59 pengelolaan dan pelestarian hutan kurang melibatkan partisipasi rakyat.
Kalangan LSM menganggap bahwa Perhutani selayaknya direorganisasi, peran serta masyarakat diperluas, sehingga hutan dapat berkontribusi bagi seluruh
rakyat khususnya bagi masyarakat sekitar hutan.Kompas 2008.
5.3 Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM
Perum Perhutani sebagai BUMN mendapatkan mandat untuk mengelola hutan negara dituntut untuk memberikan perhatian kepada masalah sosial
ekonomi masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Interaksi antara masyarakat dengan hutan tidak mungkin dapat dipisahkan. Oleh
karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem hutan dan peduli dengan masyarakat
miskin di sekitar hutan. Dengan mencermati perjalanan sejarah dan kondisi sosial politik yang
terjadi, pengelolaan hutan oleh Perhutani juga mengalami perubahan dan reformasi di sector kehutanan. Dengan menguatnya power masyarakat, Perum
Perhutani mau tidak mau harus mempertimbangakn keberadaan masyarakat sekitar hutan. Salah satu program untuk mengakomodasi kepentingan rakyat
adalah pengelolaan hutan kemitraan dalam bentuk PHBM. Munculnya PHBM merupakan wujud dari adanya kesadaran tentang pentingnya melibatkan rakyat.
Mengelola hutan tidak lagi dapat dilakukan dengan mengabaikan rakyat. Pendekatan yang menekankan pada aspek keamanan tidak dapat dipertahankan
lagi. PHBM mencoba meninggalkan pola lama yang memandang masyarakat
sebagai musuh kehutanan. Anggapan masyarakat yang memandang hutan itu milik Perhutani sehingga rakyat tidak merasa ikut memiliki, sudah saatnya diubah
total di mana hutan itu dikelola bersama-sama Perhutani dan masyarakat dengan dasar menguntungkan kedua belah pihak secara optimal. Dalam sistem PHBM
ini, pertanian bukan cuma bersifat subsisten yaitu hanya untuk dipakai petani sendiri seperti masa lalu, tetapi bisa juga diarahkan bersifat komersial.
Sistem PHBM ini dilaksanakan dengan jiwa bersama, berdaya, dan berbagi yang meliputi pemanfaatan lahan, waktu, dan hasil dalam pengelolaan
sumber daya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, memperkuat dan mendukung serta kesadaran akan tanggung jawab sosial. Sampai dengan tahun
ke-6 pelaksanaan PHBM disadari bahwa masih ditemukan berbagai kendala dan
60 permasalahan, maka pada tahun 2007 disempurnakan kembali dalam PHBM
Plus. Dengan PHBM Plus diharapkan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa akan lebih fleksibel, akomodatif, partisipatif, dan dengan
kesadaran tanggung jawab sosial yang tinggi, sehingga mampu memberikan kontribusi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia IPM menuju masyarakat
desa hutan mandiri dan hutan lestari. PHBM dilaksanakan dengan prinsip-prinsip :
a. Perubahan pola pikir pada semua jajaran Perhutani dari birokratis, sentralistik, kaku dan ditakuti menjadi fasilitator, fleksibel, akomodatif dan dicintai.
b. Perencanaan partisipatif dan fleksibel sesuai dengan karakteristik wilayah. c. Fleksibel, akomodatif, partisipatif, dan kesadaran akan tanggung jawab sosial.
d. Keterbukaan, kebersamaan, saling memahami, dan pembelajaran bersama. e. Bersinergi dan terintegrasi dengan program-program Pemerintah Daerah.
f. Pendekatan dan kerjasama kelembagaan dengan hak , kewajiban yang jelas
oject g. Peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan.
h. Pemberdayaan masyarakat desa hutan secara berkesinambungan. i. Mengembangkan dan meningkatkan usaha produktif menuju masyarakat
mandiri dan hutan lestari. j. Supervisi, monitoring, evaluasi dan pelaporan bersama para pihak.
Program pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini telah diawali oleh berbagai kegiatan sebelumnya yaitu : Program Perhutanan Sosial, Agroforestry,
Sylvofishery, PMDH Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan, PMDH-T Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu. Implementasi program
dilaksanakan pada kegiatan tumpangsari, insus tumpangsari, penanaman di bawah tegakan, perhutanan sosial, pembangunan sarana dan prasarana.
Kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat ini berkembang dan mengalami penyempurnaan menyesuaikan perkembangan kondisi kawasan dan
masyarakat desa hutan MDH sehingga saat ini dilakukan dengan pendekatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan sistem PHBM.
Melalui program PHBM, rakyat diberikan kepercayaan untuk dapat menggarap lahan andil untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di samping itu
dengan PHBM rakyat akan mendapatkan bagi hasil dari kayu. Tidak kurang dari 5.552 desa hutan berada di sekitar kawasan hutan Perum Perhutani, sebagai
bagian dari komitmen dan tanggung jawab perusahaan terhadap masalah sosial
61 corporate social responsibility. Sistem yang berlangsung sejak tahun 2001
tersebut, sampai dengan tahun 2008 telah melibatkan kerjasama dengan 5.165 desa hutan atau sekitar 95 persen dari total desa hutan di Pulau Jawa dan
Madura. Masyarakat juga memperoleh manfaat dari kegiatan bagi hasil produksi
hutan berupa kayu dan nonkayu. Sampai dengan tahun 2008, nilai bagi hasil produksi kayu dan nonkayu yang diterima LMDH adalah Rp127,759 milyar, tidak
termasuk hasil produksi tanaman pangan dari kegiatan tumpangsari hutan sebesar Rp 5,83 triliun per tahun.
Program PHBM secara yuridis tertuang dalam Surat Keputusan Direktur Utama Perum Perhutani Nomor 136KPTSDIR2001 tentang Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat PHBM. Kegiatan PHBM meliputi beberapa tahap kegiatan yaitu: 1 sosialisasi, 2
dialog, 3 kelembagaanpembentukan KTH, 4 negosiasi, 5 perjanjian kerjasama dan 6
pelaksanaan. Tahap sosialisasi dilakukan sebagai upaya pendekatan kepada
masyarakat tentang hutan, kehutanan, dan penjelasan program-program PHBM kepada masyarakat dan jajaran petugas Perum Perhutani. Sosialisasi ini
dilakukan oleh tim PHBM beranggotakan petugas dari KPH, BKPH maupun TPM tenaga pendamping masyarakat yaitu LSM pendamping. Kegiatan ini
memanfaatkan kegiatan rutin desa seperti pengajian, majelis taklim. Dialog dilaksanakan untuk membicarakan hal-hal yang mengarah pada
kerjasama mengelola hutan antara pihak Perum Perhutani dan masyarakat. Pembicaraan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang pengelolaan
PHBM dan mendesain teknis pelaksanaan PHBM. Dalam tahap ini terjadi proses tawar menawar pendahuluan dalam pelaksanaan PHBM yang masing-masing
berusaha mengakomodasi kebutuhannya Perhutani dan masyarakat. Pada tahap dialog ini, masyarakat diwakili oleh para pemimpin lokal.
Pembentukan kelembagaan adalah pembentukan organisasi Kelompok Tani Hutan KTH sebagai wadah kegiatan masyarakat desa hutan terkait
dengan pengelolaan kawasan hutan. Struktur organisasi pada prinsipnya terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi keamanan. Pengurus
biasanya adalah orang-orang yang dipandang sebagai tokoh masyarakat pemimpin nonformal. Organisasi ini dibentuk disaksikan para pemimpin formal,
nonformal baik dari pemerintah desa, Perum Perhutani maupun masyarakat.
62 Setelah lembaga dibentuk selanjutnya KTH membentuk AD ART, menyusun
ketentuan-ketentuan yang merupakan hak dan kewajiban pengurus anggota. Negosiasi merupakan proses tawar menawar tentang lokasi kawasan dan
ketentuan ketentuan pengaturan pengelolaan dan bagi hasil. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan dialog. Dalam negosiasi ini dihasilkan
kesepakatan antara pihak masyarakat dan Perum Perhutani. Perjanjian kerjasama merupakan ketentuan yang mengikat pihak MDH dan Perum
Perhutani secara tertulis dan berkekuatan hukum. Perjanjian kerjasama ini merupakan naskah tertulis dan berkekuatan hukum tentang hasil negosiasi.
Penandatanganan naskah ini dihadiri oleh masyarakat pemimpin nonformal, pengurus KTH, Perum Perhutani dan Pemerintah Desa serta LSM Pendamping
disaksikan oleh pejabat notaris. Pelaksanaan PHBM dilakukan dengan proses penyiapan lahan,
penanaman, pemeliharaan, pemanfaatan hasil, peliharaan keamanan, dan monitoring evaluasi. Pelaksanaan PHBM ini dilakukan oleh masyarakat dan
Perum Perhutani sesuai hak dan kewajiban dalam naskah perjanjian. Dalam pelaksanaan ini masyarakat sebagai pelaksana dan Perum Perhutani sebagai
regulator. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masyarakat belum sepenuhnya dapat memerankan sebagai operator, penanaman tanaman pokok
masih dilakukan bersama dengan mandor. Program PHBM ini disosialisasikan oleh Tim PHBM yang terdiri dari
bagian pembinaan masyarakat desa hutan KPH, KBKPH, KRPH, dan mandor. Ujung tombak utama pelaksanaan PHBM di lapangan adalah para mandor. Para
mandor ini pada umumnya mempunyai pendidikan rendah. Para mandor adalah anggota masyarakat desa sekitar hutan yang semula merupakan tenaga upahan
harian baik pada kegiatan persemaian, penanaman, pemeliharaan, dan penebangan. karena pengabdiannya, mereka diangkat menjadi mandor, sebagai
pegawai perusahaan. Sosialisasi tentang PHBM ini terus menerus dilakukan baik kepada masyarakat maupun jajaran Perum Perhutani melalui berbagai kegiatan
pelatihan dan pembinaan di forum resmi dan forum tidak resmi. Dalam pelaksanaan kegiatan PHBM, dimulai dari penyiapan lahan,
penanaman, pemeliharaan, dan penjarangan, tebangan, dan keamanan hutan. Perum Perhutani menentukan pola tanam, pemeliharaan tanaman, penjarangan,
dan penebangan. Ketentuan Penanaman adalah sebagai berikut : a.tanaman pokok b.tanaman pengisi c. tanaman pertanian: palawija padi huma,ubi
63 jalar,ubi kayu,kacang tana. Jarak tanaman pokok dan pengisi 3 x 2 m, dengan
tanaman pertanian berjarak 25 cm dari tanaman pokok. Kerjasama ini dituangkan dalam bentuk naskah kerja sama yang
ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama. Kerjasama ini ditinjau dan dievaluasi setiap 2 dua tahun. Kerjasama dapat dilanjutkan apabila tanaman kehutanan
yang tumbuh lebih dari 80. Apabila kurang dari 80 akan diberikan teguran sampai dengan konsekuensi batalnya perjanjian kerja sama.
Hak dan kewajiban Perum Perhutani sebagai berikut : a.Menentukan pola tanam, pemeliharaan tanaman, penjarangan, dan tebangan.
b.Bersama dengan MDH menentukan jenis tanaman pertanian dan kehutanan. c. Mencabut hak garapan bila terjadi pelanggaran perjanjian.
d. Menyediakan semua bibit tanaman pokok dan tanaman pengisi e.Memberikan bimbingan teknis
f. Mengupayakan peningkatan SDM dalam bentuk pembinaan kelompok g. Menyampaikan rencana kegiatan secara transparan
h. Melakukan perencanaan, pengelolaan, evaluasi, monitoring dan pengalaman bersama dengan MDH
i. Mengawasi proses kegiatan penanaman di lapangan Hak dan kewajiban MDH adalah sebagai berikut :
a. Menggarap lahan b. Memperoleh bagi hasil
c. Memanen dari hasil tanaman pertanian d. Menjaga dan memelihara keamanan hutan dilokasi perjanjian dan sekitarnya
e. Aktif mencegah upaya pihak lain yang mengganggu keamanan hutan f. Aktif dalam perencanaan, pengelolaan, evaluasi, monitoring dan pengamanan
hutan. Pada umumnya masyarakat yang telah menjadi anggota KTH mempunyai
rasa memiliki terhadap kawasan hutan karena mereka merasa memiliki tanaman aset yang harus dijaga. Sejak diluncurkan sistem PHBM, luas kawasan yang
dikelola dengan sistem ini meningkat dari tahun ke tahun. Pengurus KTH dan LMDH adalah orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat yang bisa
menggerakkan masyarakat setempat. Kegiatan lain yang dilakukan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan
lestari yaitu : Pelatihan kader penyuluh tingkat mandor, dibentuknya KTH dan
64 Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH tingkat desa, Kegiatan Lembaga
Pendamping PHBM LP-PHBM dalam pembinaan KTH dan LMDH. 5.4 Kritik terhadap Program PHBM
Sebagai kebijakan yang generik, pelaksanaan PHBM di lapangan masih banyak kekurangan dan belum bisa mencapai tujuan program yang diharapkan.
Berbagai kritik dan tanggapan disampaikan sehubungan dengan munculnya berbagai permasalahan yang terjadi di dalam pelaksanaan. Permasalahan yang
terjadi di satu wilayah dengan wilayah lain tidak sama bergantung masalah yang spesifik di lokasi masing-masing.
Pembentukan LMDH proses atau tahapannya dilaksanakan secara cepat seperti mengejar target, sehingga menyebabkan kepengurusan LMDH menjadi
kurang maksimal. Posisi LMDH yang dibentuk melalui proses jalan pintas atau instan, seringkali tidak secara kuat mewakili kepentingan kelompok akar rumput.
Faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan PHBM kurangnya pemahaman masyarakat atas program PHBM karena kurangnya sosialisasi, tanah lahan
garapan yang kurang subur yang memerlukan biaya yang cukup besar dalam pengelolaanya tidak sebanding dengan hasil panen yang didapatkan Nugroho
2004. Program PHBM yang sifatnya one size fits all satu model untuk semua
LMDH tidak sepenuhnya dapat berjalan di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Pembentukan LMDH yang instan seringkali tidak memperhatikan tata
aturan dan tata kelola pemerintah. Di satu sisi ingin melakukan pemberdayaan masyarakat tetapi caranya bertolak belakang seperti Perhutani memaksakan
“pakem” PHBM kepada LMDH walaupun tidak disetujui. Jadi idenya pemberdayaan LMDH tetapi caranya instruktif Awang, 2006.
Ketika LMDH menjadi satu-satunya lembaga yang diakui secara sah untuk melakukan kerjasama dengan Perhutani dalam PHBM kendala yang
sering dihadapi adalah rendahnya tingkat kinerja dan tak jelasnya orientasi kerja para pengurusnya. Isu-isu strategis yang sebenarnya menjadi agenda kalangan
akar rumput seperti persentase bagi hasil, perluasan lahan garapan, dan kepastian tenurial, seringkali menjadi terkesampingkan, atau setidaknya bukan
menjadi prioritas, hanya mengejar target. Karena mengejar target, pembentukan LMDH belum dapat mewakili
kepemimpinan lokal yang sebenarnya. Banyak pemimpin lokal yang berpengaruh
65 kuat terhadap masyarakat tidak terakomodasi. Pambudiarto 2010 melihat
bahwa kepengurusan LMDH sebagian besar tidak cukup mengakar. Setelah terbentuk LMDH tidak langsung dapat beroperasi dengan baik. Kebanyakan
manajemen kelembagaan LMDH belum berjalan dengan baik. Tanggung jawab untuk mengamankan hutan ternyata tidak diimbangi
dengan imbalan ekonomi yang cukup, sehingga mereka tetap hidup dalam kemiskinan. Peran LMDH yang cenderung menjadi lembaga distribusi daripada
lembaga negosiasi adalah fakta yang banyak kita jumpai di lapangan. Permasalahan terkait dengan organisasi dan manajemen
LMDH.Kemampuan kelembagaan LMDH masih rendah, Koordinasi antara LMDH dengan Perhutani dan pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten masih
lemah. Pengurus LMDH cenderung pasif, intervensi pihak luar dirasakan oleh pengurus, Ketergantungan pada Perhutani sangat tinggi. Belum ada kepastian
batas pangkuan LMDH yang jelas akibatnya terjadi perebutan wilayah pangkuan hutan.
Program PHBM masih dipersepsikan sebagai alat pengamanan hutan bersama masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi secara
keseluruhan terhadap program PHBM ini, baik internal oleh Perum Perhutani maupun secara eksternal masyarakat agar ada persamaan pandangan tentang
pelaksanaan PHBM sampai dengan tingkat desa dan kelompok masyarakat. Balitbang Prov.Jateng, 2006
LMDH yang mandiri merupakan “kunci strategis” bagi upaya keberlangsungan penanggulangan kemiskinan dan pembangunan. Kondisi
LMDH di berbagai wilayah mempunyai tingkap pencapaian yang sangat beragam di setiap wilayah. LMDH di Jawa Timur seperti di Perhutani KPH Nganjuk dan
Saradan mengembangkan penanam porang cukup memberikan peluang untuk usaha. Di kawasan lain berbeda lagi kondisinya.
5.5 Ikhtisar