dianggap tidak menarik bagi sejumlah ibu rumah tangga. Karena saat ini banyak beredar minyak tanah dengan berbagai macam warna, dari putih bening, hijau,
biru, hingga ungu. Warna pada minyak tanah ini dianggap membingungkan masyarakat sehingga masyarakat kesulitan untu mengetahui minyak tanah yang
memiliki kualitas yang baik. Gas Hidrokarbon yang dihasilkan oleh minyak tanah juga mengakibatkan peralatan memasak menjadi kotor sehingga semakin besar
api yang dinyalakan maka akan semakin kotor peralatan memasak yang digunakan, bahkan terkadang alat memasak menjadi sulit dibersihkan.
Sebagian besar ibu rumah tangga 96.67 termasuk ke dalam kategori sikap yang cukup baik terhadap minyak tanah pada penelitian ini seperti
ditunjukkan dalam Tabel 28. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki penerimaan yang cukup baik terhadap minyak tanah meskipun
pemerintah telah menyelenggarakan program konversi minyak tanah ke LPG. Persentase ibu rumah tangga yang memiliki sikap yang cukup baik terhadap
minyak tanah di Sindang Barang 93.33 lebih besar dibandingkan dengan Cikaret 76.67. Hanya terdapat sedikit ibu rumah tangga 3.33 yang
memiliki sikap yang kurang baik terhadap minyak tanah dan merupakan ibu rumah tangga yang berdomisili di Cikaret.
Tabel 28 Sebaran ibu rumah tangga menurut sikap terhadap minyak tanah persen
Kategori Sikap Sindang Barang
n=30 Cikaret
n=30 Total
N=60
Buruk 0.00 0.00
0.00 Kurang Baik
6.67 0.00 3.33
Cukup baik
93.33 76.67 96.67
Baik 0.00 0.00
0.00 Sangat Baik
0.00 0.00 0.00
Total 100.00 100.00
100.00
Perbandingan Sikap terhadap LPG dan Minyak Tanah
Jika dilakukan perbandingan berdasarkan analisis multiatribut Fishbein, maka dapat terlihat keunggulan masing-masing bahan bakar pada beberapa
atribut. Pada atribut harga pembelian isi ulang yang terjangkau, secara umum ibu rumah tangga lebih menyukai harga pembelian isi ulang LPG meskipun harga
keduanya termasuk kategori mahal bagi ibu rumah tangga. Hal ini diduga karena meningkatnya harga minyak tanah, yakni sekitar Rp 8 000 hingga Rp 12 000 per
liter. Jika dibandingkan dengan harga LPG yang berkisar antara Rp 13 500 hingga Rp 17 000 per tabung maka masyarakat lebih menyukai harga isi ulang
LPG. Perbedaan harga ini terjadi karena pada saat penelitian dilakukan, minyak tanah sudah tidak disubsdi lagi, sementara LPG yang beredar di masyarakat
sudah disubsidi oleh Pemerintah. Hal ini sesuai dengan teori Van den Ban 1996 yang menyatakan bahwa produk baru harus memiliki keuntungan relatif yang
tinggi bagi pengguna. Selain itu, ibu rumah tangga lebih merasakan bahwa LPG mudah diperoleh, sementara minyak tanah sangat sulit untuk ditemukan di
sejumlah warung dan toko terdekat. Berdasarkan atribut kepraktisan, kebersihan peralatan masak, kecepatan
waktu memasak, kemudahan menggunakan, keramahan terhadap lingkungan, dan kemudahan pemeliharaan, LPG lebih disukai dibandingkan dengan minyak
tanah. Semakin mudah teknologi baru dipraktekkan, maka semakin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan. Oleh karena itu, agar proses adopsi dapat
berjalan dengan cepat, maka penyajian inovasi harus lebih sedehana Sukartawi 1988. Dengan demikian, kompleksitas suatu inovasi mempunyai pengaruh yang
besar terhadap percepatan adopsi inovasi. Maka dari itu, perlu dilakukan peragaan, pencontohan, dan pelatihan secara partisipatif.
Namun, di sisi lain, harga pembelian peralatan minyak tanah lebih disukai dibandingkan dengan LPG. Bentuk kemasan LPG lebih disukai dibandingkan
dengan minyak tanah, namun untuk bentuk produk, minyak tanah cair lebih disukai dibandingkan dengan bentuk kemasan LPG tabung dan bentuk LPG
LPG yang diperkirakan lebih berat dan tidak terlihat. Dari aspek kenyamanan dan keamanan, minyak tanah ternyata lebih
disukai dibandingkan dengan LPG. Selain itu, minyak tanah dianggap memiliki kegunaan yang lebih banyak dibandingkan dengan LPG karena minyak tanah
dapat digunakan untuk keperluan selain memasak, yakni untuk lampu tempel, membakar sampah, dan sebagai obat. Sesuai dengan teori adopsi yang
menyatakan bahwa suatu produk baru harus sesuai dengan nilai-nilai, pengalaman dan kebutuhan masyarakat sasaran maka kebiasaan masyarakat
untuk menggunakan LPG sebagai bahan bakar masih cukup sulit untuk dilakukan karena mereka sudah terbiasa menggunakan minyak tanah.
Peralatan yang digunakan ketika menggunakan minyak tanah dirasakan lebih mudah dibandingkan dengan LPG karena ibu rumah tangga dapat
membetulkan sendiri kompor minyak tanah jika terjadi kerusakan ataupun