No Zone
Lahan Tersedia Untuk Lahan Terbangun Luas Ha
Persen dari Total Luas Jabodetabek
1
B1
8.736 4,31
2
B2
57.392 8,61
3
B3
42.895 6,44
4
Bp
1.977 0,30
Jumlah 131.001
19,65
158
Lahan yang tersedia untuk perubahan penggunaan lahan terbangun di kawasan Jabodetabek seluas 131.001 ha yaitu pada Zone B1 seluas 8.736 ha, B2
seluas 57.392 ha, B3 seluas 42.895 ha dan Bp seluas 1.977 ha.
5.5. Ikhtisar
Jumlah penduduk kawasan Jabodetabek khususnya di DKI Jakarta yang semakin meningkat maka luas lahan terbangun di Kawasan jabodetabek yang
terus meningkat. Berdasarkan hitungan regresi kedua variabel tersebut maka bila terdapat kenaikan jumlah penduduk sebanyak 1.000 jiwa maka akan terjadi
kenaikan luas lahan terbangun seluas 12,94 Ha di Jabodetabek atau setiap kenaikan jumlah penduduk 1 orang maka akan terjadi kenaikan luas` lahan terbangun seluas
129,4 m
2
. Pola perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan
terbangun mulai tahun 1972 – 2009 dengan pola mengikuti makin meluasnya kota Jakarta yaitu keliling lahan terbangun DKI Jakarta makin besar dan memanjang ke
arah Kota Bekasi, Kota Tangerang dan Kota Bogor. Kemudian lahan terbangun makin besar mengikuti tempat yang telah dibangunnya sarana transportasi yang
memadai baik melalui kereta maupun jalan tol, arteri atau jalan lingkar Jakarta. Penggunaan lahan tahun 2009 terdapat lahan yang tidak konsisten terutama
lahan terbangun terhadap kemampuan lahan seluas 19.812 ha 2,97 , kesesuaian lahan seluas 8.358 ha 1,25 dan Perpres No 54 tahun 2008 dimana lahan
terbangun yang tidak sesuai pada zone larangan yaitu pada Zone N1 dan N2 serta pada HP seluas 2.158 ha atau 0,32 dari total luas Jabodetabek. Sedangkan lahan
yang tersedia untuk perubahan penggunaan lahan terbangun di kawasan Jabodetabek seluas 131.001 ha.
VI. KETERKAITAN ANTAR SEKTOR ANTAR WILAYAH
Struktur perekonomian yang ada di wilayah Indonesia sangat beragam, terutama untuk wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek, yang sudah menuju kearah
tersier dan sekunder. Sedangkan untuk wilayah sisa Indonesia masih sangat didominasi oleh sektor primer. Hal tersebut mengakibatkan terjadi ketimpangan
antar wilayah di Indonesia. Salah satu keunggulan analisis dengan model IRIO adalah dapat digunakan
untuk mengetahui berapa jauh tingkat ketekaitan antar sektor produksi. Keterkaitan antar sektor menunjukan adanya tingkat keterkaitan teknis antar unsur
aktif. Analisis keterkaitan merupakan bagian yang penting dalam analisis input output suatu wilayah karena analisis ini merupakan dasar analisis selanjutnya
seperti analisis daya penyebaran, derajat kepekaan, serta analisis multiplier. Analisis yang digunakan untuk mengetahui tingkat keterkaitan suatu sektor
terhadap sektor lain dalam hal penggunaan input maupun pemanfaatan output. Selain itu, analisis ini juga dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu
sektor dalam pembentukan output wilayah dilihat dari pemanfaatan output maupun penggunaan input.
Secara sederhana, dari hasil analisis input output interregional Tahun 2009, kontribusi input dan output di DKI Jakarta, Bodetabek, serta Sisa Indonesia dapat
ditunjukkan bahwa keterkaitan yang ada di Indonesia sangat lemah. Pemanfaatn output untuk wilayah lainnya, di DKI Jakarta sebesar 74,09 , Bodetabek sebesar
73,57 , serta Sisa Indonesia sebesar 94,38 terhadap total output nasional.
Tabel 30. Kontribusi Output Dan Input Di Masing-Masing Wilayah Di Indonesia, 2009 Dalam Persen
No InputOutput
DKI Jakarta
Bodetabek Rest of
Indonesia Indonesia
1 DKI Jakarta
74,09 0,77
25,14 100,00
2 Bodetabek
2,95 73,57
23,48 100,00
3 Rest of Indonesia
4,11 1,52
94,38 100,00
Sumber : Hasil analisa tabel IRIO tahun 2002 yang di update tahun 2009 dengan RAS