H. Penghitungan Jumlah Tanaman Pengayaan pada Jalur Tanam
Pada kajian ini dilakukan perisalahan terhadap kondisi tanaman jalur tanam sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Internsif TPTII. Dari
lima jalur yang terdapat pada setiap satuan petak contoh dilakukan pengecekan lapangan terhadap keberadaan jalur setahun setelah kegiatan
penebangan. Sebab-sebab kematian bibit dan penyebab bibit belum ditanam pada jalur tanam.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII merupakan teknik yang dikembangkan dari dua teknik silvikultur sebelumnya,
yakni teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI dan juga Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ. PT Erna Djuliawati sebagai salah satu perusahaan
pemegang surat IUPHHK-HA untuk tahun 2008-2009 menerapkan penggunaan teknik silvikultur ini seluas 500 ha dalam Rencana Kerja Tahunan RKT tahun
2009 perusahaan dan petak GG-39 merupakan salah satunya. Kegiatan pemanenan hasil hutan kayu dilaksanakan pada bulan Pebruari 2008.
A. Jalur antara Petak Penelitian Analisa Vegetasi 1. Komposisi Jenis
Keanekaragaman jenis yang terdapat pada hutan alam produksi tropika sangat besar dan kompleks. Keberadaannya saling berpengaruh dan
berinteraksi terhadap sifat genetik dan ekosistemnya. Menurut Lamb 2005, dalam suatu tutupan vegetasi hutan primer bilamana terjadi
perubahan tutupan vegetasi maka jenis pioner akan muncul, dan menjadikan jumlah jenis pada kawasan meningkat. Pada areal penelitian
jumlah jenis dan total jumlah jenis semai, pancang, tiang, pohon pada hutan primer, hutan setelah penebangan, hutan setelah penjaluran dan
ET+1 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Jenis yang ditemukan di petak GG-39 Hutan Primer dan
Setelah Setahun pada Berbagai Kelerengan
Kondisi Hutan Kelerengan
Jumlah Jenis Semai
Pancang Tiang
Pohon
Hutan Primer Datar
25 38
36 47
Sedang 36
38 43
51 Curam
38 36
35 47
Total Jenis 43
47 50
61 Setelah Setahun
Datar 29
35 37
41 Sedang
33 34
42 46
Curam 32
33 36
47 Total Jenis
46 49
55 60
Dari Tabel 6 dapat terlihat bahwa pada tingkat semai, pancang dan tiang terdapat peningkatan jumlah jenis maupun total jumlah jenis pada
setahun setelah kegiatan penebangan Et+1, sedangkan untuk tingkat pohon jumlah jenis maupun total jumlah jenisnya masih berada dibawah
jumlah jenis kondisi primer. Meskipun demikian total jumlah jenis tingkat permudaan tiang dan pohon lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah
jenis dari tingkat semai dan pancang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada kondisi setahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran total
jumlah jenis tertinggi masih berada pada tingkatan pohon, dan total jumlah jenis terendah adalah tingkat semai. Hal ini dapat terjadi diduga karena
pada tingkat pohon dan tiang tumbuhan sudah menunjukkan ciri khasnya secara maksimal sedangkan pada tingkat permudaan semai dan tiang jenis-
jenis yang berbeda bisa terlihat serupa sehingga dimasukkan kedalam jenis yang sama. Pada tingkatan semai, pancang, dan tiang terjadi peningkatan
total jumlah jenis. Hal ini dapat disebabkan karena munculnya jenis-jenis baru akibat dari dampak pembukaan areal hutan pada proses suksesi yang
terjadi dan secara teori terbukti bahwa tingkat pertumbuhan untuk tingkat permudaan semai dan pancang lebih tinggi daripada pada tingkat tiang
maupun pohon.
2. Struktur tegakan
Struktur tegakan dapat dilihat secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh.
Penguasaan tempat tumbuh biasanya dipengaruhi oleh besarnya energi matahari, ketersediaan air dalam tanah dan unsur-unsur hara mineral yang
penting untuk pertumbuhan serta perkembangan individu pada komponen masyarakat tumbuhan hutan tersebut. Struktur tegakan hutan dapat dilihat
salah satunya dari nilai kerapatan individu per hektar sehingga akan menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan. Gambar 4 dan Gambar 5
merupakan gambar grafik struktur tegakan tingkat pohon pada kondisi hutan primer dan setahun setelah penebangan yang dikelompokkan
berdasarkan kelompok besaran diameternya pada berbagai kelas
kelerengan.
Gambar 4. Struktur Tegakan Hutan Primer dengan Kelas Diameter.
Gambar 5. Struktur Tegakan Hutan Et+1 dengan Kelas Diameter. Pada kondisi hutan primer dapat dilihat bahwa jumlah pohon pada
petak ukur masih cukup banyak dan jumlah terbesar tampak pada pohon dengan kelas diameter 20 – 30 cm dan jumlah terkecil pada pohon-pohon
66 60
25 11
5 50
40 27
8 54
108
38
6 8
16 -
20 40
60 80
100 120
20-30 30-40
40-50 50-60
60
Ju ml
a h
B a
ta n
g N
h a
Kelas Diameter cm
Struktur Tegakan Nha pada Hutan Primer
datar sedang
curam
64
18 3
6 11
50
23 23
3 8
49 37
9 1
- 10
20 30
40 50
60 70
20-30 30-40
40-50 50-60
60
Ju ml
a h
B a
ta n
g N
h a
Kelas Diameter cm
Struktur Tegakan Nha pada LOA TPTII 1 Tahun
datar sedang
curam
dengan kelas diameter 50 – 60 cm. Pada berbagai kelerengan hutan tampak variasi persebaran pohon dengan berbagai kelas diameter. Nilai
individu pohon per hektar tertinggi ditempati oleh petak dengan kelerengan sedang yakni dengan 179 individu per hektar dan nilai terendah
pada petak datar dengan 167 individu per hektar.
Pada Gambar 5 kondisi setahun setelah penebangan jumlah pohon pada kelas diameter 20 – 30 cm tidak banyak mengalami perubahan,
kecuali pada kelerengan sedang. Jumlah pohon yang berkurang diakibatkan kegiatan penebangan dan penjaluran. Pohon dengan diameter
50 cm up tidak serta merta berkurang semua karena penebangan hanya dilakukan pada pohon jenis komersil dan tidak dilindungi.
Famili Dipterocarpaceae merupakan satu dari sekian famili yang merajai kawasan hutan tropika basah di Indonesia. Ragam jenisnya
mayoritas merupakan kayu dagang yang cukup penting di Indonesia. Informasi mengenai keberadaan jumlah jenis dan potensinya merupakan
hal yang penting pula. Untuk mengetahui kondisi struktur pohon hutan berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae
dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perubahan Komposisi dan Struktur Tegakan Hutan berdasarkan
Kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae Pohon Diameter
≥ 20 cm
Perubahan Struktur dan Komposisi
Kelerengan Datar
Kelerengan Sedang
Kelerengan Curam
A D
A D
A D
Jumlah Jenis : a. Dipterocarpaceae
b. Jenis Lain Total
Jumlah Famili Jumlah Pohonha
a. Dipterocarpaceae b. Jenis Lain
Total LBDS m
2
a. Dipterocarp Ha :
b. Jenis Lain Total
12 35
47
23 48
119 167
8,2 11,1
19,3 12
29 41
20 28
74
102
4,4 6,1
10,1 14
36 50
24 72
107 179
12,9 9,2
22,1 11
35 46
24 23
74 97
2,2 5,9
8,1 11
35 46
23 54
122 176
8,8 11,8
20,6 10
37 47
22 25
83
108
3,8 8,1
11,9
Dari Tabel 7 dapat terlihat bahwa famili Dipterocarpaceae tidak banyak mengalami perubahan. Dari keseluruhan jumlah jenis pada semua
kelerengan tercatat menurun sebanyak 4 jenis. Untuk jumlah famili yang diketemukan pada petak penelitian, pada petak datar terjadi penurunan
sebanyak 3 famili, petak sedang tetap, dan pada petak curam menurun sebanyak 2 famili. Untuk jumlah pohon per hektar dari famili
dipterocarpaceae pada petak datar mengalami penurunan sebanyak 20 pohon, pada petak sedang menurun sebanyak 49 pohon dan pada petak
curam menurun sebanyak 29 pohon. Sedangkan untuk besaran nilai luas bidang dasar pada keseluruhan petak menurun sebanyak 10,6 m
2
ha. Nilai ini lebih rendah dari kondisi primer akibat kegiatan penebangan dan
penjaluran yang menumbangkan sebagian besar pohon-pohon pada areal tersebut dan waktu satu tahun setelah kegiatan penebangan belum mampu
mengembalikan nilainya menjadi sebesar semula.
3. Kerapatan dan Frekuensi Jenis
Mengetahui nilai kerapatan pada sebuah tegakan hutan pada kawasan yang telah terdegradasi dapat digunakan untuk menilai tingkat
kepulihannya. Kerapatan suatu individu dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah jenis individu per luasan areal. Perbandingan nilai
kerapatan dan Frekuensi dari kondisi hutan primer dan Et+1 dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi Pemudaan Kelompok Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan dilihat dari Kerapatan Nha serta Frekuensi
Kondisi Hutan
Kelerengan Semai
Pancang Tiang
Pohon K
F K
F K
F K
F
Hutan Primer Datar
13.533 2,3 2.197 3,5 240 2,2 166 5,2 Sedang
25.400 2,7 2.208 3,2 368 3,2 173 5,6 Curam
16.867 3,0 3.205 4,1 296 2,7 166 5,6 Rata-Rata
18.600 2,7 2.537 3,6 301 2,7 168 5,5 Setelah
Setahun Datar
19.667 3,0 1.717 2,8 415 3,4 102 3,4 Sedang
22.567 2,6 2.816 4,0 301 2,5 97
3,4 Curam
10.600 2,6 1.957 3,0 204 1,8 107 3,8 Rata-Rata
17.611 2,7 2.163 2,9 307 2,6 102 3,5
Dari tabel 8 dapat dilihat masih dijumpai adanya penurunan jumlah kerapatan dan frekuensi sebagai akibat dari kegiatan pemanenan kayu.
Penurunan kerapatan secara rataan terjadi pada semua tingkatan permudaan. Pada tingkat semai penurunan terbesar terjadi pada petak
dengan kelerengan curam dari sekitar 16.867 individu semaiha turun menjadi sekitar 10.600 individu semaiha. Untuk tingkat pancang
penurunan paling besar terjadi juga pada petak dengan kelerengan curam dari sekitar 3.205 individu pancangha turun cukup besar menjadi 1.957
individu pancangha begitu juga untuk tingkat permudaan tiang yang mengalami penurunan terbesar pada petak dengan kelerengan sedang
yakni dari sejumlah 296 individu tiangha turun menjadi 204 individu tiang ha. Pada tingkat pohon penurunan jumlah kerapatan individu terjadi
pada kelerengan sedang dengan dari sejumlah 173 individu pohonha turun menjadi sekitar 97 individu pohonha. Penurunan jumlah individu dapat
dikarenakan oleh dampak dari kegiatan penebangan yakni karena rebahnya pohon-pohon dan dampak tersebut tergantung dari kondisi lanskap dan
topografi kawasan. Semakin tinggi tingkat kelerengan dan semakin tinggi kerapatan suatu kawasan maka dampak penebangan akan semakin tinggi.
Satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran pada lokasi penelitian selain terjadi penurunan jumlah individuha juga terjadi
peningkatan jumlah individuha, hal ini terjadi pada tingkatan permudaan semai, pancang dan tiang. Pada tingkat semai peningkatan jumlah terjadi
pada petak dengan kelerengan datar yakni meningkat dari sekitar 13.533 individu semaiha menjadi sekitar 19.667 individu semaiha. Pada tingkat
pancang peningkatan terjadi pada petak sedang yakni meningkat dari sekitar 2.208 individu pancangha menjadi 2.816 individu pancangha.
Untuk tingkatan tiang peningkatan jumlah individu kembali teramati pada petak dengan kelerengan datar dengan 240 individu tiangha pada kondisi
primer meningkat menjadi sekitar 415 individu tiangha. Peningkatan jumlah individuha dapat dikarenakan oleh terbukanya celah hutan akibat
kegiatan penebangan sehingga mengakibatkan terjadinya ledakan populasi
dari jenis-jenis yang sangat memerlukan paparan sinar matahari pada permudaan tingkat awal yakni semai dan pancang.
Nilai frekuensi jenis pada kondisi satu tahun jika dibandingkan dengan kondisi primer pada semua tingkatan permudaan rata-rata secara
keseluruhan berada dibawah kondisi primer. Tetapi pada beberapa tingkat permudaan dan kelerengan tertentu nilai frekuensi jenis pada kondisi
primer terlampaui oleh nilai frekuensi jenis pada saat setahun setelah kegiatan penebangan. Hal ini terlihat pada permudaan semai petak datar
dimana nilai frekuensinya meningkat dari 2,3 menjadi 3,0. Nilai frekuensi yang lebih besar juga teramati pada tingkatan pancang pada kelerengan
sedang yang meningkat dari nilai frekuensi 3,2 menjadi 4,0. Pada tingkat tiang nilai lebih besar didapati pada petak dengan kelerengan datar yakni
meningkat dari nilai frekuensi 2,2 menjadi 3,4 nilai ini sekaligus kenaikan terbesar pada semua tingkat permudaan. Hanya tingkat pohon yang nilai
frekuensinya masih berada dibawah dari nilai frekuensi pada kondisi primer.
4. Dominansi Jenis
Dominansi suatu jenis terhadap jenis-jenis lain di dalam tegakan dapat dinyatakan dari hasil perhitungan Indeks Nilai Penting INP pada masing-
masing jenis. Dominansi spesies menunjukkan tingkat kehadiran, tingkat kesesuaian dan penguasaan suatu jenis dalam ekosistem. Jenis yang
dominan adalah jenis yang mempunyai nilai INP tinggi. Indeks Nilai Penting INP merupakan indikator yang sesuai untuk melihat pengaruh
perubahan jumlah jenis dalam petak pada kondisi virgin ataupun setelah penebangan dan penjaluran.
Menurut Sutisna 2001, suatu jenis sudah dapat dikatakan berperan jika nilai INP pada tingkat semai dan pancang lebih dari 10 sedangkan
untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15. Tetapi ada kalanya terdapat jenis yang menduduki peringkat bawah jenis yang lain, tetapi peringkat
kedua jenis tersebut bisa berubah setelah kegiatan pemanenan hutan. Tabel 9 menyajikan data INP lima besar pada tingkat semai dari kondisi hutan
primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan sistem TPTII.
Tabel 9. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Semai Hutan Primer dengan LOA+1
Kel. Jenis Dominan Primer
Jenis Dominan LOA+1 Semai
INP Semai
INP
Datar Sterculia gilva
24,5 Shorea parvifolia
30,0 Shorea macrophylla
20,6 Shorea macrophylla
22,8 Shorea quadrinervis
19,4 Sterculia gilva
20,7 Syzygium guineense
19,4 Myristica sp.
19,5 Litsea firma
14,9 Litsea firma
17,7
Sedang Shorea patoeiensis
29,5 Shorea patoeiensis
41,0 Canarium sp.
24,0 Shorea parvifolia
18,5 Shorea macrophylla
21,9 Sterculia gilva
16,9 Sterculia gilva
18,0 Vatica rassak
11,5 Litsea firma
13,8 Cratoxylon formosum
10,5
Curam Shorea macrophylla
24,5 Syzygium guineense
31,8 Shorea parvifolia
23,4 Sterculia gilva
30,2 Syzygium guineense
17,4 Litsea firma
24,1 Litsea firma
15,6 Shorea parvifolia
21,1 Shorea patoeiensis
15,4 Myristica sp.
10,1
Untuk tingkatan permudaan semai, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Untuk
kelerengan datar INP terbesar bergeser dari Jenis Bonetan atau Sterculia gilva menjadi jenis meranti merah atau Shorea sp. sedangkan jenis
Bonetan sendiri masih berada di urutan lima besar yakni menduduki peringkat tiga. Untuk kelerengan sedang jenis dengan INP terbesar yakni
jenis dengan nama lokal Nyerakat dan nama dagang Meranti Putih atau Shorea patoeiensis dengan nilai INP meningkat hampir dua kali lipat
yakni dari sekitar 29,5 menjadi 41,0. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar bergeser dari jenis tengkawang atau Shorea
macrophylla kepada jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Secara keseluruhan untuk tingkat semai jenis baru yang menduduki posisi INP
teratas diantaranya adalah jenis Dara-dara Myristica sp, Resak Vatica rassak dan Geronggang Cratoxylon sp.
Tabel 10 menyajikan data INP lima besar pada tingkat pancang dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan
dan penjaluran dengan sistem TPTII. Tabel 10. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pancang Hutan
Primer dengan LOA+1
Kel. Jenis Dominan Primer
Jenis Dominan LOA+1 Pancang
INP Pancang
INP
Datar Syzygium guineense
35,5 Diospyros malam
23,8 Litsea firma
26,2 Syzygium guineense
22,9 Myristica sp.
18,4 Sterculia gilva
21,7 Sterculia gilva
17,5 Litsea firma
20,1 Vatica rassak
13,6 Myristica sp.
19,3
Sedang Sterculia gilva
22,3 Shorea patoeiensis
24,0 Myristica sp.
21,7 Sterculia gilva
16,6 Vatica rassak
20,4 Shorea parvifolia
14,7 Diospyros malam
17,1 Syzygium guineense
11,4 Litsea firma
14,4 Dillenia excelsa
11,3
Curam Litsea firma
26,3 Syzygium guineense
19,3 Syzygium guineense
21,0 Litsea firma
18,2 Myristica sp.
16,2 Sterculia gilva
17,7 Sterculia gilva
15,8 Macaranga gigantifolia
16,1 Shorea macrophylla
14,2 Anthocepalus cadamba
14,5
Untuk tingkatan permudaan pancang, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar juga tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan.
Untuk kelerengan datar INP terbesar bergeser dari Jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense menjadi jenis Kayu Arang atau Diospyros malam
sedangkan jenis Syzygium guineense atau Jambu-jambu sendiri turun satu peringkat dan menduduki tempat kedua INP terbesar. Untuk kelerengan
sedang dari jenis dengan INP terbesar yakni jenis dengan nama lokal Bonetan atau Sterculia gilva bergeser menjadi jenis Nyerakat yang lebih
dikenal dengan nama dagang Meranti Putih atau Shorea patoeiensis. Untuk kelerengan curam INP terbesar juga mengalami perubahan, yakni
bergeser dari jenis Medang atau Litsea firma menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Secara keseluruhan untuk tingkat pancang, jenis
baru yang naik menduduki posisi INP lima teratas diantaranya adalah jenis Dillenia excelsa, Macaranga gigantifolia dan Anthocepalus cadamba.
Tabel 11 menyajikan data INP lima besar pada tingkat tiang dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan
dan penjaluran dengan sistem TPTII. Tabel 11. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Tiang Hutan
Primer dengan LOA+1
Kel. Jenis Domminan Primer
Jenis Dominan LOA+1 Tiang
INP Tiang
INP
Datar Syzygium guineense
50,4 Syzygium guineense
33,7 Paraserianthes falcataria
35,6 Litsea firma
24,9 Litsea firma
20,8 Diospyros malam
24,2 Myristica sp.
18,7 Dillenia borneensis
23,7 Sterculia gilva
18,2 Sterculia gilva
22,7
Sedang Syzygium guineense
37,5 Sterculia gilva
39,6 Paraserianthes falcataria
24,2 Vatica rassak
37,4 Sterculia gilva
22,1 Syzygium guineense
24,0 Litsea firma
21,5 Litsea firma
23,9 Dillenia borneensis
16,9 Myristica sp.
22,2
Curam Litsea firma
31,2 Syzygium guineense
38,3 Syzygium guineense
26,4 Litsea firma
34,3 Dillenia borneensis
21,6 Dillenia borneensis
24,4 Paraserianthes falcataria
19,7 Paraserianthes falcataria
22,1 Nephelium lappaceum
19,0 Vatica rassak
12,8
Untuk tingkatan permudaan tiang, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tetap tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan.
Untuk kelerengan datar INP terbesar tetap diduduki oleh jenis Jambu- jambu atau Syzygium guineense hanya nilai INPnya saja yang menurun
cukup signifikan yakni dari 50,4 menjadi 33,7. Untuk kelerengan sedang dari jenis dengan INP terbesar yakni jenis dengan nama lokal
Jambu-jambu atau Syzygium guineense bergeser menjadi jenis Bonetan atau Sterculia gilva. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar juga
mengalami perubahan, yakni bergeser dari jenis Medang atau Litsea firma menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Penambahan jenis
baru yang menduduki INP lima terbesar hanya tampak pada jenis Resak yang dikenal dengan nama latin Vatica rassak.
Tabel 12 menyajikan data INP lima besar pada tingkat pohon dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan
dan penjaluran dengan sistem TPTII.
Untuk tingkatan permudaan pohon, pada kelerengan datar INP terbesar bergeser dari jenis dengan nama dagang meranti merah atau Shorea
parvifolia menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Hal ini mungkin terjadi akibat kegiatan penebangan yang mana jenis meranti
merah merupakan jenis yang ditebang sehingga menurun nilai INPnya dari 40,9 menjadi 21,7. Untuk kelerengan sedang jenis Shorea parvifolia
kembali merajai dan kali ini tetap paling mendominasi walaupun nilai INPnya menurun dari sekitar 35,8 menjadi 22,4 pada rentang waktu
setahun setelah penebangan. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar mengalami perubahan. Bergeser dari jenis dengan nama dagang
meranti merah atau Shorea parvifolia berubah menjadi jenis Girik atau Dillenia borneensis.
Tabel 12. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pohon Hutan Primer dengan LOA+1
Kel. Jenis Domminan Primer
Jenis Dominan LOA+1 Pohon
INP Pohon
INP
Datar Shorea parvifolia
40,9 Syzygium guineense
31,4 Syzygium guineense
30,9 Dillenia borneensis
27,6 Litsea firma
29,9 Shorea macrophylla
25,5 Paraserianthes falcataria
22,5 Shorea parvifolia
21,7 Shorea macrophylla
19,8 Litsea firma
16,5
Sedang Shorea parvifolia
35,8 Shorea parvifolia
22,4 Shorea macrophylla
31,7 Syzygium guineense
22,1 Syzygium guineense
26,6 Dillenia borneensis
16,5 Paraserianthes falcataria
16,1 Litsea firma
15,5 Dillenia borneensis
15,7 Shorea patoeiensis
14,7
Curam Shorea parvifolia
25,9 Dillenia borneensis
33,6 Syzygium guineense
23,7 Litsea firma
30,2 Paraserianthes falcataria
21,6 Syzygium guineense
27,4 Shorea macrophylla
20,7 Shorea parvifolia
25,6 Litsea firma
17,7 Shorea macrophylla
16,2
, Secara keseluruhan untuk tingkat pohon perubahan nilai INP lebih
dipengaruhi oleh kegiatan penebangan untuk kayu jenis komersil dan kematian atau kerusakan pohon untuk jenis non komersil. Tidak teramati
terjadi perubahan atau penambahan jenis baru yang menduduki INP lima terbesar pada tingkatan permudaan pohon.
Kegiatan penebangan atau produksi hasil hutan kayuhanya dilakukan terhadap kayu komersial yang diijinkan oleh pemerintah untuk ditebang.
Pohon-pohon dengan nilai ekonomi tinggi tetapi dilindungi dan bermanfaat lokal tidak akan diproduksi oleh perusahaan.
Tabel 13 menyajikan data INP yang dikelompokkan kedalam tiga jenis yakni, Komersil Tebang KT, Komersil Tidak Tebang KTT yang
biasanya merupakan jenis-jenis dilindungi, dan Non Komersil Tidak Tebang NK.
Tabel 13. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis.
Kondisi Hutan Kelerengan
Kelompok Jenis
Tingkatan Vegetasi Semai
Pancang Tiang
Pohon
Hutan Primer Datar
KT 180,0
172,3 236,4
235,5 KTT
13,7 22,5
58,9 52,3
NK 6,3
5,2 4,7
12,2 Sedang
KT 189,2
173,6 241,5
246,5 KTT
6,3 20,7
52,0 41,8
NK 4,5
5,7 6,5
11,7 Curam
KT 179,4
175,5 239,5
226,9 KTT
14,0 18,5
49,3 53,5
NK 6,6
6,0 11,2
19,6
Et+1 Datar
KT 180,3
177,4 254,9
255,0 KTT
17,1 20,3
38,6 31,4
NK 2,6
2,3 6,5
13,6 Sedang
KT 161,2
156,1 249,0
243,7 KTT
33,2 35,9
40,1 38,7
NK 5,6
8,0 10,9
17,6 Curam
KT 167,1
148,4 246,9
235,1 KTT
29,3 48,8
45,4 51,7
NK 3,6
2,8 7,7
13,2
Keterangan : KT = Komersil Tebang KTT = Komersil Tak Tebang,
NK = Non Komersil Lesser Known Timber
Pada Tabel 13 dapat dilihat INP total pada masing-masing kondisi hutan dan kelerengan yang dikelompokkan berdasarkan jenis-jenis kayu
komersil, yang ditebang, komersial tidak ditebang dan non komersil. Secara keseluruhan kondisi hutan dapat dinyatakan bahwa jenis kayu
komersil ditebang terlihat sangat mendominasi nilainya jika dibandingkan dengan jenis komersil tidak ditebang. Hal ini dapat membuktikan bahwa
potensi kawasan hutan tempat penelitian cukup tinggi.
5. Keanekaragaman Jenis
Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan melihat besarnya nilai Indeks Keanekaragaman Jenis H’. Tinggi
rendahnya nilai H’ mencerminkan tingkatan keanekaragaman pada suatu tegakan. Nilai H’ akan mencapai maksimum jika jenis yang ada pada suatu
tegakan mempunyai nilai kualitatif yang sangat besar. Keanekaragaman suatu jenis ditentukan oleh dua komponen yaitu kekayaan jenis dan
kemerataan jenisnya Magurran, 1988. Dan untuk menentukan parameter pertama digunakan Indeks Kekayaan Jenis Margallef R1. R1 adalah
indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas. Berdasarkan Magurran 1988 besaran R13,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong
rendah, 3,5R15,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang, dan R15,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong tinggi. Besarnya R1 untuk
masing-masing lokasi plot pengamatan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Indeks Kekayaan Margallef R1 pada Plot Pengamatan.
Kondisi Hutan
Kelerengan Tingkatan Vegetasi
Semai Pancang
Tiang Pohon
A Datar
4,0 6,1
6,7 7,4
Sedang 5,3
6,0 7,4
7,9 Curam
5,9 5,4
6,2 7,3
D Datar
3,1 4,8
4,9 5,1
Sedang 4,1
4,1 5,9
6,3 Curam
4,5 4,2
5,9 6,6
Keterangan : A = Hutan Primer
D = Hutan Setelah Setahun Penebangan Et+1
Dari Tabel 14 terlihat bahwa pada tingkat semai nilai R1 tergolong tinggi terdapat pada kondisi primer sedang dan curam, untuk nilai R1 yang
tergolong rendah terdapat pada Et+1 datar dan R1 tergolong sedang terdapat pada kondisi primer datar, Et+1 sedang dan Et+1 curam. Pada
tingkatan pancang R1 yang tergolong sedang terdapat pada kondisi E+1 pada semua kelerengan sedangkan pada kondisi primer nilai R1
seluruhnya tergolong tinggi. Pada tingkatan tiang, hampir seluruh nilai R1 tergolong tinggi dengan nilai tertinggi pada kondisi primer sedang.
Sedangkan untuk kondisi Et+1 datar nilai R1 tergolong sedang. Dan pada tingkatan pohon seluruh nilai R1 tergolong tinggi dengan nilai R1 tertinggi
pada kondisi primer sedang.
Evenness Index E atau Indeks Kemerataan menunjukkan ukuran kemerataan proporsi jumlah individu pada setiap spesies yang dijumpai
pada suatu komunitas. E juga dapat digunakan sebagai indikator adanya sistem dominansi antara setiap spesies Magurran, 1988. E pada kondisi
hutan primer dan pada kondisi hutan satu tahun setelah penebangan tersaji pada Tabel 15.
Tabel 15. Indeks Kemerataan Jenis E pada Plot Pengamatan.
Kondisi Hutan
Kelerengan Tingkatan Vegetasi
Semai Pancang
Tiang Pohon
A Datar
0,9 0,8
0,9 0,8
Sedang 0,7
0,8 0,9
0,9 Curam
0,8 0,8
0,9 0,9
D Datar
0,8 0,8
0,8 0,8
Sedang 0,8
0,8 0,8
0,8 Curam
0,8 0,8
0,9 0,9
Keterangan : A = Hutan Primer
D = Hutan Setelah Setahun Penebangan Et+1
Berdasarkan perhitungan dapat dilihat bahwa nilai Indeks Kemerataan E pada kondisi primer ataupun Et+1 memiliki nilai diatas 0,6. Dengan
demikian maka berdasarkan kriteria Megurran 1988 kedua kondisi hutan tersebut bahwa memiliki nilai kemerataan jenis yang tinggi.
Indeks Nilai Penting masing-masing jenis berkaitan erat dengan Indeks Keanekaragaman Jenis H’ dalam petak. Nilai H’ sebenarnya
menggambarkan banyaknya jumlah individu jenis dan jumlah jenis. Perhitungan nilai H’ menghasilkan nilai yang berbeda-beda. Perubahan
nilai H’ yang terjadi akibat adanya suatu gangguan menyebabkan penurunan nilai H’ pada umumnya. Nilai Keanekaragaman jenis dari
setiap tegakan hutan tersaji dalam Tabel 16. Tabel 16. Indeks Keanekaragaman Jenis H’ pada Plot Pengamatan.
Kondisi Hutan
Kelerenga n
Tingkatan Vegetasi Semai
Pancang Tiang
Pohon
A Datar
2,8 2,9
3,1 3,2
Sedang 2,6
3,1 3,3
3,4 Curam
2,9 3,0
3,2 3,4
D Datar
2,8 2,9
3,1 3,3
Sedang 2,9
3,2 3,2
3,3 Curam
2,8 3,0
3,1 3,5
Keterangan : A = Hutan Primer
D = Hutan Setelah Setahun Penebangan Et+1
Menurut Magurran 1988 nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya berada pada kisaran antara 1,5 – 3,5. Jika nilai Indeks
Keanekaragaman Jenis H’ dibawah nilai 1,5 maka nilai H’ tergolong rendah. Jika nilai H’ berada pada rentang 1,5H’3,5 maka tergolong
sedang dan jika berada pada nilai diatas 3,5 maka nilai H’ tergolong tinggi. Pada umumnya karena jarang didapati nilai H’ pada suatu kawasan yang
tergolong tinggi dan mengingat terlalu lebarnya rentang nilai sedang maka jika suatu nilai H’ mendekati 3,5 maka tingkat keanekaragaman sudah
dapat digolongkan cukup tinggi. Dari tabel 16 terlihat bahwa secara umum keanekaragaman jenis pada
kedua kondisi hutan berada pada rentang nilai diatas 3,0 sehingga berdasarkan Magurran 1988 kedua kondisi hutan tersebut memiliki
tingkat keanekaragaman cukup tinggi. Pada kondisi hutan primer seluruh nilai H’ berada dibawah 3,5 sedangkan pada kondisi hutan setahun setelah
penebangan terdapat nilai batas 3,5 yang dapat dikatakan terjadi peningkatan nilai keanekaragaman.
B. Kondisi Jalur Tanam Petak Penelitian
Kawasan hutan yang dikelola dengan teknik silvikultur jenis Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII sesuai dengan rancangannya dilakukan
penanaman tanaman pengayaan jenis Shorea leprosula, Shorea dasyphylla, dan Shorea parvifolia. Hasil pengukurannya tersaji pada Tabel 17.
Tabel 17. Persentasi Natalitas dan Mortalitas Tanaman Pengayaan pada Et+1
Petak Mati
Tnm Hdp
Tdk tnm Tot.
Petak π
Petak π
Semua Petak
π Petak
π Sem
ua Yang ditanam ha
Yang mati ha
D-I 3
57 54
143 200
28,5 70,5
67,1 5,3
17,7 17,5
D-II 54
198 144
2 200
99,0 27,3
D-III 18
168 150
32 200
84,0 10,7
C-I 31
145 114
55 200
72,5 71,3
21,4 17,3
C-II 11
108 97
92 200
54,0 10,2
C-III 32
175 143
25 200
87,5 18,3
S-I 9
75 66
125 200
37,5 59,5
12,0 17,4
S-II 18
95 77
105 200
47,5 18,9
S-III 35
187 152
13 200
93,5 18,7
Keterangan : D-I : Petak Penelitian dengan Kelerengan Datar hektar pertama, dst
S-I : Petak Penelitian dengan Kelerengan Sedang hektar pertama, dst. C-I : Petak Penelitian dengan Kelerengan Curam hektar pertama, dst
π : Rata-rata
Pada Tabel 17 didapat informasi bahwa dari sekitar 200 tanaman yang direncanakan ditanam pada petak per hektar areal, pada rentang waktu setahun
setelah penebangan didapati rataan jumlah sekitar 67,1 telah selesai ditanam dari keseluruhan petak contoh. Dari jumlah tersebut petak D-II mempunyai
persentase tanam tertinggi yakni 99 telah ditanam dan petak D-I yang terendah dengan persentase 28,5. Sedangkan untuk persentase kematian
bibit yang telah ditanam pada petak penelitian mencapai rataan total sekitar 17,5 dengan persentase kematian tanaman pengayaan tertinggi pada petak
D-II sebanyak 27,3 dan persentase kematian tanaman tertendah pada petak D-I, yakni sekitar 5,3 tanaman pengayaan mengalami kematian. Dari
sejumlah tersebut penyebab kematian tanaman pengayaan menilik dari penampakan tanaman pengayaan pada lokasi dapat disebabkan pada dua hal,
yang pertama tanaman pengayaan mati karena kekeringan mati kering dengan batang masih tampak tertancap pada tanah dan yang kedua tenaman
pengayaan mati karena tercabut oleh hewan liar yang hidup pada lokasi penanaman. Untuk tanaman pengayaan yang belum ditanam, dapat
diklasifikasikan penyebabnya menjadi: 1.
Kondisi bentang alam tempat penanaman yang berupa daerah rawa berlumpur sehingga kurang memungkinkan jika dilakukan penanaman
dengan cara biasanya. Diindikasikan areal rawa ini tidak akan ditanami tanaman pengayaan. Patok tanam yang berjarak sekitar 2,5 m x 20 m tetap
ditancapkan untuk mempermudah penghitungan jumlah bibit yang akan ditanam atau belum ditanam,
2. Lokasi penanaman yang merupakan hutan bekas penebangan sekitar
setahun yang lalu, sehingga sangat banyak didapati log kayu yang tumpang tindih menutupi areal tanam. Terlebih kondisi ini sangat
menyulitkan para pekerja untuk menanam bibit, belum lagi ditambah kondisi medan yang sebagian merupakan areal yang curam ataupun sangat
curam sehingga proses pengangkutan dan penanaman hanya bisa dilakukan secara manual,
3. Areal tanam memang belum ditanam oleh perusahaan dan hal ini kurang
sesuai dengan aturan petunjuk teknis mengenai TPTII bahwa pada Et+1
seharusnya seluruh areal telah ditanami tanaman pengayaan, mengingat penebangan telah dilakukan sekitar bulan Februari 2008.
Tabel 18 menyajikan data mengenai diameter dan tinggi rataan dari tanaman pengayaan pada petak GG-39 pada tiga kelas kelerengan yakni
datar, sedang, dan curam dengan umur tanam di jalur tanam berkisar antara 3 – 6 bulan.
Tabel 18 Rata- Rata Diameter Ф dan Tinggi Tanaman Jalur TPTII Et+1
Petak Jumlah
Hidupha Rata-
rata Ф cmha
Rata-rata tinggi cmha
D-I 54
0,47 58,7
D-II 144
0,84 93,1
D-III 150
0,44 64,1
S-I 66
0,68 81,5
S-II 77
0,77 92,9
S-III 152
0,42 60,3
C-I 114
0,42 52,9
C-II 97
0,65 82,4
C-III 143
0,42 61,4
Keterangan : D-I
: Petak Penelitian dengan Kelerengan Datar hektar pertama, dst S-I
: Petak Penelitian dengan Kelerengan Sedang hektar pertama, dst. C-I
: Petak Penelitian dengan Kelerengan Curam hektar pertama, dst
Tabel 18 menyajikan data mengenai rata-rata diameter dan tinggi tanaman pengayaan pada jalur tanam. Rataan diameter tertinggi terdapat pada petak D-
II yakni sebesar 0,84 cm, sedangkan rataan diameter terendah terdapat pada petak S-III, C-I dan C-III yakni sebesar 0,42 cm. Jika ditelaah rataan
tingginya, rataan tinggi dari tanaman pengayaan paling tinggi didapati pada petak D-II yakni setinggi 93,1 cm, sedangkan rataan tinggi paling rendah
didapati pada petak C-I yakni setinggi 52,9 cm. Melihat cukup besarnya rentang selisih dari diameter dan tinggi tanaman pengayaan maka belum dapat
disimpulkan mengenai korelasi antara umur tanaman dengan diameter ataupun tinggi tanaman pengayaan. Hal ini lebih dikarenakan tanaman pengayaan
ditanam dalam waktu yang tidak bersamaan. Data tinggi dan diameter tanaman seolah dapat dipecah menjadi dua kelompok. Pada kelompok petak
D-II, S-1, S-II, dan C-II dapat dilihat diameter dan tinggi dari tanaman pengayaan jauh lebih besar dibanding dengan kelompok petak lainnya petak
D-I, D-III, S-III, C-I dan C-III.
C. Perkembangan Sifat Fisika dan Kimia Tanah Lokasi Penelitian