77
BAB VII DOMINASI PERHUTANI DALAM KEMITRAAN POLA PHBM
7.1 Petani Belum Menjadi Mitra Sejajar
Dalam pelaksanaan program PHBM di BKPH Parung Panjang pada praktiknya di lapangan masih terdapat ketidakseimbangan kedudukan. Pihak
Perhutani masih mendominasi, karena merasa paling berhak dan paling bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan di kawasannya. Pelaksana
lapangan dari Perhutani adalah para mandor. Mandor sebagai petugas Perhutani sudah terbiasa dengan pekerjaan memerintah dalam penanaman, pemeliharaan,
dan penebangan belum bisa mengubah sepenuhnya sikapnya terhadap petani yang sekarang menjadi mitra kerja. Para mandor terlihat lebih bertindak sebagai
pihak pemberi perintah dan merasa superior sehingga masyarakat masih dianggap pihak luar yang “numpang” mencari penghidupan di hutan.
Hubungan antara mandor dan petani tidak selalu berlangsung dengan harmonis. Mandor terlihat setengah hati atau seperti terpaksa dalam
mengembangkan program PHBM. Mandor masih dominan, sementara kebanyakan petani juga belum sadar akan kedudukannya sebagai mitra sejajar.
Petani hanya masih sebagai pengikut dan objek program, belum menjadi subjek yang menentukan pelaksanaan program.
Tingkat pendidikan petani yang mayoritas lulus SD atau tidak tamat SD merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya terjadi perubahan sikap
kebanyakan petani penggrarap. Meskipun telah dilaksanakan PHBM, pola hubungan antara petani dengan Perhutani masih seperti mandor dan kuli. Petani
terlihat menunggu perintah dan melaksanakan apa yang diperintahkan para mandor.
Ketidakharmonisan dalam pelaksanaan PHBM, terlihat adanya perbedaan persepsi antara mandor dengan pengurus KTHLMDH. Mandor
menganggap penggarap tidak paham PHBM. Sebaliknya pengurus kelompok menganggap bahwa mandor bekerja semaunya sering melakukan kegiatan
tanpa memberikan informasi kepada kelompok tani atau LMDH. Dalam pembagian lahan garapan seringkali ditentukan sepihak oleh mandor.
Pembagian uang hasil penjarangan tidak jelas kapan akan dibagikan. Mandor dianggap mau menangnya sendiri, kalau petani bekerja sebagai kuli tanam akan
78 mendapatkan upah harian. Sebaliknya kalau petani menjadi penggarap tidak
akan mendapatkan upah tanam padahal anggarannya untuk penanaman telah tersedia, kalau non-PHBM ada biaya tanam, tetapi kalau PHBM mengapa tidak
ada biaya tanam. Kemitraan terjadi dengan cenderung asimetris. Salah satu bentuk indikasi
ketidaksetaraan adalah konsep perjanjian kerja sama dibuat oleh Perhutani. Kelompok tani KTHLMDH hanya membaca dan menyetujui konsep yang ada.
Karena pembuat konsep perjanjian kerja sama adalah Perhutani, sangat terbuka adanya kepentingan-kepentingan dari Perhutani baik yang jelas terlihat maupun
maksud tersembunyi di balik draft yang disusunnya. Sebenarnya petani sudah dilibatkan dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, maupun evaluasi kegiatan, tetapi pengambilan keputusan pada proses tersebut masih banyak ditentukan oleh Perhutani. Hubungan asimetris ini
menempatkan petugas Perhutani lebih berperan, sedangkan petani berada pada
posisi lemah lebih banyak berperan sebagai pelengkap kemitraan. Hal ini yang
tidak jauh berbeda terjadi pada pola kemitraan pada perusahaan perkebunan Fadjar, 2006. Hubungan kemitraan terjadi cenderung asimetris–eksploitatif.
Bukan karena petani tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi kegiatan, tetapi pengambilan keputusan pada proses tersebut
masih banyak ditentukan oleh perusahaan inti atau pihak lain pemerintah yang mempunyai kekuasaan lebih besar.
Kedudukan petani dalam kemitraan pada pelaksanaan PHBM di beberapa desa tidak sama kondisinya. Semakin solid kelompok tani hutan atau
LMDH semakin kuat posisi tawar petani. Hal ini tergantung juga pada kepemimpinan dan keberanian pengurus kelompok, semakin berani kelompok
semakin diperhitungkan dalam penentuan dan pengambilan keputusan. Dari ketiga desa yang diteliti, LMDH yang berada di Desa Babakan yang paling aktif
melakukan pembinaan terhadap petani penggarap dan lebih berani berpendapat jika berhadapan dengan pihak lain dalam praktik kemitraan.
Dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan sejak program tumpangsari sampai PHBM, sebenarnya belum mengalami perubahan filosofi yang berarti,
belum menempatkan kedua pihak terkait, kehutanan dan petani pada kedudukan yang setara. Sambas,2010. Sistem tumpangsari masih terlalu bias pada
kepentingan kehutanan dan menomorduakan kepentingan petani. Sebagai contoh, adanya larangan bagi petani untuk menanam tanaman palawija tertentu
79 yang sesungguhnya menjadi andalan, serta pembatasan waktu pelaksanaan
tumpangsari. Pihak Perhutani belum menempatkan kepentingan petani dan
perusahaan pada level yang sama, suatu hal yang berlawanan dengan prinsip kemitraan. Dalam agroforestri yang sesungguhnya dipraktikkan petani
seharusnya sebagai manager lapangan yang sesungguhnya. Petani yang telah lama mempraktikkan usaha taninya secara terpadu. Petani telah terbiasa
dihadapkan pada suatu kondisi yang mengharuskan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya sepanjang tahun, dengan sekaligus memelihara hutan yang
lestari Sambas, 2010 Kaswinto 1999 mengemukakan bahwa prinsip kesetaraan bagi
stakeholder merupakan sebuah kunci keberhasilan dalam membangun kemitraan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Iswantoro 1999,
bahwa prinsip , dasar kemitraan adalah saling percaya, kesamaan kepentingan dan tujuan, kesamaan pandangan tentang cara-cara pencapaian tujuan tersebut,
pembagian tanggungjawab yang jelas, pembagian hak yang jelas dan pembagian ongkos dan keuntungan yang adil berdasar kesepakatan bersama.
Suksesnya kemitraan ini secara umum ditentukan oleh prinsip keadilan, tanggung jawab, transparan, mekanisme institusi serta adanya keuntungan
ekonomi dan finansial bagi semua stakeholder yang terlibat dalam kemitraan Ichwandi dan Saleh, 2000.
Model PHBM berkelanjutan harus dimulai dengan diskusi dan dialog di tingkat desa dengan berbagai stakeholders. Penyusunan rencana, pelaksanaan
kegiatan diawali dengan peningkatan sumberdaya manusia pada setiap kegiatan PHBM, serta pengembangan ekonomi kerakyatan untuk meningkatan partisipasi
masyarakat. Pemantauan dan evaluasi harus diselenggarakan setiap tahun yang dilakukan oleh Forum Komunikasi PHBM yang anggotanya mempunyai
kewenangan dan kemampuan serta kesempatan yang cukup untuk menjalankan tugasnya untuk mengevaluasi dampak PHBM terhadap masyarakat dan
lingkungannya. Sistem kemitraan seharusnya melibatkan pelbagai pihak yang
berkepentingan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan. Proses kemitraan multipihak merupakan proses yang menawarkan mekanisme kerja baru yang
mengenalkan pemahaman tentang para pihak dan mendorong para pihak untuk lebih menghargai pihak lain. Praktek-praktek multipihak melibatkan pihak
80 pemerintah daerah, pemerintahan lokal, pengusaha, perguruan tinggi, tokoh
masyarakat, dan aktivis LSM. Pendekatan multipihak, ditawarkan dengan maksud agar perubahan-perubahan itu menuju ke arah yang diharapkan, dengan
cara yang dapat diterima oleh para-pihak. Para-pihak belajar memahami aspirasi sendiri maupun pihak lain. Kemudian menguji aspirasi itu dalam proses negosiasi
yang saling-menghormati Yuliani Tadjudin , 2006. Proses kemitraan multipihak diharapkan dapat menemukan model
pendayagunaan sumberdaya yang sangat spesifik lokal. Sebuah model yang mampu mengakomodasikan kepentingan ekonomi para pihak, dengan tetap
memelihara kelestariannya. Aliran manfaat sumber daya juga terdistribusi secara lebih berkeadilan. Pihak-pihak yang selama ini terpinggirkan, seperti kelompok
petani tanpa lahan didorong agar dapat bersuara dan memperoleh akses sumberdaya.
Dengan proses multipihak akan tumbuh suatu nilai baru: tidak ada satu pihak yang bersikukuh untuk mempertahankan kepentingan dan posisinya
secara apriori. Pemerintah dan Perhutani yang berperan sebagai pembuat kebijakan, mau tidak mau harus bersedia duduk bersama untuk mengakomodasi
harapan pihak lain, terutama kelompok masyarakat yang selama ini ditempatkan sebagai objek atau pelaksana kebijakan. LSM yang semula berperan sebagai
lembaga advokasi yang berpihak ke masyarakat dan melawan pemerintah, mesti belajar berubah menjadi fasilitator yang netral dan tidak berpihak, bahkan
bekerjasama dengan pemerintah. Perubahan kondisi bisa diprakarsai dari pihak mana saja, atas inisiatif
sendiri atau didorong oleh pihak lain. Pemicu perubahan bisa bersumber pada perubahan kelimpahan sumberdaya, motif individu, tata nilai, aturan main,
struktur organisasi, dan mekanisme kerja. Mencermati penerapan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang, KPH
Bogor dapat ditarik pelajaran bahwa dominasi dari Perhutani terhadap masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan hutan berdampak pada tidak
terwadahinya kreativitas, inisiatif rakyat untuk berkiprah dalam PHBM. Dengan model yang sama di setiap wilayah telah terjadi pemaksaan sistem pengelolaan
hutan padahal kondisi sosial, ekonomi, ekologi dan kebutuhan masyarakat berbeda dalam setiap kawasan.
Hal yang sama ditemukan juga dalam penelitian Kusdamayanti 2008 dalam porgram PKPH di Kabupaten Malang. Dalam proses formulasi kebijakan
81 PKPH ini terlihat peran negara yang sangat dominan yang diwakili oleh Perhutani
KPH Malang dan Dinas Kehutanan Kabupaten Malang. sebagai representasi negara menganggap bahwa kewenangan pengambilan keputusan tentang
pengelolaan sumberdaya hutan hanya menjadi kewenangan negara. Peran masyarakat dalam pengambilan keputusan tidak ada, dan hanya dilibatkan pada
tahapan pencarian alternatif kebijakan. Dominasi negara Pemerintah Daerah telah mengurangi hak yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat.
Pengurangan hak bagi hasil bagi masyarakat dalam PKPH yang semula 25 proporsi yang diterima masyarakat justru semakin menurun menjadi 20 karena
pemerintah daerah merasa berhak mendapat bagi hasil karena telah membina.
Dominasi negara dalam proses formulasi kebijakan PKPH ini terwujud dalam dua hal yaitu: 1.Pengabaian masyarakat desa hutan dan
LSM secara sengaja dalam penyusunan MoU yang menjadi dasar kebijakan PKPH di Kabupaten Malang 2 Diambilnya hak masyarakat
dalam proporsi bagi hasil sebesar 5 oleh pemerintah daerah. Jika penguasaan dan pemanfaatan hutan masih dipandang sebagai
kewenangan negara, maka negara akan memberi ruang yang terbatas bagi partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan. Pengabaian secara
sengaja terhadap partisipan yang lemah masyarakat oleh partisipan yang kuat negara, menyebabkan proses formulasi kebijakan tidak
demokratis dan menghasilkan kebijakan yang tidak berkeadilan Kusdamayanti 2008.
7.2 Ketidaksetaraan Kedudukan dalam Perjanjian Kerja Sama