Kurangnya Akomodasi Kepemimpinan Lokal

102 partisipasi dalam pembangunan hutan untuk semua lokasi, ternyata mempunyai hubungan yang erat, semakin kuat dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi dalam pembangunan makin tinggi intensitas partisipasinya. lmplikasinya bila penduduk diberikan banyak kesempatan, ditingkatkan kemampuannya dengan cara memberikan peluang untuk mendapat lebih banyak pengalaman dan dimotivasi kemauannya untuk berpartisipasi maka intensitas partisipasinya dalam pembangunan hutan akan meningkat. Kesempatan untuk berpartisipasi hendaknya tidak hanya diberikan pada waktu pelaksanaannya saja tetapi juga mulai dari pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian dan distribusi hasilnya. Sedangkan faktor yang mempersulit partisipasi masyarakat menurut Hollsteiner 1982 ada : 1. Ahli-ahli dari golongan elit sering menganggap diri mereka paling tahu dan merasa harus menggurui mereka. 2. Rakyat sendiri yang belum terbiasa dengan hidup modern. 3 Ada kontradiksi antara usaha mengembalikan partisipasi dengan usaha mencapai target-target secepatnya.

7.6 Kurangnya Akomodasi Kepemimpinan Lokal

Kepemimpinan atau leadership merupakan proses mempengaruhi perilaku orang lain agar berperilaku seperti dikehendaki. Aktivitas dan proses- proses dinamis yang terjadi dalam suatu kelompok memerlukan adanya kepemimpinan yang memandu agar aktivitas itu menuju ke arah tujuan organisasi. Kepemimpinan merupakan seni mempengaruhi orang lain melalui persuasi dan merupakan perwujudan struktur. Menurut Gari 1989, kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dan menetukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Aktivitas petani dalam kelompok tani pada pelaksanaan program PHBM sangat dipengaruhi kepemimpinan dari para pengurus KTH dan LMDH. Keberhasilan program PHBM berkaitan dengan kuat tidaknya kepemimpinan dalam kelompok. Pemimpin mempunyai pengaruh kepada masyarakat desa dalam implementasi program di lapangan. 103 Di setiap desa ditemukan adanya pemimpin formal dan pemimpin nonformal. Perangkat desa, ketua LMDH, dan ketua KTH merupakan pemimpin formal yang secara resmi bertugas mengelola berbagai program pengembangan masyarakat. Sedangkan pemimpin nonformal seperti para kiai, ustad, sesepuh mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Dalam proses interaksi manusia seiring dengan perkembangan sistem organisasi pemerintahan telah memunculkan adanya organisasi formal dan informal yang juga mengakibatkan adanya kepemimpinan formal dan informal. Pemimpin formal ialah orang yang oleh institusi tertentu ditunjuk sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran organisasi Kartono,1994. Pemimpin informal ialah orang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai pemimpin, namun karena ia memiliki sejumlah kualitas unggul, dia mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat. Corak kepemimpinan di pedesaan dapat dikategorikan dalam dua sifat yaitu monomorphic hanya berpengaruh dalam satu bidang dan polymorphic berpengaruh dalam banyak bidang. Di pedesaan saat ini para pemimpin formal perangkat desa lebih banyak menyandang kepemimpinan yang bersifat polymorphic berperan dalam segala bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Sedangkan para pemimpin informal lebih banyak menyandang kepemimpinan yang bersifat monomorphic dimana umumnya berkonsentrasi pada bidang keagamaan saja. Dalam kepemimpinan lokal, ternyata tidak semua pengurus LMDH mampu menggerakkan seluruh anggota. Pengaruh dari ketua KTH lebih kuat dibandingkan ketua LMDH yang strukturnya berada di atas KTH karena KTH lebih dahulu berdiri sebelum LMDH terbentuk. Pemimpin nonformal seperti sesepuh, kiai mempunyai pengaruh yang besar dan menjadi panutan warga masyarakat. Sebaliknya pengurus LMDH yang secara formal menjadi pengurus malahan tidak sepenuhnya bisa menggerakkan masyarakat untuk pengelolaan hutan yang lestari. Kepemimpinan lokal dalam implemetasi PHBM seharusnya dapat terakomodasi menyesuaiakan dengan struktur masyarakat dan stratifikasi sosial masyarakat. Struktur kepengurusan yang dibentuk dalam program PHBM berupa 104 KTH dan LMDH belum sepenuhnya mampu mengakomodasi tokoh masyarakat lokal yang berpengaruh nyata dalam masyarakat. Oleh karena itu salah satu yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan PHBM adalah adanya penyesuaian dengan struktur masyarakat lokal. Golongan elite dalam stratifikasi sosial dalam masyarakat adalah sebagai pemegang kendali kepemimpinan. Pendapat dan keputusan serta tindakan mereka mempunyai akibat yang penting dan menentukan bagi masyarakat Pembentukan LMDH, KTH selama ini dilakukan oleh para petugas Perhutani belum sepenuhnya mempertimbangkan pentingnya melibatkan kepemimpinan lokal yang telah mengakar dalam masyarakat desa. Dengan mengakomodasi kepemimpinan lokal akan memudahkan menggerakkan kelembagaan yang ada untuk mencapai target yang akan dicapai. Pemimpin lokal terbukti efektif menggerakkan aksi kolektif di tingkat masyarakat akar rumput. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, proses perkembangan masyarakat desa, digeneralisasi dengan sebuah model yang sama di semua wilayah. Pengaruh dari penerapan model ini tampak bahwa dimensi legitimasi para pemimpin formal yang lebih dominan, sementara peran dari para pemimpin informal direduksi.

7.7 Konflik Kepentingan Dalam Implementasi PHBM