Patterns of spatial transformation in the Jabodetabek region spatial

(1)

(2)

PENATAAN RUANG KAWASAN JABODETABEK

YUNUS ARIFIEN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

Nama : Yunus Arifien

NPM : H 061060031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr Ketua

Dr. Ir. Setia Hadi, MS Prof Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengembangan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda , MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Agr


(4)

Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc Dr. Slamet Sutomo, MS


(5)

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

Berkat limpahan rahmat dan ridlo Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menulisnya dalam bentuk disertasi yang berjudul Pola Transformasi Spasial dalam Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek. Melalui disertasi ini penulis berupaya untuk dapat memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan, serta memberikan sumbangan pemikiran bagi pembangunan kawasan Jabodetabek..

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr. selaku ketua komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MSi dan Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc selaku anggota komisi pembimbing; yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah membimbing penulis selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi. Kepada seluruh dosen dan karyawan pada Program Studi PWD khususnya, serta Sekolah Pascasarjana IPB umumnya, yang telah menambah ilmu dan wawasan, serta membantu penulis selama menempuh studi; dengan tulus disampaikan terima kasih yang tinggi.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor serta seluruh dosen dan karyawan Universitas Nusa Bangsa, atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan sehingga penulis mendapat kesempatan menempuh pendidikan S3. Kepada seluruh unsur Pemerintah Jabodetabek yang telah membantu dalam pengumpulan data dan informasi selama penulis melakukan penelitian,

disampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada seluruh teman

mahasiswa PWD, penulis ucapkah banyak terima kasih atas kebersamaan selama menempuh pendidikan.

Kepada Bapak dan Ibu, serta seluruh keluarga besar yang telah mendidik, membesarkan, dan membantu penulis dengan tulus, hanya rasa terima kasih yang dapat disampaikan. Akhirnya secara khusus kepada Dwi Lesrari istri penulis tercinta serta anak-anak penulis Ikhu dan Fakhri tersayang, yang dengan penuh rasa cinta telah mendampingi, mendorong, dan membantu penulis selama ini, hanya rasa terima kasih dan cinta mendalam yang dapat kupersembahkan.

Semoga seluruh amal perbuatan di atas mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, amin.

Bogor, Februari 2012


(7)

Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 4 Nopember 1961 anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan HA Mudjahid SH dan Siti Aisyah Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1990 melanjutkan S2 pada program studi Ilmu Tanah IPB dan menyelesaikannya pada tahun 1994, Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor diperoleh pada tahun 2006 di Program Studi Ilmu Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis bekerja di Universitas Nusa Bangsa sejak tahun 1987. Selama bekerja di U N B , penulis pernah menjabat sebagai Kabag Humas, Pembantu Dekan II Fakultas Pertanian, Pembantu Dekan I Fakultas Kehutanan, Kepala BAAK dan Wakil Direktur I Program Pascasarjana sampai sekarang. Selain itu penulis juga bekerja pada beberapa konsultan yang bergerak dalam bidang

perkebunan, Amdal, Pemetaan, Tata Ruang danHigh Conservation Value(HCV).

Beberapa karya ilmiah penulis diterbitkan pada Jurnal Nusa Esda dan Nusa Tani. Karya ilmiah yang berjudul: Pola Penggunaan Lahan Kawasan Jabodetabek melalui Pendekatan Irio dan Sistim Dimamik (bagian dari disertasi) diterbitkan pada Jurnal Sosio Ekonomika sedangkan karya ilmiah yang berjudul: Analisis Keterkaitan Sektoral antar Wilayah dan Dampaknya terhadap Penggunaan Lahan Kawasan Jabodetabek Tahun 2009 melalui Pendekatan Irio (bagian dari disertasi) diterbitkan pada Jurnal Nusa Esda.


(8)

YUNUS ARIFIEN. Patterns of Spatial Transformation in the Jabodetabek Region

Spatial. Under direction of ERNAN RUSTIADI, SETIA HADI and AKHMAD

FAUZI.

The objective of this research is to examine: (1) pattern of spatial transformation which happened and (2) intersectoral and inter-regional linkages of Jabodetabek region, and (3)the impact of increased investment in Jakarta to changes

in output and land use Bodetabek. The research was conducted by using the

analysis of Geographic Information System (GIS), Inter Regional Input-Output (IRIO) and dynamic system. The result shows that land use change from agricultural land into built up area during 1972-2009 on the outskirts of the city resulting in changes in rural areas into urban or spatial transformation. Changes in land use is influenced by the increase in population and economic linkages in the Greater

Jakarta. Economic linkages between Jakarta and rest of Indonesia backwash

phenomenon, whereas in the presence of Jakarta regional scale showed a positive multiplier on the economy of the region Bodetabek. In general, scenario Scenario model 2 (restriction of building land in Jakarta that still 10% green land and the population does not exceed capacity) is the best choice, which provide impact on the best land use change and the increase impact of economic growth.


(9)

YUNUS ARIFIEN. Pola Transformasi Spasial dalam Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, SETIA HADI dan AKHMAD FAUZI.

Semakin berkembangnya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala aspek kehidupannya, yang berlangsung secara terus-menerus akan mengakibatkan kota tidak lagi dapat menampung kegiatan penduduk. Oleh karena wilayah kota secara administratif terbatas, maka harus mengalihkan perhatiannya ke daerah pinggiran kota. Dari kecenderungan di atas maka salah satu arah perkembangan kota yang perlu dicermati adalah perkembangan spasial yang berdampak pada perkembangan sosial ekonomi penduduk pinggiran kota. Pokok persoalan yang terdapat di daerah urban fringe pada dasarnya dipicu oleh proses transformasi spasial dan sosial akibat perkembangan daerah urban yang sangat intensif.

Perubahan pemanfaatan ruang yang tidak memperhitungkan keseimbangan geobiofisik akan berakibat kepada kemubaziran atau sebaliknya bencana alam yang terjadi. Pemanfaatan ruang optimum merupakan pemanfaatan ruang yang memberikan kesempatan tiap komponen aktivitas dalam unit ruang tersebut berinteraksi secara maksimal sesuai daya dukung kawasan yang pada akhirnya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang berkepentingan secara berkelanjutan. Aktivitas manusia, baik sosial maupun ekonomi merupakan sumber perubahan dalam pemanfaatan ruang atau kawasan. Dinamika sosial yang diikuti oleh dinamika aktivitas ekonomi akan selalu membawa perubahan tata ruang yang dinamis pula. Oleh karena itu, sifat dinamis tersebut perlu dipertimbangkan dalam pendekatan optimalisasi pemanfaatan ruang (Anwar, 2001).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji (1) pola transformasi spasial yang terjadi dan (2) keterkaitan intersektoral dan interspasial dalam penataan ruang kawasan Jabodetabek yang berkelanjutan dan (3) dampak peningkatan investasi DKI Jakarta terhadap perubahanoutputdan penggunaan lahan secara sektoral dan spasial Bodetabek.

Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis dan menggunakan basis data sekunder untuk analisis dan dibantu dengan teknik pemetaan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Keterkaitan aspek ekonomi digunakan model IRIO sedang pengembangan pemodelan dengan system dinamik. Dalam pemodelan, menggunakan Tabel IRIO yang dikelompokan menjadi 2 sektor yaitu sektor pertanian dan sektor non pertanian.

Adapun skenario-skenario pada model penelitian ini: Skenario 1 sebagai skenario dasar, seandainya kondisi-kondisi awal pada kurun waktu 2002 - 2009 terus berlanjut sampai tahun 2040, (2) di DKI Jakarta dengan pembatasan lahan bangunan sehingga lahan hijau tetap 10 % dan jumlah penduduk tidak melebihi daya tampung namun penduduk yang pindah ke Bodetabek maksimal sesuai dengan daya dukungnya (3) Skenario 3 adalah skenario 2 lahan pertanian minimal


(10)

Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan jumlah penduduk kawasan Jabodetabek khususnya di DKI Jakarta yang semakin meningkat maka luas lahan terbangun juga meningkat di Kawasan Jabodetabek. Pola perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun mulai tahun 1972 – 2009 dengan pola mengikuti makin meluasnya kota Jakarta yaitu keliling lahan terbangun DKI Jakarta makin besar ke pinggiran kota. Kemudian lahan terbangun makin besar mengikuti sarana transportasi yang memadai baik melalui kereta maupun jalan tol, arteri atau jalan lingkar Jakarta. Akibat peningkatan luas lahan terbangun, penggunaan lahan saat ini terdapat lokasi yang tidak sesuai dengan daya dukungnya serta tidak konsisten dengan Perpres nomor 54 tahun 2008. Hasil simulasi ketidak konsistenan ini akan terus meningkat, seiring dengan pertambahan luas bangunan.

Struktur perekonomian yang ada di DKI Jakarta, Bodetabek, dan Sisa Indonesia yang sangat beragam mengakibatkan adanya keterkaitan antar sektor ekonomi yang ada di Indonesia. Kontribusi output untuk masing-masing wilayah, lebih dominan digunakan untuk input pada wilayahnya sendiri, hanya sedikit yang digunakan untuk wilayah lainnya. Output dari DKI Jakarta yang digunakan sebagai input oleh Bodetabek, sektor yang memilki nilai tertinggi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, industri, serta bangunan. Keterkaitan sektor-sektor ekonomi DKI Jakarta dan Bodetabek dengan wilayah Sisa Indonesia

lainnya berindikasi kuat terjadinya fenomena backwash. Sedangkan dalam

sekala regional keberadaan DKI Jakarta memperlihatkan multiplier yang positif terhadap perekonomian kawasan Bodetabek.

Peningkatan investasi pada sektor non pertanian di DKI Jakarta dapat meningkatkan PDRB baik di DKI Jakarta maupun di Bodetabek dan Sisa Indonesia, tetapi juga berdampak penurunan lahan pertanian di Bodetabek. Untuk mencapai DKI Jakarta nyaman dan sesuai dengan daya tampung maka peningkatan investasi non pertanian di DKI Jakarta tidak lebih dari 10 % dan di Bodetabek 15 %. Skenario kedua (moderrat) yaitu di DKI Jakarta dengan pembatasan lahan bangunan sehingga lahan hijau tetap 10 % dan jumlah penduduk tidak melebihi daya tampung namun penduduk yang pindah ke Bodetabek maksimal sesuai dengan daya dukungnya merupakan yang paling baik. Alokasi penggunaan lahan tahun 2015 yaitu lahan terbangun sebesar 229.520 ha dan lahan pertanian 377.177 ha, bila tidak bijak akan terjadi penambahan luas lahan yang tidak konsisten sebesar 35,19 ha

Berdasarkan hasil penelitian di atas maka disarankan bahwa agar dilakukan penelitian lebih lanjut dengan koefisien yang berasal dari IRIO yang dinamis serta memperhatikan perubahan harga dan inflasi


(11)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pola Transformasi Spasial dalam Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

Yunus Arifien H 061060031


(12)

xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

1.5. Kebaruan (Novelty) ... 12

1.6. Kerangka Berpikir ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 19

2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah ... 19

2.1.1. Metropolitan ... 22

2.1.2. Urbanisasi dan Suburbanisasi ... 26

2.1.3. Transformasi Spasial... 30

2.2. Penggunaan Tanah(Land Use) ... 32

2.3. Model Input-Output (I-O) ... 36

2.3.1. Input-Output Regional ... 37

2.3.2. Model Input-Output Interregional ... 38

2.3.3. Aplikasi Input-Output dalam Perencanaan Daerah ... 48

2.4. Model Sistem Dinamik ... 51

2.5. Spasial Dinamik ... 54

2.5.1. Sistem Informasi Geografis ... 54

2.5.2. Analisis Spasial ... 55

2.6. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 57

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 61

3.1. Desain Penelitian ... 61

3.2. Pengumpulan Data ... 62

3.3. Teknik Analisis dan Pemodelan ... 63

3.3.1. Analisis Sistim Informasi Geografi ... 63

3.3.2. Klasifikasi Kemampuan Lahan ... 64

3.3.3. Analisis Kesesuaian Lahan ... 70

3.3.4. Analisa Daya Tampung ... 73

3.3.5. Analisis Input Output Interegional (IRIO) ... 74

3.3.6. Rancangan Bangun Model ... 95

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 107

4.1. Lokasi Penelitian ... 107

4.2. Kondisi Fisik Lahan ... 109

4.2.1. Klimatologi ... 109

4.2.2. Morfologi dan Topografi ... 111

4.2.3. Geologi ... 113


(13)

xiv

4.2.7. Sarana Transportasi berupa Jalan ... 124

4.3. Penduduk dan Ketenagakerjaan ... 126

4.3.1. Jumlah Penduduk ... 126

4.3.2. Kepadatan Penduduk ... 127

4.3.3 Ketenagakerjaan ... 127

4.4. Kondisi Ekonomi ... 129

4.5. Kelembagaan ... 132

V.. ANALISA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KETER-SEDIAAN LAHAN ... 137

5.1 . Pola Perubahan Penggunaan Lahan ... 137

5.2 . Daya Dukung Lahan ... 141

5.2.1. Satuan Peta Tanah ... 142

5.2.2. Arahan Pemanfaatan Air Baku ... 144

5.2.3. Kemampuan Lahan ... 146

5.2.4. Kesesuaian Lahan ... 149

5.2.5. Prakiraan Daya Tampung Lahan ... 151

5.3 . Penilaian Inkonsistensi Lahan ... 151

5.3.1. Inkonsistensi terhadap Kemampuan Lahan ... 151

5.3.2. Inkonsistensi terhadap Kesesuaian Lahan ... 152

5.3.3. Kesesuaian Penggunaan Lahan Terbangun dengan Tata Ruang ... 152

5.4. Ketersediaan Lahan ... 157

5.5 Ikhtisar ... 158

VI. KETERKAITAN ANTAR SEKTOR ANTAR WILAYAH ... 159

6.1 Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan ... 162

6.2 Analisis Penggada ... 172

6.2.1 Pengganda Output ... 172

6.2.2 Pengganda Pendapatan ... 175

6.2.3. Pengganda Nilai Tambah ... 176

6.2.4. Dampak terhadap Perubahan Penggunaan Lahan ... 178

6.3 Ikhtisar ... 179

VII. MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN JABODETABEK ... 181

7.1. Model Dinamika Jabodetabek dalam Penelitian ... 181

7.1.1. Sub Model Penduduk ... 182

7.1.2. Sub Model Ekonomi ... 183

7.1.3. Sub Model Lahan ... 192

7.2. Validasi Model ... 194

7.3. Simulasi Model Kawasan Jabodetabek ... 196

7.4. Dampak dari Hasil Simulasi Model ... 202

7.4.1. Dampak terhadap Sektor Populasi ... 202

7.4.2. Dampak terhadap Sektor Ekonomi ... 204

7.4.3. Dampak terhadap Sektor Lahan ... 207

7.4.4. Inkonsisten terhadap Tata Ruang ... 212


(14)

xv

VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 219

8.1. Simpulan ... 219

8.2. Saran ... 220

DAFTAR PUSTAKA ... 221


(15)

(16)

xvii

Halaman

1. Struktur Dasar Tabel Inter Regional Input-Output (IRIO) ... 40

2. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan (Kliengebiel & Montgo-mery,1961 dalam Arsyad, 1989) ... 65

3. Kritertia Kesesuian Lahan untuk Lahan Pertanian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agrokimat, 2003) ... 72

4. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pemukiman Penduduk .... 73

5. Struktur Dasar Tabel Inter Regional Input-Output (IRIO) dalam Penelitian ... 75

6. Luas Wilayah Kawasan Jabodetabek Menurut Wilayah Administrasi 108 7. Sebaran Besar Curah Hujan untuk Kawasan Jabodetabek ... 110

8. Kelas Kemiringan Lereng Kawasan Jabodetabek ... 112

9. Sebaran Formasi Geologi Kawasan Jabodetabek ... 115

10. Sebaran Jenis Tanah di Kawasan Jabodetabek ... 122

11. Penggunaan Lahan di Jabodetabek Tahun 2009 ... 123

12. Sebaran Penduduk Jabodetabek pada Tahun 2002, 2006 dan 2009 ... 126

13. Kepadatan Penduduk Jabodetabek Tahun 2002, 2006 dan 2009 ... 127

14. Perkembangan Jumlah Ketenagakerjaan di DKI Jakarta Tahun 2002– 2009 (Jiwa) ... 128

15. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di DKI Jakarta pada Tahun 2002-2009 (Jiwa) ... 128

16. Konstribusi Output dan Input di Masing-Masing Wilayah di Indonesia, 2009 (dalam Persen) ... 130

17. Permintaan Antara Dan Akhir Serta Output di Masing-Masing Wilayah di Indonesia (Juta Rupiah) ... 131

18. Distribusi Permintaan Akhir terhadap Total Permintaan Akhir (%) ... 131

19. Ditribusi Permintan Akhir di Masing-masing Wilayah (%) ... 132

20. Persentasi Luas Tutupan Lahan Terhadap Luas Total Jabodetabek Tahun 2002-2009 ... 135

21. Jumlah Penduduk Dengan Luas Lahan Terbangun Di Kawasan Jabodetabek ... 136

22. Diskripsi Satuan Peta Tanah Kawasan Jabodetabek ... 143

23. Kelas Kemampuan Lahan Kawasan Jabodetabek ... 149


(17)

xviii

26. Penggunaan Lahan pada Saat Ini yang Tidak Konsisten terhadap

Kesesuaian Lahan Kawasan Jabodetabek ... 152

27. Sebaran Zone Tata Ruang Kawasan Jabodetabek Berdasarkan Perpres

No 54 Tahun 2008 ... 154 28. Sebaran Penggunaan Lahan Terbangun Saat Ini yang Tidak Sesuai

dengan Alokasi pada Perpes No 54 Tahun 2008 ... 156

29. Lahan Tersedia untuk Lahan Terbangun Kawasan Jabodetabek ... 157

30. Konstribusi Output dan Input di Masing-masing Wilayah di Indonesia,

2009 (dalam Persen) ... 159 31. Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan DKI Jakarta

Menurut Sektor Tahun 2009 ... 163 32. Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan Bodetabek

Tahun 2009 ... 164

33. Nilai Pengganda Output di Masing-masing Wilayah Terhadap Seluruh

Wilayah Indonesia Tahun 2009 ... 173

34. Nilai Pengganda Output di Wilayah Indonesi Tahun 2009 ... 174

35. Nilai Pengganda Pendapatan di Masing-masing Wilayah terhadap

Seluruh Wilayah Indonesia Tahun 2009 ... 176 36. Nilai Pengganda Nilai Tambah di Masing-masing Wilayah terhadap

Seluruh Wilayah Indonesia, 2009 ... 177

37. Penguji Nilai Tengah (Mean) Data Historis dan Data Pemodelan ... 196

38. Kebutuhan dan Arahan Alokasi Penggunaan Lahan Kawasan


(18)

xix

Halaman

1. Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Jabodetabek Tahun 1972 –

2009 ... 8

2. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan ... 14

3. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 16

4. Skema Pelaksanaan Penelitian ... 62

5. Kelas Kemampuan Lahan dan Intensitas Penggunaan Lahan ... 64

6. Hubungan Keterkaitan antara Dimensi Ekonomi, Sosial dan Ling-kungan ... 97

7. Tahapan Analisis Sistem (Eriyatno 1999) ... 99

8. Bagan Alir Alokasi Penggunaan Lahan ... 104

9. Gabungan Sistem Dinamik dan Analisis Non Spasial dengan Analisis Spasial ... 106

10. Peta Administrasi Kawasan Jabodetabek ... 107

11. Peta sebaran Besar Curah Hujan untuk Kawasan Jabodetabek ... 110

12. Sebaran Kemiringan Lereng Kawasan Jabodetabek ... 112

13. Sebaran Formasi Geologi Kawasan Jabodetabek ... 114

14. Sebaran Jenis Tanah di Kawasan Jabodetabek ... 122

15. Sebaran Penggunaan Tanah Kawasan Jabodetabek Tahun 2009... 124

16. Jaringan Jalan Kawasan Jabodetabek ... 125

17. Sebaran Satuan Peta Tanah (SPT) Kawasan Jabodetabek ... 144

18. Sebaran Kelas Kemampuan Lahan Kawasan Jabodetabek ... 148

19. Sebaran Keseuaian Lahan untuk Pertanian dan Pemukiman Kawasan Jabodetabek. ... 150

20. Pola dan Struktur Tata Ruang Kawasan Jabodetabek Berdasarkan Perpres No 54 Tahun 2008 ... 155

21. Sebaran Pengguaan Lahan Terbangun Saat ini yang Tidak Sesuai dengan Perpres No 54 Tahun 2008 ... 156

22. Hasil Overly Lahan Tersedia Kawasan Jabodetabek ... 157

23. Diagram Keterkaitan antar Sektor terhadap Output di DKI Jakarta, Tahun 2009 ... 166

24. Diagram Keterkaitan antar Sektor di Bodetabek terhadap Output di DKI Jakarta, Tahun 2009 ... 167


(19)

xx

26. Diagram Keterkaitan .antar Sektor di DKI Jakarta terhadap Output di

Bodetabek, Tahun 2009 ... 168

27. Diagram Keterkaitan antar Sektor di Bodetabek terhadap Output di Bodetabek, Tahun 2009 ... 169

28. Diagram Keterkaitan antar Sektor di Sisa Indonesia terhadap Output di Bodetabek, Tahun 2009 ... 169

29. Diagram Keterkaitan antar Sektor di DKI Jakarta terhadap Output di Sisa Indonesia, Tahun 2009 ... 170

30. Diagram Keterkaitan antar Sektor di Bodetabek terhadap Output di Sisa Indonesia, Tahun 2009 ... 171

31. Diagram Keterkaitan antar Sektor di Sisa Indonesia terhadap Output di Sisa Indonesia, Tahun 2009 ... 171

32. Tutupan Lahan Kawasan Jabodetabek Hasil Interpretasi Citra TM7 tahun 2002 dan 2009 ... 179

33. Causal LoopEkonomi, Populasi dan Lahan di Jabodetabek ... 181

34. Causal LoopSub Model Penduduk ... 183

35. Causal LoopPDRB dan PDRB Per Kapita DKI Jakarta ... 184

36. Causal LoopPerubahan Final Demand Sektor Pertanian ... 185

37. Causal LoopPerubahan Final Demand Sektor Non Pertanian ... 186

38. Causal LoopSub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final Demand Sektor Non Pertanian ... 188

39. Causal Loop Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Output Sektor Pertanian ... 189

40. Grafik Simulasi Pemukiman Per Kapita terhadap Lahan Pertanian DKI Jakarta ... 197

41. Grafik Simulasi Pemukiman Per Kapita terhadap Lahan Pertanian Bodetabek ... 198

42. Grafik Simulasi Pemukiman Per Kapita terhadap Lahan Terbangun DKI Jakarta ... 198

43. Grafik Simulasi Pemukiman Per Kapita terhadap Lahan Terbangun Bodetabek ... 199

44. Grafik Simulasi Optimasi Peningkatan Investasi terhadap PDRB DKI Jakarta ... 199

45. Grafik Simulasi Optimasi Peningkatan Investasi terhadap PDRB Bodetabek ... 200

46. Grafik Simulasi Optimasi Peningkatan Investasi terhadap PDRB Sisa Indonesia ... 200


(20)

xxi

48. Grafik Simulasi Optimasi dengan Asumsi Jumlah Penduduk dan Luas

Lahan pertanian DKI Jakarta terhadap PDRB Bodetabek ... 201

49. Hasil Simulasi Dampak terhadap Penduduk DKI Jakarta ... 202

50. Hasil Simulasi Dampak terhadap Penduduk Bodetabek ... 203

51. Hasil Simulasi Dampak terhadap Penduduk Sisa Indonesia ... 203

52. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB DKI Jakarta... 204

53. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB Bodetabek ... 205

54. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB Sisa Indonesia ... 205

55. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB Perkapita DKI Jakarta ... 206

56. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB Perkapita Bodetabek ... 206

57. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB Perkapita Sisa Indonesia ... 207

58. Hasil Simulasi Dampak terhadap Lahan Pertanian DKI Jakarta ... 208

59. Hasil Simulasi Dampak terhadap Lahan Pertanian Bodetabek ... 209

60. Hasil Simulasi Dampak terhadap Lahan Pertanian Sisa Indonesia ... 209

61. Hasil Simulasi Dampak terhadap Luas Lahan Lain DKI Jakarta ... 210

62. Hasil Simulasi Dampak terhadap Luas Lahan Lain Bodetabek.. ... 210

63. Hasil Simulasi Dampak terhadap Luas Lahan Lain Sisa Indonesia ... 211

64. Hasil Simulasi Dampak terhadap Lahan Bangunan DKI Jakarta ... 211

65. Hasil Simulasi Dampak terhadap Lahan Bangunan Bodetabek ... 212

66. Hasil Simulasi Dampak terhadap Luas Lahan Lain Sisa Indonesia ... 212

67. Hasil Simulasi Dampak terhadap Pelanggaran Tata Ruang di DKI Jakarta dan Bodetabek ... 213

68. Alokasi Penggunaan Lahan pada Tahun 2015 ... 216


(21)

(22)

xxiii

Halaman

1. Tabel Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan Sissa

Indo-nesia Tahun 2002 (dengan 9 Sektor) ... 225 2. Tabel Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan Sissa

Indo-nesia Tahun 2002 (dengan 9 Sektor) ... 234 3. Tabel Matrik A Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan

Sissa Indonesia Tahun 2002 (dengan Tabel Matrik I-A Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan Sissa Indonesia Tahun 2002

(dengan 2 Sektor) ... 238 4. Tabel Matrik I Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan

Sis-sa Indonesia Tahun 2002 (dengan 2 Sektor) ... 241 5. Tabel Matrik I-A Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan

Sissa Indonesia Tahun 2002 (dengan 2 sektor) ... 241 6. Tabel Matrik Invers (I-A) Input Output Interregional Jakarta,

Bodeta-bek dan Sissa Indonesia Tahun 2002 (dengan 2 Sektor) ... 242 7. Hubungan Sub Model Penduduk DKI Jakarta ... 243 8. Hubungan Sub Model Penduduk Bodetabek ... 243 9. Hubungan Sub Model Penduduk Sisa Indonesia ... 244 10. Hubungan PDRB dan PDRB Per Kapita DKI Jakarta ... 244 11. Hubungan PDRB dan PDRB Per Kapita Bodetabek ... 245 12. Hubungan PDRB dan PDRB Per Kapita Sisa Indonesia ... 245 13. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Non Pertanian DKI Jakarta ... 246 14. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Non Pertanian di Bodetabek ... 247 15. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Non Pertanian di Sisa Indonesia ... 248 16. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di DKI Jakarta ... 249 17. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di Kawasan Bodetabek ... 250 18. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di Sisa Indonesia ... 251

19. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Output

Sektor Non Pertanian di DKI Jakarta ... 252

20. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Output


(23)

xxiv

22. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Non Pertanian di DKI Jakarta ... 253 23. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di DKI Jakarta ... 254 24. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di Bodetabek ... 254 25. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di Sisa Indonesia ... 255

26. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi dan

Kapital Sektor Non Pertanian DKI Jakarta ... 255

27. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi dan

Kapital Sektor Non Pertanian Bodetabek ... 256

28. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi dan

Kapital Sektor Non Pertanian Sisa Indonesia ... 256

29. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi Dan

Kapital Sektor Pertanian DKI Jakarta ... 257

30. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi Dan

Kapital Sektor Pertanian Bodetabek ... 257

31. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi Dan

Kapital Sektor Pertanian Sisa Indonesia ... 258 32. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Non Pertanian DKI Jakarta ... 258 33. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Non Pertanian Bodetabek ... 259 34. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Non Pertanian Sisa Indonesia ... 259 35. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Pertanian DKI Jakarta ... 260 36. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Pertanian Bodetabek ... 260 37. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Pertanian Sisa Indonesia ... 261 38. Diagram Alir Fungsi Lahan DKI Jakarta ... 262 39. Diagram Alir Fungsi Lahan Bodetabek ... 263 40. Diagram Alir Fungsi Lahan Sisa Indonesia ... 264

41. Equation Model Sistem Dinamik Kawasan Jaodetabek dengan


(24)

1.1. Latar Belakang

Pada dua dekade akhir abad 20 dan memasuki millenium ke-3 wacana pembangunan wilayah di Indonesia ditandai dengan membesarnya fenomena metropolitanisasi. Sampai tahun 1990 telah tumbuh beberapa kawasan yang mengarah terbentuknya metropolitan seperti Jabodetabek, Medan Raya, Bandung Raya, Surabaya Gerbangkertasusila, dan Semarang Raya dan lain-lain.

Salah satu isu yang mengiringi menguatnya metropolitanisasi dan perlu mendapat perhatian adalah perkembangan koridor antar kota. Dalam sepuluh tahun terakhir, wilayah sepanjang koridor Cirebon-Semarang,

Jakarta-Bandung, Semarang-Solo-Yogyakarta dan Surabaya-Malang mengalami

pertumbuhan daerah perkotaan yang pesat (Firman, 1992), bahkan kawasan Jabodetabek dan Metropolitan Bandung raya berkecenderungan membentuk koridor yang nyaris bersatu. Pembentukan koridor-koridor ini ditandai oleh semakin kaburnya (blurring) perbedaan antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan (Firman, 1992).

Daerah-daerah perdesaan di sepanjang koridor telah mengalami

transformasi struktur wilayah (McGee, 1991) menyebut transformasi tersebut sebagai proses “kota-desasi”, yaitu perubahan struktur wilayah agraris ke arah struktur non agraris. Proses transformasi wilayah tersebut tentunya bukan hanya spasial, tetapi yang lebih penting adalah perubahan sosioekonomik dan kultural penduduk perdesaan yang antara lain menyangkut struktur produksi, mata pen-caharian, konsepsi dan praktek-praktek kehidupan bersama, cara hidup, perilaku dan banyak aspek sosiokultural lain. Di samping itu, tidak terintegrasinya kegiatan-kegiatan perkotaan yang melakukan penetrasi ke daerah perdesaan diyakini akan menimbulkan kesenjangan sosioekonomi, konflik-konflik sosial budaya, terutama sebagai konsekuensi menjadi marginalnya penduduk perdesaan.

Ruang adalah sesuatu yang dinamis, misalnya ketersediaan jalan disatu sisi akan mengintervensi pola hidup manusia, namun di sisi lain manusialah yang mengintervensi ketersediaan jalan karena manusia membutuhkan aksesibilitas untuk keperluan mobilitasnya. Terlebih lagi dengan adanya globalisasi, dimana


(25)

manusia dituntut untuk dapat berada dimana saja dan kapan saja. Perubahan ruang, merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi bukan berarti semua perubahan ruang berdampak baik bagi kehidupan manusia. Transformasi spatial merupakan sebuah proses perubahan ruang dari yang bercirikan perdesaan

menjadi perkotaan atau juga dapat disimpulkan sebagai sebuah proses

perkembangan daerah suburban atau pinggiran kota, kehidupan manusia akan didorong ke arah modern. Kehidupan modern yang diidentifikasi melalui kegiatan perekonomiannya, akan menimbulkan dua sisi dampak yang berbeda. Perekonomian akan menimbulkan akses terhadap pengembangan kualitas kehidupan lebih baik, namun disisi lain mendorong manusia untuk lebih konsumtif.

Penekanan pembangunan pada sektor modern perkotaan telah terbukti meningkatkan pertumbuhan di sektor dan lokasi yang hanya memiliki tingkat produktifitas tinggi. Laju pertumbuhan investasi dan akumulasi modal hanya terpusat di sektor modern tersebut. Konsep tersebut menginspirasikan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan di perkotaan (growth pole economy).

Diharapkan dengan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan tersebut akan terjadi proses penetesan pembangunan ke daerah-daerah belakang(trickle down process)

dan pemerataan akan terjadi secara "otomatis" dari kutub-kutub pertumbuhan ke daerah belakang tersebut (hinterland). Namun pada kenyataannya penetesan pembangunan itu tidak terjadi, dan yang terjadi adalah pengurasan sumberdaya yang dimiliki daerah oleh pusat secara besar-besaran (massive backwash effect).

Paradigma pembangunan yangurban biasedtersebut telah menimbulkan berbagai persoalan seperti terjadinya urbanisasi yang berlebihan(over urbanization)karena akumulasi kapital yang berada di perkotaan. Urbanisasi yang berlebihan tersebut pada akhimya menimbulkan berbagai persoalan di kota dan yang terjadi bukan lagieconomies of scale (economies of agglomeration)namun justrudiseconomies of scale. Kota-kota besar tumbuh dengan cepat sebagai pusat pertumbuhan wilayah yang sering mengabaikan fungsinya untuk memberikan pelayanan kepada daerahhinterland(Rustiadi dan Panuju, 2005).

Akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran kota


(26)

(urban fringe)yang disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl). Akibat selanjutnya di daerah pinggiran kota akan mengalami proses transformasi spasial berupa proses densifikasi permukiman dan transformasi sosial ekonomi sebagai dampak lebih lanjut dari proses transformasi spasial. Proses densifikasi permukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan realisasi dari meningkatnya kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan.

Daerah pinggiran kota (urban fringe) sebagai suatu wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota telah menjadi perhatian banyak ahli di berbagai bidang ilmu seperti geografi, sosial, dan perkotaan sejak tahun 1930 an saat pertama kali istilah urban fringe dikemukakan dalam literatur. Besarnya perhatian tersebut terutama tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses ekspansi kota ke wilayah pinggiran yang berakibat pada perubahan fisikal misal perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi.

Mc.Gee (1991) menyatakan bahwa proses perkembangan dan urbanisasi kota-kota di Indonesia (terutama di Pulau Jawa) ditandai oleh adanya restrukturisasi internal kota-kota besarnya. Kota-kota di Indonesia pada beberapa dekade mendatang cenderung akan terus berkembang baik secara demografis, fisik, maupun spasial. Fenomena menyusutnya penduduk perdesaan dalam dua dekade yang lalu akibat adanya migrasi besar-besaran penduduk perdesaan. Hal ini memberi indikasi bahwa kota-kota di Indonesia akan berkembang pesat baik secara demografis maupun spasial di masa mendatang.

Diberlakukannya Undang-Undang mengenai Otonomi Daerah akan berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di daerah. Pemerintahan Daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar di dalam merencanakan arah pembangunannya. Di sisi lain, pemerintah daerah akan semakin dituntut untuk lebih mandiri di dalam memecahkan masalah-masalah

pembangunan di daerahnya. Otonomi daerah juga mengisyaratkan semakin

pentingnya pendekatan pembangunan dengan basis pengembangan wilayah dibanding pendekatan pembangunan dengan pendekatan sektoral. Pembangunan


(27)

intersektoral, interspasial, serta antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah.

Keterpaduan intersektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergi antar sektor-sektor pembangunan, sehingga setiap program-program pembangunan di dalam kelembagaan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Keterpaduan sektoral tidak hanya mencakup hubungan antar lembaga pemerintahan tetapi juga antara pelaku-pelaku ekonomi secara luas dengan sektor yang berbeda. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan

outputbarang dan jasa antar sektor secara sangat dinamis.

Keterpaduan interspasial membutuhkan adanya interaksi spasial yang optimal dalam arti terjadinya struktur keterkaitan antar wilayah secara dinamis. Akibat potensi sumberdaya alam serta aktivitas-aktivitas sosial-ekonomi yang tersebar secara tidak merata dan tidak seragam, maka diperlukan adanya mekanisme interaksi intra- dan inter-wilayah secara optimal.

Keterkaitan konsep ruang dan waktu merupakan kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan. Dalam kehidupan umat manusia, khususnya pemanfaatan

sumberdaya wilayah membutuhkan pengaturan ruang dan waktu yang

terintegrasi. Dengan demikian, keterkaitan konsep ruang dan waktu sangat

esensial dalam pengelolaan wilayah Jabodetabek dan perlu diperlakukan secara

eksplisit dalam setiap perencanaan dan pengelolaan, yang diarahkan ke

perbaikan dan penyempurnaan kehidupan manusia. Konsep ruang dan waktu ini sangat relevan untuk mengkaji berbagai isu yang mencuat ke permukaan, khususnya mengenai isu-isu keruangan di wilayah Jabodetabek.

Pembentukan Kawasan Metropolitan Jakarta atau yang dikenal dengan Jabodetabek disebabkan oleh adanya keterkaitan antar wilayah yang membuat adanya suatu hubungan sehingga setiap kabupaten/kota yang terkait terus berkembang, belum lagi adanya aliran investasi asing dan dalam negeri serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung pembentukan wilayah metropolitan. Perkembangan Kota Jakarta yang tadinya merupakan kota kecil mengalami perkembangan yang sangat pesat dan seiring dengan adanya peningkatan perekonomian dan pembangunan infrastruktur telah mendorong


(28)

pertumbuhan wilayah di sekitarnya sampai terbentuk suatu kawasan metropolitan seperti sekarang. Saat ini kawasan metropolitan Jabodetabek tidak dapat dipandang sebagai suatu unit yang berdiri sendiri, akan tetapi terus memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah yang terintegrasi.

DKI Jakarta sebagai ibukota negara dan pintu gerbang utama Indonesia telah melakukan serangkaian kegiatan pembangunan dengan ciri-cirinya sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, dan jasa. Pembangunan yang terus dilakukan, menyebabkan hubungan dan keterkaitan antar berbagai sektor ekonomi di DKI Jakarta bergerak ke arah yang semakin kompleks. Perubahan yang terjadi pada satu sektor tertentu telah berpengaruh timbal-balik pada berbagai sektor lainnya. Bahkan, perubahan yang terjadi pada sektor ekonomi di DKI Jakarta telah mempengaruhi daerah sekitamya (hinterland), antara lain Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek).

Menurut Hidayat (2004), sesuai dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 13 tahun 1976, Bogor, Tangerang dan Bekasi berfungsi sebagai daerah penyangga bagi DKI Jakarta, dan secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa wilayah tersebut harus mampu untuk menampung limpahan kegiatan-kegiatan yang tidak terakomodir DKI Jakarta, antara lain: limpahan penduduk, industri dan perdagangan. Bogor selain menampung pernukiman juga berfungsi sebagai kantong air untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih bagi penduduk yang berdomisili di kawasan DKI Jakarta dan Bodetabek, sedangkan Tangerang dan Bekasi menampung pernukiman dan aktifitas industri. Hidayat (2004) juga meyebutkan bahwa untuk mendukung pelaksanaan fungsi tersebut diperlukan pengaturan tata guna lahan yang dikaitkan dengan proporsi lahan yang tersedia untuk mengalokasikan pembangunan fisik dari sarana dan prasarana yang dibutuhkan.

Struktur dari wilayah metropolitan Jabodetabek, dapat dilihat dengan adanya jumlah migrasi yang keluar dan masuk DKI Jakarta dan kota Sekitarnya. Jumlah ini menunjukkan suatu keterkaitan karena adanya pergerakan yang dapat disebabkan oleh kegiatan ekonomi (tempat bekerja), perumahan (tempat tinggal), dan lainnya. Keterkaitan ini juga didukung oleh adanya infrastruktur terutama transportasi dan komunikasi yang mendorong aliran informasi antar daerah.


(29)

Perkembangan jumlah penduduk juga dapat memberikan suatu gambaran bagaimana perkembangan suatu kawasan metropolitan terjadi. Jumlah penduduk Jakarta sedikit menurun dari tahun 2000 ke tahun 2003, sedangkan keadaan yang sebaliknya terjadi pada wilayah kabupaten, dimana jumlah penduduk pada tahun 2003 meningkat dari 7,58 juta jiwa menjadi 8,90 juta jiwa. Pertumbuhan ini dapat disebabkan oleh adanya pertumbuhan alamiah atau pun adanya migrasi. Penurunan ini juga terjadi pada tahun 2003, bersamaan dengan itu terjadi pertambahan jumlah penduduk pada Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor, serta Kota Depok. Pertambahan tersebut mengindikasikan adanya gejala sub urbanisasi dengan didukung oleh peningkatan pembangunan infrastruktur seperti jalan, transportasi umum, bahkan perumahan yang mendorong pergerakan keluar dari pusat atau inti.

Pertumbuhan kepadatan penduduk yang pesat meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga daya dukung dan daya tampung

lingkungan berpeluang terlampaui. Hal ini mendorong adanya perambahan

pemanfaatan ruang pada kawasan yang seharusnya dikonservasi dan dilindungi, seperti konversi lahan pertanian sawah dan bantaran sungai menjadi perumahan

dan industri. Dengan demikian, pemanfaatan ruang dan konversi lahan pada

kawasan Jabodetabek ini harus didasarkan pada aspek ekonomi dan ekologi dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah dikemudian hari. Namun kenyataanya adanya penyalahgunaan peruntukan lahan pada kawasan Jabodetabek, terutama permasalahan lingkungan yaitu perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya sehingga banjirpun menjadi bencana yang rutin terjadi setiap tahun, kerusakan lingkungan, kini semakin berkembang.

Sebagai ibukota negara dan pusat perdagangan dan jasa, peran sektor pertanian dan sektor pertambangan dalam struktur perekonomian DKI Jakarta sangat tidak berarti, dan sebaliknya peran sektor industri, sektor perdagangan dan sektor jasa amat berarti. Berdasarkan data-data BPS bahwa selama periode 1993-2002, peran sektor pertanian pada pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB) relatif kecil dan tendensi menurun yaitu dari 0,28 persen di tahun 1993 menjadi 0,21 persen di tahun 2002. Penurunan kontribusi sektor pertanian ini juga


(30)

diimbangi dengan peningkatan peran tiga sektor terbesar yaitu sektor industri dari 20,95 persen monjadi 21,64 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran dari 22,14 persen menjadi 23,81 persen, dan sektor keuangan, persewaan bangunan dan jasa perusahaan dari 22,64 persen menjadi 23,66 persen. Sementara, laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mencapai 8,61 persen ditahun 1994 menjadi 3,99 persen di tahun 2002 atau laju pertumbuhannya hanya meningkat sebesar 2,92 persen pertahun. Perekonomian mulai meningkat menjadi 4,33 persen di tahun 2000, sedikit melambat menjadi 3,64 persen tahun 2001, dan meningkat lebih tinggi menjadi 3,99 persen di tahun 2002. Laju pertumbuhan sektoral yang paling dominan selama periode 1993-2002 adalah sektor listrik, gas dan air minum sebesar 4,89 persen, diikuti sektor pengangkutan dan komunikasi 4,31 persen, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 3,89 persen. Sementara itu, laju pertumbuhan untuk sektor lainnya hanya meningkat dibawah 3,00 persen babkan minus 2,59 persen untuk sektor pertanian. Laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta yang masih dibawah rata-rata nasional sebesar 5,00 persen, mengindikasikan bahwa kemajuan ekonomi di daerah yang didominasi oleh sektor barang akan menangkatkan kemajuan DKI Jakarta yang didominasi oleh sektor jasa-jasa dan keuangan. Keberhasilan pembangunan ekonomi DKI Jakarta yang diukur dengan perubahan struktur juga didukung oleh investasi dan komposisi ekspor. Peran investasi mencapai 49,66 persen pada tahun 1993, namun mulai menurun setelah krisis 1997 menjadi 38,36 persen pada tahun 2002. Sementara itu, peranan ekspor mencapai 55,91 persen pada tahun 1993 dan menurun menjadi 48,12 persen.

Untuk Bodetabek, kontribusi sektor industri secara rata-rata mencapai sebesar 58,12 persen, disusul sektor perdagangan 16,82 persen dan sektor pertanian 5,28 persen, sedangkan kontribusi sektor lainnya dibawah 6,00 persen. Sementara, laju pertumbuhan ekonomi Bodetabek mencapai rata-rata 6,64 persen pertahun. Sektor yang kenaikannya paling tinggi adalah sektor listrikk, gas, dan air minum sebesar 9,35 persen, diikuti sektor perdagangan sebesar 8,29 persen, sektor industri 7,73 persen. Untuk sektor pertanian terjadi perlambatan pertumbuhan sebesar minus 1,03 persen. Sektor tradisional yang mencakup sektor pertanian dan pertambangan menunjukkan adanya penurunan peran dalam


(31)

pembentukan nilai tambah di DKI Jakarta sebaliknya sektor modern yang terfokus pada sektor industri dan sektor jasa menunjukkan peningkatan yang cukup berarti.

Salah satu bentuk implikasi fisik dari dinamika pertumbuhan penduduk dan aktivitas sosial ekonomi di kawasan Jabodetabek dapat terlihat dari dinamika perubahan penggunaan lahan yang dapat didekati dari analisis perubahan penutupan lahan (land cover). Kecenderungan perubahan penggunaan lahan di Kawasan Jabodetabek dari tahun 1972 hingga tahun 2009, terlihat sangat signifikan terutama untuk areal terbangun (built-up area). Pada tahun 1972, areal permukiman tampak hanya terkonsentrasi di DKI Jakarta. Kemudian pada tahun 2005, tampak terjadi peningkatan areal permukiman yang secara visual menyebar menuju Bogor, Tangerang dan Bekasi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Keterangan: Warna merah adalah lahan terbangun

Sumber: Tahun 1972–2005 (Rustiadi dan Tim P4W, 2007) sedangkan 2009 hasil interpretasi citra TM 7

Gambar 1. Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Jabodetabek Tahun

1972–2009

1.2. Perumusan Masalah

Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam skala nasional,


(32)

proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata di sisi lain telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup kompleks, dan cenderung akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang sangat besar (Anwar, 2005), Dalam penelitian ini, wilayah DKI Jakarta merupakan pusat dari aktivitas masyarakat yang didominasi oleh sektor tersier, serta wilayah Bodetabek yang merupakan wilayah penyangga DKI Jakarta didominasi oleh sektor sekunder. Sedangkan wilayah Sisa Indonesia masih didominasi oleh sektor primer. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan.

Semakin berkembangnya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala aspek kehidupannya, yang berlangsung secara terus-menerus akan mengakibatkan kota tidak lagi dapat menampung kegiatan penduduk. Oleh karena wilayah kota secara administratif terbatas, maka harus mengalihkan perhatiannya ke daerah pinggiran kota. Dari kecenderungan di atas maka salah satu arah perkembangan kota yang perlu dicermati adalah perkembangan spasial yang berdampak pada perkembangan sosial ekonomi penduduk pinggian kota. Pokok persoalan yang terdapat di daerah urban fringe pada dasarnya dipicu oleh proses transformasi spasial dan sosial akibat perkembangan daerah urban yang sangat intensif. Dari kecenderungan di atas maka salah satu arah perkembangan kota yang perlu dicermati adalah perkembangan spasial yang berdampak pada perkembangan sosial ekonomi penduduk pinggiran kota.

Pembangunan ekonomi di DKI Jakarta yang ditunjukkan dengan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang telah menyebabkan perubahan struktur ekonomi sektoral dan mempengaruhi permintaan akhir, telah berpengaruh pada perkembangan perekonomian dan penggunaan lahan di Bodetabek. Meningkatnya perekonomian Bodetabek ini dapat dilihat dan

meningkatnya output dan pendapatan dan kaitannya dengan perubahan

penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian.

Perubahan pemanfaatan ruang yang tidak mempehitungkan keseimbangan geobiofisik akan berakibat kepada kemubaziran atau sebaliknya bencana alam yang terjadi. Pemanfaatan ruang optimum merupakan pemanfaatan ruang yang


(33)

memberikan kesempatan tiap komponen aktivitas dalam unit ruang tersebut berinteraksi secara maksimal sesuai daya dukung kawasan yang pada akhirnya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang berkepentingan secara berkelanjutan. Aktivitas manusia, baik sosial maupun ekonomi merupakan sumber perubahan dalam pemanfaatan ruang atau kawasan. Dinamika sosial yang diikuti oleh dinamika aktivitas ekonomi akan selalu membawa perubahan tata ruang yang dinamis pula. Oleh karena itu, sifat dinamis tersebut perlu dipertimbangkan dalam pendekatan optimalisasi pemanfaatan ruang (Anwar, 2001).

Dalam pembangunan suatu daerah diperlukan suatu alat yang mampu menganalisis dampak dan keterkaitan antarsektor dan antarspasial dalam perekonomian. Untuk menganalisis dampak perekonomian suatu daerah atau nasional dan melihat hubungan dan keterkaitan antarsektor perekonomian biasanya digunakan tabel input- output.

Atas dasar isu keruangan tersebut menuntut adanya suatu komitmen yang jelas dari para perencana, pengelola dan pengusaha di wilayah Jabodetabek, agar tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya berkelanjutan serta tujuan pembangunan ekonomi berkelanjutan dapat tercapai. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan itu pada hakekatnya diperlukan suatu kearifan dalam penataan ruang, pengelolaan dan pengusahaan, sehingga diperlukan adanya suatu konsep dinamis yang dapat mengatur pemanfaatan sumberdaya wilayah Jabodetabek secara optimal, akan

tetapi tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Konsep dinamis yang

dimaksud adalah adanya suatu desain sistem terhadap pemanfaatan sumberdaya, sehingga secara simultan dapat diketahui tingkat pemanfaatan saat ini dan masa

mendatang. Model dinamik sangat memungkinkan untuk dapat mengatur

berbagai opsi antara tujuan optimasi pemanfaatan ruang dengan berbagai perubahan variabel secara berkelanjutan, dengan suatu bentuk pola transformasi dan pemodelan.

Penelitian ini dilakukan di Jabodetabek karena:

1. Kawasan Jabodetabek merupakan kawasan dengan peranan strategis di dalam pembangunan nasional baik dalam struktur perekonomian maupun


(34)

dalam konteks politik, sosial, budaya dan hankam. Perkembangan ini perlu dicermati secara seksama agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan terhadap pembangunan nasional secara keseluruhan mengingat sangat besarnya peranan nasional, ekonomi, politik dan hankam, maupun lingkungan di wilayah ini terhadap pembangunan wilayah maupun nasional.

2. Proses suburbanisasi merupakan proses global yang tengah berlangsung di berbagai metropolitan dunia. Wilayah Jabodetabek mengalami proses suburbanisasi dengan berbagai keunikan dan kecenderungan yang berimplikasi khusus terhadap wilayah lainnya secara nasional.

3. Wilayah Jabodetabek dicirikan oleh keterkaitan antar wilayah (regional linkages) yang sangat tinggi, seperti dalam masalah keterkaitan ekosistem seperti adanya daerah aliran sungai (DAS) yang bersifat lintas wilayah serta masalah sosial yang dicirikan dengan intensitas menglajo (commuting) dari wilayah suburban ke pusat perkotaan serta semakin menonjolnya fenomena migrasi keluar (out migration) dari kota Jakarta kesuburban.

4. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dengan Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) merupakan salah satu contoh kawasan yang direncanakan ditata secara formal melalui Keppres. Rancangan ini didasarkan pada suatu kesadaran akan fakta bahwa Jabodetabekpunjur merupakan satu sistem yang utuh yang setiap dinamika komponennya mempengaruhi dinamika komponen yang lain. Hubungan fungsional ekologis-ekonomis antar wilayah tersebut sulit untuk dipisahkan secara tegas. Geliat perekonomian di wilayah Bodetabekpunjur dipengaruhi oleh geliat ekonomi Jakarta. Di sisi lain, geliat aktifitas yang mempengaruhi kondisi ekologis Bodetabekpunjur akan mempengaruhi kondisi Jakarta. Berdasarkan pada pemahaman wilayah Jabodetabek sebagai satu kesatuan sistem, maka perlu dilihat dinamika yang terjadi di wilayah tersebut.

Disain model penataan ruang di wilayah Jabotabek ini diharapkan merupakan suatu kajian transformasi spasial dengan pendekatan sistem dinamik dalam penataan ruang kearah yang berkelanjutan. Pendekatan ini didasari oleh


(35)

prinsip umpan balik (causal loops) antar subsistem lingkungan, subsistem sosial dan subsistem ekonomi. Salah satu karakteristik dari proses pola transformasi spasial tersebut adalah adanya bentuk pemodelan yang bersifat dinamis dan kuantitatif guna menghasilkan keputusan yang rasional, terukur dan transparan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah

1) Bagaimana pola transformasi spasial yang terjadi pada kawasan Jabodetabek?

2) Bagaimana keterkaitan intersektoral dan interspasial dalam penataan ruang kawasan Jabodetabek yang berkelanjutan?

3) Bagaimana dampaknya terhadap perubahan output dan penggunaan lahan

secara sektoral dan spasial Bodetabek apabila investasi DKI Jakarta diubah.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji pola transformasi spasial yang terjadi pada kawasan Jabodetabek.

2. Mengkaji keterkaitan intersektoral dan interspasial dalam penataan ruang kawasan Jabodetabek yang berkelanjutan.

3. Menganalisis dampak peningkatan investasi DKI Jakarta terhadap perubahan output dan penggunaan lahan secara sektoral dan spasial Bodetabek.

1.4. Manfaat Penelitian

Dari sisi teoritis akademis penelitian ini akan memperkaya teori-teori mengenai perkembangan wilayah perkotaan dan perdesaan, khususnya mengenai keterkaitan baik secara sektoral maupun spasial di kawasan Jabodetabek.

Kontribusi terhadap ilmu pengetahuan yang berasal dari originalitas tema penelitian yang belum banyak diteliti, aspek-aspek metodologis yang diterapkan dalam studi khususnya menggabungkan sistem dinamik dengan IRIO. Dari sisi


(36)

praktis empiris, penelitian ini bermanfaat dalam membangun kerangka pikir dan

perumusan kebijaksanaan pembangunan wilayah dengan memperhatikan

keterkaitan wilayah perkotaan dan perdesaan secara dinamik.

1.5. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini mencakup dua hal yaitu dari segi pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis secara komprehensif dengan memadukan beberapa teknik analisis yaitu analisis sistem dinamik, analisis I-O interregional dan analisis spasial untuk dapat menghasilkan pola penggunaan lahan kawasan Jabodetabek secara terpadu dan berkelanjutan.

Hasil dari model ini menggunakan prinsip-prinsip keterpaduan dalam pengelolaan kawasan antara lain (1) keterpaduan sektor yaitu antar sektor pertanian dengan lahan terbangun (pemukiman, industri, jasa dll), (2) keterpaduan wilayah yaitu antara DKI Jakarta dengan Bodetabek yang masuk dalam satu kawasan metropolitan, dan (3) keterpaduan sosial, ekonomi dan fisik lahan.

1.6. Kerangka Berpikir

Ruang sebagai bentuk konstruksi interaksi masyarakat yang terbentuk dalam jangka waktu tertentu dan berubah secara dinamis karena dipengaruhi oleh banyak aspek, seperti sosial, politik, ekonomi, geografi, dan lain-lain. Dalam sudut pandang ini ruang bukanlah suatu bentuk statis yang hanya bisa dilihat dari segi fisik saja, namun juga terbentuk oleh faktor-faktor non-fisik. Sehingga ruang tidak hanya bisa dibentuk dalam selembar kertas, kemudian melupakan aktivitas sebenarnya yang terjadi di realita. Dikarenakan manusia, sebagai komponen utama dalam kota selalu berkembang. Populasi yang meningkat akan mempengaruhi jumlah permintaan lahan, air bersih, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, ketersedian jalan dan lain-lain, yang pada gilirannya akan mempengaruhi ruang hidup manusia. Oleh karena itu, baik dalam perencanaan ataupun dalam implementasi, perencanaan ruang harus mengacu pada kebutuhan


(37)

di realita. Interaksi yang terjadi harus dapat diwadahi dalam ruang-ruang yang sesuai.

Perubahan ruang, merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi bukan berarti semua perubahan ruang berdampak baik bagi kehidupan manusia. Transformasi spasial merupakan sebuah proses perubahan ruang dari yang bercirikan perdesaan menjadi perkotaan atau juga dapat disimpulkan sebagai sebuah proses perkembangan daerah di daerah sub-urban atau pinggiran kota, kehidupan manusia akan didorong ke arah modern. Kehidupan modern yang diidentifikasi melalui kegiatan perekonomiannya, akan menimbulkan dua sisi dampak yang berbeda. Perkembangan ini antara lain ditunjukkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk, peningkatan investasi, dan kontribusi sektor non agraris serta cepatnya proses alih fungsi lahan. Sebagai daerah transisi penghubung, daerah sepanjang koridor mengalami proses perubahan yang tinggi akibat tekanan kegiatan-kegiatan perkotaan yang terus meningkat yang tidak saja berdampak pada perubahan spasial akan tetapi juga aspek sosio-ekonomi dan kultural penduduk. Secara spasial daerah ini dicirikan dengan perubahan tata guna lahan pertanian menjadi guna lahan industri komersial atau permukiman (McGee, 1991).

Perkembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh wilayah

sekitarnya, terutama antara wilayah kota dengan wilayah pinggirannya. Sejalan

dengan perkembangan kota Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan,

perdagangan dan jasa, Bodetabek sebagai daerah penyangga secara langsung menerima dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota tersebut. Salah satu pengaruh yang mulai jelas terlihat adalah terjadinya urban sprawl. Urban sprawl merupakan suatu proses peluberan kegiatan perkotaan ke wilayah pinggiran, dengan kata lain terjadi proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar yang menyebabkan transformasi spasial dari bentuk-bentuk kedesaan menjadi bentuk-bentuk-bentuk-bentuk kekotaan. Proses transformasi spasial ini dapat terjadi lebih dahulu dari proses transformasi sosio kultural, namun dapat pula terjadi sesudah terjadinya transformasi sosio kultural kedesaan menjadi bersifat kekotaan.


(38)

Gambar 2. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan (Djakapermana, 2010)

Dalam Pengembangan pemodelan spasial dinamik dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji berbagai model yang telah ada. Kajian ini dibagi ke dalam tiga kategori yakni model ekonomi, model ekologi, dan model sosial berdasarkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan Berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan. Dengan demikian, tujuan Pembangunan Berkelanjutan terfokus pada ketiga dimensi, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance). Hubungan keterkaitan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan disajikan pada Gambar 2.

Pemodelan yang akan dibangun mempertimbangkan ketiga dimensi di atas dalam satu kesatuan, sehingga akan ada suatu trade-off antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Pemodelan ini nantinya dapat digunakan untuk

menyusun alternatif-alternatif skenario pembangunan yang mendukung

terwujudnya proses pembangunan berkelanjutan. Selain mempertimbangkan Ekonomi

 Pertumbuhan  Efisiensi

 Stabilitas

Sosial  Pemberdayaan  Inklusi  Konsultasi

Lingkungan  Keliatan/keanekaragaman  Sumber daya alam  Polusi

Penurunan Kemiskinan Keberlanjutan

Keadilan Co-evolusi


(39)

ketiga dimensi tersebut dalam penyusunan model tersebut juga dikaitkan dengan perubahan-perubahan penatagunaan lahan (land use changes) akibat adanya pembangunan tersebut. Mengingat dikaitkan dengan perubahan tata guna lahan, maka model yang digunakan bukan merupakan model statik tetapi merupakan model sistem dinamik yang digabungkan dengan model dinamis spasial. Selanjutnya, ketiga subsistem tersebut akan dilihat kinerjanya terhadap perubahan lahan secara spasial. Dalam menganalisis perubahan lahan, penting memberi penjelasan tentang terminologi perubahan untuk mendeteksinya dalam dunia nyata. Pada umumnya perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai (secara kuantitatif) perubahan besaran (bertambah atau berkurang) dari suatu jenis penggunaan atau tutupan lahan. Pendeteksian dan pengukuran perubahan tergantung kepada level ruang (spasial): semakin tinggi detil dari level spasial, semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat dan direkam.

Fokus analisis perubahan penggunaan lahan terletak pada dua hal yang saling berkaitan: (1) faktor yang mendorong atau menyebabkan perubahan penggunaan lahan dan (2) dampak dari perubahan penggunaan lahan tersebut (baik secara ekologi maupun sosial-ekonomi). Faktor-faktor pendorong perubahan penggunaan lahan biasanya terbagi dalam 2 kategori, yaitu: kondisi bio-fisik dan kondisi sosial-ekonomi. Faktor bio-fisik melibatkan karakteristik dan proses ekologi alamiah seperti cuaca dan variasi iklim, bentukan lahan, topografi, proses geomorfik, erupsi vulkanik, suksesi tumbuhan, jenis tanah, pola aliran, dan ketersediaan sumberdaya alam. Sedangkan faktor sosial-ekonomi melibatkan persoalan demografi, sosial, ekonomi, politik dan kelembagaan, serta proses-proses yang terjadi di dalamnya seperti perubahan penduduk, perubahan struktur industri, perubahan teknologi, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.

Faktor bio-fisik tidak mempengaruhi perubahan penggunaan lahan secara langsung, kebanyakan hanya menyebabkan terjadinya perubahan pada tutupan lahan, atau mempengaruhi keputusan pengelolaan terhadap lahan tersebut. Keputusan pengelolaan terhadap suatu tutupan lahan menjadi faktor perubahan yang berkaitan dengan aktivitas manusia.


(40)

(41)

Berdasarkan uraian di atas untuk memperoleh alokasi penggunaan lahan dalam rangka penataan ruang kawasan Jabodetabek yang berkelanjutan dengan menggunakan analisis secara komprehensif dengan memadukan beberapa teknik analisis yaitu analisis sistem dinamik, I-O interregional dan spasial dinamik maka dapat digambarkan seperti pada Gambar 3.


(42)

2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi dan Tim P4W (2007) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.

Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentukbentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam

Rustiadi dan Panuju, 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, fase kemajuan perekonomian region/wilayah diklasifikasikan menjadi: (1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik, (2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal ataupolarized region

dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan, (3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.


(43)

Wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan

pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait

dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat-sifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.

Perencanaan wilayah adalah suatu aktivitas manusia dalam usaha untuk memanfaatkan suatu sumberdaya ruang yang terbatas yang tersedia di atas bumi dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari suatu ruang. Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa –kota (rural– urban linkages) dalam pengembangan wilayah (Rustiadi dan Panuju, 2005).


(44)

Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah diatas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran cemerlang putra-putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif akan mampu mempercepat terjadinya pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota yang hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota.

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan

ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional,

meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas.

Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2005) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah:

1 Sebagaigrowth center Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal

wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spread effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.

2 Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar

daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.

3 Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.

4 Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi


(45)

2.1.1. Metropolitan

Kota atau kawasan metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar, dengan karakteristik dan persoalan yang spesifik. Oleh karenanya, suatu kota atau kawasan metropolitan memerlukan pengelolaan tersendiri dalam hal pemecahan persoalan yang dihadapi, penyediaan prasarana dan layanan perkotaan, serta pengelolaan pembangunannya. Istilah metropolitan pertama kali digunakan secara resmi berkenaan dengan skala dan pola pertumbuhan kota yang sangat cepat di Amerika. Perubahan fundamental dalam cara hidup Amerika ini dikenali pada awal abad ke-20 ketika Biro Sensus (Amerika) pada tahun 1910 secara resmi memperkenalkan istilah Metropolitan Districts ke dalam sistem klasifikasi wilayahnya.

Metropolitan selalu menghadapi persoalan-persoalan bukan saja karena besarnya jumlah penduduk, tetapi juga karena karakternya yang berbeda dengan kota bukan metropolitan. Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan dan pembangunan kota atau kawasan metropolitan di negara maju pun sudah cukup kompleks, apalagi di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Secara umum orang mengartikan metropolitan sebagai suatu kota besar yang berhubungan dengan kehidupan modern, kehidupan kota -bukan pertanian- yang kompleks.

Seorang pakar perkotaan, Angotti (1993) berpendapat bahwa sebuah metropolis bukan saja sebuah kota yang sangat besar, tetapi juga sebuah bentuk baru dari masyarakat, lebih besar, lebih kompleks dan memiliki peran kekuasaan yang lebih sentral, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya. Namun Angotti juga berpendapat bahwa sebuah kota yang berpenduduk lebih dari satu juta dapat dikategorikan sebagai kota metropolitan. Blumenfeld (1971 dalam

Angotti, 1993) menjelaskan metropolis sebagai sebuah pusat permukiman dengan penduduk paling sedikit 500.000 jiwa, namun dia menganjurkan ukuran minimum satu juta jiwa bagi kota-kota di Amerika Utara. Ekistic (Doxiadis 1968 dalam Angotti, 1993) mengartikan metropolis sebagai suatu permukiman besar yang terdiri dari satu atau lebih pusat yang berpenduduk 50.000 atau lebih


(46)

dan mempunyai karakter kota yang lebih besar daripada karakter perdesaan, dengan kepadatan secara bruto sebesar 66 jiwa per ha. Sementara itu

Blumenfeld (1971 dalam Angotti, 1993) juga mendeskripsikan metropolis

sebagai permukiman dengan penduduk paling tidak 50.000 jiwa, namun menurutnya, satu juta adalah kriteria yang cocok untuk ukuran metropolis di Amerika Utara. Angotti (1993) mengatakan bahwa kota metropolis itu berpenduduk satu juta atau lebih.

Selain menggambarkan kondisi banyak fungsi sosial ekonomi dan ukuran penduduk dari sebuah kota, istilah metropolis menurut Kamus Geografi dapat ditinjau dari ukuran hirarki, yang mempertimbangkan sebuah metropolis sebagai pusat fungsional. Fungsi-fungsi dari kekuatan yang inheren dalam metropolislah yang kemudian menjadi dasar dari perilaku pertumbuhan kota. Di sini kekuatan finansial dan pertimbangan geopolitiklah yang memainkan peran utama dari sebuah kawasan metropolitan. Dengan demikian, istilah metropolis tidak lagi hanya dipertimbangkan sebagai sebuah ibu kota. Sebuah kota besar atau yang sangat besar pun harus dipertimbangkan sebagai sebuah kota metropolitan. Luasan kota metropolitan pun bervariasi, bergantung pada wilayah. Di Eropa, misalnya, luasan sebuah metropolis adalah antara 25.000 hingga 50.000 km persegi, sementara di Amerika Serikat hingga 200.000 km persegi.

Suatu metropolitan bisa saja mempunyai satu pusat (monocentric), atau lebih dari satu pusat (polycentric). Pada suatu metropolitan yang polycentric, pusat metropolitan tidak harus secara fisik tersambung dalam bentuk kawasan terbangun (built-up area),- berbeda dengan pengertian conurbation,- kota-kota yang menjadi pusat metropolitan polycentric terhubung secara ekonomi dan fisik, dan secara keseluruhan menjadi kawasan perkotaan yang besar. Contoh dari bentuk polycentric ini misalnya adalah Tokyo-Kawasaki- Yokohama (the Keihin area), atau Osaka-Kobe dan Kyoto sebagai Kehanshin Zone. Jika metropolitan-metropolitan sangat berdekatan, mereka bias membentuk suatu Megalopolis.

Metropolitan di dunia terbentuk karena adanya aglomerasi ekonomi yang menyebabkan dominasi ekonomi kota terhadap daerah pinggirannya. Ditemukannya mesin uap yang memicu revolusi industri menyebabkan kota


(47)

seperti London menjadi tempat berkembangnya industri dan urbanisasi dari desa ke kota meningkat sangat tajam, antara tahun 1821 sampai 1851 atau hanya dalam 30 tahun penduduk London meningkat 4 juta jiwa. Angka tersebut sangat tinggi dalam konteks Eropa pada saat itu. Pertumbuhan tersebut sering juga dilihat sebagai “penjajahan” kota terhadap daerah pinggirannya atau bahkan

terhadap kawasan perdesaan. Kota menyerap semuanya dan sering juga dilihat sebagai pusat berkembangnya penyakit dan perbuatan-perbuatan asusila (Angotti 1993). Keadaan itu memicu timbulnya aliran anti-urban. London, Machester, New York, Chicago dianggap sebagai tempat yang menyebabkan kemaksiatan yang dipicu oleh perkembangan industri dan modal.

Metropolitan di negara-negara maju merupakan akibat dari revolusi industri di abad 19. Walau demikian, beberapa di antara kota-kota tersebut seperti London dan Paris telah tumbuh jauh sebelum masa revolusi industri. Di akhir abad 17, London telah memiliki 670.000 penduduk dan Paris memiliki 500.000 penduduk. London di masa itu telah berfungsi sebagai pusat politik atau kekuasaan dari kerajaan Inggris, dan sekaligus sebagai pusat perdagangan internasional. Sebelum tumbuhnya industri-industri besar, London bahkan telah memiliki penduduk dengan jumlah lebih dari satu juta jiwa dan telah berfungsi sebagai pusat keuangan penting di dunia yang dimulai dengan didirikannya Bursa London di tahun 1773.

Dari berbagai kota metropolitan di negara-negara maju, kasus yang agak berbeda adalah Tokyo. Sebagai ibu kota dari ke-shogunan Tokugawa sejak abad 16 hingga abad 18, Tokyo yang pada masa itu bernama Edo, tumbuh melampaui Kyoto, ibu kota resmi kekaisaran. Jumlah penduduk Tokyo telah melampaui satu juta jiwa di akhir abad 18. Namun seiring dengan berkurangnya pengaruh kekuasaan ke-shogunan Tokugawa, terjadi penurunan jumlah penduduk Tokyo di awal paruh abad 19 menjadi sekitar 600.000. Sejak restorasi Meiji, ketika Jepang membuka diri terhadap negara-negara barat, dan Tokyo secara resmi menjadi ibu kota negara, pertumbuhan penduduk Tokyo kembali meningkat sehingga di tahun 1900 penduduknya telah mencapai 1,4 juta jiwa.

Di Amerika Latin, kota-kota metropolitan modern umumnya tumbuh sebagai akibat kolonisasi Spanyol maupun Portugis, yakni akibat perdagangan


(48)

kolonial, terutama pada bagian yang menghadap Samudera Atlantik tempat pendatang-pendatang awal dari Eropa, dan juga tanah yang subur bagi pertanian yang pada masa itu menarik para pendatang tersebut. Sebaliknya di bagian pegunungan serta bagian yang menghadap Pasifik, pertumbuhan kota-kotanya lebih lambat. Kasus yang agak berbeda dalam hal ini adalah Kota Meksiko, yang sejak 1325 telah menjadi ibu kota Kerajaan Aztek Meksiko- Tenochtitlan. Dalam perkembangannya sebagai ibu kota Meksiko, kekuatan politiklah yang menyebabkan kota tersebut tumbuh dengan pesat. Sementara itu, Sao Paulo di Brazil memiliki sejarah pertumbuhan yang berbeda dari Meksiko. Berawal dari lokasi sekolah sekte Jesuit yang berada di persimpangan jalur menuju kawasan pedalaman, Sao Paulo kemudian berkembang pesat akibat perdagangan kopi.

Di Asia sendiri perkembangan kota-kota metropolitan awalnya tak lepas dari pengaruh perdagangan kolonial. Manila, misalnya, baru mulai berkembang sejak kolonisasi Spanyol tahun 1565. Demikian pula dengan Jakarta yang dahulu bernama Batavia, juga Mumbai dan Kalkuta. Aktivitas perdagangan di Mumbai berkembang pesat sehingga penduduk kota tersebut yang di tahun 1814 berjumlah 170.000 jiwa menjadi 566.000 di tahun 1845, dan 817.000 jiwa di tahun 1864. Sejarah yang agak berbeda mungkin ditemukan di Bangkok, yang telah merupakan ibu kota kerajaan sebelum orang-orang Eropa datang. Demikian juga Seoul yang telah menjadi ibu kota kekaisaran Dinasti Li sejak abad 14, jauh sebelum pendudukan Jepang di tahun 1910 (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005).

Salah satu fenomena pertumbuhan metropolitan yang menarik adalah pertumbuhan Shenzhen di Cina. Shenzen di awal tahun 1980 an hanyalah sebuah kota kecil nelayan dengan penduduk 70.000 jiwa. Semuanya berubah

ketika Shenzhen terpilih sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic

Zone) yang pertama di China. Lokasinya yang strategis, yakni berseberangan dengan Hongkong membuat kawasan tersebut banyak menarik investasi dari Hongkong. Hanya dalam kurun waktu seperempat abad, Shenzhen berubah menjadi metropolitan berpenduduk 7 juta jiwa dengan kekuatan ekonomi nomor empat di Cina. Fenomena unik ini mungkin hanya dapat didekati oleh Chicago yang membutuhkan waktu 50 tahun untuk menjadi kota berpenduduk jutaan.


(49)

2.1.2. Urbanisasi dan Suburbanisasi

Faktor–faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi sangat beragam dan rumit. Karena migrasi merupakan suatu proses yang secara selektif mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan dan demografi tertentu. Persoalan migrasi desa kota (rural urban migration)

merupakan sebuah faktor negatif yang menyebabkan surplus tenaga kerja perkotaan secara berlebihan serta sebagai suatu kekuatan yang secara terus-menerus memperburuk masalah-masalah penganggguran di berbagai daerah perkotaan yang pada awalnya bersumber dari ketidak seimbangan struktural dan ekonomi antara daerah-daerah perkotaan dan perdesaan (Todaro, 1994).

Urbanisasi mengacu kepada peningkatan proporsi jumlah penduduk perdesaan yang tinggal di pusat-pusat kota dengan ukuran tertentu (Abercombieet al, 1988 dalam Rustiadi, 1997). Urbanisasi dapat diartikan sebagai proses yang menyertai transformasi struktural ekonomi pada suatu wilayah/daerah sehingga terjadi perubahan pola hidup akan kebutuhan sarana, prasarana dan jasa pelayanan serta perubahan yang modern. Seiring dengan meluasnya urbanisasi dan pembangunan pemukiman kumuh (slum) dan kampung-kampung di tengah kota yang serba menyesakkan dan liar (shanty town) serta semakin banyak penduduk perkotaan yang tinggal berhimpit-himpit di berbagai pusat pemukiman yang sebenarnya tidak pantas dihuni oleh manusia (Todaro, 1994).

Suburbanisasi adalah proses pengembangan pemukiman dan kadang-kadang disertai dengan pengembangan industri pada wilayah pinggiran kota (Mayhew, 1997; Jackson, 1985dalamRustiadi, 1997). Perkembangan urbanisasi di wilayah sub urban dipengaruhi oleh factor-faktor penarik dari dalam kota dan juga sistem pengembangan transportasi yang menghubungkan wilayah sub urban

dengan wilayah urban. Proses Suburbanisasi adalah salah satu proses

pengembangan wilayah yang semakin menonjol dan akan semakin berpengaruh nyata di dalam proses penataan ruang di sekitar wilayah perkotaan. Di satu sisi, proses ini dipandang sebagai perluasan wilayah urban ke wilayah pinggiran kota yang berdampak meluasnya sekala managemen wilayah urban secara real. Di sisi yang lain, proses ini sering dinilai sebagai proses yang kontra produktif mengingat


(1)

const pert _inv_non_pert _hist _ROI = 0.12 const Pert _Inv_Pert _Hist _BDK = 0.1 const Pert _Inv_Pert _Hist _DKI = 0.1 const Pert _Inv_Pert _Hist _ROI = 0.1 const Pert _Inv_Pert _Skenario_BDK = 0.1 const Pert _Inv_Pert _Skenario_DKI = 0.1 const Pert _Inv_Pert _Skenario_ROI = 0.1 const Prasarana_per_kpit a_BDK = 25

doc Prasarana_per_kpit a_BDK = Luas ruang yang dibut uhkan unt uk prasarana yang meliput i jalan, pendidikan, kesehat an, peribadat an, rekreasi dan sebagainya, diasumsikan secara t ert imbang unt uk kaw asan perkot aan dan perdesaan di w ilayah penelit ian adalah 25 m2/ kapit a.

const Prasarana_per_kpit a_DKI = 25

doc Prasarana_per_kpit a_DKI = Luas ruang yang dibut uhkan unt uk prasarana yang meliput i jalan, pendidikan, kesehat an, peribadat an, rekreasi dan sebagainya, diasumsikan secara t ert imbang unt uk kaw asan perkot aan dan perdesaan di w ilayah penelit ian adalah 25 m2/ kapit a.

const Prasarana_per_kpit a_ROI = 25

doc Prasarana_per_kpit a_ROI = Luas ruang yang dibut uhkan unt uk prasarana yang meliput i jalan, pendidikan, kesehat an, peribadat an, rekreasi dan sebagainya, diasumsikan secara t ert imbang unt uk kaw asan perkot aan dan perdesaan di w ilayah penelit ian adalah 25 m2/ kapit a.

const rasio_C_non_pert _t hd_out put _BDK = 0.265856194076118 const rasio_C_non_pert _t hd_out put _DKI = 0.282629824213908 const rasio_C_non_pert _t hd_out put _ROI = 0.3034

const Rasio_C_Pert _t hd_Out put _BDK = 0.2233 const Rasio_C_Pert _t hd_Out put _DKI = 0.2406 const Rasio_C_Pert _t hd_Out put _ROI = 0.3744 const Rasio_G_Non_Pert _t hd_Out put _BDK = 0.0119 const Rasio_G_Non_Pert _t hd_Out put _DKI = 0.0392 const Rasio_G_Non_Pert _t hd_Out put _ROI = 0.0396 const Rasio_G_Pert _t hd_Out put _BDK = 0


(2)

const Rasio_G_Pert _t hd_Out put _ROI = 0.01

const rasio_M _non_pert _t hd_out put _aw al_BDK = 0.00271541305967351 const rasio_M _non_pert _t hd_out put _aw al_DKI = 0.0890568526681066 const rasio_M _non_pert _t hd_out put _aw al_ROI = 0.0130

const Rasio_M _Pert _t hd_Out _Aw al_BDK = 0.089 const Rasio_M _Pert _t hd_Out _Aw al_DKI = 0.0525 const Rasio_M _Pert _t hd_Out _Aw al_ROI = 0.0132

const Rasio_NT_t hd_Out put _Non_Pert _BDK = 0.77921994475658 const Rasio_NT_t hd_Out put _Non_Pert _DKI = 0.556

const Rasio_NT_t hd_Out put _Non_Pert _ROI = 0.486408063768117 const Rasio_NT_t hd_Out put _Pert _BDK = 0.5553

const Rasio_NT_t hd_Out put _Pert _DKI = 0.745 const Rasio_NT_t hd_Out put _Pert _ROI = 0.479 const rasio_NT_t hd_out put _pert n_BDK = 0.5553 const rasio_NT_t hd_out put _pert n_DKI = 0.7450 const rasio_NT_t hd_out put _pert n_ROI = 0.479 const rasio_X_t hd_ouput _Non_Pert _BDK = 0.1052 const rasio_X_t hd_ouput _Non_Pert _DKI = 0.123409

const rasio_X_t hd_ouput _Non_Pert _ROI = 0.1914 const Rasio_x_t hd_out put _pert _BDK = 0.0244 const Rasio_x_t hd_out put _pert _DKI = 0.3216 const Rasio_x_t hd_out put _pert _ROI = 0.0217

const Rat a2_rasio_Pmft _Non_Pert _t hd_Alokasi_ROI = 0.5 const Ruang_per_invest asi_BDK = 8

doc Ruang_per_invest asi_BDK = Luas ruang yang dibuht ukan unt uk set iap jut a Rp invest asi, berdasarkan dat a perhit ungan dalam perencanaan RTRW Tangsel, didapat kan angka rat a-rat a 8 m2/ jut a Rp


(3)

const Ruang_per_invest asi_DKI = 8

doc Ruang_per_invest asi_DKI = Luas ruang yang dibuht ukan unt uk set iap jut a Rp invest asi, berdasarkan dat a perhit ungan dalam perencanaan, didapat kan angka rat a-rat a 8 m2/ jut a Rp const Ruang_per_invest asi_ROI = 8

doc Ruang_per_invest asi_ROI = Luas ruang yang dibuht ukan unt uk set iap jut a Rp invest asi, berdasarkan dat a perhit ungan dalam perencanaan RTRW Tangsel, didapat kan angka rat a-rat a 8 m2/ jut a Rp

const Tahapan_kw s_lindung_BDK = 1/ 20 const Tahapan_kw s_lindung_DKI = 1/ 20 const Tahapan_kw s_lindung_ROI = 1/ 20 const TK_Awal_Non_Pert _BDK = 2009079 const TK_Awal_non_Pert _DKI = 3253718 const TK_Awal_Non_Pert _ROI = 51013539 const TK_Awal_Pert _BDK = 645560 const TK_Awal_Pert _DKI = 13808 const TK_Awal_Pert _ROI = 40633627 const TK_Non_Pert _Aw al_BDK = 20020095 const TK_Non_Pert _Aw al_DKI = 3253718 const TK_Non_Pert _Aw al_ROI = 45757726 const TK_Pert _Aw al_BDK = 3253718 const TK_Pert _Aw al_DKI = 3253718 const TK_Pert _Aw al_ROI = 3253718 const umur_kap_non_pert _BDK = 15 const umur_kap_non_pert _DKI = 10 const umur_kap_non_pert _ROI = 15 const umur_kap_pert _BDK = 5 const umur_kap_pert _DKI = 10 const umur_kap_pert _ROI = 10


(4)

const Umur_Kapit al_Non_Pert _DKI = 10 const Umur_Kapit al_Non_Pert _ROI = 15 const w k_peny_rat a2_G_Non_Pert _BDK = 2 const w k_peny_rat a2_G_Non_Pert _DKI = 1 const w k_peny_rat a2_G_Non_Pert _ROI = 2 const Wk_Peny_Rat a2_G_Pert _BDK = 2 const Wk_Peny_Rat a2_G_Pert _DKI = 2 const Wk_Peny_Rat a2_G_Pert _ROI = 2 const Wk_peny_rat a2_x_Non_Pert _BDK = 2 const Wk_peny_rat a2_x_Non_Pert _DKI = 1 const Wk_peny_rat a2_x_Non_Pert _ROI = 2 const Wk_Peny_Rat a2_X_Pert _BDK = 2 const Wk_Peny_Rat a2_X_Pert _DKI = 2 const Wk_Peny_Rat a2_X_Pert _ROI = 2 const Wk_rat a2_DCR_BDK = 0.8 const Wk_rat a2_DCR_DKI = 1 const Wk_rat a2_DCR_ROI = 0.6 const Wk_Rat a2_Inv_Pert _BDK = 2 const Wk_Rat a2_Inv_Pert _DKI = 2 const Wk_Rat a2_Inv_Pert _ROI = 2

const w k_rat a2_invest _non_pert _BDK = 2 const w k_rat a2_invest _non_pert _DKI = 1 const w k_rat a2_invest _non_pert _ROI = 2 const Wk_Rat a2_Non_Pert _BDK = 2 const Wk_Rat a2_Non_Pert _DKI = 1 const Wk_Rat a2_Non_Pert _ROI = 2 const Wk_Rat a2_Ouput _Pert _BDK = 2


(5)

const Wk_Rat a2_Ouput _Pert _DKI = 2 const Wk_Rat a2_Ouput _Pert _ROI = 2 const w k_rat a2_out put _non_pert _BDK = 2 const w k_rat a2_out put _non_pert _DKI = 2 const w k_rat a2_out put _non_pert _ROI = 2 const Wk_Sken_kebj = 2010

const Wk_Sken_M _Pert _BDK = 2010 const Wk_Sken_M _Pert _DKI = 2010 const Wk_Sken_M _Pert _ROI = 2010

const Wk_Sken_Prod_TK_Non_pert _BDK = 2010 const Wk_Sken_Prod_TK_Non_pert _ROI = 2010 const Wk_Sken_Prodv_Non_Pert _DKI = 2010 const Wk_Sken_Prodv_Pert _BDK = 2010 const Wk_Sken_Prodv_Pert _DKI = 2010 const Wk_Sken_Prodv_Pert _ROI = 2010 const w k_skenario_G_Non_Pert _BDK = 2010 const w k_skenario_G_Non_Pert _DKI = 2010 const w k_skenario_G_Non_Pert _ROI = 2010 const Wk_Skenario_G_Pert _BDK = 2010 const Wk_Skenario_G_Pert _DKI = 2010 const Wk_Skenario_G_Pert _ROI = 2010 const w k_skenario_inv_non_pert _BDK = 2010 const w k_skenario_inv_non_pert _DKI = 2010 const w k_skenario_inv_non_pert _ROI = 2010 const Wk_skenario_Inv_Pert _BDK = 2010 const Wk_skenario_Inv_Pert _DKI = 2010 const Wk_skenario_Inv_Pert _ROI = 2010


(6)

const Wk_Skenario_KOR_Non_Pert _BDK = 2010 const Wk_Skenario_KOR_Non_Pert _DKI = 2010 const Wk_Skenario_KOR_Non_Pert _ROI = 2010 const w k_skenario_M _non_pert _BDK = 2010 const w k_skenario_M _non_pert _DKI = 2010 const w k_skenario_M _non_pert _ROI = 2010 const Wk_Skenario_Prodv_Lhn_Pert _BDK = 2010 const Wk_Skenario_Prodv_Lhn_Pert _DKI = 2010 const Wk_Skenario_Prodv_Lhn_Pert _ROI = 2010 const w k_skenario_X_Non_Pert _BDK = 2010 const w k_skenario_X_Non_Pert _DKI = 2010 const w k_skenario_X_Non_Pert _ROI = 2010 const Wk_Skenario_X_Pert _BDK = 2010 const Wk_Skenario_X_Pert _DKI = 2010 const Wk_Skenario_X_Pert _ROI = 2010