama mutunya, sebagai contoh karena perbedaan biaya produksi. Asumsi yang sering digunakan adalah
bahwa keragaman harga mencerminkan perbedaan mutu dengan proxy berupa perbedaan harga satuan unit value antar negara. Makin mendekati nilai satu,
mencerminkan makin dekat persamaan mutu produk diantara kedua negara tersebut Abd-el Rahman, 1991 dalam Faruq, 2006. Akan tetapi penggunaan unit
value tersebut memiliki keterbatasan disebabkan tingginya heterogenitas produk dan adanya kesalahan klasifikasi. Pengukuran lainnya antara lain Hallak 2005
yang menyusun indeks mutu tiap negara. Hallak menggunakan rataan indeks geometri Fischer daripada indeks Laspeyres dan indeks harga Paasche. Hummels
dan Skiba 2002 menghitung dengan perbedaan harga antar pasangan negara untuk produk dengan kategori yang telah ditetapkan.
Selain mutu, dalam perdagangan udang perlu juga memperhatikan keamanan hasil produk perikanan. Hal tersebut merupakan faktor penentu
suksesnya ekspor karena terkait aturan-aturan baik lokal maupun internasional. Salah satu pendekatan untuk menjamin mutu dan keamanan hasil produk
perikanan yaitu penggunaan konsep HACCPPMMT. Menurut Simangunsong 2008 pendekatan end process saat ini sudah tidak mencukupi, tetapi
memerlukan pendekatan in process. Pengujian pada produk akhir kurang mencegah terjadinya kontaminan pada produk pangan dibandingkan program in
process. Akan tetapi, penerapan HACCPPMMT tidak mudah diaplikasikan ditiap tahapan kegiatan, khususnya ditingkat produksi primer. Agar terjadi keefektifan
penggunaan Program tersebut ditiap rantai pasokan, maka perlu kombinasi dengan program lainnya. Selain itu, kontrol keamanan hasil produk perikanan tidak akan
berhasil tanpa dukungan pemerintah dan pihak swasta. Permasalahan mutu melibatkan kegiatan sejak pembenihanhatchery sampai distributor. Gambar 11
menunjukkan kondisi permasalahan umum mutu udang di Vietnam yang mirip dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan Gambar tersebut, banyak hal yang
masih perlu dikerjakan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan mutu produk udang agar diterima oleh konsumen di luar negeri.
Menurut Shang et al., 1998; Kagawa dan Bailey 2003 mutu merupakan faktor penentu keputusan konsumen di Jepang membeli udang. Mutu udang dapat
mengacu antara lain pada: species, warna, ukuran, berat, dan kandungan nutrisi. Tabel 10 merupakan contoh penggolongan mutu udang. Udang ekspor umumnya
bermutu, sedangkan yang kurang bermutu umumnya untuk konsumsi domestik.
T am
b ak
U da
ng
U da
ng t er
k ont
am ina
si
C ol
d S
tor age
D is
tr ib
u to
r
Terbatasnya peralatan hatchery
H a
tch ery
Benur bermutu rendah Rendahnya kesadaran
pembudidaya akan Pakan yang
kurang terkontrol Pengunaan obat-obatan
Lingkung- an tercemar
Residu bahan
kimia
Udang terkontaminasi
Terbatasnya peralatan Lingkung-
an terpolusi Residu
bahan kimia
Terbatasnya peralatan uji
Teknologi ketinggalan Teknik pengolahan
Kemampuan manajerial rendah
Lamanya pemrosesan Infeksi mikrobiologi
Penyimpanan Transportasipengiriman
Temperatur, gudang yang tua, kebersihan gudang, waktu
penyimpanan, teknologi yg ketinggalan
Infeksi mikro-
biologi R
enda hnya
mu tub
enur
Pengunaan obat-obatan Lingkungan terpolusi
Residu bahan Adanya serangan
penyakit Rendahnya mutu induk
Pakan induk yang kurang terkontrol
Rendahnya kesadaran pedagang akan
U da
ng te
rkont am
ina si
Kondisi Penyimpanan U
da ng t
er k
ont am
ina si
Temperatur, alat transportasi, kebersihan peralatan, waktu
pengangkutan U
da ng j
ua l
te rkont
am ina
si Pengunaan
bahan kimia
Adanya kecurangan
Pengunaan bahan kimia
bahan lainnya
Udang terkontaminasi Kekurangbersihan es, pabrik, karya-
wan, lama pengolahan, penggunaan desinfektan
Kerusakan fisik Serangan
penyakit
P eda
g a
ng P
eng um
pul
Gambar 11. Permasalahan Mutu dan Keamanan Pangan Produk Udang Tambak
Sumber: diadaptasi dari Loc 2006
Efek standardisasi mutu terhadap perdagangan telah dikuantifisir pada beberapa studi sebelumnya. Hasilnya, standar tinggi berpengaruh negatif secara
signifikan dalam perdagangan bilateral Nguyen dan Wilson, 2009. Untuk kasus Thailand, zero tolerance oleh UE menyebabkan efek diversi dari pasar UE ke AS
sehingga harga udang di AS turun. Dengan demikian, akibat yang ditimbulkan tidak hanya dirasakan UE dan Thailand, akan tapi juga oleh Thailand di pasar AS
Debaere, 2007. Selain itu, pemenuhan akan syarat keamanan hasil produk perikanan
menurunkan daya saing ekspor perikanan India sebesar 16.7 Kumar dan Kumar, 2003. Eksportir di Bangladesh mengeluarkan US 2.2 juta, dan pemerintah
mengeluarkan 225 ribu US untuk Program HACCP. Kebutuhan anggaran lainnya yaitu 17.6 juta untuk meng-upgrade fasilitas. Ecolabelling butuh
US 500-2 juta, biaya operasional US 300-500 ribu, dan biaya untuk set up laboratorium US 265 ribu Khatun, 2004. Menurut Loc 2006 kondisi produk
hasil laut asal Thailand ke AS tahun 2002, sebanyak 63 terkontaminasi oleh Salmonela, dan 38 dimusnahkan atau dikembalikan. Selanjutnya, menurut Jha
2002 dalam Kumar dan Kumar, 2003, 15 dari total ekspor dari berbagai negara ke AS periode 1996-1997 hilang akibat automatic detention karena
rendahnya sanitasi. Menurut Loc 2006 penerapan HACCP di Vietnam lebih karena kewajiban, bukan sebagai alat efektif untuk meningkatkan mutu
permintaan eksportir.
Tabel 10. Pengklasifikasian Mutu dan Ukuran Udang Windu UPI di Jakarta dan di Ujung Pandang
Kode Ukuran
Jumlah per 454 g Kategori
Jumlah ekor per kg
4-6 5-6
Mutu I AA
1-15 U
6-8 7-8
A1 16-20
A 8-12
11-12 A2
21-27 B
13-15 15-16
A3 28-34
C 16-20
20-21 B
35-40 D
21-25 25-26
C 41-50
E 26-30
30-31 D
51-60 F
31-40 40-41
E 61-70
G 41-50
50-51 Mutu II
L1 1-27
H 51-60
60-61 L2
28-50 I
61-70 70-72
BS -
J 71-90
90-92
Sumber: PT. South Suco Ujung Pandang 1999 dalam Hutabarat et al.,
2000
K 91-120
115-125
Sumber: PT HJG 1999 dalam Raimu 2000
Penetapan SPS akan menurunkan biaya transaksi yang bersumber dari ketidakyakinan konsumen terhadap mutu produk yang dibelinya. Biaya transaksi
dibedakan menjadi biaya: informasi, pengukuran nilai atribut, pengambilan keputusan dan pembuatan kontrak, pelindung hak atas barang yang dibeli, dan
biaya pengamanan kontrak. Semakin tinggi ketidakpastian dan semakin rumit mekanisme transaksi, maka semakin tinggi biaya informasi. Selanjutnya biaya
pengukuran nilai atribut akan semakin tinggi apabila mutu tidak pasti. Biaya pelabelan merupakan salah satu contoh dari biaya perlindungan hak. Biaya
tersebut menjadi tinggi apabila barang atau jasa yang ditransaksikan dengan eksternalitas atau diliputi ketidakpastian yang tinggi. Termasuk kedalam biaya
pengamanan kontrak adalah biaya untuk menjaga agar mitra transaksi melaksanakan kewajiban kontrak. Biaya menjadi tinggi apabila transaksi diliputi
dengan ketidakpastian yang tinggi, jaringan transaksi yang rumit dan perilaku mitra yang oportunistik.
Menurut Freebairn 1967 adanya standardisasi mutu dapat menekan biaya. Alasannya terutama karena pelayanan pemasaran, antara lain: pembelian dan
penjualan dilkukan dengan deskripsi yang jelas, dan menghilangkan waktu dan biaya untuk berdebat mengenai mutu. Standardisasi mutu juga berfungsi untuk
mengurangi friksi karena dengan adanya standar mutu, maka akan membantu eksportir membuat produk sesuai keinginan konsumen. Pada akhirnya,
ketidakmampuan memenuhi persyaratan SPS akan mengurangi daya saing. Isu lain dalam perdagangan udang adalah ecolabelling. Ecolabelling
bertujuan menciptakan lingkungan lebih baik atas dasar insentif pasar melalui penciptaan permintaan konsumen akan produk seafood dari stok yang dikelola
dengan baik. Label lingkungan dapat bersifat mandatory jika dijadikan sebagai salah satu hambatan perdagangan atau voluntary. Dengan palabelan
memungkinkan konsumen menilai mutu sebelum membelinya. Sertifikasi ecolabelling oleh pihak ketiga mempunyai fungsi sebagai: 1 evaluasi yang
independen, 2 alat perlindungan konsumen, dan 3 salah satu sarana mencapai tujuan perlindungan lingkungan. Akan tetapi, efektifitas dari pelabelan tergantung
dari kesadaran konsumen akan pentingnya label dan penerimaan konsumen akan label.
Berdasarkan uraian di atas, perbaikan mutu dapat meningkatkan elastisitas permintaan sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing. Akan tetapi
untuk meningkatkan mutu diperlukan tambahan biaya. Secara umum, standardisasi mutu terhadap perdagangan berefek negatif. Salah satu kesulitan
dalam mengukur mutu adalah mutu tidak terobservasi secara langsung dalam data perdagangan.
2.9. Penelitian Terdahulu