dapat meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan anggota rumahtangga. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain
pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain. Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk
uang sebagai hasil pekerjaannya. Pada kondisi pendapatan terbatas, keluarga akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan, sehingga pada kelompok
masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya akan digunakan untuk mengkonsumsi makanan.
Tabel 12 menunjukkan bahwa kondisi ekonomi keluarga contoh Sindang Barang hampir sama dengan keluarga contoh Cikaret. Keluarga contoh di
Sindang Barang memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp 105 456 Standar Deviasi = Rp 66 117, hampir sama dengan pendapatan per kapita keluarga
contoh di Cikaret yaitu sebesar Rp 107 477 Standar Deviasi = Rp 44 800. Pendapatan terkecil dan terbesar terdapat pada keluarga contoh yang tinggal di
wilayah Sindang Barang, yakni sebesar Rp 10 000 per kapita per bulan dan Rp 300 000 per kapita per bulan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan
keluarga per kapita per bulan di kedua wilayah masih berada di bawah garis kemiskinan, yakni batas dimana seseorang dapat memenuhi kebutuhan
makanan dan non-makanan Dinas Kesehatan 2008. Tabel 12 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kelompok pendapatan per
kapita per bulan persen
Pendapatan perkapita per Bulan
Sindang Barang n= 30
Cikaret n = 30
Total N = 60
≤ Rp 100 000
56.67 50.00 53.33
Rp 100 000 - Rp 222 123 36.67
46.67 41.67
Rp 222 123 6.67
3.33 5.00
Total 100.00 100.00
100.00 berdasarkan batas garis kemiskinan BPS 2009
Pengeluaran per Kapita Keluarga
Tabel 13 menunjukkan bahwa keluarga contoh di Sindang Barang memiliki rata-rata pengeluaran sebesar Rp 205 641 Standar Deviasi = Rp 78 357,
hampir sama dengan pengeluaran per kapita keluarga contoh di Cikaret yaitu sebesar Rp 205 052 Standar Deviasi = Rp 93 391. Pengeluaran terkecil
terdapat pada keluarga contoh yang tinggal di Cikaret, yakni sebesar Rp 67 722 per kapita per bulan dan pengeluaran terbesar terdapat pada keluarga contoh
yang tinggal di wilayah Sindang Barang yakni sebesar Rp 470 833 per kapita per bulan.
Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, berdasarkan data pengeluaran keluarga, ternyata terdapat 60 persen keluarga contoh yang
termasuk ke dalam kategori keluarga miskin dan 40 persen lainnya tidak termasuk ke dalam kategori keluarga miskin. Persentase keluarga contoh yang
miskin lebih banyak terdapat pada keluarga contoh yang tinggal di Sindang Barang 63.33 dibandingkan dengan keluarga contoh yang tinggal di Cikaret
56.67. Hal ini menunjukkan bahwa standar kemiskinan yang digunakan oleh pihak kelurahan berbeda dengan hasil penelitian.
Permasalahan ini dapat diakibatkan oleh penggunaan indikator kemiskinan BPS masih kurang tepat dan kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya
terjadi, seperti indikator yang digunakan hanya berdasarkan keadaan fisik rumah, misalnya : 1 rumah masih berlantai tanah, bambu, atau kayu murah, padahal di
daerah perkotaan hampir seluruh rumah keluarga miskin sudah berlantaikan plester, 2 Jenis dinding bamburumbiakayutembok tanpa diplester, padahal di
daerah perkotaan hampir seluruh rumah keluarga miskin berdindingkan tembok yang sudah diplester, 3 tidak menggunakan lampu sebagai penerangan,
padahal di daerah perkotaan hampir seluruh rumah keluarga miskin sudah menggunakan lampu meskipun menumpang di saudara atau tetangganya, 4
pendidikan maksimal SD, padahal di daerah perkotaan banyak kepala keluarga yang pendidikannya sudah tingkat menengah
Tabel 13 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kelompok pengeluaran per kapita per bulan persen
Pengeluaran perkapita per Bulan
Sindang Barang n = 30
Cikaret n = 30
Total N = 60
≤ Rp 100 000
10.00 10.00 10.00
Rp 100 000 - Rp 222 123 53.33 46.67
50.00
Rp 222 123 36.67
43.33 40.00
Total 100.00 100.00
100.00 berdasarkan batas garis kemiskinan BPS 2009
Tabel 14 memperlihatkan bahwa alokasi pengeluaran pangan antara keluarga contoh Sindang Barang dan Cikaret hampir sama. Rata-rata
pengeluaran pangan keluarga contoh Sindang Barang sebesar Rp 133 614 dan keluarga contoh Cikaret sebesar Rp 137 165. Rata-rata pengeluaran non-pangan
keluarga contoh Sindang Barang sebesar Rp 72 027 dan keluarga contoh Cikaret sebesar Rp 67 887.
Berdasarkan proporsi dari pengeluaran total, alokasi pengeluaran pangan dan non-pangan pada keluarga contoh Sindang Barang dan Cikaret tidak
berbeda jauh. Pada keluarga contoh di Sindang Barang, alokasi pengeluaran pangan ialah sebesar 64.97 persen dan pengeluaran non pangan ialah sebesar
35.03 persen. Sementara, pada keluarga contoh di Cikaret, alokasi pengeluaran pangan ialah sebesar 66.89 persen dan pengeluaran non pangan ialah sebesar
33.11 persen. Secara keseluruhan pengeluaran rata-rata untuk pangan lebih besar daripada rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan non pangan. Perhitungan
pengeluaran per kapita menunjukkan bahwa keluarga contoh Sindang Barang memiliki pengeluaran rata-rata yang hampir sama dengan keluarga contoh
Cikaret. Rata-rata pengeluaran total keluarga contoh ialah sebesar Rp 205 346,
dengan pengeluaran terendah sebesar Rp 67 722 pada keluarga contoh di Sindang Barang dan yang tertinggi sebesar Rp 470 833 yang terdapat pada
keluarga contoh di Cikaret. Rata-rata pengeluaran pada keluarga contoh Sindang Barang ialah sebesar Rp 205 641, dan pada keluarga contoh Cikaret ialah
sebesar Rp 205 052. Tabel 14 Rata-rata pengeluaran keluarga contoh perkapita per bulan
Keterangan : SD = Standar Deviasi
Nama Kelurahan Pengeluaran Keluarga
Jenis Pengeluaran Rata-rata Pengeluaran per kapita
per bulan Rupiah
Sindang Barang Pangan
133 614 SD = 53 231
64.97 Non Pangan
72 027 SD = 37 509
35.03
Total 205 641
SD = 78 357 100.00
Cikaret Pangan
137 165 SD = 53 528
66.89
Non Pangan 67 887
SD = 49 564 33.11
Total 205 052
SD = 93 391 100.00
Total Pangan
135 389 SD = 52 955
65.93 Non Pangan
69 957 SD = 43 628
34.07
Total 205 346
SD = 85 043 100.00
Penggunaan Energi dalam Rumah Tangga
Sebelum program konversi minyak tanah ke LPG berlangsung, sebanyak 55 persen keluarga contoh menggunakan kayu bakar dan 45 persen lainnya
menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun keluarga contoh merupakan masyarakat perkotaan, ternyata sebagian
besar diantaranya masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Menurut Nuryanti 2007, penggunaan bahan bakar non-komersial khususnya kayu
bakar dalam konsumsi energi pada sektor rumah tangga dimungkinkan karena 3 tiga faktor, yaitu :
1. Faktor ekonomi Keterbatasan ekonomi menyebabkan contoh memilih bahan bakar yang
harganya terjangkau. Walaupun ada pilihan, keluarga miskin lebih memilih energi yang harganya tidak melebihi daya beli sehingga kayu bakar
menjadi pilihan. 2. Faktor infrastruktur
Keterbatasan infrastruktur juga menghambat contoh dalam mengkonsumsi energi komersial. Kelangkaan LPG dapat menyebabkan contoh tidak
memungkinkan memakai LPG untuk memasak meski sebenarnya mereka mampu membeli.
3. Faktor pola pikir mind set Faktor pola pikir juga menjadi faktor penghambat dalam konsumsi energi
komersial, misalnya, faktor ketakutan untuk menggunakan kompor LPG atau bahkan kompor minyak tanah, menyebabkan banyak masyarakat
bertahan menggunakan kayu bakar. Hal ini juga bisa berarti bahwa contoh menganggap bahwa menggunakan kayu bakar jauh lebih menguntungkan
karena harga ekonominya tidak ada sehingga waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk mencari kayu bakar maupun hasil samping pembakaran
berupa CO
2
tidak dianggap sebagai harga mahal yang harus dibayar. Setelah program konversi minyak tanah ke LPG berlangsung, terdapat
81.67 persen keluarga contoh yang menggunakan LPG dan masih ada 11 keluarga contoh 18.33 yang tidak mengunakan LPG Tabel 15. Keluarga
contoh yang saat ini tidak menggunakan LPG, ada yang menggunakan kayu bakar 8.3 dan minyak tanah 10.00 walaupun sebenarnya seluruh keluarga
contoh diberikan bantuan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua keluarga contoh menggunakan LPG setelah diberikan bantuan berupa kompor LPG,
selang dan regulator oleh Pemerintah secara gratis. Sebagian dari mereka menggunakan bahan bakar yang sama dengan bahan bakar yang digunakan
sebelum program konversi, yakni sebanyak 12.10 persen tetap menggunakan kayu bakar dan 14.80 persen tetap menggunakan minyak tanah. Sebanyak 6.10
persen keluarga contoh beralih dari minyak tanah ke kayu bakar. Hal ini berkaitan dengan semakin sulitnya keluarga contoh menemukan kayu bakar di
sekitarnya. Sementara itu, sebanyak 3.70 persen keluarga contoh beralih dari minyak tanah ke kayu bakar. Hal ini berkaitan dengan semakin langka dan
mahalnya harga minyak tanah sehingga keluarga contoh lebih memilih menggunakan kayu bakar.
Tabel 15 Sebaran keluarga contoh menurut bahan bakar yang digunakan
Jenis Bahan
Bakar Sebelum
Program
Konversi Sesudah Program Konversi
Kayu Bakar
Minyak Tanah
LPG Total n n n n n
Kayu Bakar 33 55.00 4 12.10 2 6.10 27 81.80 33 100.00
Minyak Tanah
27 45.00 1 3.70 4 14.80 22 81.50 27 100.00
Total 60 100.00 5 8.33 6 10.00
49 81.67 60 100.00
Ada beberapa alasan yang menyebabkan keluarga contoh tidak menggunakan LPG. Sebanyak 54.55 persen keluarga contoh merasa takut
sehingga penggunaan kayu bakar ataupun minyak tanah yang dianggap lebih aman bagi mereka. Sebagian kecil diantaranya tidak menggunakan LPG karena
memang tidak bisa menggunakannya, harga isi ulang LPG yang cukup mahal, dan menjual tabung LPG untuk membayar hutang keluarga Tabel 16.
Tabel 16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan alasan tidak menggunakan LPG persen
Alasan Sindang Barang
n = 3 Cikaret
n = 8 Total
n = 11
Takut Menggunakan LPG
100.00 37.50 54.55
Tidak bisa mengunakan LPG 0.00
25.00 18.18
Harga Isi Ulang LPG Mahal 0.00
25.00 18.18
Menjual Tabung LPG 0.00
12.50 9.09
Total 100.00 100.00
100.00
Pada keluarga contoh yang menggunakan LPG 81.67, banyaknya LPG yang digunakan cukup bervariasi, mulai dari 1 hingga 3 tabung per bulan.
Presentase penggunaan LPG terbanyak ialah sebanyak 3 tabung per bulan. Sebanyak 46.94 persen keluarga contoh pengguna LPG menggunakan LPG