Tekanan Penduduk Terhadap Hutan di Jawa

47 Aktivitas ekonomi masyarakat yang dilakukan adalah kerajinan kulit kayu. Kerajinan kulit kayu bisa dikembangkan di wilayah ini karena bahan bakunya tersedia. Kulit kayu berasal dari TPN tempat penimbunan kayu terletak di jalan utama Tenjo – Parung Panjang yang melintasi Desa Babakan. Produk kerajinan yang dihasilkan adalah pot bunga plastik, atau keranjang. Produk kerajinan kulit kayu ini sebenarnya mempunyai pasar yang baik. Biasanya mereka berproduksi berdasarkan pesanan dari para pedagang di luar kota. Kegiatan usaha ini kurang bisa berkembang karena keterbatasan modal dan akses terhadap pasar. Selain perekonomian penduduk yang bersifat subsisten terdapat juga perekonomian yang sudah berorientasi pasar. Usaha peternakan ayam yang terdapat di desa-desa Kecamatan Tenjo. Peternakan yang ada bukan milik penduduk setempat, melainkan bentuk kerja sama antar penduduk setempat dengan para pemodal dari luar desa. Pemodal menyediakan bibit, pakan, dan pasar, sementara penduduk menyediakan tempat dan tenaga kerja. Sistem pengelolaan peternakan dengan menggunakan sistem inti plasma.

4.3 Tekanan Penduduk Terhadap Hutan di Jawa

Pertambahan jumlah penduduk yang makin meningkat di Jawa tanpa diikuti ketersediaan lahan merupakan salah satu faktor yang mengancam sumber daya alam. Tekanan penduduk terhadap lahan yang berlebihan menyebabkan dilampauinya daya dukung lingkungan sehingga terjadi degradasi lingkungan. Oleh karena itu tekanan penduduk terhadap sumber daya alam yang berlebihan harus ada alternatif pemecahan masalahnya. Pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara . Luas Pulau Jawa hanya 6,9 persen luas daratan seluruh Indonesia, tetapi dihuni oleh 60 persen dari penduduk Indonesia. Menurut Bakosurtanal, luas Pulau Jawa adalah 132.187 km persegi dan luas total daratan Indonesia adalah 1.919.443 km persegi. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa ini sebenarnya sudah terjadi sejak Gubernur Jenderal Thomas Raffles 1820-1830 dalam tulisannya pada 1826, The History of Java, Volume I, yang mengatakan bahwa 60 persen penduduk Indonesia hidup di Pulau Jawa yang merupakan 6,95 persen dari luas daratan Indonesia. Rasio ini tidak berubah sejak tahun 1920 ketika penduduk Pulau Jawa hanya 34,4 juta, yang kemudian berkembang menjadi 41,7 juta 1930, 48,4 juta 1940, dan 60 juta 1950 Rais,2008. 48 Menurut Simon 2006, Jawa merupakan salah satu daerah yang cukup luas dengan kepadatan tertinggi di dunia. Tanda-tanda akan munculnya masalah kepadatan di Jawa sebenarnya telah nampak pada awal abad ke 19. Menurut White 1981 dalam Simon, 2006, pertumbuhan penduduk di Jawa sudah merupakan masalah yang selalu diperhatikan sejak awal masa kolonial. Angka tentang jumlah penduduk di Jawa pertama kali diperoleh dari hasil sensus penduduk tahun 1930. Beberapa penulis telah menyebut jumlah penduduk di pulau Jawa sebelum tahun 1930, yang angkanya sebagaimana dikutip Simon 2006. Tabel 9 Pertambahan Penduduk di Jawa Tahun 1930 sd 2010 Tahun Jumlah Penduduk juta jiwa Kepadatan Penduduk jiwa km 2 Sumber Data 1930 41,7 309 BPS 1946 50,0 378 Pelzer 1961 63,0 477 BPS 1971 76,1 576 BPS 1980 91,3 698 BPS 1985 99,9 757 BPS 1990 107,6 843 BPS 1995 114,7 889 BPS 2000 121,3 919 BPS 2010 128,5 973 BPS Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007;Simon,2006 Saat ini diperkiraan penduduk pulau Jawa termasuk pulau Madura sudah lebih dari 128 juta orang. Jumlah penduduk di pulau Jawa telah meningkat lebih dari 3 kali lipat sejak tahun 1930. Dengan luas wilayah pulau jawa yang relatif tetap, maka berarti kepadatan penduduk di Jawa telah meningkat 3 kali lipat pula dibandingkan tahun 1930. Bila kita menggunakan data kependudukan pada tahun 2005 sebagaimana dalam tabel, maka saat ini kepadatan penduduk di Jawa sekitar 973 orang per km Kepadatan penduduk di wilayah pertanian adalah ciri karakteristik pedesaan di Jawa. Tetapi kepadatan ini hanya fenomena lokal, di luar kantong- kantong konsentrasi penduduk terdapat wilayah yang luas tanpa pemilik Palte, 1989. 2. 49 Tabel 10 Kepadatan Penduduk jiwakm 2 menurut Provinsi di Pulau Jawa Provinsi Sensus Tahun 1971 1980 1990 2000 2010 DKI Jakarta 7.762 9.794 12.439 12.592 14.440 Jawa Barat 467 794 1.023 1.033 1.126 Jawa Tengah 640 780 876 959 995 DI Yogyakarta 785 863 914 980 1.099 Jawa Timur 532 609 678 726 862 Banten - - - 936 1.044 Sumber: BPS, 1971; 1980; 1990; 2000,;2010 Pertambahan penduduk yang cepat di pulau Jawa menurut Simon 2006 didorong oleh kondisi iklim dan geologi yang sangat cocok untuk pengembangan pertanian, khususnya bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi di daerah lembah yang subur tanahnya. Hal ini juga disampaikan oleh Palte 1989 bahwa tempat-tempat yang terdapat konsentrasi penduduk di awal abad 19 ditemukan di beberapa lokasi terbatas, dimana padi sawah berhasil dibudidayakan dengan sedikit upaya. Kepadatan penduduk yang tinggi dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Menurut Palte 1989, kombinasi antara kepadatan penduduk yang sedemikian tinggi dengan sebuah tipe pertanian yang umumnya berskala kecil menghasilkan tekanan yang tinggi pula terhadap sumberdaya pertanian. Menurut Simon 2006 pertambahan penduduk di Jawa merupakan kunci dalam pembangunan di Indonesia, karena jumlahnya yang besar sehingga menimbulkan berbagai permasalahan seperti migrasi, urbanisasi, dan pengangguran. Pertumbuhan populasi yang terus menerus di daerah pedesaan akan mengarah pada peningkatan tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam karena sumberdaya alam terbatas dan tidak ada perubahan mendasar dari teknologi dan organisasi dalam pemanfaatan sumber daya alam ini. Pada akhirnya daya dukung wilayah menjadi rentan, memaksa penduduk untuk bertindak mencegah kerusakan sumberdaya tersebut. Daya dukung bukan satu-satunya faktor penting yang diperhatikan berkaitan dengan tekanan penduduk. Hal yang sama pentingnya adalah 50 hubungan eksternal dan ekonomi politik internal. Melalui hubungan eksternalnya penduduk pedesaan dapat memasukkan tenaga kerja ke wilayahnya. Atau sebaliknya populasi dapat dibebaskan oleh yang lain dari pemanfaatan penuh terhadap sumberdayanya, contohnya ketika penduduk menjadi korban subordinasi seperti kolonialisasi. Hal ini yang terjadi di pedesaan Jawa. Struktur ekonomi politik internal dari masyarakat menentukan alokasi sumberdaya di antara penduduk. Alokasi sumberdaya ini dapat terjadi secara merata dapat pula tidak. Bila alokasi tidak merata, tekanan populasi tidak hanya berarti kekurangan sumberdaya secara absolut, tetapi lebih kepada konsekuensi dari diferensiasi akses terhadap sumberdaya. Situasi ini yang menurut White dalam Palte, 1989 dapat dikatakan sebagai tekanan penduduk terhadap penduduk seringkali menjadi karakteristik masyarakat petani kecil. Hal ini sejalan pula dengan yang dijelaskan oleh Rajagukguk 1995 bahwa pertumbuhan penduduk dan polarisasi yang terus meningkat antara mereka yang kaya dan miskin di pedesaan menimbulkan semakin berkembangnya perbedaan dalam pemilikan tanah dan penyusutan luas tanah yang dimiliki. Perluasan tempat pemukiman dan lahan pertanian ke kawasan hutan di pulau Jawa dapat telah diberhentikan dengan diberlakukannhya Domeinverklaring pada tahun 1870. Dengan asumsi bahwa luas lahan pertanian sudah tetap sejak saat itu, maka perubahan rasio lahan pertanianorang dapat dihitung dengan menggunakan angka pertambahan penduduk. Luas lahan pertanian di pulau Jawa yang diperoleh dari sensus pertanian tahun 1981 adalah 6.685.173 ha sawah dan tegalan. Berdasarkan perhitungan maka diperoleh perkiraan angka rasio luas lahan pertanian kepala keluarga adalah 2.97 hakk pada tahun 1860. Rasio tersebut semakin menurun sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk sehingga menjadi 0.91 hakk pada tahun 1930, menjadi 0.56 hakk pada tahun 1980 dan 0.41 hakk pada tahun 2005 Simon, 2006. Rasio ini mungkin menjadi semakin kecil mengingat pertambahan penduduk juga membawa konsekuensi terhadap konversi lahan pertanian untuk kepentingan lain. Sebagian besar penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar hutan adalah masyarakat petani yang kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya hutan. Mereka membuka ladang, menebang kayu, mengumpulkan kayu bakar, mencari rumput atau menggembalakan ternak di kawasan hutan. Hutan di pulau Jawa yang telah mengalami eksploitasi selama ratusan tahun untuk kepentingan 51 negara penguasa menjadi semakin kritis karena tekanan penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Tekanan struktural dalam sektor pertanian sebagai akibat dari pemecahan tanah dan tekanan penduduk di pulau Jawa telah menyebabkan sebagian petani yang tidak mempunyai tanah dan para petani yang mempunyai tanah sempit beralih ke sektor bukan pertanian. Perpindahan tersebut bukan disebabkan kondisi-kondisi yang lebih baik di sektor non pertanian, tetapi agaknya karena pertanian tidak lagi memberi pendapatan yang cukup bagi mereka Rajagukguk, 1995. Dari rasio penduduk terhadap ketersediaan lahan yang makin kecil, Pulau Jawa sampai tahun 2020 akan terus-menerus menghadapi degradasi lingkungan. Akan terjadi ketidakseimbangan hidrologis keterbatasan tersedianya air, banjir, longsor, lingkungan hidup makin kumuh di bantaran-bantaran sungai, pantai, dan urbanisasi semakin meningkat merupakan dampak yang timbul karena kehidupan di tanah-tanah pertanian tidak memberi harapan yang baik. Konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian perumahan, industri, pusat-pusat jasa terus berlanjut, meningkatnya konsumsi pangan dengan pertambahan penduduk, sedangkan luas lahan pertanian tidak berubah, malah berkurang. Dampak lain adalah meningkatnya aspek sampingan dari kepadatan dan kemiskinan penduduk, seperti kesehatan, kriminalitas, dan pengangguran Rais, 2008. Penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya hutan dapat saja dikatakan sebagai akibat dari perilaku masyarakat yang secara nyata menekan kawasan hutan untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi bila dikaji lebih jauh, masalah ini menurut Scott 1993, 2000 lebih merupakan hasil dari interaksi kebijakan negara sebagai penguasa kawasan hutan dengan strategi subsistensi masyarakat petani yang tinggal di desa-desa sekitar hutan. Kebijakan yang kurang sesuai dan tidak mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sekitar hutan bahkan dapat membuat keadaan semakin memburuk. Dapat pula dikatakan bahwa krisis yang terjadi pada sumber daya hutan pada dasarnya bersumber dari ketidaksesuaian institusi yang digunakan negara dalam kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan hutan, khususnya sistem pengaturan penguasaan dan manajemen pemanfaatan sumber daya hutan Peluso, 2006; Simon, 2006. 52

4.4 Ikhtisar