2. Pembahasan
Dalam pembahasan akan dijabarkan mengenai hasil penelitian, diantaranya faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi pada
mahasiswi yang tinggal mandiri.
2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi pada
mahasiswi yang tinggal mandiri
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi seperti status sosial ekonomi, personal preference,
pengetahuan, kebiasaan makan dan kesehatan tidak keseluruhan yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi responden. Hanya faktor personal
preference saja yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi pada mahasiswi yang tinggal mandiri Sig = 0,022 dengan Koefisien korelasi R=0,258 yang
artinya hubungan faktor personal preference terhadap pemenuhan kebutuhan gizi positif dengan interpretasi lemah. Sedangkan faktor status sosial ekonomi,
pengetahuan, kebiasaan makan dan kesehatan tidak mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi pada mahasiswi yang tinggal mandiri karena memiliki nilai Sig
0,05 dapat dilihat pada tabel 9. Regresi linear ganda dengan menggunakan metode backward yang
digunakan adalah untuk mengetahui faktor yang manakah yang paling dominan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi pada mahasiswi yang tinggal mandiri.
Hasil dari uji regresi linear ganda didapat bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi pada mahasiswi yang tinggal mandiri
Universitas Sumatera Utara
adalah faktor personal preference. Karena responden yang diteliti berada pada usia remaja akhir, yang merupakan masa transisi ke tahap dewasa. Dalam masa ini
terjadi pertumbuhan sikap, mental dan emosional. Remaja cenderung untuk mengabaikan masalah kesehatan terutama pola makan.
Dalam pemilihan makanan remaja banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal misalnya teman sebaya dan media massa. Aktivitas yang banyak
dilakukan di luar rumah membuat responden sering dipengaruhi teman sebayanya. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi tetapi sekedar
untuk bersosialisasi dan kesenangan. Hal inilah yang menyebabkan remaja mengkonsumsi makanan hanya atas dasar pertimbangan suka dan tidak suka tanpa
memperhatikan nilai gizinya. Dapat disimpulkan bahwa faktor personal preference mempengaruhi
pemenuhan kebutuhan gizi pada mahasiswi yang tinggal mandiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanjur Scoma 1977, dikutip dari Suyatno, 2010 bahwa
kebiasaan makan seseorang dapat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu konsumsi makan, preferensi, ideologi dan sosial budaya. Berbeda dengan Lund Burk
1969, dalam Suyatno, 2010 yang berpendapat bahwa kebiasaan konsumsi seseorang tergantung dari adanya sikap, pengetahuan, lingkungan baik
lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah dan tiga motivasi utama terhadap pangan kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis, dan kebutuhan
sosial. Sedangkan menurut Khumaidi 1994, dalam Suyatno, 2010, ada dua faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan, yaitu faktor instrinsik dan
ekstrinsik. Faktor instrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri manusia itu
Universitas Sumatera Utara
sendiri yang meliputi asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan serta penilaian yang lebih terhadap makanan. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang
berasal dari luar diri manusia meliputi lingkungan alam, sosial, ekonomi, budaya dan agama.
Berikut ini akan dijabarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi pada mahasiswi yang tinggal mandiri.
a. Status sosial ekonomi
Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan dipengaruhi oleh status sosial dan ekonomi. Dari segi ekonomi, pemenuhan kebutuhan gizi
seseorang dipengaruhi oleh pendapatan. Pendapatan yang rendah akan membatasi seseorang untuk mengkonsumsi makanan yang harganya lebih mahal. Sebagai
contoh, orang kelas menengah ke bawah atau orang miskin tidak sanggup membeli makanan jadi, daging, buah dan sayuran yang mahal. Kelompok sosial
juga berpengaruh terhadap kebiasaan makan, misalnya kerang dan siput disukai oleh beberapa kelompok masyarakat, sedangkan kelompok masyarakat yang lain
lebih menyukai hamburger dan pizza. Dari hasil penelitian didapat sekitar 88,3 responden mendapat uang
kiriman Rp. 1.000.000 dan 41,7 mengatakan bahwa uang kiriman mereka miliki selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sebanyak tiga kali sehari.
Namun 68,3 dari responden kadang-kadang lebih memilih jenis makanan yang lebih murah untuk dikonsumsi tanpa melihat nilai gizinya. Data ini menunjukkan
bahwa pendapatan atau uang kiriman yang dimiliki responden mampu memenuhi
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan gizinya dari segi kuantitas namun secara kualitas belum bisa terpenuhi secara maksimal.
Dari segi kualitas responden mampu memenuhi jumlah kebutuhan gizinya dengan cara makan sebanyak tiga kali sehari. Sedangkan dari segi kualitas,
pendapatan yang dimiliki responden belum mampu mengkonsumsi makanan yang mengandung semua zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Ini didukung oleh
data hasil penelitian yang menunjukkan 46,7 responden mengatakan bahwa uang kiriman yang mereka miliki tidak selalu cukup untuk mengkonsumsi jenis
makanan yang bervariasi setiap hari. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan gizi dari segi kualitas adalah dengan cara mengkonsumsi jenis makanan yang beraneka
ragam atau bervariasi sehingga semua zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh akan terpenuhi. Karena tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung zat-zat gizi
lengkap. Berg 1989, dikutip dari Siregar, 2007 mengemukakan bahwa pendapatan
merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Dengan tingkat pendapatan yang semakin tinggi maka keluarga akan lebih mampu
memenuhi kebutuhan makanan anggota keluarganya, baik secara kualitas maupun kuantitas dan semakin baik pula status gizinya. Hal ini sesuai dengan hukum
Engel, yang mengemukakan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga
yang lebih mahal per unit zat gizinya. Apabila pendapatan meningkat pola konsumsi pangan akan makin beragam, serta umumnya akan terjadi peningkatan
konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi. Peningkatan pendapatan lebih
Universitas Sumatera Utara
lanjut tidak hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan, dan peningkatan konsumsi pangan yang lebih mahal, tetapi juga terjadinya
peningkatan konsumsi pangan di luar rumah Soekirman, 2000. Hal ini sejalan dengan pendapat Hidayati, dkk 2006, dikutip dari Manurung, 2009 yang
mengatakan bahwa peningkatan pendapatan juga dapat mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.
b. Personal preference
Dari hasil penelitian didapatkan 78,3 responden memakan makanan yang mengandung monosodium glutamate MSG, 60,0 responden kadang-
kadang mengganti makan malam dengan mengkonsumsi kudapan atau cemilan. Mengkonsumsi kudapan cemilan adalah kebiasaan yang sudah mendarah daging
di kalangan remaja. Walaupun cemilan bisa menjadi sumber gizi dan kalori yang dibutuhkan, tapi cemilan tidak boleh dijadikan pengganti makanan utama. Pilihan
cemilan harus diseimbangkan dengan pilihan makanan lain yang dikonsumsi dalam satu hari. Ini sesuai dengan pendapat Lusa 2009 yang mengatakan bahwa
pada anak remaja, kudapan berkontribusi 30 atau lebih dari total asupan kalori remaja setiap hari. Kudapan yang sering dikonsumsi adalah makanan ringan yang
banyak mengandung zat aditif dan monosodium glutamate. Suhardjo 1989, dikutip dari Febrianti, 2009 menyatakan bahwa
preferensi pangan diasumsikan sebagai sikap seseorang terhadap makanan, suka atau tidak suka yang akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Sanjur 1982, dikutip dari Febrianti, 2009 yang menjelaskan
Universitas Sumatera Utara
bahwa fisiologi, perasaan dan sikap terintegrasi membentuk preferensi terhadap pangan dan akhirnya membentuk perilaku konsumsi pangan.
Data lain juga menunjukkan sekitar 60,0 responden memilih makanan hanya karena suka tanpa memperhatikan kandungan nilai gizinya. Hal-hal yang
disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan seseorang. Orang seringkali memulai kebiasaan makannya sejak dari masa kanak-
kanak hingga dewasa. Menurut Subardja 2005, dikutip dari Manurung, 2009, faktor sosial di mana pola makan remaja berkembang, menjadi penting karena
perilaku orang di lingkungan tersebut menjadi model bagi remaja. Jadi bagaimana seseorang menyukai atau tidak menyukai jenis makanan tertentu misalnya sayur-
sayuran, dipengaruhi oleh kebiasaan orang di sekitarnya termasuk keluarga dan teman-temannya.
Menurut Suhardjo 2003, dikutip dari Febrianti, 2009, jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selain dipengaruhi oleh hasil budaya setempat, juga
dipengaruhi oleh preferensi terhadap makanan tersebut. Makanan dianggap memenuhi selera atau tidak, tidak hanya bergantung pada pengaruh sosial budaya.
Selain pengaruh reaksi indera terhadap pemilihan pangan, kesukaan pangan pribadi makin dipengaruhi oleh pendekatan melalui media massa seperti radio,
TV, pamphlet dan iklan. Harper, Deaton dan Driskel 1985, dalam Febrianti, 2009 juga mengemukakan bahwa preferensi terhadap makanan tidak hanya
bergantung pada pengaruh sosial dan budaya, tetapi juga dari sifat fisik makanan itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Dalam memenuhi kebutuhan gizinya, responden memiliki cara-cara yang berbeda. Ada sebagian responden yang memasak sendiri makanan yang akan
dikonsumsinya, ada juga yang memilih untuk rantangan atau memesan pada orang yang menyediakan layanan catering, tapi ada juga yang selalu membeli makan
setiap kali akan makan. Pada saat responden memenuhi kebutuhan gizinya dengan memilih rantangan, ini kurang baik untuk memenuhi semua kebutuhan zat gizi
yang dibutuhkan tubuh. Karena menu makanan yang disediakan biasanya kurang bervariasi. Responden yang membeli makan setiap kali akan makan, ini juga tidak
bisa memenuhi kebutuhan gizi tubuh karena sangat tergantung dengan pendapatan. Jika pendapatan yang dimiliki cukup maka responden akan dapat
memenuhi kebutuhan gizinya, tapi jika pendapatannya kurang maka responden tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya secara seimbang. Selain itu, di
lingkungan tempat tinggal responden juga banyak pedagang yang menjual makanan siap saji, ini yang menyebabkan responden kadang-kadang lebih
memilih mengkonsumsi makanan siap saji dibandingkan makanan pokok karena mudah untuk mendapatkannya.
c. Pengetahuan
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sekitar 58,3 mahasiswi yang tinggal mandiri mengetahui bahwa makanan cepat saji fast food tidak baik untuk
kesehatan karena mengandung tinggi kalori, lemak dan natrium. Dan 63,3 responden juga sangat setuju dengan penyataan bahwa makanan yang bernilai gizi
tinggi tidak harus yang mahal. Ini menunjukkan bahwa responden telah memiliki
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan yang cukup mengenai kandungan zat gizi di dalam makanan yang dibutuhkan tubuh sehingga mereka dapat memutuskan pemilihan makanan yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Menurut Sediaoetama 2000, dikutip dari Kristianti, 2009, tingkat
pengetahuan seseorang tentang gizi berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang menentukan mudah tidaknya seseorang memahami
manfaat kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi yang baik diharapkan akan mempengaruhi konsumsi makanan yang baik sehingga
dapat menuju status gizi yang baik pula. Pengetahuan gizi juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang.
Masa remaja akhir adalah masa di mana remaja lebih banyak bersosialisasi dengan teman sebaya dari pada dengan orang tua atau keluarga. Ini akan
mempengaruhi perilaku remaja dalam hal pemilihan makanan terutama remaja putri. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Health Education Authority
2002, usia 15-34 tahun adalah konsumen terbanyak yang memilih menu. Masa remaja adalah masa yang sangat labil dan masa di mana mudah sekali terpengaruh
oleh lingkungan dan orang-orang terdekat. Mudah mengikuti alur zaman seperti mode dan trend yang sedang berkembang di masyarakat khususnya dalam hal
makanan modern Thyana, 2002 dikutip dari Kristianti, 2010. Arisman 2004 juga berpendapat bahwa remaja belum sepenuhnya
matang dan cepat sekali terpengaruh lingkungan. Kesibukan menyebabkan mereka memilih makan di luar, atau menyantap kudapanjajanan. Lebih jauh lagi
kebiasaan ini dipengaruhi oleh teman sebaya. Teman sebaya berpengaruh besar
Universitas Sumatera Utara
pada remaja dalam hal memilih makanan. Ketidakpatuhan terhadap teman dikhawatirkan dapat menyebabkan dirinya terkucil dan akan merusak kepercayaan
dirinya. Dengan demikian teman sebaya mempunyai pengaruh besar dalam pemilihan jenis makanan pada remaja putri. Namun berdasarkan data hasil
penelitian yang didapat bahwa 45,0 responden kurang setuju dengan pernyataan teman sebaya mempunyai pengaruh besar terhadap pemilihan makanan pada
remaja putri. Data ini juga didukung dengan data penelitian lain bahwa sekitar 50,0 dari responden tidak pernah memilih jenis makanan tertentu karena
pengaruh teman sebaya.
d. Kebiasaan makan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 43,3 responden selalu melakukan sarapan pagi terlebih dahulu sebelum berangkat kuliah atau melakukan aktivitas.
Data ini bertentangan dengan pendapat Gochman dalam Purwaningrum, 2008 mengatakan bahwa hal yang sering terlihat pada remaja adalah kurang
dipedulikannya jam makan, terutama sarapan pagi yang sering ditinggalkan. Ini berarti bahwa sebagian dari responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini
yaitu mahasiswi yang tinggal mandiri telah memiliki perilaku makan yang baik. Membiasakan sarapan pagi bagi remaja dan dewasa akan dapat memelihara
ketahanan fisik, daya tahan tubuh, meningkatkan konsentrasi belajar dan meningkatkan produktivitas kerja.
Dari hasil penelitian juga didapatkan data sekitar 78,3 responden kadang-kadang mengkonsumsi makanan cepat saji sebagai pengganti makanan
Universitas Sumatera Utara
pokok seperti mie instant. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan gaya hidup pada remaja memiliki pengaruh signifikan terhadap kebiasaan makan
mereka. Mereka menjadi lebih aktif, lebih banyak makan di luar rumah dan mendapat pengaruh dalam memilih makanan yang akan dimakannya. Mereka juga
lebih sering mencoba-coba makanan yang baru, salah satunya adalah fast food Virgianto Purwaningsih, 2006 dikutip dari Manurung, 2009. Gaya hidup kota
yang serba praktis memungkinkan masyarakat modern sulit untuk menghindar dari makanan cepat saji fast food. Fast food memiliki beberapa kelebihan antara
lain penyajian yang cepat sehingga tidak menghabiskan waktu lama dan dapat dihidangkan kapan dan dimana saja, higienis dan dianggap sebagai makanan
bergengsi dan makanan gaul Irianto, 2007 dalam Kristianti, 2010. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pengetahuan responden
tentang gizi sudah baik tetapi kebiasaan makan responden kurang baik. Responden mengetahui bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji fast
food tidak baik untuk kesehatan tapi mereka masih tetap mengkonsumsinya. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki responden belum mampu
mengubah perilaku makan yang kurang baik. Riza shobur 2008 mengatakan bahwa perubahan perilaku atau tindakan baru itu terjadi melalui tahap-tahap atau
proses perubahan yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan, yang artinya apabila pengetahuan sudah baik dan sikapnya positif secara otomatis tindakan seseorang
tersebut pasti akan baik. Namun, ada beberapa penelitian juga membuktikan bahwa proses tersebut tidak selalu melalui tahap-tahap tersebut, bahkan dalam
Universitas Sumatera Utara
praktek sehari-hari terjadi sebaliknya, artinya seseorang berperilaku tidak baik meskipun pengetahuan dan sikapnya sudah positif.
Menurut Khumaidi 1994, dalam Manurung, 2009, yang dimaksud dengan kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia dalam memenuhi
kebutuhannya akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan dan perilaku dalam memilih makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersifat positif
atau negatif. Demikian juga halnya dengan kepercayaan terhadap makanan yang nilai-nilai kognitifnya berkaitan dengan kualitas baik atau buruk, menarik atau
tidak menarik. Pemilihan adalah proses psikomotor untuk memilih makanan sesuai sikap dan kepercayaan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Suhardjo
2003, dalam Febrianti, 2009 yang mengatakan bahwa kebiasaan makan merupakan cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan
mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial dan budaya.
Menurut Mead 1973, dalam Devi, 2004, kebiasaan makan seseorang atau sekelompok masyarakat itu tidak dapat diubah, melainkan bisa berubah.
Perubahan kebiasaan makan sangat dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: 1 perubahan lingkungan, 2 penerimaanpenolakan individu terhadap makanan, dan 3
perubahan makanan itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
e. Kesehatan
Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan dan pemenuhan kebutuhan akan zat-zat gizi. Adanya gangguan kesehatan baik fisik
maupun psikis akan mempengaruhi nafsu makan seseorang. Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa 48,3 responden tidak selera makan ketika sedang sakit.
Tidak selera makan ketika sedang sakit disebabkan karena ketika seseorang sakit, biasanya ia akan malas untuk melakukan aktivitas apapun, termasuk untuk soal
makan. Pada saat sakit mulut akan terasa pahit, makanan apapun yang dimakan rasanya menjadi pahit. Hal inilah yang menjadi alasan seseorang malas makan
atau menolak untuk makan pada saat sedang sakit Luffy, 2010. Data penelitian menunjukkan sekitar 41,7 responden lebih banyak
mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran pada saat sakit. Pada saat sakit makanan sangat berpengaruh besar pada proses penyembuhan. Ada penelitian yang
membuktikan bahwa orang yang makan teratur dengan gizi yang cukup akan cepat sembuh dibandingkan dengan orang yang tidak makan.
Stres adalah suatu perasaan mendalam yang menekan seseorang ketika ia memiliki sesuatu yang belum tercapai, tapi ada hambatannya. Karena tekanan ini,
bisa jadi aktivitas orang yang bersangkutan jadi terganggu Gen, 2010. Perubahan mood atau suasana hati tidak stabil juga menjadi penyebab stres pada
remaja selain masalah dengan keluarga. Akibat dari stres yang mereka alami sering menyebabkan gangguan nafsu makan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Wilkinson 2003 yang mengemukakan bahwa stres dapat menyebabkan perubahan nafsu makan dan permasalahan berat badan. Sebagian orang akan
Universitas Sumatera Utara
kehilangan nafsu makan mereka, sedangkan yang lain malah bertambah nafsu makannya. Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa 48,3 responden tidak
pernah menolak untuk makan makanan pokok ketika sedang stres. Ini berarti responden memiliki mekanisme koping yang baik dalam mengatasi stres sehingga
stres yang dialami tidak dapat menyebabkan permasalahan pada nafsu makan atau pemenuhan kebutuhan gizi.
2.2. Pemenuhan kebutuhan gizi pada mahasiswi yang tinggal mandiri