Berkurangnya Kebakaran Hutan dan Pencurian

71 Variable Pearson chi square Value Df Asymp. Sig. 2-sided Pendapatan meningkat 12.894 2 0.002 +++ Penghasilan bertambah 15.451 2 0.000 +++ Berdasarkan hasil pada tabel 18 dapat dikatakan bahwa menguntungkan atau tidaknya PHBM secara signifikan memiliki hubungan pada tingkat kepercayaan 95 dengan pendapatan meningkat dan penambahan penghasilan. Hasil tabulasi silang dan uji chi square antara penyerapan tenaga kerja dan usaha produktif menunjukkan bahwa keduanya memilki hubungan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95, sebagaimana terlihat dalam tanel 17 berikut: Tabel 17 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan tenaga kerja Variable Pearson chi square Value Df Asymp. Sig. 2-sided Penyerapan tenaga kerja 18.143 4 0.001 +++ Frekuensi kayu bakar 12.114 6 0.059 +++ Tabulasi silang dan uji chi squre antara frekuensi pengambilan kayu bakar dan tambahan penghasilan yang diperoleh menunjukkan hubungan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 90 saja. Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 18 berikut: Table 18 Hasil uji hubungan peubah frekuensi kayu bakar dengan penghasilan Variable Pearson chi square Value Df Asymp. Sig. 2-sided Frekuensi kayu bakar 12.114 6 0.059 +++

6.3 Berkurangnya Kebakaran Hutan dan Pencurian

Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan sangat berpengaruh terhadap kelestarian hutan dan menetukan keberhasilan pengelolaan hutan yang baik. Keterlibatan masyarakat dalam pelestarian hutan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Masyarakat desa hutan sejak zaman kolonial Belanda sampai sekarang, belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah bahkan pengabaian 72 terhadap perikehidupan masyarakat desa hutan terus terjadi. Semasa Orde Baru, pemerintahan lebih mengutamakan membangun sentra-sentra pertumbuhan di pusat-pusat kota dan daerah-daerah satelit yang berada disekitarnya. Akibatnya, pembangunan tumbuh tidak merata dan desa hutan yang secara geografis berada jauh dari pusat pertumbuhan diabaikan. Ketika otonomi daerah mulai dilaksanakan, daerah yang memiliki APBD kecil berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah PAD sebesar-besarnya dan menekan pengeluaran sekecil-kecilnya, sehingga permasalahan sosial dan pelayanan masyarakat kurang diperhatikan. Desa hutan yang secara sosial ekonomi membutuhkan perhatian yang besar untuk mengejar ketertinggalannya juga tidak diperhatikan. Di Jawa dan Madura, jumlah desa hutan lebih dari 6.000 desa, sebagian besar terdapat di sepanjang batas hutan negara yang dikelola oleh Perhutani. Menurut data Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal PDT, besarnya persentase keluarga miskin yang tinggal di desa hutan lebih dari dua kali persentase keluarga miskin di Indonesia. Jumlah desa hutan ada 18.784 desa atau 26,6 dari jumlah seluruh desa di Indonesia, atau sebesar 58 dari desa tertinggal yang ada, yakni 32.379 desa. Terdapat korelasi yang kuat antara persentase jumlah desa hutan di suatu daerah dengan besaran angka kemiskinan dan nilai Indek Pembangunan Manusia IPM. Hal tersebut menunjukan bahwa desa hutan telah sejak lama menjadi kantong-kantong kemiskinan. Namun kenyataannya, upaya pengentasan kemiskinan yang tengah diupayakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, seringkali tidak menyentuh komunitas masyarakat desa di sekitar hutan. Pemberdayaan masyarakat desa hutan secara holistik, belum dipandang sebagai sebuah bagian tidak terpisahkan dari pembangunan wilayah oleh banyak pemerintah daerah. Masyarakat desa hutan cenderung dipandang sebagai bagian dari program kehutanan sehingga dianggap urusan Kementerian Kehutanan dan pengelola hutan negara. Proses pemberdayaan masyarakat desa hutan, dipandang sebagai tugas dan tanggung jawab Perhutani. Sementara Perum Perhutani dan komunitas kehutanan memandang bahwa desa hutan dan masyarakatnya tidak ada bedanya dengan desa-desa lainnya yakni merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. 73 Perhutani sebagai perusahaan yang harus menghasilkan keuntungan harus diberikan beban untuk ikut memperhatikan desa hutan. Inisiatif dan prakarsa pemberdayaan masyarakat berasal dari Perhutani sehingga wajar jika terjadi bias dengan kepentingan Perhutani. Fokus utama program adalah untuk mengamankan hutan. Permasalahan penting yang krusial untuk diatasi dalam pengelolaan hutan adalah masalah pencurian dan kebakaran hutan. Salah satu langkah preventif yang dilakukan untuk menangani kebakaran dan pencurian adalah diadakannya giliran jaga dari para petani penggarap. Kejadian kebakaran hutan dicoba dihubungkan dengan giliran jaga. Berdasarkan uji chi square didapatkan hasil sebagai berikut : Table 19 hubungan antara kebakaran dan giliran jaga Variable Pearson chi square Value Df Asymp. Sig. 2-sided Giliran jaga 11.019 8 0.088 Giliran jaga 8.721 6 0.190 Dari hasil di atas dapat dikatakan bahwa hubungan kebakaran hutan dan giliran jaga signifikan pada tingkat kepercayaan 90. Untuk melihat apakah pencurian kayu hutan berhubungan secara signifikan dengan giliran jaga diuji dengan menggunakan uji chi square sebagaimana terlihat pada Tabel 20 berikut: Tabel 20 Hasil uji hubungan giliran jaga dengan pencurian kayu. Variable Pearson chi square Value Df Asymp. Sig. 2-sided Giliran jaga 8.721 6 0.190 Dari hasil uji pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa hubungan antara pencurian kayu dengan giliran jaga tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 95 atau 90.

6.4 Berkurangnya Sumber Mata Air setelah Penanaman Akasia