Dari Tabel 6 dapat terlihat bahwa pada tingkat semai, pancang dan tiang terdapat peningkatan jumlah jenis maupun total jumlah jenis pada
setahun setelah kegiatan penebangan Et+1, sedangkan untuk tingkat pohon jumlah jenis maupun total jumlah jenisnya masih berada dibawah
jumlah jenis kondisi primer. Meskipun demikian total jumlah jenis tingkat permudaan tiang dan pohon lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah
jenis dari tingkat semai dan pancang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada kondisi setahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran total
jumlah jenis tertinggi masih berada pada tingkatan pohon, dan total jumlah jenis terendah adalah tingkat semai. Hal ini dapat terjadi diduga karena
pada tingkat pohon dan tiang tumbuhan sudah menunjukkan ciri khasnya secara maksimal sedangkan pada tingkat permudaan semai dan tiang jenis-
jenis yang berbeda bisa terlihat serupa sehingga dimasukkan kedalam jenis yang sama. Pada tingkatan semai, pancang, dan tiang terjadi peningkatan
total jumlah jenis. Hal ini dapat disebabkan karena munculnya jenis-jenis baru akibat dari dampak pembukaan areal hutan pada proses suksesi yang
terjadi dan secara teori terbukti bahwa tingkat pertumbuhan untuk tingkat permudaan semai dan pancang lebih tinggi daripada pada tingkat tiang
maupun pohon.
2. Struktur tegakan
Struktur tegakan dapat dilihat secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh.
Penguasaan tempat tumbuh biasanya dipengaruhi oleh besarnya energi matahari, ketersediaan air dalam tanah dan unsur-unsur hara mineral yang
penting untuk pertumbuhan serta perkembangan individu pada komponen masyarakat tumbuhan hutan tersebut. Struktur tegakan hutan dapat dilihat
salah satunya dari nilai kerapatan individu per hektar sehingga akan menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan. Gambar 4 dan Gambar 5
merupakan gambar grafik struktur tegakan tingkat pohon pada kondisi hutan primer dan setahun setelah penebangan yang dikelompokkan
berdasarkan kelompok besaran diameternya pada berbagai kelas
kelerengan.
Gambar 4. Struktur Tegakan Hutan Primer dengan Kelas Diameter.
Gambar 5. Struktur Tegakan Hutan Et+1 dengan Kelas Diameter. Pada kondisi hutan primer dapat dilihat bahwa jumlah pohon pada
petak ukur masih cukup banyak dan jumlah terbesar tampak pada pohon dengan kelas diameter 20 – 30 cm dan jumlah terkecil pada pohon-pohon
66 60
25 11
5 50
40 27
8 54
108
38
6 8
16 -
20 40
60 80
100 120
20-30 30-40
40-50 50-60
60
Ju ml
a h
B a
ta n
g N
h a
Kelas Diameter cm
Struktur Tegakan Nha pada Hutan Primer
datar sedang
curam
64
18 3
6 11
50
23 23
3 8
49 37
9 1
- 10
20 30
40 50
60 70
20-30 30-40
40-50 50-60
60
Ju ml
a h
B a
ta n
g N
h a
Kelas Diameter cm
Struktur Tegakan Nha pada LOA TPTII 1 Tahun
datar sedang
curam
dengan kelas diameter 50 – 60 cm. Pada berbagai kelerengan hutan tampak variasi persebaran pohon dengan berbagai kelas diameter. Nilai
individu pohon per hektar tertinggi ditempati oleh petak dengan kelerengan sedang yakni dengan 179 individu per hektar dan nilai terendah
pada petak datar dengan 167 individu per hektar.
Pada Gambar 5 kondisi setahun setelah penebangan jumlah pohon pada kelas diameter 20 – 30 cm tidak banyak mengalami perubahan,
kecuali pada kelerengan sedang. Jumlah pohon yang berkurang diakibatkan kegiatan penebangan dan penjaluran. Pohon dengan diameter
50 cm up tidak serta merta berkurang semua karena penebangan hanya dilakukan pada pohon jenis komersil dan tidak dilindungi.
Famili Dipterocarpaceae merupakan satu dari sekian famili yang merajai kawasan hutan tropika basah di Indonesia. Ragam jenisnya
mayoritas merupakan kayu dagang yang cukup penting di Indonesia. Informasi mengenai keberadaan jumlah jenis dan potensinya merupakan
hal yang penting pula. Untuk mengetahui kondisi struktur pohon hutan berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae
dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perubahan Komposisi dan Struktur Tegakan Hutan berdasarkan
Kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae Pohon Diameter
≥ 20 cm
Perubahan Struktur dan Komposisi
Kelerengan Datar
Kelerengan Sedang
Kelerengan Curam
A D
A D
A D
Jumlah Jenis : a. Dipterocarpaceae
b. Jenis Lain Total
Jumlah Famili Jumlah Pohonha
a. Dipterocarpaceae b. Jenis Lain
Total LBDS m
2
a. Dipterocarp Ha :
b. Jenis Lain Total
12 35
47
23 48
119 167
8,2 11,1
19,3 12
29 41
20 28
74
102
4,4 6,1
10,1 14
36 50
24 72
107 179
12,9 9,2
22,1 11
35 46
24 23
74 97
2,2 5,9
8,1 11
35 46
23 54
122 176
8,8 11,8
20,6 10
37 47
22 25
83
108
3,8 8,1
11,9
Dari Tabel 7 dapat terlihat bahwa famili Dipterocarpaceae tidak banyak mengalami perubahan. Dari keseluruhan jumlah jenis pada semua
kelerengan tercatat menurun sebanyak 4 jenis. Untuk jumlah famili yang diketemukan pada petak penelitian, pada petak datar terjadi penurunan
sebanyak 3 famili, petak sedang tetap, dan pada petak curam menurun sebanyak 2 famili. Untuk jumlah pohon per hektar dari famili
dipterocarpaceae pada petak datar mengalami penurunan sebanyak 20 pohon, pada petak sedang menurun sebanyak 49 pohon dan pada petak
curam menurun sebanyak 29 pohon. Sedangkan untuk besaran nilai luas bidang dasar pada keseluruhan petak menurun sebanyak 10,6 m
2
ha. Nilai ini lebih rendah dari kondisi primer akibat kegiatan penebangan dan
penjaluran yang menumbangkan sebagian besar pohon-pohon pada areal tersebut dan waktu satu tahun setelah kegiatan penebangan belum mampu
mengembalikan nilainya menjadi sebesar semula.
3. Kerapatan dan Frekuensi Jenis