Penggunaan Lahan Tahun 2001, 2007, dan 2010

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penggunaan Lahan Tahun 2001, 2007, dan 2010

Hasil interpretasi data citra satelit 2001, 2007, dan 2010 memberikan gambaran distribusi penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar. Klasifikasi penggunaan lahan terdiri dari Hutan H, Tanaman Pangan Lahan Basah TPLB, Tanaman Pangan Kering TPLK, EmpangTambak ET, Perumahanpermukiman PP, Industri I, Bisnis B, Tubuh Air TA, dan Penggunaan Lahan Lain PLL. Sebaran penggunaan lahan diwilayah Peri- Urban Kota Makassar pada tahun 2001, 2007, dan 2010 disajikan secara berturut-turut pada Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11. Penggunaan lahan perumahanpermukiman merupakan kelas gabungan areal perumahanpermukiman, perkantoran, rumahtoko, gedung olah raga, rumah ibadah, dan sekolahperguruan tinggi. Pola permukiman yang terlihat mengelompok yaitu terdapat pada wilayah Kecamatan Rappocini dan sebagian Kecamatan Tamalate sebelah utara Sungai Jeneberang. Pola perumahanpermukiman di Kecamatan Manggala, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan Biringkanaya cenderung mengelompok mengikuti jalan tetapi menyebar pada area yang jauh dari jalan utama dan pusat kota. Kecenderungan pola perumahanpermukiman yang menyebar terdapat di Kecamatan Tamalate Tanjung Bunga dan Barombong. Areal pertanian terdiri dari TPLB dan TPLK. TPLB merupakan kelas penggunaan lahan sawah sedangkan TPLK adalah kelas gabungan penggunaan lahan tegalan, kebun campuran, lahan kosong, dan area berumput. TPLB di wilayah penelitian cenderung mengelompok di Kecamatan Manggala dan Tamalate. Pola TPLB yang menyebar terdapat di kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan Biringkanaya. Pola TPLK yang cenderung menyebar diantara penggunaan lahan perumahanpermukiman lebih banyak dijumpai di Kecamatan Manggala, Kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan Biringkanaya. TPLB umumnya ditanami padi pada musim hujan sedangkan pada musim kering ditanami kangkung dan bayam. Produktifitas tanaman padi di wilayah penelitian adalah sekitar 5 tonha. Penggunaan lahan TPLK umumnya ditanami ubi kayu, pisang, dan mangga. Komoditi ubi kayu dan pisang diolah menjadi keripik atau dijual langsung ke pasar terdekat. Ubi kayu dan pisang diolah dengan industri berbasis rumah tangga dan umumnya terdapat di Kecamatan Biringkanaya. Gambar 9. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2001 32 Gambar 10. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2007 33 Gambar 11. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2010 34 Perubahan penggunaan lahan dianalisis menggunakan matriks transisi Tabel 10 dan Tabel 11. Hasil tabulasi silang dua data penggunaan lahan menyajikan informasi bentuk-bentuk perubahan penggunaan lahan. Analisis perubahan penggunaan lahan terdiri dari dua periode yaitu tahun 2001 ke tahun 2007 dan tahun 2007 ke tahun 2010. Tabel 10. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2001 dan 2007 dalam ha D a r i 2 1 Ke 2007 Penggunaan Lahan H TA ET TPLB TPLK PP I B PLL Jumlah 2001 Hutan 121,5 0,8 0,7 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 123,1 Tubuh Air 0,5 1063,8 2,3 2,0 51,0 29,0 2,9 9,0 3,7 1164,3 Empang Tambak 1,2 2,1 1702,1 0,7 110,7 11,5 25,8 6,9 4,9 1865,9 TPLB 0,0 145,7 0,0 2479,3 247,3 66,4 99,8 0,1 14,2 3052,7 TPLK 0,4 7,6 0,9 0,0 2471,0 325,4 52,8 27,4 10,3 2895,9 PP 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3816,9 0,5 3,3 2,2 3822,9 Industri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 316,0 0,0 0,0 316,3 Bisins 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 57,2 0,0 57,2 Penggunaan Lahan Lain 0,0 0,1 0,0 0,0 1,2 3,3 0,4 0,1 249,2 254,3 Jumlah 2007 123,5 1220,1 1706,0 2482,0 2881,3 4252,9 498,2 104,0 284,5 13552,4 Keterangan: H= Hutan; TA= Tubuh Air; ET= EmpangTambak; TPLB= Tanaman Pangan Lahan Basah; TPLK= Tanaman Pangan Lahan Kering; PP= PerumahanPermukiman; I= Industri; B= Bisnis; PLL= Penggunaan Lahan Lain. Tabel 11. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2007 dan 2010 dalam ha D a r i 2 7 Ke 2010 Penggunaan Lahan H TA ET TPLB TPLK PP I B PLL Jumlah 2010 Hutan 123,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 123,5 Tubuh Air 0,0 1201,0 0,0 0,0 13,2 3,3 1,9 0,8 0,0 1220,1 Empang Tambak 0,0 0,0 1661,4 0,0 27,9 0,7 2,4 13,7 0,0 1706,0 TPLB 0,0 0,0 0,0 2433,9 29,4 13,4 5,3 0,0 0,0 2482,0 TPLK 0,5 0,0 0,0 0,0 2679,6 108,5 78,4 7,3 7,0 2881,3 PP 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 4252,9 0,0 0,0 0,0 4252,9 Industri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 498,2 0,0 0,0 498,2 Bisinis 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 104,0 0,0 104,0 Penggunaan Lahan Lain 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3,8 0,0 0,0 280,7 284,5 Jumlah 2007 124,0 1201,0 1661,4 2433,9 2750,1 4382,6 586,1 125,7 287,7 13552,4

5.1.1. Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun 2001-2007

Tahap pertama perubahan penggunaan lahan adalah dari tahun 2001 ke tahun 2007. Pada periode ini, perubahan penggunaan lahan Tanaman Pangan Lahan Kering TPLK menjadi permukimanperumahaman merupakan perubahan paling tinggi di wilayah penelitian diikuti oleh lahan industri dan lahan bisnis. Pola perubahan penggunaan lahan pada Tanaman Pangan Lahan Basah TPLB maupun empangtambak mempunyai karakter yang sama yaitu terkonversi menjadi permukimanperumahan, industri, dan bisnis. Perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi industri lebih tinggi dibandingkan empangtambak. Proses ini diduga terjadi karena biaya konstruksi pembangunan industri lebih murah pada lahan TPLB dibandingkan empangtambak. Kebutuhan volume bahan timbunan dan material pondasi lebih besar pada lahan empangtambak dibanding TPLB. Dari sisi akses, letak TPLB dominan lebih berdekatan dengan jalan tol dibanding empangtambak. Variasi perubahan penggunaan lahan pertanian juga terjadi pada lahan TPLB menjadi TPLK. Empangtambak juga mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi TPLK. Pengembangan perumahanpermukiman terjadi di seluruh wilayah penelitian. Hasil survei lapangan menyajikan informasi perubahan penggunaan lahan TPLK menjadi Kantor Camat Biringkanaya, Perumahan Griya Mulya Asri, Gedung Olah Raga Sudiang di Kecamatan Biringkanaya. Pembangunan Jembatan Barombong Kecamatan Tamalate yang melintasi Sungai Jeneberang menjadi langkah menghubungkan wilayah Kabupaten Takalar dengan Kota Makassar dan menjadi salah satu pusat konversi lahan. Pengembangan area perumahanpermukiman Tanjung Bunga Kec. Tamalate tidak lepas dari arah pengembangan Kota Makassar yang didukung oleh pengembang PT. GMTDC Gowa Makassar Tourism Development. Dukungan pengembangan kawasan tidak hanya pada pembangunan sarana perumahanpermukiman tetapi juga dalam bisnis berbasis pariwisata. Bentuk dukungan pengembangan di sektor bisnis adalah pembangunan Mall Grade Trade Center GTC dan Rekreasi Pantai Tanjung Bayam dan Tanjung Merdeka. Pengembangan area bisnis yang terdapat di Kecamatan Biringkanaya adalah pembangunan Pusat Niaga Daya, Terminal Regional Daya Relokasi Terminal Darat Panaikang. Di Kecamatan Tamalanrea, bentuk pengembangan sektor bisnis yaitu pembangunan Mall Makassar Town Square MTos dan mini market yang terdapat di sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan. TPLK yang dikonversi menjadi area pengembangan lahan industri terdapat di Kecamatan Biringkanaya. Hal ini dapat dipahami karena sebagian wilayah Kecamatan Biringkanaya termasuk Kawasan Industri Makassar KIMA. Area kawasan industri yang dikelola perusahaan pemerintah yaitu PT. KIMA. Perusahan pemerintah dengan komposisi saham Pemerintah Pusat 60, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 30, dan Pemerintah Kota Makassar 10. PT. KIMA mengembangkan bisnis utama yaitu penjualan tanah kapling industri, penyewaan Bangunan Pabrik Siap Pakai BPSP, dan penyewaan gudang. Pengembangan area industri berupa perusahaan pengepakan dan pergudangan yang berada diluar wilayah KIMA terdapat di sepanjang Jalan Tol Ir. Sutami. Pembangunan Perumahan Villa Mutiara Timur merupakan bentuk perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi Perumahanpermukiman. Proses ini dimulai dengan perubahan TPLB menjadi TPLK. Perubahan TLPB menjadi TPLK di sekitar area Pembangunan Villa Mutiara Timur menjadi indikasi adanya praktik pengeringan sawah. Isu lapangan yang ditemukan pada wilayah kecamatan Biringkanaya dan Tamalanrea menyajikan informasi bahwa sawah tidak dapat dikelola karena tidak ada sumber air untuk pengairan. Praktik perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi TPLK di Kecamatan Tamalate, Rappocini, dan Manggala mempunyai pola yang berbeda dibandingkan Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan Tamalanrea. Pembentukan TPLK merupakan hasil penimbunan TPLB. Penimbunan tubuh air Gambar 13 kiri dan empangtambak Gambar 12 kanan dapat dijumpai di Kecamatan Rappocini dan Tamalate. Hasil analisis matriks transisi Tabel 10 menyajikan informasi yang tidak logis yaitu perubahan TPLB menjadi Tubuh air. Hal ini diduga karena TPLB yang ditelantarkan sehingga permukaan badan sawah dan pematang tertutupi oleh rumput. Selain warnarona, TPLB diinterpretasi dari segi bentuk kotak dan ukuran lebar pematang sawah. Proses interpretasi obyek menjadi sulit karena kondisi obyek yang tertutupi rumput dengan latar belakang air. Namun demikian, hal tersebut dapat pula diakibatkan oleh kesalahan dalam mengidentifikasi obyek untuk ekstraksi informasi penggunaan lahan dari data penginderaan jauh atau kondisi tubuh air temporer pada saat perekaman citra.

5.1.2. Perubahan Penggunan Lahan Periode Tahun 2007-2010

Tahap kedua perubahan penggunaan lahan pada data penggunaan lahan 2007 dan penggunaan lahan 2010. Hasil analisis matriks transisi Tabel 11 menyajikan informasi bahwa tekanan perubahan penggunaan lahan TPLK menjadi perumahanpermukiman merupakan tekanan yang paling tinggi, diikuti oleh industri, dan bisnis. Pola perubahan penggunaan lahan mempunyai karakter yang berbeda dibandingkan dengan perubahan penggunaan lahan periode pertama. Perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi perumahanpermukiman lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan empangtambak. Penggunaan lahan empangtambak menjadi bisnis diketahui lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan TPLB. Namun demikian, pada tahap ini tidak terjadi perubahan penggunaan lahan TLPB menjadi bisnis. Penggunaan lahan TPLB dan empangtambak mendapat tekanan menjadi TPLK, walaupun memiliki kondisi cenderung menurun dari sisi luasan dibandingkan dengan perubahan penggunaan lahan periode pertama. Pola perubahan penggunaan lahan di wilayah studi dimulai dari konversi TPLB, empangtambak menjadi TPLK. Tahap akhir dari perubahan penggunaan lahan dari TPLK adalah menjadi perumahanpermukiman, industri, dan bisnis Gambar 12. Matriks transisi menunjukkan adanya konversi TPLK menjadi area bisnis yaitu SPBU Pertamina Pintu I Pintu II Unhas, Pasar Sentral Bumi Tamalanrea Permai di Kecamatan Tamalanrea. Pembangunan perumahanpermukiman dilakukan untuk memenuhi tingginya permintaan kebutuhan rumah untuk pekerja di Kawasan Industri Makassar KIMA, pondokan bagi mahasiswa dan pekerja sektor bisnis, serta kebutuhan perumahan bagi masyarakat umum. Tekanan terhadap TPLK kebun campuran dan tanah terbuka untuk pembangunan perumahanpermukiman juga diteliti oleh Preinz dan Treitz 2004 di Kawasan Perkotaan Manado. Pembangunan perumahanpermukiman dan industri dengan mengkonversi TPLK ditemukan oleh Trisasongko 2009 di sekitar Jalur Tol Cikampek. Gambar 12. Empangtambak yang dikelilingi Industri di Kecamatan Biringkanaya kiri, PerumahanPermukiman yang mengelilingi sawah TPLB di Kecamatan Manggala tengah, dan Bisnis yang dikelilingi TPLK dari hasil penimbunan empangtambak di Kecamatan Tamalate kanan. Arahan RTRW Kota Makassar 2005-2015 mengalokasikan TPLB untuk pengembangan permukiman terpadu. Perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi perumahanpermukiman dan industri terdapat di wilayah penelitian pada periode ini, yang menunjukkan bahwa proses konversi telah berjalan dalam waktu yang lama dan masih berlangsung hingga saat ini. Proses konversi TPLB menjadi perumahanpermukiman atau industri terjadi melalui proses antara yaitu pengeringan atau penimbunan TPLB menjadi TPLK. Praktik konversi TPLB menjadi perumahanpermukiman atau industri melanggar amanah Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Konversi lahan ini tidak hanya dijumpai pada sawah, tetapi juga terjadi pada tambak yang dahulu banyak dijumpai di wilayah studi. Pembangunan Trans Studio di Kecamatan Tamalate merupakan bentuk konversi empangtambak menjadi bisnis. Proses konversi empangtambak menjadi bisnis dimulai dari penimbunan lahan. Umumnya penggunaan lahan tubuh air jarang terkonversi menjadi penggunaan lahan pertanian atau non pertanian. Namun demikian, hal ini tidak terjadi di Makassar. Desakan terhadap penggunaan lahan tubuh air terjadi di wilayah penelitian baik untuk kepentingan pertanian maupun non pertanian. Perubahan penggunaan lahan yang dominan pada tubuh air adalah menjadi penggunaan lahan pertanian Tanaman Pangan Lahan Kering dan lahan non pertanian PerumahanPermukiman. Konversi tubuh air pada periode 2001 ke 2007 diketahui lebih tinggi dibanding rentang waktu 2007 ke 2010. Hasil survei lapangan Gambar 13 menunjukkan bahwa bentuk tubuh air yang dikonversi adalah rawa. Gambar 13. Hasil konversi Tubuh Air Rawa menjadi TPLK dan PerumahanPermukiman di Kecamatan Rappocini kiri dan proses awal konversi Tubuh Air Rawa menjadi PerumahanPermukiman di Kecamatan Tamalanrea kanan. Fenomena perubahan penggunaan lahan diduga terjadi karena adanya perubahan nilai lahan dari aspek produktivitas penggunaan lahan dan aksesibilitas. Pergeseran penggunaan lahan ke arah yang lebih produktif didorong oleh tersedianya aksesibilitas dan dukungan kebijakan pemerintah. Produktivitas industri, permintaan perumahanpermukiman, dan permintaan area bisnis yang tinggi mendorong konversi lahan pertanian menjadi non pertanian. Pertambahan penduduk Peri-urban dan arah kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005-2015 menjadi faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian. Hal ini diperkuat oleh hasil kajian Trisasongko et al. 2009 di sepanjang tol Cikampek bahwa kebijakan perencanaan ruang ikut mendorong konversi lahan pertanian menjadi non pertanian. Dampak konversi lahan pertanian adalah fragmentasi lahan baik fisik maupun kepemilikan. Skala usaha pertanian menjadi menurun yang berdampak pada menurunnya peluang pendapatan masyarakat di sektor pertanian. Ruswandi et al. 2007 memperkuat pernyataan tersebut bahwa konversi lahan pertanian dalam jangka panjang akan meningkatkan peluang terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan petani. Fenomena tersebut diidentifikasi dari penurunan luas lahan milik dan luas lahan garapan, penurunan pendapatan pertanian, serta tidak signifikannya peningkatan pendapatan nonpertanian. Pemenuhan kebutuhan manusia dan arah kebijakan pembangunan mendorong proses perubahan penggunaan lahan. Pembangunan perumahanpermukiman, industri, dan bisnis menjadi fokus utama dalam kajian ini. Pemilihan ketiga penggunaan lahan didasarkan pada pertambahan jumlah penduduk peri urban yang berada di atas rata-rata kota, besarnya peranan sektor industri, dan sektor perdaganganhotelrestoran. Pemenuhan kebutuhan perumahanpermukiman masih mendominasi perubahan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kota Makassar. Penggunaan lahan perumahanpermukiman seluas 3.822,9 ha pada tahun 2001 meningkat menjadi 4.382,6 ha pada tahun 2010. Permintaan lahan untuk industri berada di urutan kedua, diikuti penggunaan lahan untuk bisnis. Penggunaan lahan industri seluas 316,3 ha pada tahun 2001 meningkat menjadi 586.1 ha pada tahun 2010. Lahan bisnis seluas 57,2 ha pada tahun 2001 meningkat menjadi 125,7 ha pada tahun 2010. Perubahan penggunaan lahan didahului oleh pengalihan kepemilikan lahan. Isu lapangan yang ditemukan adalah bahwa pengalihan kepemilikan lahan terjadi karena kebijakan pemerintah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Tingginya beban pajak lahan tambak di sekitar jalan tol, kebutuhan uang tunai menikahkan anak, renovasi rumah tinggal, dan biaya ibadah haji, dan pemilik lahan yang tinggal dan menetap di luar Sulawesi Selatan merupakan faktor utama pemicu alih kepemilikan lahan di wilayah penelitian. Hasil kajian Nurmani 2007 menemukan bahwa penggunaan lahan berupa industri dan perdagangan jasa memberikan pengaruh terhadap pajak lahan. Dari aspek penggunaan lahan, terdapat perbedaan yang cukup besar antara nilai land rent non pertanian dan pertanian. Nilai land rent dapat dipertimbangkan sebagai dasar untuk menetapkan pajak lahan. Lebih lanjut Nurmani 2007 mengemukakan bahwa land rent tinggi belum tentu diikuti dengan pajak lahan yang tinggi.

5.2. Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan