132 Bodetabek sebesar 1,38 persen terhadap
total konsumsi pemerintah nasional. Untuk penyerapan investasi di Bodetabek
sebesar 1,98
persen terhadap
penyerapan investasi nasional. Begitu pula dengan Bodetabek, luas wilayah
Bodetabek hanya 0.32 dari total luas wilayah Indonesia. Tabel 19 Distribusi Permintaan Akhir di Masing-Masing Wilayah
No Permintaan Akhir
DKI Jakarta Bodetabek
Sisa Indonesia Total
1 Konsumsi Rumah Tangga
13,35 2,32
84,33 100,00
2 Konsumsi Pemerintah
8,81 1,38
89,82 100,00
3 Investasi
19,32 1,96
78,71 100,00
4 Perubahan Stok
14,58 2,13
83,29 100,00
5 Ekspor Luar Negeri
20,70 1,28
78,02 100,00
Jumlah Permintaan Akhir 16,37
4,16 79,47
100,00
Sumber: Hasil Analisis data BPS tahun 2009.
Pada Tabel 19 disajikan nilai sumbangan kelima sektor besar tersebut pada perekonomian DKI Jakarta secara berurutan adalah sektor bank dan lembaga
keuangan lainnya, industri, perdagangan, usaha bangunan dan jasa perusahaan, serta bangunan. Lima sektor produksi terbesar di Bodetabek secara berurutan
adalah sektor industri, perdagangan, listrik dan air minum, bangunan, serta restoran dan hotel.
4.5. Kelembagaan
Kawasan metropolitan atau metropolis sebagai kawasan fungsional yang
bersifat metropolitan memerlukan perhatian khusus dari sisi pengelolaannya. Oleh karena sifat fungsional perkotaannya yang lintas batas wewenang administratif,
maka pengelolaan tidak dapat dilakukan secara legal formal oleh tiap-tiap daerah otonom pemegang kekuasaan otoritas administratif, khususnya dalam penataan
ruang, tanpa menimbulkan eksternalitas ke daerah lainnya. Jika yang terdorong adalah eksternalitas positif, tentunya tidak akan banyak timbul persoalan di antara
tiap-tiap daerah, dan juga di antara masyarakat dalam lingkup kawasan metropolitan tersebut. Sayangnya, justru berbagai eksternalitas yang negatif yang seringkali
muncul ke permukaan, sebagai implikasi dari tuntutan layanan fasilitas, utilitas,
133 serta infrastruktur yang bersifat makro – lintas daerah, lintas fungsi, dan lintas
dampak. Oleh karena itulah muncul usaha untuk menginternalisasi berbagai eksternalitas penataan ruang yang timbul dari
kebutuhan penyediaan pelayanan jasa dan produk yang bersifat “inter-local public goodsservices” kedalam
pembentukan suatu institusi kawasan secara lebih luas. Tingkat kebutuhan akan institusi ini akan hampir sama besarnya dengan tingkat kebutuhan kita atas ada
tersedia dan berfungsinya infrastuktur, fasilitas, dan utilitas dasar makro untuk mempertahankan kehidupan dan penghidupan penduduk kawasan metropolitan itu
sendiri. Kawasan metropolitan yang semula hanya merupakan fenomena dari
kawasan perkotaan dengan ciri-ciri tertentu, dengan adanya penetapan suatu kawasan perkotaan sebagai kawasan metropolitan yang perlu
dikelola secara
khusus dalam berbagai rancangan peraturan, menjadi sebuah status yaitu suatu entitas objek pengaturan yang jelas batas dan lingkup pengelolaannya. Keberhasilan
dalam mengelola suatu kawasan metropolitan akan tergantung kepada: Pertama, kebijakan yang ditetapkan ke arah mana metropolitan akan dibawa. Hal ini
mestinya merupakan konvergensi dari berbagai kepentingan dalam masyarakat yang diperoleh melalui mekanisme konsensus yang berlaku. Konsensus ini mesti
didukung oleh kemauan politik yang kuat dari pemerintah yang diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk mengelola metropolitan; Kedua, aturan hukum yang
lengkap dengan penegakan hukum sebagai pelaksanaan aturan yang disusun dan disepakati bersama. Kelengkapan aturan beserta penegakannya dimaksudkan
agar kebijakan yang telah ditentukan dapat dilaksanakan dengan rambu-rambu peraturan yang jelas dan applicable. Penegakan hukum mesti dilakukan secara
konsisten dengan prinsip zero tolerance, yaitu penerapan hukum tanpa pandang bulu dengan semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan
hukum; Ketiga, sistem administrasi yang solid sebagai instrumen pelaksanaan kebijakan dan penerapan hukum. Ini berarti diperlukan aparat dan aparatur atau
birokrasi yang bermartabat yang mampu menjalankan kewenangan dan tugasnya secara jujur dan bersih.