5 pembangunan yang berbasis negara menuju ke pembangunan sumber daya
hutan yang berbasis masyarakat community-based forest management.
1.1.2 Perhutani sebagai “Penguasa” Hutan di Jawa
Sejak Indonesia mengambil alih hutan Jawa dari perusahaan kolonial Belanda, Bosch Wezen, Perum Perhutani mengelola hampir seluruh hutan di
Jawa. Lebih dari 90 persen hutan negara di Jawa dikelola Perhutani, dan lebih dari 70 persen diantaranya dikelola sebagai hutan produksi.
Melalui PP 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara, negara menetapkan Perhutani sebagai pengelola wilayah hutan di Jawa.
Perhutani diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip perusahaan dalam wilayah kerjanya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sifat usaha dari Perhutani adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum
dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan dan kelestarian sumber daya hutan.
Perum Perhutani ditetapkan sebagai perusahaan yang mempunyai misi: 1. Menyelenggarakan usaha di bidang kehutanan yang menghasilkan barang
dan jasa yang bermutu tinggi dan memadai guna memenuhi hajat hidup orang banyak dan memupuk keuntungan; 2. Menyelenggarakan pengelolaan hutan
sebagai ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi, bagi
perusahaan dan masyarakat, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional dengan berpedoman kepada rencana pengelolaan hutan yang disusun
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan; 3. Tujuan Perusahaan adalah turut serta membangun ekonomi nasional khususnya
dalam rangka pelaksanaan program pembangunan nasional di bidang kehutanan. Perhutani harus melayani kepentingan umum yang menyangkut hajat
hidup orang banyak, dan memberikan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, budaya dan ekonomi kepada masyarakat di sekitar hutan sebagai bagian
dari warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Antara misi dengan kenyataan yang terjadi di lapangan ternyata berbeda
jauh. Kerusakan hutan di Jawa yang dikelola PT Perhutani, tahun 2001 mencapai 350.000 ha. Lahan kritis di Jawa diperkirakan mencapai 2.481.208 ha
terdiri dari 2.057.903 ha berada di luar kawasan hutan negara dan 423.305 ha
6 berada dalam kawasan hutan negara. Jawa Barat merupakan wilayah yang
paling banyak memiliki lahan dengan kondisi kritis 1,3 juta ha yang berada di kawasan hutan negara seluas 300.000 ha Perhutani 2007.
Total luas hutan di hutan Provinsi Jawa Barat hanya tinggal 816.603
hektar atau sekitar 22,3 persen dari luas Jawa Barat . Idealnya luas hutan yang
ada ini mencapai 30 dari luas daerah Jabar. Lebih dari 100 ribu hektar luas
hutan di Jawa Barat yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jabar dan Baten, kondisinya rusak.
Sebanyak 75.000 dari 758.000 hektare luas lahan milik Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kritis. Sebanyak 20.000 hektare
diantaranya bahkan kondisi ekologinya rusak parah. Menurut data dari Perhutani 2007, kerusakan hutan akibat penjarahan hutan pada awal masa reformasi telah
menyebabkan gundulnya 160.000 hektar lahan di Jawa Barat dan Banten. Sebagain kerusakan telah bisa dipulihkan.
Melihat kondisi hutan di Jawa yang kritis sangat wajar jika banyak pihak yang mempertanyakan bagaimana sebenarnya pengelolaan hutan di Jawa
selama ini. Keberadaan Perum Perhutani sebagai pengelola sebagian besar hutan negara di Jawa dipertanyakan. Perhutani dianggap belum berhasil
mengelola sumberdaya hutan baik dari sisi ekologi, ekonomi, maupun sosial. Terjadinya degradasi hutan dan lahan kritis di Jawa menjadi tanggung jawab
Perhutani. Hubungan antara masyarakat dengan Perhutani dalam pengelolaan
hutan di Jawa mengalami gejolak yang dinamis. Sejak tahun 1970 – 1998 para aktivis terus melakukan kritik atas hegemoni para elit, kolaborasi elit politik telah
membawa negara Indonesia menjadi sebuah hegemoni elitis yang jauh dari pembelaan terhadap kepentingan masyarakat banyak. Beragam usaha bisnis
yang dikuasai oleh pemerintah digunakan untuk kemakmuran pemerintah bukan kemakmuran rakyat. Pengalihan aset sumberdaya alam menjadi milik
pemerintah. Konflik tenurial terus berlangsung di berbagai wilayah. Konflik mencapai
puncaknya pada saat reformasi politik 1997 – 1999 sehingga menghancurkan sistem pengelolaan hutan Perhutani di banyak wilayah. Pengelolaan hutan di
Jawa dalam kondisi kritis karena tekanan masyarakat terhadap hutan dan keterbatasan kemampuan Perhutani baik lembaga maupun personalnya. Ketika
wibawa pemerintah melemah, penyerobotan tanah, penjarahan, pendudukan, pembalakan liar terjadi tanpa mampu dicegah Affianto, 2005.
7 Penebangan ribuan pohon yang terjadi pada era reformasi merupakan
”bom waktu” yang dibuat karena adanya penindasan dan larangan Perhutani terhadap masyarakat untuk mengakses hutan. Pada Tahun 2001 Perhutani
mengalami kerugian milyaran rupiah dalam waktu singkat akibat hilangnya ribuan pohon jati dan kerusakan hutan di kawasan yang melimpah sumber daya
hutannnya. Menghadapi kondisi kritis ini Perhutani masih bekerja seolah-olah tidak ada kejadian luar biasa business as usual Peluso, 2006.
Persoalan akses menjadi awal munculnya gerakan masyarakat hutan desa, karena hutan masih dianggap sebagai warisan leluhur mereka yang harus
mereka kelola dan manfaatkan untuk kepentingan anak cucu mereka. Keberadaan hukum formal dalam mewujudkan keadilan dan kemanfaatan hutan
menjadi tidak berguna lagi. Tindakan-tindakan untuk melawan dominasi perhutani terus berlangsung di beberapa daerah di pulau Jawa, meskipun dari
bentuk yang paling kecil seperti mengirim surat penolakan sampai menganggap bahwa perhutani merupakan perpanjangan kepentingan kolonial. Perlawanan
Serikat Petani Pasundan SPP di kawasan selatan Jawa Barat dengan pengelolaan hutan oleh rakyat dan ternyata hutan di kawasan itu lebih baik
dibandingkan dengan hutan yang dikelola Perhutani. Berbagai bentuk perlawananan masyarakat tidak menjadi koreksi ataupun kritik terhadap
pemerintah malah mereka dianggap sebagai ancaman kedaulatan, dan dikrimiminalkan.
1.1.3 Meningkatnya Kesadaran Perlunya Pelibatan Masyarakat