dari jenis-jenis yang sangat memerlukan paparan sinar matahari pada permudaan tingkat awal yakni semai dan pancang.
Nilai frekuensi jenis pada kondisi satu tahun jika dibandingkan dengan kondisi primer pada semua tingkatan permudaan rata-rata secara
keseluruhan berada dibawah kondisi primer. Tetapi pada beberapa tingkat permudaan dan kelerengan tertentu nilai frekuensi jenis pada kondisi
primer terlampaui oleh nilai frekuensi jenis pada saat setahun setelah kegiatan penebangan. Hal ini terlihat pada permudaan semai petak datar
dimana nilai frekuensinya meningkat dari 2,3 menjadi 3,0. Nilai frekuensi yang lebih besar juga teramati pada tingkatan pancang pada kelerengan
sedang yang meningkat dari nilai frekuensi 3,2 menjadi 4,0. Pada tingkat tiang nilai lebih besar didapati pada petak dengan kelerengan datar yakni
meningkat dari nilai frekuensi 2,2 menjadi 3,4 nilai ini sekaligus kenaikan terbesar pada semua tingkat permudaan. Hanya tingkat pohon yang nilai
frekuensinya masih berada dibawah dari nilai frekuensi pada kondisi primer.
4. Dominansi Jenis
Dominansi suatu jenis terhadap jenis-jenis lain di dalam tegakan dapat dinyatakan dari hasil perhitungan Indeks Nilai Penting INP pada masing-
masing jenis. Dominansi spesies menunjukkan tingkat kehadiran, tingkat kesesuaian dan penguasaan suatu jenis dalam ekosistem. Jenis yang
dominan adalah jenis yang mempunyai nilai INP tinggi. Indeks Nilai Penting INP merupakan indikator yang sesuai untuk melihat pengaruh
perubahan jumlah jenis dalam petak pada kondisi virgin ataupun setelah penebangan dan penjaluran.
Menurut Sutisna 2001, suatu jenis sudah dapat dikatakan berperan jika nilai INP pada tingkat semai dan pancang lebih dari 10 sedangkan
untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15. Tetapi ada kalanya terdapat jenis yang menduduki peringkat bawah jenis yang lain, tetapi peringkat
kedua jenis tersebut bisa berubah setelah kegiatan pemanenan hutan. Tabel 9 menyajikan data INP lima besar pada tingkat semai dari kondisi hutan
primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan sistem TPTII.
Tabel 9. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Semai Hutan Primer dengan LOA+1
Kel. Jenis Dominan Primer
Jenis Dominan LOA+1 Semai
INP Semai
INP
Datar Sterculia gilva
24,5 Shorea parvifolia
30,0 Shorea macrophylla
20,6 Shorea macrophylla
22,8 Shorea quadrinervis
19,4 Sterculia gilva
20,7 Syzygium guineense
19,4 Myristica sp.
19,5 Litsea firma
14,9 Litsea firma
17,7
Sedang Shorea patoeiensis
29,5 Shorea patoeiensis
41,0 Canarium sp.
24,0 Shorea parvifolia
18,5 Shorea macrophylla
21,9 Sterculia gilva
16,9 Sterculia gilva
18,0 Vatica rassak
11,5 Litsea firma
13,8 Cratoxylon formosum
10,5
Curam Shorea macrophylla
24,5 Syzygium guineense
31,8 Shorea parvifolia
23,4 Sterculia gilva
30,2 Syzygium guineense
17,4 Litsea firma
24,1 Litsea firma
15,6 Shorea parvifolia
21,1 Shorea patoeiensis
15,4 Myristica sp.
10,1
Untuk tingkatan permudaan semai, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Untuk
kelerengan datar INP terbesar bergeser dari Jenis Bonetan atau Sterculia gilva menjadi jenis meranti merah atau Shorea sp. sedangkan jenis
Bonetan sendiri masih berada di urutan lima besar yakni menduduki peringkat tiga. Untuk kelerengan sedang jenis dengan INP terbesar yakni
jenis dengan nama lokal Nyerakat dan nama dagang Meranti Putih atau Shorea patoeiensis dengan nilai INP meningkat hampir dua kali lipat
yakni dari sekitar 29,5 menjadi 41,0. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar bergeser dari jenis tengkawang atau Shorea
macrophylla kepada jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Secara keseluruhan untuk tingkat semai jenis baru yang menduduki posisi INP
teratas diantaranya adalah jenis Dara-dara Myristica sp, Resak Vatica rassak dan Geronggang Cratoxylon sp.
Tabel 10 menyajikan data INP lima besar pada tingkat pancang dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan
dan penjaluran dengan sistem TPTII. Tabel 10. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pancang Hutan
Primer dengan LOA+1
Kel. Jenis Dominan Primer
Jenis Dominan LOA+1 Pancang
INP Pancang
INP
Datar Syzygium guineense
35,5 Diospyros malam
23,8 Litsea firma
26,2 Syzygium guineense
22,9 Myristica sp.
18,4 Sterculia gilva
21,7 Sterculia gilva
17,5 Litsea firma
20,1 Vatica rassak
13,6 Myristica sp.
19,3
Sedang Sterculia gilva
22,3 Shorea patoeiensis
24,0 Myristica sp.
21,7 Sterculia gilva
16,6 Vatica rassak
20,4 Shorea parvifolia
14,7 Diospyros malam
17,1 Syzygium guineense
11,4 Litsea firma
14,4 Dillenia excelsa
11,3
Curam Litsea firma
26,3 Syzygium guineense
19,3 Syzygium guineense
21,0 Litsea firma
18,2 Myristica sp.
16,2 Sterculia gilva
17,7 Sterculia gilva
15,8 Macaranga gigantifolia
16,1 Shorea macrophylla
14,2 Anthocepalus cadamba
14,5
Untuk tingkatan permudaan pancang, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar juga tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan.
Untuk kelerengan datar INP terbesar bergeser dari Jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense menjadi jenis Kayu Arang atau Diospyros malam
sedangkan jenis Syzygium guineense atau Jambu-jambu sendiri turun satu peringkat dan menduduki tempat kedua INP terbesar. Untuk kelerengan
sedang dari jenis dengan INP terbesar yakni jenis dengan nama lokal Bonetan atau Sterculia gilva bergeser menjadi jenis Nyerakat yang lebih
dikenal dengan nama dagang Meranti Putih atau Shorea patoeiensis. Untuk kelerengan curam INP terbesar juga mengalami perubahan, yakni
bergeser dari jenis Medang atau Litsea firma menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Secara keseluruhan untuk tingkat pancang, jenis
baru yang naik menduduki posisi INP lima teratas diantaranya adalah jenis Dillenia excelsa, Macaranga gigantifolia dan Anthocepalus cadamba.
Tabel 11 menyajikan data INP lima besar pada tingkat tiang dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan
dan penjaluran dengan sistem TPTII. Tabel 11. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Tiang Hutan
Primer dengan LOA+1
Kel. Jenis Domminan Primer
Jenis Dominan LOA+1 Tiang
INP Tiang
INP
Datar Syzygium guineense
50,4 Syzygium guineense
33,7 Paraserianthes falcataria
35,6 Litsea firma
24,9 Litsea firma
20,8 Diospyros malam
24,2 Myristica sp.
18,7 Dillenia borneensis
23,7 Sterculia gilva
18,2 Sterculia gilva
22,7
Sedang Syzygium guineense
37,5 Sterculia gilva
39,6 Paraserianthes falcataria
24,2 Vatica rassak
37,4 Sterculia gilva
22,1 Syzygium guineense
24,0 Litsea firma
21,5 Litsea firma
23,9 Dillenia borneensis
16,9 Myristica sp.
22,2
Curam Litsea firma
31,2 Syzygium guineense
38,3 Syzygium guineense
26,4 Litsea firma
34,3 Dillenia borneensis
21,6 Dillenia borneensis
24,4 Paraserianthes falcataria
19,7 Paraserianthes falcataria
22,1 Nephelium lappaceum
19,0 Vatica rassak
12,8
Untuk tingkatan permudaan tiang, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tetap tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan.
Untuk kelerengan datar INP terbesar tetap diduduki oleh jenis Jambu- jambu atau Syzygium guineense hanya nilai INPnya saja yang menurun
cukup signifikan yakni dari 50,4 menjadi 33,7. Untuk kelerengan sedang dari jenis dengan INP terbesar yakni jenis dengan nama lokal
Jambu-jambu atau Syzygium guineense bergeser menjadi jenis Bonetan atau Sterculia gilva. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar juga
mengalami perubahan, yakni bergeser dari jenis Medang atau Litsea firma menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Penambahan jenis
baru yang menduduki INP lima terbesar hanya tampak pada jenis Resak yang dikenal dengan nama latin Vatica rassak.
Tabel 12 menyajikan data INP lima besar pada tingkat pohon dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan
dan penjaluran dengan sistem TPTII.
Untuk tingkatan permudaan pohon, pada kelerengan datar INP terbesar bergeser dari jenis dengan nama dagang meranti merah atau Shorea
parvifolia menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Hal ini mungkin terjadi akibat kegiatan penebangan yang mana jenis meranti
merah merupakan jenis yang ditebang sehingga menurun nilai INPnya dari 40,9 menjadi 21,7. Untuk kelerengan sedang jenis Shorea parvifolia
kembali merajai dan kali ini tetap paling mendominasi walaupun nilai INPnya menurun dari sekitar 35,8 menjadi 22,4 pada rentang waktu
setahun setelah penebangan. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar mengalami perubahan. Bergeser dari jenis dengan nama dagang
meranti merah atau Shorea parvifolia berubah menjadi jenis Girik atau Dillenia borneensis.
Tabel 12. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pohon Hutan Primer dengan LOA+1
Kel. Jenis Domminan Primer
Jenis Dominan LOA+1 Pohon
INP Pohon
INP
Datar Shorea parvifolia
40,9 Syzygium guineense
31,4 Syzygium guineense
30,9 Dillenia borneensis
27,6 Litsea firma
29,9 Shorea macrophylla
25,5 Paraserianthes falcataria
22,5 Shorea parvifolia
21,7 Shorea macrophylla
19,8 Litsea firma
16,5
Sedang Shorea parvifolia
35,8 Shorea parvifolia
22,4 Shorea macrophylla
31,7 Syzygium guineense
22,1 Syzygium guineense
26,6 Dillenia borneensis
16,5 Paraserianthes falcataria
16,1 Litsea firma
15,5 Dillenia borneensis
15,7 Shorea patoeiensis
14,7
Curam Shorea parvifolia
25,9 Dillenia borneensis
33,6 Syzygium guineense
23,7 Litsea firma
30,2 Paraserianthes falcataria
21,6 Syzygium guineense
27,4 Shorea macrophylla
20,7 Shorea parvifolia
25,6 Litsea firma
17,7 Shorea macrophylla
16,2
, Secara keseluruhan untuk tingkat pohon perubahan nilai INP lebih
dipengaruhi oleh kegiatan penebangan untuk kayu jenis komersil dan kematian atau kerusakan pohon untuk jenis non komersil. Tidak teramati
terjadi perubahan atau penambahan jenis baru yang menduduki INP lima terbesar pada tingkatan permudaan pohon.
Kegiatan penebangan atau produksi hasil hutan kayuhanya dilakukan terhadap kayu komersial yang diijinkan oleh pemerintah untuk ditebang.
Pohon-pohon dengan nilai ekonomi tinggi tetapi dilindungi dan bermanfaat lokal tidak akan diproduksi oleh perusahaan.
Tabel 13 menyajikan data INP yang dikelompokkan kedalam tiga jenis yakni, Komersil Tebang KT, Komersil Tidak Tebang KTT yang
biasanya merupakan jenis-jenis dilindungi, dan Non Komersil Tidak Tebang NK.
Tabel 13. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis.
Kondisi Hutan Kelerengan
Kelompok Jenis
Tingkatan Vegetasi Semai
Pancang Tiang
Pohon
Hutan Primer Datar
KT 180,0
172,3 236,4
235,5 KTT
13,7 22,5
58,9 52,3
NK 6,3
5,2 4,7
12,2 Sedang
KT 189,2
173,6 241,5
246,5 KTT
6,3 20,7
52,0 41,8
NK 4,5
5,7 6,5
11,7 Curam
KT 179,4
175,5 239,5
226,9 KTT
14,0 18,5
49,3 53,5
NK 6,6
6,0 11,2
19,6
Et+1 Datar
KT 180,3
177,4 254,9
255,0 KTT
17,1 20,3
38,6 31,4
NK 2,6
2,3 6,5
13,6 Sedang
KT 161,2
156,1 249,0
243,7 KTT
33,2 35,9
40,1 38,7
NK 5,6
8,0 10,9
17,6 Curam
KT 167,1
148,4 246,9
235,1 KTT
29,3 48,8
45,4 51,7
NK 3,6
2,8 7,7
13,2
Keterangan : KT = Komersil Tebang KTT = Komersil Tak Tebang,
NK = Non Komersil Lesser Known Timber
Pada Tabel 13 dapat dilihat INP total pada masing-masing kondisi hutan dan kelerengan yang dikelompokkan berdasarkan jenis-jenis kayu
komersil, yang ditebang, komersial tidak ditebang dan non komersil. Secara keseluruhan kondisi hutan dapat dinyatakan bahwa jenis kayu
komersil ditebang terlihat sangat mendominasi nilainya jika dibandingkan dengan jenis komersil tidak ditebang. Hal ini dapat membuktikan bahwa
potensi kawasan hutan tempat penelitian cukup tinggi.
5. Keanekaragaman Jenis