Pengelolaan Hutan dengan Model Kemitraan

22 Pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah salah satu prinsip pengelolaan hutan yang seharusnya memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat yang hidupnya tergantung pada hutan atau berbasis pada hutan. Ada berbagai macam tafsiran mengenai pengertian berbasis masyarakat. Sebagian pihak mengatakan hak, kedaulatan dan keterlibatan masyarakat dalam mengambil keputusan menyangkut masyarakat. Keterlibatan, peran serta atau kebersamaan masyarakat dalam pengelolaan hutan yang juga harus diperhatikan di samping kebutuhan dan kesejahteraan mengelola hutan bisa dinyatakan dalam berbagai bentuk yakni dengan memberi bantuan, mobilisasi atau menggerakkan masyarakat, instruksi, membayar masyarakat sebagai tenaga kerja, bagi hasil, bahkan eksploitasi masyarakat atau benar- benar sebagai mitra yang sejajar dalam setiap pengambilan keputusan, perencanaan dan implementasinya Djogo, 2004.

2.3 Pengelolaan Hutan dengan Model Kemitraan

Kebutuhan masyarakat sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan terhadap lahan yang semakin lama semakin langka makin mendesak untuk dipenuhi. Hal ini tidak bisa terus menerus dilawan dengan pendekatan keamanan yang bersifat represif. Salah satu cara untuk mengakses sumber daya alam adalah melalui pengembangan kemitraan. Bentuknya bisa berupa pemberian akses terbatas kepada masyarakat dengan perjanjian kerja sama yang mengatur secara jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Sumber daya alam bisa disebut sebagai aset perekonomian rakyat apabila sumber daya alam tersebut bisa diakses oleh masyarakat. Dasar pertimbangannya adalah hak yang melekat pada rakyat, yaitu hak kedaulatan atas sumber daya alam sebagai tingkat tertinggi dari hierarki hak atas sumber daya alam. Salah satu cara untuk mengakses sumber daya alam adalah melalui pengembangan kemitraan. Untuk melihat bagaimana pola kemitraan layak untuk dilaksanakan, dapat digunakan analisis proyek terhadap biaya dan manfaat. Kelayakan proyek dapat dikaji dari sudut pandang investor atau dari sudut pandang masyarakat Haryadi 1999. Kemitraan diawali dari kesadaran bahwa pengelolaan hutan tidak efektif dan efisien jika dikelola oleh pemerintah sendiri Iswantoro, 1999 23 Pengelolaan secara kemitraan co-management seringkali digunakan secara bergantian dengan berbagai istilah lainnya seperti collaborative management pengelolaan secara kolaboratif, participatory management pengelolaan partisipatif, joint management pengelolaan bersama, shared management pengelolaan berbagi, multistakeholder management pengelolaan multipihak, atau round-table management pengelolaan meja bundar. Dalam bentuk aslinya, pengelolaan secara kemitraan merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian praktik-praktik pengelolaan bersama. Pengelolaan secara kolaboratif memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan para pengelola hutan dan pengambil kebijakan. Kemitraan seringkali hanya diartikan sebagai ajakan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam tahap pelaksanaan saja, sehingga rakyat tidak terlibat dalam analisis masalah, perencanaan, pemantauan, dan evaluasi. Sudut pandang pengelolaan berada dalam ranah kegiatan “orang luar”. Jika orang luar kurang memahami konteks lokal bisa jadi perencanaan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Partisipasi seharusnya diartikan sebagai upaya penentuan nasib sendiri oleh kelompok- kelompok lokal Kusumanto dkk, 2007. Kunci keberhasilan pengelolaan kemitraan adalah: 1 Para pemangku kepentingan tidak hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan saja, tetapi dalam semua tahapan pengelolaan: pengamatan, perencanaan, aksi, pemantauan, dan refleksi. 2 Pengembangan minat, keterampilan, dan kemampuan lokal yang dapat membantu para pemangku kepentingan menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan yang sangat cepat setelah proyek selesai. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan dalam menanggapi perubahan adalah dengan mengikuti pembelajaran yang berkelanjutan dan terstruktur yang dapat membantu dalam mengadaptasi pendekatan pengelolaan. Partisipasi menurut Arnstein 1969 adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Arnstein membuat delapan tangga partisipasi, tangga pertama manipulasi kedua terapi. Kategori manipulasi dan terapi ini yang dilakukan adalah mendidik dan mengobati. Dalam tangga pertama dan kedua ini dianggap itu bukan bentuk partisipasi. Selanjutnya, tangga ketiga, menyampaikan informasi. Tangga Keempat, konsultasi dan kelima, 24 peredaman kemarahan. Kategori pada tangga ketiga hingga lima ini disebut tingkat tokenisme. Tokenisme yaitu suatu tingkatan partisipasi masyarakat, mereka didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Tangga keenam adalah kemitraan, ketujuh pendelegasian wewenang kekuasaan dan kedelapan pengendalian masyarakat. Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat. 2.4 Persepsi sebagai Proses Awal Penilaian Kajian awal dari disertasi ini akan menelaah bagaimana persepsi masyarakat terhadap PHBM yang dilaksanakan di Parung Panjang. Persepsi merupakan proses yang terjadi di dalam diri individu yang dimulai dari adanya stimulus, sampai rangsangan itu disadari dan dimengerti oleh individu sehingga individu dapat mengenali dirinya sendiri dan keadaan di sekitarnya. Persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Stimulus yang ada diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu sehingga akan diperoleh sesuatu yang bermakna. Persepsi menurut Jary Jary 2000 diartikan sebagai the reception and interpretation of stimuli. This involves appraisal, and is influenced by prior learning experiences, emotional state, and current expectations. The significance of the term for sociologists is in acknowledgement of the individual interpretation of events with is socially and culturally influenced. Persepsi berawal dari adanya rangsangan dari luar diri individu stimulus, individu menjadi sadar akan adanya stimuli ini melalui sel-sel syaraf reseptor penginderaan yang peka terhadap bentuk-bentuk energi tertentu cahaya, suara, suhu. Persepsi terjadi jika sejumlah penginderaan disatukan dan dikoordinasikan di dalam pusat syaraf otak sehingga manusia bisa mengenali dan menilai objek-objek Sarwono,1992. Alat yang digunakan untuk memperoleh informasi adalah penginderaan penglihatan, pendengaran, peraba. Sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi.Persepsi bersifat 25 subjektif, tergantung pada subjek yang melaksanakan. Jenis kelamin, perbedaan generasi juga menyebabakan perbedaan persepsi Sarwono, 1999. Thoha 1988 mendefisikan persepsi sebagai proses kognitif yang bisa terjadi pada setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, yang dapat diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman. Persepsi merupakan penafsiran unik terhadap situasi, bukan merupakan suatu pencatatan yang sebenarnya dari situasi tersebut. Informasi dan situasi dapat berfungsi sebagai stimulus bagi terbentuknya suatu persepsi, walau informasi tentang lingkungan itu juga bisa berupa suatu situasi tertentu. Saarinen 1976 mengatakan bahwa persepsi sosial umumnya berkaitan dengan pengaruh faktor-faktor sosial budaya terhadap struktur kognitif dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Kasali 1994 menyebutkan bahwa persepsi sesorang ditentukan oleh faktor-faktor: latar belakang budaya, pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut dan berita-berita yang berkembang. Faktor yang mempengaruhi persepsi adalah umur, pendapatan, nilaikepercayaan, pengalaman, ingatan, keadaan sosial, harapan. Sereno menjelaskan bahwa terdapat tiga rangkaian proses, yaitu: seleksi, organisasi, dan interpretasi. Ketiga proses tersebut merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi dengan cepat dan bersamaan. Seleksi merupakan suatu proses ketika seseorang berusaha memusatkan seluruh perhatiannya terhadap sesuatu dimensi stimuli yang relevan dari sejumlah rangsangan yang ada. Tidak semua rangsangan menarik perhatian seseorang. Hanya sebagian kecil saja yang diubah menjadi kesadaran. Organisasi adalah kegiatan menyusun rangsangan ke dalam bentuk yang sederhana dan terpadu. Sedangkan interpretasi, merupakan proses ketika seseorang membentuk penilaian-penilaian dan mengambil kesimpulan. Persepsi yang benar terhadap suatu objek diperlukan karena persepsi merupakan dasar pembentukan sikap dan perilaku. Asngari 1984 menyebutkan bahwa persepsi individu terhadap lingkungannya merupakan factor penting karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut. Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap objek tertentu. Di dalam proses persepsi, individu dituntut untuk memberikan penilaian terhadap suatu obyek yang dapat bersifat positifnegatif, senang atau tidak senang dan sebagainya. Dengan adanya persepsi maka akan terbentuk sikap, 26 yaitu suatu kecenderungan yang stabil untuk berlaku atau bertindak secara tertentu di dalam situasi yang tertentu pula Polak, 1976. Secara umum persepsi merupakan proses yang terjadi di dalam diri individu yang dimulai dengan diterimanya rangsang, sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh individu sehingga individu dapat mengenali dirinya sendiri dan keadaan di sekitarnya. Persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus oleh organisme atau individu sehingga didapat sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu. Persepsi juga mencakup konteks kehidupan sosial, sehingga dikenallah persepsi sosial. Persepsi sosial merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri seseorang yang bertujuan untuk mengetahui, menginterpretasi, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, baik mengenai sifatnya, kualitasnya, ataupun keadaan lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi sehingga terbentuk gambaran mengenai orang lain sebagai objek persepsi tersebut Lindzey Aronson.

2.5 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kemitraan