Ikhtisar KEMITRAAN DENGAN POLA PHBM BELUM MEMBERDAYAKAN RAKYAT

151 oleh masyarakat yang berdaya. Dengan demikian sosial forestri adalah upaya membuat masyarakat disekitar hutan berdaya. Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian sosial forestri perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Hutan kemasyaraktan adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat Dalam demokrasi harus diwujudkan partisipasi dan emansipasi ekonomi. Sistem ekonomi model “majikan-buruh” harus ditinggalkan, sperti hubungan antara inti dan plasma dalam PIR Perkubunan inti rakyat haruslah berupa hubungan participatory-emancipatory , bukan hubungan subordinasi yang diskriminatif yang menumbuhkan ketergantungan pihak plasma rakyat kiepada majikan inti. Prinsip triple-co yaitu co-ownership, co-determination, co- responsibility. Prinsip keterbawasertaan partisipasi dan emansipasi pembangunan selama ini belum bias diwujudkan. Kemajuan ekonomi rakyat haruslah inheren dengan kemajuan pembangunan nasional seluruhnya. Tidak boleh terjadi marjinalisasi, penyingkiran terhadap rakya miskin dan lemah. Rakyat yang berada di bawah harus terangkat dan terbawa serta dalam pembangunan Swasono 2009.

8.7 Ikhtisar

Keragaan PHBM yang dilaksanakan di Perhutani BKPH Parung Panjang lebih dominan pada aspek ekonomi. Dilihat dari indikator lingkungan, Acasia mangium yang ditanam secara monokultur berdampak kepada menurunnya biodiversitas flora dan fauna. Dampak lainnya adalah berkurangnya sumber air, sumber air setelah kemarau satu bulan sudah kering, tetapi ketika musim hujan air meluber-luber. Prinsip keadilan dalam pelaksanaan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang juga belum terwujud. Perhutani menganggap PHBM sudah memberi porsi kepada masyarakat melalui sistem bagi hasil. Program ini merupakan variasi bentuk program pengamanan yang dilaksanakan Perhutani. Faktor keamanan hutan menjadi prioritas utama. pendekatan keamanan yang dilakukan lebih halus yaitu: tindakan persuasif dan represif. Tindakan dilakukan berfokus pada mengamankan tanaman pokok dengan memanfaatkan kelembagaan yang sengaja dibentuk untuk pelaksanaan program. 152 Konflik-konflik tenurial dalam kawasan hutan terjadi akibat adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam Undang- Undang Pokok Agraria dan sistem pertanahan yang diatur dalam Undang- Undang Kehutanan. Konflik tenurial yang terjadi di Indonesiaberawal dari warisan kebijakan kolonial di masa Hindia Belanda yang kemudian berlanjut hingga kini. Hukum di Indonesia tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam kawasan hutan negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam Pasal 33 UUD 1945. Masalah pokok yang dihadapi petani adalah kecilnya aset atau sulitnya akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah. Padahal banyak fakta di lapangan menunjukkan bahwa hutan yang dikelola rakyat lebih baik kondisi hutan yang dikelola pemerintah atauPerhutani. Reforma agraria merupakan salah satu alternatif solusi yang bisa dipilih untuk realisasi pemerataan pengelolaan sumberdaya agraria. Kebijakan hutan kemasyarakatan harus mempertimbangkan pelaku utama yang paling berperan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan yaitu masyarakat dan Perum Perhutani. Faktor terpenting yang menjadi prioritas utama dalam pengelolaan hutan kemasyarakat adalah kebijakan dan kelembagaan. Strategi yang dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat. Pertimbangan utama dalam strategi adalah pendapatan masyarakat. Strategi penting lainnya yaitu mengurangi konflik. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di wilayah Perhutani BKPH Parung Panjang adalah penguatan kelembagaan dan akses terhadap sumberdaya hutan. 153

BAB IX PENGELOLAAN HUTAN YANG MEMIHAK RAKYAT