secara verbal, dengan skala atau dengan ekspresi wajah Rozin Volmecke 1986 dalam Febrianti, 2009.
Dalam pemenuhan makanan apabila berdasarkan pada makanan kesukaan saja maka akan berakibat pemenuhan gizi akan menurun atau sebaliknya akan
berlebih. Tidak ada satu bahan pangan pun yang dapat menyediakan zat gizi dalam kualitas dan kuantitas yang mencukupi kebutuhan gizi seimbang. Makan
dengan beranekaragam jenis bahan pangan lebih cenderung dapat memenuhi kebutuhan gizi seimbang. Anjuran Pedoman Umum Gizi Seimbang PUGS,
adalah anjuran yang perlu diikuti dalam pola makan seseorang Budiyanto, 2004.
3.3. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata, telinga, atau kognitif yang merupakan hal yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
Notoatmodjo, 2002. Pengetahuan tentang gizi sangat mempengaruhi seseorang dalam
memenuhi kebutuhannya. Kedalaman dan keluasan pengetahuan tentang gizi akan menuntun seseorang dalam pemilihan jenis makanan yang akan dikonsumsi baik
dari segi kualitas, variasi, maupun cara penyajian pangan yang diselaraskan dengan konsep pangan. Misalnya, konsep pangan yang berkaitan dengan
kebutuhan fisik, apakah makan asal kenyang atau untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Suhardjo 1996, dikutip dari Siregar, 2007, kurangnya pengetahuan tentang gizi dan kemampuan untuk menerapkan informasi tentang
gizi merupakan sebab-sebab penting terjadinya gangguan gizi dalam masyarakat. Oleh sebab itu pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan untuk menciptakan
makanan yang sehat dan bergizi lengkap.
3.4. Kebiasaan makan
Pada umumnya kebiasaan makan seseorang tidak didasarkan atas keperluan fisik akan zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan. Kebiasaan ini
berasal dari pola makan yang didasarkan pada budaya kelompok dan diajarkan pada seluruh anggota keluarga. Beberapa keluarga mengembangkan pola makan
tiga kali sehari yaitu makan pagi, siang dan malam. Beberapa keluarga mengembangkan pola makan dua kali sehari yaitu makan siang dan makan
malam, bahkan beberapa keluarga juga mengembangkan pola makan jika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang Budiyanto, 2004.
Kebiasaan makan terbentuk dalam diri seseorang sebagai akibat proses sosialisasi yang diperoleh dari lingkungannya, meliputi aspek kognitif, afektif dan
psikomotor Suhardjo, 1990 dikutip dari Fatimah, 2006. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Suhardjo 1990 mengatakan bahwa kebiasaan makan adalah
suatu gejala budaya dan sosial yang dapat memberi gambaran perilaku dari nilai- nilai yang dianut oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Sedangkan
menurut Khumaidi 1989 dikutip dari Fatimah, 2006, kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi
sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan.
Universitas Sumatera Utara
Agama atau kepercayaan akan mengatur masyarakat dalam memilih jenis makanan yang boleh dan tidak boleh untuk dimakan. Aturan tentang makanan
yang tidak dapat dimakan, diteladani seseorang berdasarkan aturan tingkah laku sosial. Mereka hanya memahami secara struktural, tidak dengan mengikuti
implikasi sebab dan akibat dari aturan-aturan yang jelas. Misalnya larangan makan daging sapi bagi orang Hindu. Pada orang yang beragama Hindu, sapi
tidak mereka konsumsi karena menurut kepercayaan mereka sapi itu adalah binatang suci. Berdasarkan hal tersebut, agama atau kepercayaan tentu akan
mempengaruhi seseorang dalam memenuhi kebutuhan gizinya Meiyenti, 2006 dikutip dari Siregar, 2007.
Menurut Fatimah 2006 perilaku seseorang dalam memilih makanan sangatlah subjektif. Hal ini dapat dimengerti karena pemilihan dipengaruhi oleh
latar belakang hidup seseorang. Pada umumnya ada tiga pengaruh seseorang dalam memilih makanan, yaitu: 1 lingkungan keluarga, tempat seseorang hidup
dan dibesarkan, 2 lingkungan di luar sistem sosial keluarga yang mempengaruhi langsung kepada dirinya maupun keluarganya, 3 dorongan yang berasal dalam
diri atau disebut faktor internal.
3.5. Kesehatan