50.00 53.33 Analisis Persepsi, Sikap, dan Strategi Koping Keluarga Miskin terkait Program Konversi Minyak Tanah ke LPG di Kota Bogor

dapat meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan anggota rumahtangga. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain. Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Pada kondisi pendapatan terbatas, keluarga akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya akan digunakan untuk mengkonsumsi makanan. Tabel 12 menunjukkan bahwa kondisi ekonomi keluarga contoh Sindang Barang hampir sama dengan keluarga contoh Cikaret. Keluarga contoh di Sindang Barang memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp 105 456 Standar Deviasi = Rp 66 117, hampir sama dengan pendapatan per kapita keluarga contoh di Cikaret yaitu sebesar Rp 107 477 Standar Deviasi = Rp 44 800. Pendapatan terkecil dan terbesar terdapat pada keluarga contoh yang tinggal di wilayah Sindang Barang, yakni sebesar Rp 10 000 per kapita per bulan dan Rp 300 000 per kapita per bulan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan keluarga per kapita per bulan di kedua wilayah masih berada di bawah garis kemiskinan, yakni batas dimana seseorang dapat memenuhi kebutuhan makanan dan non-makanan Dinas Kesehatan 2008. Tabel 12 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kelompok pendapatan per kapita per bulan persen Pendapatan perkapita per Bulan Sindang Barang n= 30 Cikaret n = 30 Total N = 60 ≤ Rp 100 000

56.67 50.00 53.33

Rp 100 000 - Rp 222 123 36.67 46.67 41.67 Rp 222 123 6.67 3.33 5.00 Total 100.00 100.00 100.00 berdasarkan batas garis kemiskinan BPS 2009 Pengeluaran per Kapita Keluarga Tabel 13 menunjukkan bahwa keluarga contoh di Sindang Barang memiliki rata-rata pengeluaran sebesar Rp 205 641 Standar Deviasi = Rp 78 357, hampir sama dengan pengeluaran per kapita keluarga contoh di Cikaret yaitu sebesar Rp 205 052 Standar Deviasi = Rp 93 391. Pengeluaran terkecil terdapat pada keluarga contoh yang tinggal di Cikaret, yakni sebesar Rp 67 722 per kapita per bulan dan pengeluaran terbesar terdapat pada keluarga contoh yang tinggal di wilayah Sindang Barang yakni sebesar Rp 470 833 per kapita per bulan. Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, berdasarkan data pengeluaran keluarga, ternyata terdapat 60 persen keluarga contoh yang termasuk ke dalam kategori keluarga miskin dan 40 persen lainnya tidak termasuk ke dalam kategori keluarga miskin. Persentase keluarga contoh yang miskin lebih banyak terdapat pada keluarga contoh yang tinggal di Sindang Barang 63.33 dibandingkan dengan keluarga contoh yang tinggal di Cikaret 56.67. Hal ini menunjukkan bahwa standar kemiskinan yang digunakan oleh pihak kelurahan berbeda dengan hasil penelitian. Permasalahan ini dapat diakibatkan oleh penggunaan indikator kemiskinan BPS masih kurang tepat dan kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya terjadi, seperti indikator yang digunakan hanya berdasarkan keadaan fisik rumah, misalnya : 1 rumah masih berlantai tanah, bambu, atau kayu murah, padahal di daerah perkotaan hampir seluruh rumah keluarga miskin sudah berlantaikan plester, 2 Jenis dinding bamburumbiakayutembok tanpa diplester, padahal di daerah perkotaan hampir seluruh rumah keluarga miskin berdindingkan tembok yang sudah diplester, 3 tidak menggunakan lampu sebagai penerangan, padahal di daerah perkotaan hampir seluruh rumah keluarga miskin sudah menggunakan lampu meskipun menumpang di saudara atau tetangganya, 4 pendidikan maksimal SD, padahal di daerah perkotaan banyak kepala keluarga yang pendidikannya sudah tingkat menengah Tabel 13 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kelompok pengeluaran per kapita per bulan persen Pengeluaran perkapita per Bulan Sindang Barang n = 30 Cikaret n = 30 Total N = 60 ≤ Rp 100 000 10.00 10.00 10.00 Rp 100 000 - Rp 222 123 53.33 46.67 50.00 Rp 222 123 36.67 43.33 40.00 Total 100.00 100.00 100.00 berdasarkan batas garis kemiskinan BPS 2009 Tabel 14 memperlihatkan bahwa alokasi pengeluaran pangan antara keluarga contoh Sindang Barang dan Cikaret hampir sama. Rata-rata pengeluaran pangan keluarga contoh Sindang Barang sebesar Rp 133 614 dan keluarga contoh Cikaret sebesar Rp 137 165. Rata-rata pengeluaran non-pangan keluarga contoh Sindang Barang sebesar Rp 72 027 dan keluarga contoh Cikaret sebesar Rp 67 887. Berdasarkan proporsi dari pengeluaran total, alokasi pengeluaran pangan dan non-pangan pada keluarga contoh Sindang Barang dan Cikaret tidak berbeda jauh. Pada keluarga contoh di Sindang Barang, alokasi pengeluaran pangan ialah sebesar 64.97 persen dan pengeluaran non pangan ialah sebesar 35.03 persen. Sementara, pada keluarga contoh di Cikaret, alokasi pengeluaran pangan ialah sebesar 66.89 persen dan pengeluaran non pangan ialah sebesar 33.11 persen. Secara keseluruhan pengeluaran rata-rata untuk pangan lebih besar daripada rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan non pangan. Perhitungan pengeluaran per kapita menunjukkan bahwa keluarga contoh Sindang Barang memiliki pengeluaran rata-rata yang hampir sama dengan keluarga contoh Cikaret. Rata-rata pengeluaran total keluarga contoh ialah sebesar Rp 205 346, dengan pengeluaran terendah sebesar Rp 67 722 pada keluarga contoh di Sindang Barang dan yang tertinggi sebesar Rp 470 833 yang terdapat pada keluarga contoh di Cikaret. Rata-rata pengeluaran pada keluarga contoh Sindang Barang ialah sebesar Rp 205 641, dan pada keluarga contoh Cikaret ialah sebesar Rp 205 052. Tabel 14 Rata-rata pengeluaran keluarga contoh perkapita per bulan Keterangan : SD = Standar Deviasi Nama Kelurahan Pengeluaran Keluarga Jenis Pengeluaran Rata-rata Pengeluaran per kapita per bulan Rupiah Sindang Barang Pangan 133 614 SD = 53 231 64.97 Non Pangan 72 027 SD = 37 509 35.03 Total 205 641 SD = 78 357 100.00 Cikaret Pangan 137 165 SD = 53 528 66.89 Non Pangan 67 887 SD = 49 564 33.11 Total 205 052 SD = 93 391 100.00 Total Pangan 135 389 SD = 52 955 65.93 Non Pangan 69 957 SD = 43 628 34.07 Total 205 346 SD = 85 043 100.00 Penggunaan Energi dalam Rumah Tangga Sebelum program konversi minyak tanah ke LPG berlangsung, sebanyak 55 persen keluarga contoh menggunakan kayu bakar dan 45 persen lainnya menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun keluarga contoh merupakan masyarakat perkotaan, ternyata sebagian besar diantaranya masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Menurut Nuryanti 2007, penggunaan bahan bakar non-komersial khususnya kayu bakar dalam konsumsi energi pada sektor rumah tangga dimungkinkan karena 3 tiga faktor, yaitu : 1. Faktor ekonomi Keterbatasan ekonomi menyebabkan contoh memilih bahan bakar yang harganya terjangkau. Walaupun ada pilihan, keluarga miskin lebih memilih energi yang harganya tidak melebihi daya beli sehingga kayu bakar menjadi pilihan. 2. Faktor infrastruktur Keterbatasan infrastruktur juga menghambat contoh dalam mengkonsumsi energi komersial. Kelangkaan LPG dapat menyebabkan contoh tidak memungkinkan memakai LPG untuk memasak meski sebenarnya mereka mampu membeli. 3. Faktor pola pikir mind set Faktor pola pikir juga menjadi faktor penghambat dalam konsumsi energi komersial, misalnya, faktor ketakutan untuk menggunakan kompor LPG atau bahkan kompor minyak tanah, menyebabkan banyak masyarakat bertahan menggunakan kayu bakar. Hal ini juga bisa berarti bahwa contoh menganggap bahwa menggunakan kayu bakar jauh lebih menguntungkan karena harga ekonominya tidak ada sehingga waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk mencari kayu bakar maupun hasil samping pembakaran berupa CO 2 tidak dianggap sebagai harga mahal yang harus dibayar. Setelah program konversi minyak tanah ke LPG berlangsung, terdapat 81.67 persen keluarga contoh yang menggunakan LPG dan masih ada 11 keluarga contoh 18.33 yang tidak mengunakan LPG Tabel 15. Keluarga contoh yang saat ini tidak menggunakan LPG, ada yang menggunakan kayu bakar 8.3 dan minyak tanah 10.00 walaupun sebenarnya seluruh keluarga contoh diberikan bantuan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua keluarga contoh menggunakan LPG setelah diberikan bantuan berupa kompor LPG, selang dan regulator oleh Pemerintah secara gratis. Sebagian dari mereka menggunakan bahan bakar yang sama dengan bahan bakar yang digunakan sebelum program konversi, yakni sebanyak 12.10 persen tetap menggunakan kayu bakar dan 14.80 persen tetap menggunakan minyak tanah. Sebanyak 6.10 persen keluarga contoh beralih dari minyak tanah ke kayu bakar. Hal ini berkaitan dengan semakin sulitnya keluarga contoh menemukan kayu bakar di sekitarnya. Sementara itu, sebanyak 3.70 persen keluarga contoh beralih dari minyak tanah ke kayu bakar. Hal ini berkaitan dengan semakin langka dan mahalnya harga minyak tanah sehingga keluarga contoh lebih memilih menggunakan kayu bakar. Tabel 15 Sebaran keluarga contoh menurut bahan bakar yang digunakan Jenis Bahan Bakar Sebelum Program Konversi Sesudah Program Konversi Kayu Bakar Minyak Tanah LPG Total n n n n n Kayu Bakar 33 55.00 4 12.10 2 6.10 27 81.80 33 100.00 Minyak Tanah 27 45.00 1 3.70 4 14.80 22 81.50 27 100.00 Total 60 100.00 5 8.33 6 10.00 49 81.67 60 100.00 Ada beberapa alasan yang menyebabkan keluarga contoh tidak menggunakan LPG. Sebanyak 54.55 persen keluarga contoh merasa takut sehingga penggunaan kayu bakar ataupun minyak tanah yang dianggap lebih aman bagi mereka. Sebagian kecil diantaranya tidak menggunakan LPG karena memang tidak bisa menggunakannya, harga isi ulang LPG yang cukup mahal, dan menjual tabung LPG untuk membayar hutang keluarga Tabel 16. Tabel 16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan alasan tidak menggunakan LPG persen Alasan Sindang Barang n = 3 Cikaret n = 8 Total n = 11 Takut Menggunakan LPG 100.00 37.50 54.55 Tidak bisa mengunakan LPG 0.00 25.00 18.18 Harga Isi Ulang LPG Mahal 0.00 25.00 18.18 Menjual Tabung LPG 0.00 12.50 9.09 Total 100.00 100.00 100.00 Pada keluarga contoh yang menggunakan LPG 81.67, banyaknya LPG yang digunakan cukup bervariasi, mulai dari 1 hingga 3 tabung per bulan. Presentase penggunaan LPG terbanyak ialah sebanyak 3 tabung per bulan. Sebanyak 46.94 persen keluarga contoh pengguna LPG menggunakan LPG

Dokumen yang terkait

Efektivitas Sosialisasi Program Konversi Minyak Tanah ke LPG (Studi Korelasional Terhadap Efektivitas Sosialisasi Program Konversi Minyak Tanah ke LPG kepada Ibu-ibu Rumah Tangga dalam Rangka Mengubah Keputusan Penggunaan Bahan Bakar di Kecamatan Delitua)

0 41 153

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG (LIQUIFIELD PETROLEUM GAS) DI KELURAHAN TEGAL BESAR KECAMATAN KALIWATES KABUPATEN JEMBER

0 30 18

ANALISIS PENGARUH PROGRAM KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN USAHA MIKRO (Studi Kasus Pada Usaha Mikro Penerima Program Di Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran)

1 5 16

Persepsi,Sikap,dan Strategi Koping Keluarga Miskin Terkait Program KOnversi Minyak Tanah ke LPG di Kota Bogor "Reviewer"

0 3 1

Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG Terhadap Struktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro Di Kota Bogor (Periode 2005 - 2010)

1 13 96

Presentasi Pendataan 28122009

1 6 25

PENGARUH KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS EL (1)

0 0 8

PENERIMAAN, TINGKAT STRES, DAN STRATEGI KOPING IBU TERHADAP PROGRAM KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG DI KABUPATEN BOGOR Acceptance, Level of Stress, and Mother’s Coping Strategy Regarding of Kerosene Convertion Program to LPG in Bogor Regency

0 0 7

PERSEPSI, SIKAP, DAN STRATEGI KOPING KELUARGA MISKIN TERKAIT PROGRAM KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG DI KOTA BOGOR

0 0 11

ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN, SIKAP, PERILAKU, DAN TINGKAT KEPUASAN KELUARGA SASARAN PROGRAM KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG DI KOTA BEKASI Analysis of Welfare Level, Attitude, Behavior, and Satisfaction Level of Target Family of Kerosene to LPG substituti

0 0 8