104 KTH dan LMDH belum sepenuhnya mampu mengakomodasi tokoh masyarakat
lokal yang berpengaruh nyata dalam masyarakat. Oleh karena itu salah satu yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan PHBM adalah adanya
penyesuaian dengan struktur masyarakat lokal. Golongan elite dalam stratifikasi sosial dalam masyarakat adalah sebagai pemegang kendali kepemimpinan.
Pendapat dan keputusan serta tindakan mereka mempunyai akibat yang penting dan menentukan bagi masyarakat
Pembentukan LMDH, KTH selama ini dilakukan oleh para petugas Perhutani belum sepenuhnya mempertimbangkan pentingnya melibatkan
kepemimpinan lokal yang telah mengakar dalam masyarakat desa. Dengan mengakomodasi kepemimpinan lokal akan memudahkan menggerakkan
kelembagaan yang ada untuk mencapai target yang akan dicapai. Pemimpin lokal terbukti efektif menggerakkan aksi kolektif di tingkat masyarakat akar
rumput. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, proses
perkembangan masyarakat desa, digeneralisasi dengan sebuah model yang sama di semua wilayah. Pengaruh dari penerapan model ini tampak bahwa
dimensi legitimasi para pemimpin formal yang lebih dominan, sementara peran dari para pemimpin informal direduksi.
7.7 Konflik Kepentingan Dalam Implementasi PHBM
Nota perjanjian kerja sama yang sudah mengatur semua hal dalam pelaksanaaan PHBM pada kenyataannya tidak selalu dapat dilaksanakan
dengan mulus. Dalam pelaksanaan PHBM di BKPH Parung Panjang masih terjadi berbagai konflik. Konflik yang terjadi bisa bersifat laten dan manifest.
Konflik bisa ditemukan dalam bentuk rumor, perbincangan yang terjadi di kalangan masyarakat, atau ketegangan hubungan antara pengurus LMDH
dengan mandor Perhutani. Pihak-pihak yang sering berkonflik antara lain masyarakat MDH, aparat Perhutani, aparat desa, aparat kecamatan, pihak
kepolisian dan militer, aparat pemda, dan pihak legislatif. Pada negara melekat kekuasaan yang sebenarnya bisa digunakan untuk
merosuli konflik, tetapi justru belum dilakukakannya. Negara memiliki pandangan yang menyesatkan misalnya: 1 menganggap hutan seolah tak berpenghuni 2
melakukan tindakan sepihak atas nama kepentingan umum 3 menempatkan masyarakat yang tinggal di dalam hutan sebagai perambah 4 tidak menghargai
105 kearifan lokal 5 menyederhanakan masalah dengan cara memberikan solusi
serba material atas kerugian yang dirasakan masyarakat Tadjudin, D.2000. Pandangan menyesatkan ini secara langsung telah menempatkan masyarakat
dalam posisi diametral sebagai lawan dari pemerintah. Permasalahan awal yang melatarbelakangi merebaknya konflik
kehutanan berupa benturan paradigma pembangunan, sistem penguasaan tenurial system, alokasi dan manajemen SDH yang banyak persoalan di masa
lalu. Akan tetapi harus disadari bahwa konflik yang sering terjadi tidak berdiri sendiri, karena terkait erat dengan sistem ekonomi dan politik global.
Konflik kepentingan terjadi karena persaingan kepentingan yang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika suatu pihak atau lebih meyakini
bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. Konflik kepentingan ini terjadi karena masalah yang mendasar uang dan sumber
daya, masalah sikap, atau masalah psikologis persepsi, keadilan, rasa hormat. Banyak kasus yang terjadi berkenaan dalam konflik kepentingan, pihak-pihak
yang terlibat mulai terlihat jelas dan cenderung menimbulkan konflik yang terbuka.
Benturan yang paling sering terjadi adalah antara aparat lapangan mandor, dengan MDH saat aparat cenderung menutup-nutupi informasi dengan
berbagai alasan. Contoh di lapangan, masyarakat berkepentingan untuk mendapatkan hak-hak mereka seutuhnya, sebaliknya aparat Perhutani di
lapangan berkepentingan untuk menyelesaikan program tanaman dan pengamanan hutan dengan cepat, efisien. Salah satu bentuknya mandor
mempekerjakan tenaga kerja upahan yang murah dan tidak banyak menuntut atau rewel.
Konflik-konflik yang terjadi di beberapa LMDH di Parung Panjang diantaranya:
1. Konflik pengurus LMDH dengan petugas Perhutani terkait dengan pembagian lahan garapan setelah selesai penebangan. Seringkali pembagian lahan
garapan dilakukan antara mandor dan penggarap secara langsung tanpa musyawarah dengan LMDH.
2. Konflik terkait dengan belum diterimanya bagi hasil setelah penebangan kayu.
106 3. Konflik juga terjadi berkaitan dengan pencurian kayu oleh penggarap di petak
yang dipelihara oleh KTHLMDH. Penyelesaiannya melalui mekanisme internal di LMDH dengan membuat
4. Konflik juga terjadi berawal dari kasus pencurian yang dilakukan oleh oknum pengurus KTHLMDH, atau keluarga dari petugas yang penyelesaiannya
dilakukan melalui jalur hukum. 5. Konflik karena perbedaan persepsi menurut para mandor penggarap belum
mengetahui prinsip PHBM, penggarap maunya bagi hasilnya saja.Sebaliknya petani juga menganggap mandor mau menang sendiri
6. Mengapa kalau mandor yang mengerjakan penanaman dan pemeliharaan yang dapat bagi hasil bukan untuk mandor.
Untuk melakukan pemetaan konflik sosial terkait dengan degradasi lingkungan dan sumber daya alam sedikitnya ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yaitu: 1 faktor-faktor yang determinan mempengaruhi degradasi lingkungan; 2 gerakan-gerakan sosial yang merespon degradasi lingkungan
tersebut dalam bentuk aksi mempengaruhi pelbagai pihak untuk mengubah kebijakan tersebut. Faktor-faktor yang determinan mempengaruhi degradasi
lingkungan dapat diterangkan melalui dua macam penjelasan, yaitu: 1 secara ekologis dan 2 ekonomi politik Usman 2004.
Penjelasan ekologis mengasumsikan bahwa degradasi lingkungan sebagai kondisi buruk ketika terjadi ketidakseimbangan antara supply depot
tempat yang menyediakan kebutuhan hidup dan kehidupan manusia, waste repository tempat pembuangan barang yang dipergunakan oleh manusia dan
living space tempat makhluk mempertahankan hidup dan kehidupan. Dalam konteks ini, supply depot telah berkembang sedemikian rupa sehingga waste
repository mengganggu keberadaan living space. Sementara itu dalam eksplanasi ekonomi politik, degradasi sumber daya alam diasumsikan sebagai
kondisi buruk akibat dari kegiatan ekonomi para pemilik modal. Konflik dan sengketa tenurial dalam kawasan hutan, hak masyarakat
dalam mengakses sumberdaya alam, dan kepemilikan lahan telah mengakibatkan ketegangan dan mengakibatkan peningkatan degradasi hutan.
Konflik-konflik yang terjadi dalam kawasan hutan selama ini terjadi akibat permasalahan-permasalahan pokok yang antara lain karena adanya dualisme
sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut pemerintah dan
107 masyarakat. Secara de jure Kawasan Hutan berada dalam penguasaan Negara,
namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan
interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak.
Aparat Negara mengartikan bahwa kawasan hutan mutlak dalam penguasaan pemerintah jika ada yang memanfaatkan lahan hutan disebut
sebagai penjarah, pencuri, blandong dan lain-lain. Untuk menyelesaikan penjarah akan dilakukan kekerasan untuk mengusirnya. Secara teknis perhutani
memakai standar penanganan represi sebagai upaya untuk mengamankan hutan.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya konflik, antara lain yaitu:1. Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikasi.2.
Perbedaan tujuan karena perbedaan nilai hidup yang dipegang.3. Rebutan dan persaingan sumber daya. 4. Kurang jelasnya wewenang dan tanggung jawab.5.
Penafsiran yang berbeda atas suatu hal, perkara dan peristiwa yang sama. 6. Kurangnya kerjasama.7. Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja.
Adanya klaim hak rakyat terhadap kawasan hutan merupakan indikator bahwa kawasan tersebut sangat rawan konflik. Konflik muncul mulai dari klaim
tanah bahkan sampai konflik pardigma tentang kepemilikan dan pemanfaatan lahan. Masyarakat yang telah lama menempati kawasan merasa hak-hak
tradisional mereka direbut. Dalam menghadapi kondisi masyarakat seperti ini sangat penting adanya pengakuan terhadap hak-hak rakyat. Persepsi tentang
ketidakadilan dapat menjadi sumber berbagai masalah, dari apatisme, konflik, pencurian, dan kekerasan.
Persoalan konflik pengelolaan sumberdaya hutan itu terutama berakar pada dua hal, yaitu: 1 kebijakan eksploitasi sumber daya alam yang
dikembangkan di atas sistem yang mengutamakan konsep milik negara state property dan mengabaikan konsep milik pribadi private property dan milik
komunal communal property, dan 2 penempatan sumberdaya alam sebagai aset ekonomi atau faktor produksi secara berlebihan. Akar persoalan itu lebih
pada tataran struktural, terutama dalam konteks kelembagaan, karena itu resolusi konflik lingkungan dan sumber daya alam harus dibangun dari konteks
struktural pula.
108 Garis besar konflik pengelolaan sumber daya hutan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal Fisfer,dkk, 2000. Konflik vertikal adalah konflik yang melibatkan masyarakat di
sekitar hutan dengan pihak-pihak lain yang dianggap mempunyai otoritas dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pihak-pihak antara lain: Perum Perhutani,
Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, pengusaha kayu, dan aparat keamanan. Sedangkan konflik horisontal adalah konflik yang terjadi
antarkelompok dalam masyarakat sendiri. Konflik ini melibatkan kelompok- kelompok masyarakat atau keluarga-keluarga dalam masyarakat yang memiliki
kepentingan berbeda. Konflik yang terjadi bisa disebabkan konflik nilai dan konflik struktural.
Konflik nilai sering terjadi karena sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya,
menjelaskan yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai memang tidak selalu menimbulkan konflik, sebab manusia dapat saja hidup
berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai akan muncul ketika suatu pihak berusaha untuk memaksakan suatu sistem
nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan di dalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan interpretasi.
Konflik struktural merupakan konflik yang terjadi ketika muncul ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan
berwewenang untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain.
Di sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan struktur kekuasan serta pengambilan keputusan yang
menguntungkan pada salah satu pihak. Kasus konflik struktural dapat dilihat dalam kebijakan pemerintah dalam
pengelolaan sumberdaya hutan. Kebijakan pengelolaan hutan yang selama ini sangat sentralistik tidak pernah sampai kepada level operasional di daerah.
Aparat pemda tidak pernah mengetahui atau terlibat dalam persoalan-persoalan pengelolaan hutan Perum Perhutani. Demikian pula kecamatan, kelurahan dan
aparat keamanan hanya mengetahui permukaannya saja sementara masalah- masalah substansi kebijakan pengelolaan hutan tidak pernah diketahui dengan
jelas.
109 Dalam pola kemitraan usaha perkebunan, berbagai sumber konflik yang
muncul terjadi karena adanya sejumlah ketidakharmonisan, keselarasan, dan ketimpangan atau incompatibilitas. Paling tidak terdapat tiga macam
incompatibilitas, yaitu : 1 ketimpangan dalam struktur pemilikan aset, 2 ketimpangan persepsi dan konsepsi 3 ketimpangan antara apa yang dikatakan
dengan apa yang dilakukan Cristodoulou dalam wiradi 2000. Berbagai program kemitraan usaha perkebunan yang sebagain besar prosesnya menggunakan
pendekatan kekuasaan disertai dengan munculnya konflik. Beberapa kasus konflik seringkali menempati banyak ruang dan untuk
proses pengelolaannya memerlukan pendalaman yang cukup kompleks. Pada bagian lain, konflik dapat bergeser dan berpindah dari ruang yang satu ke ruang
yang lain dengan konsekuensi bahwa konflik akan semakin berat ataupun sebaliknya. Pendekatan manajemen konflik yang dilakukan tidaklah bersifat
terpisah satu dengan lain, namun merupakan inisiatif yang berjalan simultan dan terus-menerus. Manajemen konflik kehutanan bagaimanapun tidak dapat
terlepas dari perkembangan paradigma kehutanan global, ideologi pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan Orstom, 1990.
Konflik bukan merupakan hal yang statis, tetapi dinamis dan mempunyai proses sendiri. Lingkaran konflik terdiri dari hal-hal berikut Hardjana, 1994,
yaitu: 1. Kondisi yang mendahului. Kondisi ini terdiri dari faktor-faktor yang pada
umumnya membawa pada konflik. 2. Kemungkinan konflik yang dilihat. Pada tahap ini satu atau beberapa pihak
yang terlibat melihat kemungkinan adanya konflik di antara mereka 3. Konflik yang dirasa. Pada tahap ini, benturan kepentingan dan kebutuhan
terjadi. Satu pihak atau beberapa pihak yang terlibat melihat keadaan yang tidak memuaskan, menghambat, menakutkan, dan mengancam.
4. Perilaku yang tampak. Pada waktu konflik sudah terjadi orang-orang menanggapi dan mengambil tindakan. Bentuknya dapat secara lisan, seperti
saling mendiamkan, bertengkar, berdebat, atau nyata dalam perbuatan seperti bersaing, bermusuhan, atau menyerang.
5. Konflik ditekan atau dikelola. Pada tahap ini konflik yang sudah terjadi dapat ditekan, artinya konflik ditiadakan. Secara alamiah konflik itu tampak seperti
sudah selesai, meskipun masalah intinya tidak ditangani, dan pihak-pihak yang berkonflik hanya sekedar berdampingan dalam suasana panas itu.
110 6. Sesudah konflik diselesaikan. Bila konflik tidak dikelola dan diselesaikan,
pihak-pihak yang terlihat dalam konflik menanggung segala akibatnya entah bagi diri sendiri, kerja, hubungan, dengan orang lain atau lembaga tempat
orang bekerja. Pengelolaan konflik secara garis besar dapat digolongkan menjadi lima
kelompok, yaitu Hardjana, 1994: 1. Bersaing, bertanding competiting, menguasai dominating atau memaksa
forcing. Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik yang berciri menang-kalah win-lose approach. Pendekatan ini ditempuh jika tujuan
penting, sedangkan hubungan baik dengan orang yang menjadi lawan konflik tidak penting.
2. Kerjasama collaborating atau menghadapi confronting. Dengan cara pengelolaan konflik ini, kedua pihak yang terlibat dalam konflik bekerjasama
dan mencari pemecahan konflik yang memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Cara pengelolaan ini merupakan pendekatan menang-menang win-
win approach. Cara ini ditempuh jika tujuan amat penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga amat penting.
3. Kompromi compromising atau berunding negotiating. Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik tidak ada
yang menang atau kalah neither win-win nor lose-lose approach. Cara ini ditempuh jika tujuan kepentingannya sedang-sedang saja dan hubungan baik
dengan lawan konflik juga sedang-sedang saja kepentingannya. 4. Menghindari avoiding atau menarik diri withdrawal. Cara pengelolaan
konflik menghindari merupakan pendekatan kalah-kalah lose-lose
approach. Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga tidak penting.
5. Menyesuaikan accomodating, memperlunak smoothing atau menurut obliging. Cara pengelolaan menyesuaikan merupakan pendekatan kalah-
menang lose-win approach. Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting, tetapi hubungan dengan lawan konflik penting.
Resolusi konflik dispute resolution merupakan seluruh metode, praktik, dan teknik, resmi ataupun tidak, melalui atau di luar pengadilan, yang digunakan
untuk menyelesaikan konflik miall, dkk, 1993. Secara luas, resolusi konflik dimaksudkan sebagai reduksi nyata dari suatu konflik sosial. Resolusi konflik ini
bisa terjadi melalui usaha atas kesadaran sendiri untuk mencapai kesepakatan,
111 atau bisa juga terjadi akibat berbagai penyebab lain, seperti perubahan
lingkungan, pengaruh pihak ketiga, kemenangan salah satu pihak. Sedangkan secara lebih spesifik, resolusi konflik didefinisikan sebagai reduksi nyata dari
suatu konflik sosial dalam rangka membangun kesadaran dari permasalahan pertikaian issues in dispute.
Sardjono 2004 menawarkan delapan prosedur umum penyelesaian konflik, yaitu:
1. Lumping it, terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan
simply ignored dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan. Prosedur ini dilakukan karena penuntut claimants kekurangan informasi atau akses
terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dan menganggap keberhasilan tuntutan akan rendah danatau biaya yang dikeluarkan untuk itu terlalu besar
atau tidak sebanding dengan pencapaian hasilnya. 2. Avoidance atau exit, yaitu mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya.
Berbeda dengan lumping it yang tetap memelihara hubungan dan mengabaikan konflik. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan
kekuatan yang dimiliki powerlessness salah satu pihak ataupun alasan- alasan biaya sosial, ekonomi, atau psikologi.
3. Coercion, yaitu suatu pihak yang bersengketa menerapkan hasrat pada pihak yang lain. Bisa saja penerapannya dilakukan dengan ancaman atau paksaan,
sebagaimana banyak terjadi di masyarakat. 4. Negotiation, yaitu kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersama-
sama tanpa melibatkan pihak ketiga. Kedua belah pihak tersebut tidak mencari solusi masalah sesuai peraturan yang berlaku, melainkan
menciptakan peraturan diantara mereka sendiri. Pemahaman ini mencakup pemecahan masalah kolaboratif collaborative problem solving dan
negosiasi. 5. Concilliation, yaitu mengajak kedua belah pihak yang bersengketa untuk
bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan. Konsiliator conciliator tidak selalu berperan aktif dalam
negosiasi selanjutnya, meskipun yang bersangkutan dapat saja bertindak demikian dalam kapasiitas tertentu atas permintaan pihak-pihak yang
bertikai.
112 6. Mediation, adalah pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. Mediator bisa ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa atau mewakili otoritas di luar
pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bersengketa menyetujui intervensi mediator tersebut. Praktek ini dikenal luas di masyarakat.
7. Arbitration, bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui
sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga. 8. Adjudication, yaitu adanya intervensi dari pihak ketiga yang memiliki otoritas
untuk mengintervensi persengketaan dan memutuskan perkara. Sistem pengadilan merupakan contoh proses ajudikasi.
Perhutani sebenarnya mempunyai strategi-strategi pengamanan yang beragam seperti : 1 Prioritas preemtif 2 Prosperity approach pendekatan
kesejahteraan, 3.penyediaan lapangan pekerjaan dan peluang usaha bagi masyarakat, 4.kerjasama pengembangan usaha produktif, program kesehatan
masyarakat 5. Education approach pendekatan pendidikan, 6 Pendidikan lingkungan dan manfaat kelestarian hutan, penyuluhan-penyuluhan formal dan
informal, pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan, 7. Participation approach pendekatan partisipatif 8. Peningkatan
peran bersama stake holder pemda, LSM, masyarakat serta penyusunan program PHBM.
Perlu segara dipikirkan kebijakan nasional untuk menyelesaika persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah komunitas atau desa. Sejumlah
masalah yang sangat genting, yaitu: a menurunya kemampuan untuk menjaga keselamatan rakyat, b menurunnya produksi rakyat, dan c menurunnya
kesinambungan layanan alam. Bagaimana agar ada kebijkan yang benar-benar mampu memenuhi syarat-syarat sosial dan ekologis setempat yang mencakup
tiga persoalan utama, yakni keselamatan rakyat, peningkatan produktivitas, dan kelangsungan pelayanan alam Karsa, 2002.
7.8 Ikhtisar