Identification of land use change pattern and processes using fragmentation analysis in peri urban area of Makassar of South Sulawesi Province

(1)

IDENTIFIKASI POLA DAN PROSES PERUBAHAN

PENGGUNAAN LAHAN MENGGUNAKAN ANALISIS

FRAGMENTASI DI WILAYAH

PERI-URBAN

KOTA MAKASSAR

PROVINSI SULAWESI SELATAN

OLEH:

MUHAMMAD AHMAD LANTA A156100081

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Pola dan Proses Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Analisis Fragmentasi di Wilayah Peri-Urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2012

MUHAMMAD AHMAD LANTA NRP A156100081


(3)

MUHAMMAD AHMAD LANTA. Identification of Land Use Change Pattern and Processes Using Fragmentation Analysis in Peri-urban Area of Makassar of South Sulawesi Province. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO and BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Peri-urban area hosts resources and environment to support essential ecosystem functions for urban settlements. Growing number of urban residents trigger increasing need of land use conversion for settlements, industries, and businesses. Generally, population growth rate in peri-urban regions is higher than on urban, including in Makassar hading to a land use change vast and dynamic. Pattern and process of land use change in Peri-urban area of Makassar city were analyzed using transition and fragmentation analysis where as actor of the land use change was presented based on semi structured interview. The results of transition matrix analysis presented information regarding land use change pattern. Makassar experienced rapid land use change, for example from rice fields, ponds, and swamps were converted to upland crops and eventually converted to settlements, industries, and businesses. Rice fields to settlements or industries conversion process occurred through land draining and land filling. Land use change was usually preceded by transfer of land ownership. It frequently happened due to government policy and socio-economic condition of the society. Fragmentation analyses of land use were conducted on land use for settlements, industries, and businesses as the major land use pattern in urban areas. The results indicated that Peri-urban of Makassar were very dynamic, not only in spatial perspective but also in terms of complex processes. Fragmentation types such as core, edge, and patch contributed to urban sprawl. Fragmentation process of land use was characterized by perforated type. The decline of patch value could be interpreted as an indication of land agglomeration. Land use change occurred in Peri-urban of Makassar was done by landowners in a variety of ethnicity/race and education levels. It should be mentioned here that construction of public services by the government also contributed to this land use change and its fragmentation.


(4)

Penggunaan Lahan Menggunakan Analisis Fragmentasi di Wilayah Peri-urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Area Peri-urban merupakan daerah transisi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Wilayah yang berperan secara ekologis sebagai penyangga kawasan perkotaan. Perkembangan wilayah perkotaan yang tidak terkendali (sprawl) mengakibatkan kehancuran ruang terbuka hijau dan daerah resapan air (Sancar et al. 2009). Fenomena sprawl di wilayah Peri-urban telah ditemukan oleh Martinuzzi et al. (2007) dan Zhao (2010). Dinamika penggunaan lahan sangat menarik dikaji di wilayah ini karena rentan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Martinuzzi et al. (2007) mengemumukan bahwa peran area perkotaan dalam sistem global mempengaruhi perubahan iklim dunia.

Di Indonesia, konversi hutan menjadi perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit menjadi isu utama perubahan penggunaan lahan hutan (Wicke et al. 2011). Isu perubahan penggunaan lahan yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan area terbangun dengan mengkonversi lahan pertanian di wilayah perkotaan. Tokairin et al. (2010) menemukan adanya dampak peningkatan rata-rata suhu udara di Jakarta akibat perubahan penggunaan lahan.

Pertambahan jumlah penduduk perkotaan mendorong meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan untuk perumahan/permukiman, industri, dan bisnis. Laju pertambahan penduduk selama 10 tahun terakhir (2000-2010) di Kota Makassar sebesar 1,65% (BPS Kota Makassar 2010). Umumnya laju pertambahan penduduk kecamatan Peri-urban berada diatas laju pertambahan penduduk Kota Makassar. Perubahan penggunaan lahan menimbulkan dampak berupa fragmentasi penggunaan lahan. Analisis fragmentasi dapat dilakukan pada penutupan/penggunaan lahan perkotaan (Parent dan Hurd 2008). Analisis fragmentasi lanskap (Landscape Fragmentation Analysis yang disingkat LFA) mengidentifikasi empat tipe fragmentasi yaitu: Core, Patch, Edge, dan Perforated (Vogt et al. 2007). Kajian perubahan penggunaan lahan menggunakan analisis fragmentasi masih terbatas dilaporkan, khususnya di Kawasan Indonesia Timur. Fragmentasi penggunaan lahan, khususnya di wilayah perkotaan akan menyulitkan pengelolaan kawasan perkotaan. Penelitian ini mempelajari proses perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan analisis fragmentasi dan mengidentifikasi aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku dan tingkat pendidikan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi penggunaan lahan yang diturunkan dari data penginderaan jauh resolusi tinggi. Pola perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan matriks transisi. Analisis fragmentasi (LFA) digunakan dalam mengidentifikasi pola fragmentasi penggunaan lahan. Aktor perubahan penggunaan lahan ditelusuri dengan melakukan wawancara ke masyarakat dan pola pengambilan sampel yang digunakan adalah pola transek 8-arah dari pusat kota (deskriptif).

Perubahan penggunaan TPLK menjadi perumahan /permukiman pada periode 2001 ke 2007 maupun periode 2007 ke 2010 merupakan perubahan paling tinggi di wilayah penelitian diikuti lahan industri dan lahan bisnis. Pola konversi TPLB maupun empang/tambak menjadi perumahan/permukiman, industri, dan bisnis mempunyai karakter yang berbeda antara periode pertama dan periode kedua. Variasi perubahan penggunaan lahan pertanian juga terjadi


(5)

pertanian (Perumahan/permukiman, Industri, dan Bisnis) diketahui lebih tinggi pada periode pertama dibandingkan periode kedua.

Perubahan penggunaan lahan didahului oleh pengalihan kepemilikan lahan. Isu lapangan yang ditemukan adalah bahwa pengalihan kepemilikan lahan terjadi karena kebijakan pemerintah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Tingginya beban pajak lahan (tambak di sekitar jalan tol), kebutuhan uang tunai (menikahkan anak, renovasi rumah tinggal, dan biaya ibadah haji), dan pemilik lahan yang menetap di luar Sulawesi Selatan merupakan faktor utama pemicu alih kepemilikan lahan di wilayah penelitian.

Analisis fragmentasi penggunaan lahan dilakukan pada penggunaan lahan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis sebagai pola penggunaan lahan utama pada wilayah urban atau wilayah yang menuju ke struktur urban. Hasil LFA menunjukkan bahwa tipe fragmentasi core, patch, dan edge pada penggunaan lahan perumahan/permukiman mengalami peningkatan luasan pada dua periode pengamatan. Hal ini mengisyaratkan bahwa Peri-urban Makassar merupakan wilayah yang sangat dinamis berubah, tidak hanya dari segi luasan tetapi juga dari proses yang kompleks. Peningkatan luasan ketiga tipe fragmentasi diartikan sebagai perkembangan perumahan/permukiman perkotaan yang sprawl. Proses fragmentasi penggunaan lahan dicirikan oleh peningkatan luas tipe perforated. Penurunan luasan tipe perforated menandakan konversi penggunaan lahan menjadi perumahan/permukiman telah sangat berkembang, dengan kemungkinan segera menuju ke tahap leveling off dengan laju perubahan yang semakin menurun karena tidak adanya lahan yang dikonversi. Tipe core industri mengalami pertambahan luasan yang menunjukkan bahwa kawasan industri tumbuh cukup pesat di wilayah studi. Peningkatan luasan tipe edge merupakan dampak meningkatnya luasan tipe core yang tidak tertata dengan baik, sedangkan peningkatan luasan tipe perforated menjadi indikasi pembangunan industri yang mengisolasi penggunaan lahan non industri. Pembentukan patch industri pada periode 2001-2007 dan penurunan luasan pada periode 2007-2010 menjadi indikasi adanya aglomerasi industri. Ketiga tipe fragmentasi penggunaan lahan bisnis mengalami peningkatan luasan yaitu core, patch, dan edge yang mengindikasikan berkembangnya area bisnis secara kurang tertata. Perbedaan mendasar dari dua penggunaan lahan sebelumnya adalah bahwa pembangunan area bisnis tidak mengisolasi penggunaan lahan non bisnis. Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya tipe perforated pada analisis penggunaan lahan bisnis dari tahun 2001, 2007, dan tahun 2010.

Penelitian ini menunjukkan bahwa LFA mampu dimanfaatkan dalam mengkaji motif dan proses perubahan penggunaan lahan di wilayah studi. Namun demikian, perubahan penggunaan lahan dengan pendekatan analisis fragmentasi penggunaan lahan perlu didalami dengan menganalisis aktor perubahan penggunaan lahan, terutama berdasarkan etnis/suku dan tingkat pendidikan. Hasil survei lapangan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) menyajikan distribusi responden yang memperlihatkan tidak adanya etnis/suku yang dominan dalam fragmentasi maupun konversi lahan. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah Peri-urban Kota Makassar dilakukan oleh pemilik lahan dengan tingkat pendidikan SD sampai S1, bahkan konversi lahan juga dilakukan untuk kepentingan pembangunan sarana pelayanan publik oleh pemerintah.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

PERI-URBAN

KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

MUHAMMAD AHMAD LANTA

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar MAGISTER SAINS

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(8)

Nama : Muhammad Ahmad Lanta NIM : A156100081

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Si., M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(9)

(10)

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul “ Identifikasi Pola dan Proses Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Analisis Fragmentasi di Wilayah Peri-urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan”. Kajian wilayah Peri-Urban sangat penting untuk ditelaah, karena wilayah ini sangat rentan terhadap desakan perubahan penggunaan lahan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Seiring dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian serta dorongannya dalam menyelesaikan studi.

2. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M. Sc, sebagai ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, motivasi dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Ir. Bambang Hendro Trisasongko, M.Si, M.Sc, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Prof. Dr. Ir. Hazairin Zubair, MS, Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS, dan Prof. Dr. Syafiuddin, M.Si, yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 di IPB Bogor.

5. Bapak/Ibu dosen pengajar dan staf akademik di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB.

6. Sembah sujud kepada kedua orang tua Lanta Laisi dan St. Zubaedah atas segala perhatiannya yang tak mungkin terbalaskan serta doa yang tak pernah putus dipanjatkan. Kakak Ir. Jumardi Lanta, Sultan Lanta dan adik Kusufiah Samzi Lanta atas segala kasih sayang dan dorongan semangatnya. 7. Rekan-rekan PWL tahun 2010 (Reguler dan Khusus) dan MBK tahun 2010,

terkhusus kepada Seniarwan, SP dan Muh. Munawir Syarif, SP atas diskusinya terkait kajian spasial dan dorongan semangat selama menempuh studi di IPB .


(11)

9. Muh. Fitrah Irawan, SP, Irwanto, SP, Muh. Amri, SP, Eko Pramana Hamdis, SP, Atmadi Sawal, SP, dan adik-adik di Peduli Lingkungan Alam dan Tanah (PLAT-UNHAS) atas bantuannya selama penulis penelitian di Makassar. 10. Rekan-rekan di esensi foundation atas fasilitasinya selama penulis penelitian

di Makassar.

11. drg. Syalmiah Launu, SKG atas dorongan semangat dan motivasinya selama penulis menempuh studi di IPB

12. Rekan-rekan di Rumah Kost Gizi Abadi atas dorongan semangatnya.

13. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT. memberkatinya. Amin.

Bogor, Desember 2012

Muhammad Ahmad Lanta


(12)

Penulis dilahirkan di Sopeng Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Januari 1981 dari Ayah yang bernama Lanta Laisi dan Ibu yang bernama St. Zubaedah. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Liliriaja Kabupaten Soppeng dan melanjutkan pendidikan ke Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar. Lulus program sarjana pada tahun 2004. Bekerja di esensi foundation Makassar dari tahun 2004-2010. Penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2010. Selama mengikuti program S2, makalah penulis telah disajikan dalam Regional Workshop: Water, Land, and Southeast Asia Food Sovereignty di Bogor pada tanggal 18 sampai 19 September 2012 dengan judul “Agricultural Land Conversion and Land Fragmentation Processes in Peri-urban of Makasssar, Indonesia”.


(13)

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan ... 5

2.2. Perubahan Penggunaan Lahan ... 6

2.3. Analisis Fragmentasi Lanskap ... 8

2.4. Fragmentasi Lahan Perkotaan ... 9

2.5. Perencanaan dan Penataan Ruang Wilayah ... 9

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11

3.2. Bahan dan Alat ... 11

3.3. Pelaksanan Penelitian ... 11

3.3.1 Pengumpulan Data ... 11

3.3.2 Analisis Data ... 13

3.4. Diagram Alir Penelitian ... 20

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis dan Fisik Wilayah ... 21

4.2. Kondisi Demografi ... 23

4.3. Karakteristik Ekonomi ... 24

4.4. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Wilayah ... 26

4.5. Kebijakan Pembangunan Wilayah ... 28

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Tahun 2001, 2007, dan 2010 ... 31

5.1.1 Perubahan Penggunaan Lahan Periode 2001-2007 .. 35

5.1.2 Perubahan Penggunaan Lahan Periode 2007-2010 .. 37

5.2 Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan ... 41

5.3 Aktor Perubahan Penggunaan Lahan ... 47

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 55

6.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jenis , bentuk, dan sumber data penelitian ... 13 2. Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan wilayah peri urban Kota

Makassar ... 14 3. Tampilan penggunaan lahan pada citra satelit dan foto lapangan .. 15 4. Luas wilayah, persentase luas kota, dan jumlah kelurahan

menurut kecamatan peri urban di Kota Makassar tahun 2010 ... 21 5. Jarak ibukota kecamatan ke pusat Kota Makassar ... 22 6. Ketinggian tempat lima kecamatan peri urban di Kota

Makassar Tahun 2007 ... 22 7. Jumlah penduduk (jiwa) kecamatan peri urban Kota Makassar dari

tahun 2000 – 2010 ... 24 8. Panjang jalan menurut fungsi jalan di Kota Makassar ... 26 9. Panjang jalan (km) dirinci menurut kondisi jalan di Kota Makassar 27 10. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2001 dan 2007

(ha) ... 35 11. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2007 dan 2010

(ha) ... 35 12. Luas (ha) tipe fragmentasi penggunaan lahan perkotaan di

wilayah peri urban Kota Makassar ... 41 13. Luas (ha) tipe fragmentasi perforated pada penggunaan lahan

utama di wilayah peri urban Kota Makassar ... 46 14. Aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di


(15)

Halaman

1. Matriks transisi ... 7

2. Peta lokasi penelitian di wilayah peri urban Kota Makassar ... 12

3. Tipe fragmentasi perumahan/permukiman ... 17

4. Ilustrasi piksel 8 tetangga (a) dan 4 tetangga (b) ... 17

5. Bagan alir klasifikasi tipe fragmentasi (Diadopsi dari Parent and Hurd 2008) ... 19

6. Diagram alir penelitian perubahan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kota Makassar ... 20

7. Grafik pertumbuhan PDRB per sektor berdasarkan harga konstan di Kota Makassar (2001-2009) ... 25

8. Tren pertumbuhan ekonomi atas dasar harga konstan di Kota Makassar (2001-2009) ... 25

9. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2001 ... 32

10. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2007 ... 33

11. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2010 ... 34

12. Empang/tambak yang dikelilingi Industri di Kecamatan Biringkanaya (kiri), Perumahan/Permukiman yang mengelilingi sawah (TPLB) di Kecamatan Manggala (tengah), dan Bisnis yang dikelilingi TPLK dari hasil penimbunan empang/tambak di Kecamatan Tamalate (kanan) ... 38

13. Hasil Konversi Tubuh Air (Rawa) menjadi TPLK dan Perumahan/Permukiman di Kecamatan Rappocini (kiri) dan Proses Awal Konversi Tubuh Air (Rawa) menjadi Perumahan/Permukiman di Kecamatan Tamalanrea (kanan) ... 39

14. Perubahan tipe perforated perumahan/permukiman tahun 2001 dan 2007 menjadi tipe core perumahan/permukiman tahun 2010 ... 42

15. Perumahan/permukiman di Kecamatan Manggala (kiri), Industri di Kecamatan Tamalanrea (tengah), dan Bisnis di Kecamatan Tamalate (kanan) ... 47

16. Status responden terhadap lahan di titik wawancara ... 48

17. Peta titik responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar ... 50

18. Distribusi responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku ... 50

19. Proporsi aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar ... 51


(16)

20. Pabrik pengepakan di Kecamatan Tamalanrea (kiri atas), Pergudangan hasil bumi di Kecamatan Biringkanaya (kiri bawah), Trans Studio dan Mall GTC di Kecamatan Tamalate (tengah atas bawah), Kantor Camat Biringkanaya (kanan atas), dan Kantor


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta fragmentasi penggunaan lahan perumahan/permukiman

2010 ... 63 2. Peta fragmentasi penggunaan lahan industri 2010 ... 64 3. Peta fragmentasi penggunaan lahan bisnis 2010 ... 65 4. Identitas responden perubahan penggunaan lahan berbasis

etnis/suku, tingkat pendidikan, dan status terhadap lahan di

wilayah peri urban Kota Makassar ... 66 5. Curah hujan (mm) Stasiun Paotere BMG Wilayah IV Makassar ... 68


(18)

1.1. Latar Belakang

Area Peri-urban merupakan daerah transisi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Wilayah yang berperan secara ekologis sebagai penyangga kawasan perkotaan. Perkembangan wilayah perkotaan yang tidak terkendali (sprawl) mengakibatkan kehancuran ruang terbuka hijau dan daerah resapan air (Sancar et al. 2009). Perkembangan kota yang tidak terkendali (sprawl) di wilayah Peri-urban telah ditemukan oleh Martinuzzi et al. (2007) dan Zhao (2010). Lebih lanjut Martinuzzi et al. (2007) mengungkapkan bahwa arah perkembangan kota yang sprawl berada di wilayah periferi dan bergerak menjauhi pusat kota. Dinamika penggunaan lahan sangat menarik dikaji di wilayah ini karena rentan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Umumnya konversi lahan pertanian di wilayah Peri-urban, yaitu wilayah dengan karakter transisi sektor primer ke sektor sekunder dan sektor tersier. Martinuzzi et al.(2007) mengemukakan bahwa peran area perkotaan dalam sistem global mempengaruhi perubahan iklim dunia. Telaah perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu dapat mengungkapkan efek dan dampak dari perkembangan kota di area Peri-urban (Huang et al. 2009).

Di Indonesia terdapat dua isu utama perubahan penggunaan lahan yaitu konversi hutan (deforestation) dan konversi lahan pertanian (agricultural land conversion). Konversi hutan menjadi perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit menjadi isu utama perubahan penggunaan lahan hutan. Pengembangan area perkebunan dengan mengkonversi hutan telah ditemukan oleh Wicke et al. (2011) di Indonesia dan Malaysia. Isu perubahan penggunaan lahan yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan area terbangun dengan mengkonversi lahan pertanian di wilayah perkotaan. Perubahan penggunaan lahan di wilayah perkotaan berdampak pada perubahan iklim mikro. Tokairin et al. (2010) menemukan adanya dampak peningkatan rata-rata suhu udara di Jakarta akibat perubahan penggunaan lahan.

Perubahan penggunaan lahan menimbulkan dampak berupa fragmentasi penggunaan lahan. Arsyad dan Rustiadi (2008) menguraikan bahwa fragmentasi fisik lahan dan kepemilikan lahan, mengakibatkan tingginya biaya produksi per satuan unit lahan, sehingga menurunkan daya saing ekonomi karena tidak tercapainya economics of scale. Perubahan penggunaan lahan didominasi oleh


(19)

pemenuhan kebutuhan manusia dibanding dampak dari bencana alam. Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada meningkatnya konsumsi lahan sehingga mengakibatkan perubahan penggunaan lahan.

Kajian fragmentasi penggunaan lahan telah dilakukan oleh Huang et al. (2009) di Taipei-Taiwan. Delapan metrik lanskap dari Fragstat digunakan untuk analisis spasial perubahan pola lanskap peri-urban di area Taipei-Taoyuan. Hasil menunjukkan bahwa area terbangun di wilayah studi telah meningkat sebesar 130% dari 466.32 km2 pada tahun 1971 menjadi 1071.43 km2 pada tahun 2006. Lanskap di wilayah yang direncanakan non-perkotaan ditemukan sangat terfragmentasi. Kajian yang dilakukan oleh Liu et al. (2011) menemukan bahwa kebijakan yang berbeda akan merubah pola penggunaan lahan dan lanskap.

Fragmentasi penggunaan lahan dipengaruhi oleh aspek fisik, ekonomi, sosial, dan kebijakan. Sancar et al. (2009) dan Huang et al. (2009) mengamati perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan Fragstat. Kajian perubahan penggunaan lahan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan salah satunya adalah analisis fragmentasi. Beberapa pendekatan analisis fragmentasi yaitu Patch Analysis, Fragstats (Fragmentation Statistic), dan Analisis fragmentasi lanskap (Lanscape Fragmentation Analysis).

Analisis fragmentasi lanskap dapat dilakukan pada penutupan/penggunaan lahan hutan, lahan semak, lahan perkotaan, dan lain-lain (Parent dan Hurd 2008). Pendekatan ini diduga mampu menemukan motif perubahan penggunaan lahan dan proses fragmentasi lahan. Kajian perubahan penggunaan lahan telah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan. Tetapi telaah perubahan penggunaan lahan menggunakan analisis fragmentasi masih terbatas dilaporkan, khususnya di Kawasan Indonesia Timur. Umumnya kajian perubahan penggunaan lahan dikaitkan dengan faktor-faktor penyebabnya (Munibah 2008; Trisasongko et al. 2009; dan Liu et al. 2011). Berbeda dengan studi terdahulu, kajian ini berupaya mengidentifikasi aktor-aktor perubahan penggunaan lahan di Kota Makassar. Wilayah kajian terfokus pada lima kecamatan di Kota Makassar (Peri-urban) yang berbatasan dengan kabupaten lain dalam Kawasan Metropolitan Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar).


(20)

1.2. Rumusan Masalah

Pertambahan jumlah penduduk perkotaan mendorong meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan perkotaan seperti permukiman, industri, dan bisnis. Di Kota Makassar, laju pertambahan penduduk selama 10 tahun terakhir (2000–2010) adalah sebesar 1,65% (BPS Kota Makassar, 2011). Umumnya laju pertambahan penduduk kecamatan Peri-urban (Kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten tetangga Kota Makassar) berada diatas laju pertambahan penduduk Kota Makassar. Pertambahan jumlah penduduk Peri-urban yang tinggi mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan diduga memberi dampak fragmentasi penggunaan lahan. Fragmentasi penggunaan lahan, khususnya di wilayah perkotaan akan menyulitkan pengelolaan kawasan perkotaan. Masalah yang muncul adalah kemacetan lalu lintas, meningkatnya biaya infrastruktur, waktu perjalanan yang lama, kualitas lingkungan yang menurun, dan masalah interaksi sosial (Habibi dan Asadi 2011). Telaah fragmentasi penggunaan lahan secara multitemporal dapat mengidentifikasi orientasi masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Kecenderungan masyarakat dan potensi sumberdaya lahan dapat menjadi dasar perencanaan pengembangan wilayah maupun penyusunan kebijakan perencanaan ruang.

Fenomena perkembangan wilayah perkotaan tidak lepas dari kebijakan pengembangan wilayah seperti perencanaan pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Selatan salah satunya memuat tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar). Kebijakan tersebut disahkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 10 tahun 2003 dan dikuatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional yang menetapkan Kawasan Mamminasata sebagai Kawasan Strategis Nasional. Terbitnya Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Mamminasata merupakan indikasi kuat dukungan pemerintah pusat dalam mendukung pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Dampak dari kebijakan tata ruang nasional dan tata ruang provinsi menempatkan Makassar sebagai Kota Inti dan Kota Satelit terdiri dari Kabupaten Maros, Kabupaten Gowa (Sungguminasa), dan Kabupaten Takalar.

Sebagai Kota Inti, Makassar dituntut dapat menyediakan sarana-sarana pelayanan bagi kawasan perkotaan di sekitarnya dan Kawasan Timur Indonesia.


(21)

Pemenuhan kebutuhan ruang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 26 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005 – 2015. Kebijakan tersebut memuat arah pengembangan Kota Makassar yang menjadikan Wilayah Utara sebagai Kawasan Pengembangan Bandara Terpadu, Industri Terpadu, Pendidikan Terpadu, dan Maritim Terpadu (Kecamatan Biringkanaya), Wilayah Timur (Tamalanrea, Manggala, dan Rappocini) dan Selatan (Tamalate) sebagai Kawasan Pengembangan Pemukiman Terpadu. Areal yang dijadikan kawasan pengembangan terpadu merupakan lahan pertanian dan rawa yang tersisa di Kota Makassar.

Uraian fenomena dan rumusan permasalahan diatas mendasari tersusunnya pertanyaan penelitian yaitu :

1. Bagaimana pola perubahan penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar ?

2. Bagaimana proses perubahan penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar ?

3. Bagaimana karakteristik aktor perubahan penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar ?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempelajari perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan analisis fragmentasi dan mengidentifikasi aktor perubahan penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar. Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pola perubahan penggunaan lahan 2001 ke 2007 dan 2007 ke 2010 dengan menggunakan analisis matriks transisi,

2. Mengidentifikasi proses perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan analisis fragmentasi (Landscape Fragmentation Analysis)

3. Mengetahui karakteristik aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku dan tingkat pendidikan.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan manusia terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, ladang, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad 2010). Salah satu data penting untuk perencanaan wilayah adalah data penggunaan lahan (Preinzel dan Treitz 2004). Data ini memberikan gambaran aktifitas manusia memanfaatkan sumberdaya lahan. Informasi penggunaan lahan didapatkan dari survei lapangan, diturunkan dari data penginderaan jauh atau kombinasi keduanya. Umumnya survei lapangan menghasilkan informasi penggunaan lahan secara detail, cukup untuk membuat peta penggunaan lahan detail. Namun survei komprehensif termasuk jarang digunakan karena biaya yang mahal dan waktu yang lama. Saat ini keperluan survei lapangan dipenuhi dari data penginderaan jauh dan mampu dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

Menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 pasal 1 ayat 23, kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunanfungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Pasal 1 ayat 25 berbunyikawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Pasal 1 ayat 26 Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang


(23)

terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satujuta) jiwa (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).

Sitorus (2010) menguraikan bahwa perancangan fisik suatu lingkungan kehidupan harus berdasarkan tiga segi utama yaitu :

1. FOLK (Manusia)

Termasuk studi tentang masalah penduduk, kebutuhan sosial seperti tempat ibadah, kesehatan, rekreasi, dan lain-lain.

2. Place (Ruang atau tempat)

Termasuk studi tentang mengenai lingkungan, pola fisik, iklim, geologi, topografi, vegetasi, pola penggunaan lahan.

3. Work (Pekerjaan)

Termasuk latar belakang ekonomi dari suatu lingkungan tertentu, sumber-sumber pekerjaan, pembiayaan, dan lain-lain.

Tiga segi utama tersebut, kemudian di Indonesia dikembangkan sebagai : perumahan, karya (tempat bekerja), marga (jaringan jalan), suka (rekreasi dan hiburan), penyempurna seperti pendidikan, peribadatan, puskesmas, poliklinik. Dalam kenyataan pengelompokan dari apa yang dikatakan “kegiatan pelayanan” yang mempunyai nilai sosial murni, tumpang tindih dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat politik, ekonomi, budaya, ataupun fisik. Oleh karena itu “pelayanan sosial” tersebut umumnya dikategorikan sebagai berikut:

1. Pelayanan sosial yang bersifat kultural yang tercakup didalamnya : fasilitas pendidikan, fasilitas peribadatan, dan fasilitas hiburan

2. Pelayanan sosial yang bersifat fisik: perumahan, fasilitas kesehatan, pos keamanan

3. Pelayanan sosial yang bersifat ekonomi: fasilitas pasar, pertokoan, transport lokal dan regional

4. Pelayanan sosial yang bersifat politik: pusat pemerintahan. 2.2. Perubahan Penggunaan Lahan

Kebutuhan akan lahan meningkat dari waktu ke waktu yang dipicu oleh pertumbuhan penduduk, perkembangan struktur masyarakat dan perekonomian sebagai konsekuensi logis dari hasil pembangunan. Permintaan terhadap sumberdaya lahan ini menjadi faktor pendorong proses perubahan penggunaan lahan, yang secara garis besar dapat dibagi atas 3 (tiga) kelompok utama, yaitu: (1) deforestasi baik ke arah pertanian intensif maupun non pertanian, (2) konversi lahan pertanian ke non pertanian, dan (3) penelantaran lahan. Ketiga


(24)

kelompok utama perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan gambaran permasalahan penggunaan lahan yang menurunkan konflik sosial, ekonomis, kelembagaan dan politis (Saefulhakim et al. 2004).

Kajian perubahan penggunaan lahan sangat tergantung dari pemanfaatan data spasial. Data tersebut dapat diturunkan dari peta penggunaan lahan dan data penginderaan jauh. Umumnya kajian perubahan penggunaan lahan menggunakan data penginderaan jauh resolusi rendah. Kajian perubahan penggunaan lahan dalam skala yang lebih besar membutuhkan tingkat kedetailan informasi yang lebih tinggi. Ketersediaan data citra penginderaan jauh resolusi tinggi seperti Ikonos (1 m), Quick Bird (0,60 m), World View (0,50 m), dan Geo Eye (0,60 m) mempermudah kajian perubahan penggunaan lahan skala detail sampai semi detail. Umumnya hambatan yang ditemukan adalah akses data spasial yang mahal di lembaga penyedia data maupun instansi pemerintah.

Perubahan penggunaan lahan dapat dijabarkan dengan berbagai pendekatan. Kajian pustaka menyajikan informasi bahwa matriks transisi merupakan salah satu alat analisis yang banyak dimanfaatkan untuk menjelaskan perubahan penggunaan lahan yang terjadi di suatu wilayah. Matriks transisis telah digunakan oleh Prenzel dan Treitz (2004) di Manado Sulawesi Utara, mayoritas perubahan penggunaan lahan terjadi di pinggiran kota (yaitu di pinggiran desa-kota). Tahun 1990, pada dasarnya tidak ada hutan hujan primer di pinggiran Manado, daerahnya didominasi oleh perkebunan kelapa serta lahan pertanian yang telah dibersihkan. Akibatnya, sebagian besar perubahan yang diamati melibatkan konversi lahan untuk ekstraksi pertanian kelapa dan built-up atau pre-built-up (yaitu tanah). Pola urbanisasi yang diamati terjadi pada topografi permukaan tanah datar di daerah utara ke arah kota Paniki Bawah (yaitu menuju bandara), timur menuju Bitung, dan selatan menuju Tomohon. Perubahan yang terjadi berdekatan dengan rute akses utama. Matriks transisi dapat dilihat pada Gambar 1.

Tahun ke x+1

Tahun ke-x

Penggunaan Lahan a

Penggunaan Lahan b

Penggunaan lahan ke-z Penggunaan Lahan a

Penggunaan Lahan b Penggunaan Lahan ke-z Gambar 1. Matriks transisi.


(25)

Dua informasi yang dapat diekstrak dari pendekatan matriks transisi. Bagian pertama yang merupakan bagian yang ditandai (diagonal matriks) memberikan gambaran bahwa tidak terjadi perubahan penggunan lahan wilayah tersebut. Pada bagian lain (off-diagonal) memberikan informasi luasan penggunaan lahan yang berubah pada tahun ke-x+1.

Matriks transisi cukup memberikan gambaran dinamika penggunaan lahan yang terjadi di suatu wilayah. Kekuatannya terletak pada perubahan penggunaan lahan tetapi tidak dapat memberikan gambaran motif perubahan penggunaan lahan. Kajian perencanaan wilayah menggunakan analisis matriks transisi perlu ditindaklanjuti dengan analisis fragmentasi. Perkembangan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis merupakan isu utama perubahan penggunaan lahan di wilayah perkotaan. Di Kawasan Perkotaan Manado Sulawesi Utara, lahan terbangun bertambah 158,8 ha dari tahun 1990 sampai 1999 dan peningkatan luasan berasal dari konversi padang rumput, kebun campuran, dan lahan terbuka (Prenzel dan Treitz 2004).

2.3. Analisis Fragmentasi Lanskap

Analisis Fragmentasi Lanskap (Lanscape Fragmentation Analysis yang disingkat LFA) merupakan salah satu alat analisis spasial yang berbasis pengolahan morfologi citra dalam Sistem Informasi Geografis seperti di Arc View dan Arc-GIS. Alat analisis ini telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi fragmentasi hutan, tetapi dapat juga digunakan pada lahan semak, lahan perkotaan, dan lain-lain (Parent dan Hurd 2008). Vogt et al. (2007) melakukan pemetaan pola spasial dengan pengolahan morfologi citra untuk mengidentifikasi fragmentasi hutan di Taman Nasional Val Grande Italia Utara.

Pengolahan morfologi citra dalam proses analisis fragmentasi penggunaan lahan menjadi kelebihan alat analisis ini. Presisi spasial dan akurasi tematiknya yang tinggi sementara tetap mempertahankan kemampuan label fitur pada tingkat piksel untuk setiap skala pengamatan, karena akurasi yang lebih tinggi pada ringkasan statistik pemetaan tingkat piksel dan trend analisis pada tingkat landskap juga akan lebih akurat (Vogt et al. 2007). Lebih lanjut Vogt et al. (2007) menambahkan bahwa pendekatan morfologi citra dapat menemukan lebih banyak aplikasi klasifikasi tingkat piksel dan pemetaan pola, seperti identifikasi fragmentasi internal dan eksternal. Ada empat tipe fragmentasi yang teridentifikasi yaitu Core, Patch, Edge, dan Perforated.


(26)

Hurd et al. (2006) mengidentifikasi terjadinya sprawl di wilayah Connecticut dengan beberapa indikasi antara lain: Core hutan menurun dari waktu ke waktu, karena kehilangan hutan dan konversi untuk kategori fragmentasi hutan lainnya. Perforated hutan meningkat dari waktu ke waktu. Edge hutan menurun, tetapi sedikit meningkat dalam kontribusi persennya. Patch hutan juga meningkat dari waktu ke waktu, baik dari sisi luasan maupun kontribusi persennya. Umumnya konversi hutan yang terjadi berada jauh dari pusat perkotaan.

2.4. Fragmentasi Lahan Perkotaan

Fragmentasi perkotaan didefinisikan sebagai sebuah fenomena spasial hasil tindakan memisahkan diri, terpecah dari, atau lepas dari struktur kota dan sistem kota (Burgess 2007). Fenomena urban sprawl merupakan salah satu bentuk fragmentasi penggunaan lahan perkotaan yang umumnya terjadi di wilayah sub-urban. Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa perluasan wilayah urban ke wilayah pinggir kota berdampak pada meluasnya skala manajemen wilayah urban secara riil. Di lain pihak, proses ini sering sebagai proses yang kontradiktif mengingat prosesnya yang selalu diiringi dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat produktif.

Perkembangan area terbangun yang tidak terkendali (urban sprawl) terjadi di Delta Jeneberang Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Hasil penelitian Useng et al. (2011) menemukan adanya peningkatan luas area terbangun dan permukiman sebesar 18% (1999-2003) dan 34% (2003-2010). Penggunaan lahan area terbangun dan permukiman dari 213,37 ha tahun 1999 meningkat menjadi 729,26 ha tahun 2010. Penggunaan lahan yang mengalami desakan adalah lahan kering, sawah, dan tambak.

Fragmentasi lanskap biasanya disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia seperti urbanisasi dan perubahan penggunaan lahan, serta elemen lanskap seperti jalan, kereta api, dan sungai. Oleh karena itu, hubungan antara fragmentasi lanskap dan faktor dampaknya harus diperkuat dengan indikator kuantitatif (Gao dan Li 2011).

2.5. Perencanaan dan Penataan Ruang Wilayah

Terbitnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang merupakan revisi dari Undang-Undang No. 24 tahun 1992. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan


(27)

pengendalian pemanfaatan ruang. Produk hukum dari Rencana Tata Ruang Wilayah berhierarki mulai dari level nasional, provinsi, kabupaten/kota. Rencana-rencana turunan dari RTRW seperti Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:(a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).

Wilayah Kota Makassar merupakan kawasan perkotaan inti Kawasan Metropolitan Mamminasata. Penetapan kawasan perkotaan inti diatur melalui beberapa peraturan baik nasional maupun provinsi. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 10 Tahun 2003 tentang RTRW Metropolitan Mamminasata. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP No.26 Tahun 2008) menetapkan Kawasan Mamminasata sebagai Kawasan Strategis Nasional dengan sudut kepentingan ekonomi dan tahap pengembangan I (Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, 2003). Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan (Perda No.9 Tahun 2009) menetapkan Kawasan Mamminasata sebagai Revitalisasi dan percepatan pengembangan kota-kota pusat pertumbuhan provinsi untuk revitalisasi kota-kota yang telah berfungsi dengan tahap pengembangan I – IV (Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, 2009). Wujud dukungan pemerintah pusat terkait pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata yaitu terbitnya Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar (2005-2015) telah diterbitkan menjadi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2006 (Pemerintah Kota Makassar, 2006). Tetapi Revisi Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang menjadi Undang-Undang No. 26 tahun 2007 berdampak pada produk hukum yang hierarkinya berada dibawah Undang-Undang untuk melakukan penyesuaian. Sampai saat ini (2012) revisi mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar belum disahkan menjadi Peraturan Daerah Kota Makassar.


(28)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian merupakan wilayah Peri-urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah peri-urban adalah wilayah kecamatan yang mengelilingi pusat kota dan berbatasan dengan kabupaten tetangga Kota Makassar. Wilayah peri-urban di lokasi penelitian terdiri dari lima Kecamatan yaitu Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tamalanrea, Kecamatan Manggala, Kecamatan Rappocini, dan Kecamatan Tamalate (Gambar 2). Penelitian ini dilakukan pada Bulan Maret - Agustus 2012. Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari: perencanaan penelitian, pengumpulan data, pengolahan data, pengecekan lapangan, analisis data, interpretasi hasil, dan penulisan.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan dan alat tulis yang digunakan berupa seperangkat komputer dengan perangkat lunak Software Microsoft Word, Microsoft Excel, Arc-GIS versi 9.3, dan peralatan penunjang lain seperti alat tulis, kamera digital, Global Positioning System (GPS) Garmin Oregon, dan kuesioner.

3.3. Pelaksanan Penelitian 3.3.1. Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan penduduk untuk menggali informasi terkait proses terjadinya perubahan penggunaan lahan yang berdampak pada fragmentasi penggunaan lahan. Data sekunder terdiri dari data spasial dan data atribut. Data spasial berupa Peta Rupa Bumi Indonesia Kota Makassar skala 1 : 50.000, Peta Administrasi Kota Makassar skala 1 : 25.000, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005-2015 skala 1 : 25.000, Citra Satelit akuisisi tahun 2001, tahun 2007 (Ikonos), dan 2010 (Google Earth). Data atribut berupa jumlah penduduk, laju pertambahan penduduk (2001-2010), dan data PDRB Kota Makassar.


(29)

(30)

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1 Tabel 1. Jenis , bentuk, dan sumber data penelitian

Jenis data Skala Bentuk Sumber data

Peta Rupa Bumi Indonesia 1 : 50 000 Dijital Bakosurtanal Peta Administrasi 1 : 25 000 Dijital Bappeda Kota

Makassar Citra Satelit (Ikonos) akuisisi

12 Agustus 2001, 2 April 2007, dan 13 Juli 2010 (Google Earth)

1 m dan 0,6 m

Dijital JICA – Mamminasata dan Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan

Kota Makassar dalam Angka (2002,2007, 2010, 2011)

- Tabular BPS Kota Makassar

Aktor Perubahan Penggunaan Lahan

- Tabular Wawancara

3.3.2. Analisis data

Klasifikasi penggunaan lahan

Citra satelit yang diperoleh telah terkoreksi geometri berdasarkan peta Bakosurtanal sehingga dapat dilanjutkan dengan proses klasifikasi penggunaan lahan. Metode klasifikasi visual didasarkan pada tiga hierarki klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yaitu primer, sekunder, dan tersier. Ketiga hierarki klasifikasi diturunkan menjadi warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer 1997), dan kedekatan interpreter dengan objek (Munibah 2008). Teknik dijitasi secara on screen digunakan untuk mengklasifikasikan penggunaan lahan. Klasifikasi penggunaan lahan seperti Permukiman/Perumahan (PP), Lahan Industri (LI), Bisinis (B) merupakan penggunaan lahan utama dalam analisis. Penggunaan lahan mangrove dan tanaman kehutanan lainnya diklasifikasi menjadi Hutan (H). Tambak dan Empang diklasifikasi sebagai penggunaan lahan Empang/Tambak (ET). Sawah diklasifikasi menjadi Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB). Klasifikasi Tanaman Pangan Lahan Kering (TPLK) terdiri dari tegalan, kebun campuran, tanah kosong. Taman, Lapangan, Jalan Utama, dan Pekuburan diklasifikasi sebagai Penggunaan Lahan Lain (PLL). Tubuh Air (TA) terdiri dari sungai, kanal, waduk, dan rawa. Generalisasi penutupan lahan menjadi klasifikasi penggunaan lahan disajikan ada Tabel 2.


(31)

Tabel 2. Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan wilayah peri-urban Kota Makassar

No Penutupan Lahan Klasifikasi Penggunaan Lahan

1 Sawah Tanaman Pangan Lahan Basah

(TPLB)

2

Ladang

Tanaman Pangan Lahan Kering (TPLK) Kebun Campuran Lahan Kosong Area berumput 3 SPBU Pertamina Bisnis (B) Mini Market/Mall Pasar Tempat Rekreasi Hotel

Terminal Angkutan Darat

4

Pabrik Pengolahan/Pengepakan

Industri (I) Pabrik Kapur

Pergudangan

Instalasi Gardu Listrik PLN

5

Perumahan/Permukiman

Perumahan/Permukiman (PP) Rumah Ibadah

Gedung Olah Raga Rumah / Toko (Ruko) Perkantoran

Sekolah/Perguruan Tinggi

6 Mangrove Hutan (H)

Jati/Tanaman Kehutanan

7 Tambak Empang/Tambak (ET)

Empang

8

Rawa

Tubuh Air (TA) Sungai/Kanal

Waduk Area Perairan

9

Jalan Utama

Penggunaan Lahan Lain (PLL) Lapangan Terbuka ( Sepak Bola

dan Golf)

Area Pekuburan Taman Kota

TPAS (Tempat Pembuangan Akhir Sampah)


(32)

Visualisasi penggunaan lahan pada sumber yang berbeda memberikan karakteristik tampilan objek yang berbeda. Tampilan penggunaan lahan pada wilayah penelitian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Tampilan penggunaan lahan pada citra satelit dan foto lapangan

No Penggunaan Lahan Citra Satelit Foto Lapangan

1 Tanaman Pangan

Lahan Basah (TPLB): Sawah

2 Tanaman Pangan

Lahan Kering (TPLK):

Kebun/Ladang 3 Bisnis:

SPBU Pertamina

4 Industri:

Industri Pengepakan

5 Perumahan/ Permukiman 6 Hutan

: Mangrove

7 Empang/ Tambak

8 Tubuh Air : Sungai

9 Penggunaan Lahan

Lain


(33)

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan distribusi penggunaan lahan pada dua (atau lebih) data dapat diidentifikasi dengan berbagai teknik. Teknik identifikasi yang umum digunakan adalah membandingkan atribut data tersebut. Perubahan nilai pada atribut tersebut umumnya luasan (ha) penggunaan lahan (Trisasongko et al. 2009). Perubahan distribusi penggunaan lahan tahun 2001 ke tahun 2007 dan tahun 2007 ke tahun 2010 dianalisis menggunakan matriks transisi. Hasil analisis matriks transisi menyajikan informasi pola perubahan penggunaan lahan. Analisis Fragmentasi Penggunaan Lahan

Fragmentasi penggunaan lahan adalah proses perubahan penggunaan lahan dari penggunaan homogen menjadi heterogen. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun dan indikasi perkembangan kota yang sprawl dapat diidentifikasi dengan analisis fragmentasi. Salah satu alat analisis fragmentasi penggunaan lahan adalah Landscape Fragmentation Analysis, yang dapat dijalankan di software Arc View maupun Arc GIS (Vogt et al. 2007). Analisis fragmentasi mengidentifikasi empat tipe yaitu : Core (inti), perforated (berlubang), edge (tepi), dan patch. Kajian fragmentasi penggunaan lahan dapat dilakukan untuk berbagai tipe penutupan/penggunaan lahan seperti hutan, lahan semak, lahan perkotaan, dan lain-lain (Parent dan Hurd 2008). Gambaran mengenai empat tipe fragmentasi penggunaan lahan perumahan/permukiman disajikan pada Gambar 3.

Proses diferensiasi pada Model LFA menggunakan operasi logika dengan dua pendekatan analisis piksel (picture element) yaitu 8 tetangga dan 4 tetangga (Gambar 4). Proses analisis fragmentasi dimulai dari peta tematik dengan dua atribut, misalnya perumahan/permukiman dan non perumahan/permukiman. Ukuran batas ditentukan secara arbiter yaitu 25 meter. Core ditetapkan jika piksel inti dan 8 tetangga adalah perumahan/permukiman, dan berada pada jarak lebih besar 25 meter dari non perumahan/permukiman. Patch ditetapkan jika piksel dan 4 tetangga (depan belakang, kiri kanan) perumahan/permukiman, berada pada jarak lebih kecil sama dengan 25 meter dari non perumahan/permukiman, dan tidak masuk dalam track piksel core. Edge ditetapkan berada pada track piksel core perumahan/permukiman tetapi tidak berdekatan dengan patch non perumahan/permukiman. Perforated ditetapkan berada pada track piksel core perumahan/permukiman tetapi berdekatan dengan


(34)

patch non perumahan/permukiman. Analisis fragmentasi penggunaan lahan perkotaan hanya dilakukan pada penggunaan lahan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis. Bagan alir proses pemilahan tipe fragmentasi penggunaan lahan perkotaan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 3. Tipe fragmentasi perumahan/permukiman.

(a) (b)

Piksel inti Piksel

tetangga

Gambar 4. Ilustrasi piksel 8 tetangga (a) dan 4 tetangga (b).

Area Core, misalnya pada perumahan/permukiman, memiliki piksel yang dipertimbangkan tidak terdegradasi oleh “efek tepi”. Bagian tepi dalam perumahan/permukiman yang lain dipertimbangkan sebagai Perforated, selebihnya diklasifikasi sebagai Edge. Sementara itu, Patch adalah fragmen kecil perumahan/permukiman yang sama sekali terdegradasi oleh “efek tepi”.

Proses analisis fragmentasi penggunaan lahan perkotaan untuk tiga titik pengamatan dengan tahapan sebagai berikut:


(35)

1. Mengekstrak peta penggunaan lahan menjadi dua tema seperti peta perumahan/permukiman (2), peta non perumahan/permukiman (1).

2. Mengkonversi format data vektor menjadi data raster (interval 10 m) dengan pertimbangan ukuran rata-rata satu unit bangunan (10x10) m, ukuran file, dan waktu pemrosesan data.

3. Menentukan edge width (lebar tepi), yaitu diasumsikan sebesar 25 m

4. Memasukkan peta penggunaan lahan (perumahan/permukiman) dua tema (Perumahan/permukiman dengan kode 2 dan non perumahan/permukiman dengan kode 1) pada Landscape Fragmentation Tools

5. Menghasilkan peta fragmentasi penggunaan lahan permukiman/permukiman. 6. Tahapan 1-5 dilakukan ulang untuk penggunaan lahan industri dan area

bisnis.

Hasil dari proses analisis fragmentasi penggunaan lahan memberikan gambaran mengenai proporsi tipe fragmentasi penggunaan lahan pada tiga seri pengamatan penggunaan lahan selama 10 tahun terakhir. Kecenderungan perubahan luasan tipe fragmentasi memberikan gambaran motif perubahan penggunaan lahan dan proses fragmentasi penggunaan lahan.

Analisis Deskriptif: Aktor Perubahan Penggunaan Lahan

Proses perubahan penggunaan lahan dikendalikan oleh manusia sebagai aktornya. Aktor perubahan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kota Makassar ditelusuri dengan melakukan wawancara semi terstruktur ke masyarakat. Pengambilan sampel dilakukan dengan pola transek 8 arah dari pusat kota (Center of Business District). Metodologi transek telah digunakan oleh Shrestha et al. (2012) untuk mendeksi fragmentasi sepanjang perkotaan-perdesaan di Phoenix Metropolitan Area AS. Shrestha et al. (2012) menggunakan ukuran blok transek dengan interval 15 km dan pusat piksel digunakan untuk analisis fagmentasi. Namun pada penelitian ini, penentuan titik sampel dilakukan secara purposive berdasarkan penggunaan lahan yang melewati garis transek dari Center of Business District (CBD). Penentuan sampel berbasis titik dilakukan dengan pertimbangan penggunaan lahan yang heterogen di wilayah perkotaan. Jumlah responden yang menjadi sampel pengamatan dan wawancara adalah sebanyak 72 titik. Informasi yang digali adalah terkait status kepemilikan lahan, etnis/suku, dan tingkat pendidikan. Variabel ini didasarkan pada fakta kualitatif bahwa status kepemilikan, etnis/suku, dan tingkat pendidikan diduga mendorong terjadinya perubahan


(36)

penggunaan lahan. Pengambilan foto penggunaan lahan dilakukan bersamaan dengan proses wawancara. Hasil wawancara dan pengamatan lapangan diorganisir menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif mampu memberikan informasi pendukung dalam menggambarkan identitas dan kecenderungan aktor perubahan penggunaan lahan. Karakteristik aktor perubahan penggunaan lahan yang diamati adalah etnis/suku dan tingkat pendidikan.

Gambar 5. Bagan alir klasifikasi tipe fragmentasi penggunaan lahan (Diadopsi dari Parent dan Hurd 2008).


(37)

3.4. Diagram Alir Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, jenis, dan pendekatan analisis serta hasil yang diharapkan, disusun diagram alir penelitian seperti disajikan pada Gambar 6

Gambar 6. Diagram alir penelitian perubahan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kota Makassar.

Paradigma Pengembangan Kota : 1. Pusat Pertumbuhan KTI 2. Pusat Permukiman 3. Pusat Industri dan Jasa 4. Kota Berkelanjutan

Kondisi Eksisting :

1. Pengembangan Sarana dan Prasarana 2. Pertambahan Jumlah Penduduk 3. Kebijakan Pemanfaatan Ruang 4. Fragmentasi Penggunaan Lahan Analisis Permasalahan Tahap Pengumpulan Data Tahap Analisis Data

Interpretasi Citra Satelit dan Dijitasi Peta Penggunaan Lahan

Wawancara Aktor Perubahan Penggunaan Lahan : - Etnis/suku

-Tingkat Pendidikan

Fragmentasi Penggunaan Lahan

(2001, 2007, 2010)

Landscape Fragmentation Analisys Tools : - Core - Patch - Perforated - Edge

1. Permukiman/Perumahan 2. Lahan Industri

3. Lahan Bisnis

Proses Perubahan Penggunaan Lahan di Peri-urban Kota

Makassar Tahap Interpretasi Hasil Matriks Transisi Penggunaan Lahan (2001 dan 2007) dan

Penggunaan Lahan (2007 dan 2010)

Pola Perubahan Penggunaan Lahan Peta Penggunaan Lahan 2001 Peta Penggunaan Lahan 2010 Peta Penggunaan Lahan 2007


(38)

4.1. Kondisi Geografis dan Fisik Wilayah

Wilayah penelitian secara geografis terletak antara 5005’ – 5015’ Lintang Selatan dan 119020’ – 119030’ Bujur Timur dengan ketinggian antara 0 sampai 25 meter dari permukaan laut (mdpl). Batas wilayah penelitian secara administrasi: Sebelah Utara : Kecamatan Mandai dan Kecamatan Marusu (Kabupaten

Maros)

Sebelah Timur : Kecamatan Moncongloe (Kabupaten Maros) dan Kecamatan Pattalassang, Kecamatan Somba Opu, kecamatan Pallangga, dan Kecamatan Barombong (Kabupaten Gowa) Sebelah Selatan : Kecamatan Galesong Utara (Kabupaten Takalar)

Sebelah Barat : Wilayah kecamatan lain di Kota Makassar dan Selat Makassar.

Kota Makassar memiliki luas wilayah 177.75 km2 yang terdiri dari daratan dan pulau-pulau. Wilayah Peri-urban Kota Makassar mencakup lima kecamatan yang terdiri dari 39 kelurahan dengan luas 133,64 km2 atau 76,02% dari luas Kota Makassar. Wilayah Kecamatan Biringkanaya memiliki wilayah yang paling luas dan Kecamatan Rappocini dengan luas wilayah paling kecil. Perbandingan luas kecamatan, persentase luas kota, dan jumlah kelurahan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas wilayah, persentase luas kota, dan jumlah kelurahan menurut kecamatan peri-urban di Kota Makassar Tahun 2010

No Kecamatan Luas (km2) Persentase luas kota (*)

Jumlah kelurahan

1 Tamalate 20,21 11,50 10

2 Rappocini 9,23 5,25 10

3 Manggala 24,14 13,73 6

4 Biringkanaya 48,22 27,43 7

5 Tamalanrea 31,84 18,11 6

Jumlah 133,64 76,02 39

Keterangan: (*) Dari luas Kota Makassar Sumber: BPS (2011).

Ditinjau dari kondisi jarak dari Ibu Kota Kecamatan ke Lapangaan Karebosi sebagai Pusat Kota Makassar, Kecamatan paling jauh adalah Kecamatan Biringkanaya sejauh 12 km, Kecamatan paling dekat adalah


(39)

Kecamatan Makassar dengan jarak 0 km. Lima Kecamatan area penelitian berada pada jarak antara 5 km–12 km dari pusat kota Makassar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Jarak ibukota kecamatan ke pusat Kota Makassar

No Kecamatan Jarak (km)

1 Tamalate 5

2 Rappocini 7

3 Manggala 9

4 Biringkanaya 12

5 Tamalanrea 10

Sumber: BPS Kota Makassar (2011)

Ketinggian tempat di wilayah penelitian bervariasi mulai dari ketinggian 0-25 mdpl (meter dari permukaan laut). Ketinggian tempat menurut kecamatan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Ketinggian tempat lima kecamatan peri-urban di Kota Makassar

No Kecamatan Ketinggian tempat (mdpl)

1 Tamalate 1 – 6

2 Rappocini 2 – 6

3 Manggala 2 – 22

4 Biringkanaya 1 – 19

5 Tamalanrea 1 – 22

Sumber: BPN Kota Makassar (2008)

Topografi Kota Makassar umumnya datar dengan tingkat kemiringan lereng 0-8%. Wilayah penelitian yang memiliki ketinggian diatas 10 mdpl hanya ada di Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan Manggala. 11 kecamatan lainnya berada dibawah ketinggian 10 mdpl.

Jenis tanah yang terdapat di Kota Makassar terdiri dari jenis tanah Inceptisol dan Ultisol. Jenis tanah Inceptisol dominan berada di bagian barat dan selatan Kota Makassar. Jenis tanah Ultisol dominan berada di sebelah utara Kota Makassar. Bagian timur Kota Makassar jenis tanahnya merupakan kombinasi dari kedua jenis tanah tersebut.

Wilayah Kota Makassar memiliki stasiun pengamatan iklim yaitu curah hujan dan suhu udara di BMG IV Stasiun Maritim Paotere. Curah hujan


(40)

rata-rata tahunan selama kurung waktu dari 1997 – 2011 berkisar pada 3.083 mm. Suhu rata-rata antara 250C sampai 330C. Tadjang (2001) menguraikan bahwa sistem klasifikasi yang digunakan oleh Oldeman dalam menetapkan macam bulan adalah curah hujan rata-rata bulanan selama periode paling sedikit 10 tahun. Kriteria tinggi curah hujan rata-rata yang digunakan Oldeman dalam menentukan macam bulan adalah: (1) Bulan Kering (BK) adalah bulan dengan curah hujan rata-rata <100 mm, (2) Bulan Lembab adalah bulan dengan curah hujan rata-rata 100-200 mm, (3) Bulan Basah adalah bulan dengan curah hujan rata-rata >200 mm. Berdasarkan kriteria macam bulan, periode Bulan Basah terjadi pada Desember, Januari, Februari, Maret, dan April. Bulan Kering terjadi pada Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober. Bulan Mei dan Nopember merupakan Bulan Lembab di Kota Makassar. Menurut Oldemen Wilayah Kota Makassar termasuk tipe iklim pertanian C3. Sedangkan menurut Schmid-Ferguson, Kota Makassar termasuk wilayah dengan tipe hujan D (daerah sedang dengan ciri vegetasi hutan musim).

4.2. Kondisi Demografi

Dari sisi demografi, jumlah penduduk Kota Makassar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir selalu mengalami peningkatan yang signifikan, hal ini terbukti oleh kenaikan jumlah penduduk pada tahun 2010 sebesar 226.686 jiwa dari kondisi jumlah penduduk pada tahun 2000 yang mencapai 1.112.688 jiwa. Jumlah penduduk pada tahun 2010 sebesar 1.339.374 jiwa, lebih dari 50%-nya berada di wilayah lima kecamatan perbatasan dengan kabupaten tetangga Kota Makassar. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi penduduk di Kota Makassar masih berorientasi ke pinggir atau menjauhi pusat pemerintahan. Fakta ini diperkuat oleh pertumbuhan jumlah penduduk di wilayah peri-urban berada diatas rata-rata kota. Pertambahan penduduk Kota Makassar (2000-2010) sebesar 1,65%. Wilayah Kecamatan yang pertambahan penduduknya diatas rata-rata kota adalah Biringkanaya (5,45%), Manggala (3,90%), Tamalate (2,50%), Tamalanrea (2,00%), kecuali Kecamatan Rappocini yang pertambahan penduduknya berada dibawah rata-rata kota (1,50%). Kecamatan lainnya yang berada di sekitar pusat kota yang mengalami pertambahan penduduk minus dengan kata lain terjadi pengurangan jumlah penduduk yaitu Kecamatan Mamajang 0,30), Kecamatan Makassar 0,15), Kecamatan Ujung Pandang (-0,72), Kecamatan Wajo (-1,83), dan Kecamatan Boantoala (-0,87). Selebihnya berada pada kisaran pertambahan pertambahan penduduk dari 0,3% sampai


(41)

1,2%. Fenomena pertambahan penduduk yang kurang merata di atas, mengindikasikan adanya daya tarik yang lebih kuat di wilayah pinggiran kota.

Tabel 7. Jumlah penduduk (jiwa) kecamatan peri-urban Kota Makassar dari tahun 2000 - 2010

No Kecamatan 2000 2001 2004 2005 2006 2008 2010

1 Tamalate 130777 131871 143987 144458 148589 152197 170878 2 Rappocini 128637 128962 136128 136725 139491 142958 151091 3 Manggala 77443 79251 92411 92524 96632 99008 117075 4 Biringkanaya 96057 97951 118633 119818 125636 128731 167741 5 Tamalanrea 82641 83873 84247 84890 86987 89143 103192 Total 5 Kecamatan 515.555 521.908 575406 578.415 597.335 621.162 709.977 Total MAKASSAR

1,112,688 1,130,384 1,179,024 1,193,434 1,223,540 1,253,656 1,339,374 Persentase Kota

Makassar (%) 46,33 46,17 48,80 48,47 48,82 48,2 53,01 Sumber: BPS Kota Makassar (2012)

4.3. Karakteristik Ekonomi

Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memberikan gambaran kapasitas suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah untuk periode waktu tertentu. Ada tiga sisi pendekatan dapat dipakai dalam melihat PDRB yaitu, sisi produksi, sisi pengeluaran dan sisi pendapatan. Ketiganya memberikan gambaran komposisi dan nilai tambah dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan, dan sumber pendapatan. Wilayah kabupaten/kota memiliki kondisi geografis dengan berbagai potensi sumberdaya yang membuat masyarakatnya dapat bertahan bahkan berkembang. Perbedaan struktur perekonomian tiap wilayah ditentukan oleh potensi sumberdaya fisik, manusia, dan keuangan. Secara garis besar, pertumbuhan PDRB Kota Makassar Tahun 2000-2009 menunjukan pertumbuhan positif. Untuk lebih jelasnya kondisi PDRB Kota Makassar atas dasar harga konstan dapat dilihat pada Gambar 7.

Tiga sektor utama yang menopang peningkatan nilai tambah di Kota Makassar yaitu perdagangan/restoran/hotel, industri pengolahan, dan angkutan dan komunikasi. Ketiga sektor utama ini cenderung bergerak naik dari tahun 2001 ke tahun 2009. Besarnya distribusi sektor tersier dan sekunder merupakan indikasi Kota Makassar sebagai fungsi pengolahan dan distribusi terhadap area di sekitarnya. Fakta ini juga didukung oleh jumlah hotel pada tahun 2001 sebesar 91 unit menjadi 188 unit pada tahun 2010. Peranan sektor primer seperti pertanian dan pertambangan/penggalian relatif kecil dan cenderung


(42)

stagnan selama 10 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi Kota Makassar mencapai dua dijit (Gambar 8) pada saat pesta demokrasi berlangsung yaitu 2004 (Pemilihan Legislatif) dan 2008 (Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan).

Gambar 7. Grafik pertumbuhan PDRB per sektor berdasarkan harga konstan di Kota Makassar (2001-2009).

Gambar 8. Tren pertumbuhan ekonomi atas dasar harga konstan di Kota Makassar (2001-2009) 0.000 500.000 1000.000 1500.000 2000.000 2500.000 3000.000 3500.000 4000.000 4500.000 5000.000 (Mi ly a r R u p ia h )

PDRB Per Sektor Atas Dasar Harga Konstan di Makassar (2001-2009)

Pertanian

Pertambangan/Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bangunan

Perdagangan/Restoran/Hotel Angkutan dan Komunikasi Bank dan Lembaga Keuangan Jasa-Jasa

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 (%) 7.30 7.14 8.60 10.17 7.16 8.09 8.11 10.52 9.20 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 P e rt u mb u h a n E k o n o mi ( %)

Tren Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Konstan di Kota Makassar (2001-2009)


(43)

4.4. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Wilayah

Dalam penelitian ini, infrastruktur dibagi ke dalam tiga bagian, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur umum. Infrastruktur umum terdiri dari sarana transportasi dan jalan, prasarana dan sarana utilitas pemukiman dan perumahan, telekomunikasi dan informasi, sumber daya air, ketenagalistrikan.

Infastruktur pendidikan pada tahun 2010 di Kota Makassar, jumlah Sekolah Dasar sebanyak 452 unit dengan jumlah guru sebanyak 6.033 orang dan jumlah murid sebanyak 144.499 orang. Jumlah SLTP sebanyak 179 unit dengan jumlah guru sebanyak 4.268 orang dan jumlah murid sebanyak 61.107 orang. Jumlah SLTA 116 unit dengan jumlah guru sebanyak 5.595 orang dan jumlah murid sebanyak 35.567 orang (BPS, 2011).

Infastruktur kesehatan pada tahun 2010 di Kota Makassar terdapat 16 Rumah Sakit, yang terdiri dari 7 Rumah Sakit Pemerintah/ABRI, 8 Rumah Sakit Swasta serta 1 Rumah Sakit khusus lainnya. Jumlah Puskesmas pada tahun 2010, dari 119 unit puskesmas dapat di kategorikan menjadi 38 puskesmas, 44 puskesmas pembantu dan puskesmas keliling 37 buah. Di samping sarana kesehatan, ada sumber daya manusia di bidang kesehatan seperti dokter praktek sebanyak 1.108 orang dan bidan praktek sebanyak 117 orang (BPS, 2011).

Ketersediaan fasilitas jalan mendorong terjadinya interaksi antar kawasan dalam suatu wilayah. Produktivitas suatu wilayah sangat ditentukan oleh fasilitas jalan sebagai media interaksi antar sektor dan antar perumahan ke tempat bekerja. Panjang dan fungsi jalan di Kota Makassar disajikan pada Tabel 8

Tabel 8. Panjang jalan menurut fungsi jalan di Kota Makassar

No Fungsi Jalan Panjang (km)

1 Arteri 76,52

2 Kolektor 380,93

3 Lokal 1120,88

4 Inspeksi Kanal 15,13

Jumlah 1.593,46

Sumber: BPS (2010)

Kondisi sarana dan prasarana jalan di Kota Makassar terdiri dari jalan arteri, kolektor, lokal, dan inspeksi kanal. Berdasarkan aspek panjang jalan, jalan lokal mendominasi fungsi jalan di Kota Makassar. Jalan kolektor dan arteri


(44)

merupakan fungsi jalan terpanjang kedua dan ketiga. Terakhir fungsi jalan inspeksi kanal yang terpendek. Gambaran fungsi jalan dengan panjang jalan tidak cukup memberikan informasi wilayah dalam melayani interaksi masyarakatnya. Kondisi kualitas jalan di Kota Makassar disajikan pada Tabel 9

Tabel 9. Panjang jalan (km) dirinci menurut kondisi jalan di Kota Makassar

Tahun Kondisi Jalan

Baik Sedang Rusak Ringan Rusak Berat

2001 1070,97 292,70 206,48 23,31

2005 121,13 215,24 149,69 15,19

2010 772,69 264,04 238,15 318,58

Sumber: BPS (2010)

Sumber air bersih yang digunakan oleh masyarakat Kota Makassar pada saat ini berasal dari sumur, PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dan sumur bor. Berdasarkan data dari PDAM Kota Makassar sampai dengan akhir tahun 2009 jumlah pelanggan PDAM Kota Makassar sebanyak 146.687 pelanggan, dengan jumlah total air yang disalurkan sepanjang tahun 2009 sebanyak 38.825.667 m3. Persentase volume air terbesar yang disalurkan oleh PDAM adalah pelanggan rumah tangga, persentasenya mencapai 81% dari persentase keseluruhan, sedangkan yang lainnya merupakan pemakaian pelanggan dalam bidang Bisnis, Industri, Pemerintah, Sosial, dengan masing-masing persentasenya sebesar 9%, 1%, 5%, 4%.

Gerak pembangunan di Kota Makassar tidak terlepas dari dukungan sarana dan prasarana energi listrik dalam upaya mendorong pertumbuhan perekonomiaan dan pembangunan lainnya. Energi listrik ini dipergunakan untuk keperluan domestic dan industri. Berdasarkan data dari BPS Kota Makassar, satu kantor cabang, empat kantor rayon, dua kantor sub ranting, dan satu listrik desa yang melayani kebutuhan energi masyarakat, khususnya Kota Makassar. Tahun 2009 energi yang terjual sebanyak 1.172.533.660 Kwh dengan daya yang tersambung sebesar 559.639.875 VA. Jumlah pelanggan sebanyak 241.396 buah.

Sarana telekomunikasi di Kota Makassar berdasarkan data tahun 2009, jumlah sambungan telepon kategori pelanggan 198.867, kategori line in service sebanyak 199.443, kategori connected line sebanyak 295.210 dan telah mampu menjangkau semua kecamatan yang ada di Kota Makassar. Pelayanan jasa oleh Pos dan Giro melalui PT. Pos Indonesia sebanyak 32 unit dengan klasifikasi


(45)

1 unit Kantor Pos dan Giro Kelas II, 4 unit Kantor Pos dan Giro Kelas VII, 24 unit Kantor Pos dan Giro Kelas X, tiga unit Kantor pos dan Giro Pembantu. Selain itu sarana telekomunikasi yang dapat diakses oleh masyarakat yaitu melalui penyediaan layanan seluler oleh beberapa provider yang mengembangkan investasinya di Kota Makasar. Hal ini dapat diketahui dengan beroperasinya tower seluler yang tersebar di 14 kecamatan di Kota Makassar.

4.5. Kebijakan Pembangunan Wilayah

Kebijakan Perencanaan Ruang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Makassar No 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar (2005 - 2015). Perencanaan pemanfaatan ruang akan dibagi menjadi 13 kawasan pengembangan terpadu dan tujuh kawasan pengembangan khusus. Ketigabelas kawasan pengembangan terpadu terdiri dari: 1. Kawasan Pusat Kota, yang berada pada bagian tengah Barat dan Selatan Kota mencakup wilayah Kecamatan Wajo, Bontoala, Ujung Pandang, Mariso, Makassar, Ujung Tanah dan Tamalate; 2. Kawasan Permukiman Terpadu, yang berada pada bagian tengah pusat dan Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Manggala, Panakukang, Rappocini dan Tamalate; 3. Kawasan Pelabuhan Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat dan Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Ujung Tanah dan Wajo; 4. Kawasan Bandara Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Biringkanaya dan Tamalanrea; 5. Kawasan Maritim Terpadu, yang berada pada bagian Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea; 6. Kawasan Industri Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya; 7. Kawasan Pergudangan Terpadu, yang berada pada bagian Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea, Biringkanaya dan Tallo; 8. Kawasan Pendidikan Tinggi Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Panakukang, Tamalanrea dan Tallo; 9. Kawasan Penelitian Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tallo; 10. Kawasan Budaya Terpadu, yang berada pada bagian Selatan Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; 11. Kawasan Olahraga Terpadu, yang berada pada bagian Selatan Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; 12. Kawasan Bisnis dan Pariwisata Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; 13. Kawasan Bisnis Global Terpadu,


(46)

yang berada pada bagian tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan Mariso.

Tujuh kawasan pengembangan khusus terdiri dari: 1. Kawasan Khusus Pariwisata Maritim, yang berada pada kepulauan Spermonde Makassar, mencakup wilayah Kecamatan Ujung Pandang dan Ujung Tanah; 2. Kawasan Khusus Pengembangan Sungai Tallo, yang berada sepanjang koridor Sungai Tallo; 3. Kawasan Khusus Pengembangan Sungai Jeneberang yang berada sepanjang koridor Sungai Jeneberang; 4. Kawasan Khusus Pengendalian Pantai Makassar, yang berada sepanjang ±35 km pesisir pantai Makassar; 5. Kawasan Khusus Konservasi Budaya, yang letak dan posisinya tersebar di beberapa titik dalam wilayah Kota Makassar; 6. Kawasan Khusus Pusat Energi dan Bahan Bakar Terpadu, yang letaknya berada di bagian Utara Kota (muara Sungai Tallo), mencakup wilayah Kecamatan Tallo; 7. Kawasan Khusus Tempat Pembuangan dan Pemrosesan Sampah Terpadu, berada pada Kecamatan Manggala.

Wilayah Peri-Urban Kota Makassar termasuk dalam 10 kawasan pengembangan terpadu yaitu: permukiman terpadu (Manggala, Rappocini, Tamalate), kawasan bandara terpadu, industri terpadu, dan pergudangan terpadu (Biringkanaya, Tamalanrea), kawasan maritim terpadu dan pendidikan terpadu (Tamalanrea), kawasan budaya terpadu, olah raga terpadu, bisnis dan pariwisata terpadu (Tamalate). Dan lima kawasan pengembangan khusus yaitu kawasan khusus pengembangan sungai Tallo (Biringkanaya, Tamalanrea, dan Manggala), kawasan khusus pengembangan sungai Jeneberang (Tamalate), kawasan khusus pengendalian Pantai Makassar ( Biringkanaya, Tamalanrea, dan Tamalate), kawasan khusus konservasi budaya (tersebar di beberapa titik dalam wilayah Kota Makassar), kawasan khusus tempat pembuangan dan pemrosesan sampah terpadu (Manggala).

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Makassar (2009-2014) tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2009. Penyusunan RPJMD bertujuan merumuskan kebijakan dan program pembangunan dengan mengakomodir berbagai kepentingan dan aspirasi segenap lapisan masyarakat, sehingga lebih memantapkan pencapaian Visi Pemerintah Kota Makassar Tahun 2014, yakni "Makassar Menuju Kota Dunia Berlandas Kearifan Lokal". Kebijakan dan sasaran prioritas pembangunan dititikberatkan pada aspek: Kebijakan Peningkatan Kualitas Manusia, Pengembangan Tata Ruang dan Lingkungan, Penguatan Struktur


(47)

Ekonomi, Desentralisasi Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik dan Bebas Korupsi, Penegakan Hukum dan Hak Azasi Manusia.


(48)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penggunaan Lahan Tahun 2001, 2007, dan 2010

Hasil interpretasi data citra satelit 2001, 2007, dan 2010 memberikan gambaran distribusi penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar. Klasifikasi penggunaan lahan terdiri dari Hutan (H), Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB), Tanaman Pangan Kering (TPLK), Empang/Tambak (ET), Perumahan/permukiman (PP), Industri (I), Bisnis (B), Tubuh Air (TA), dan Penggunaan Lahan Lain (PLL). Sebaran penggunaan lahan diwilayah Peri-Urban Kota Makassar pada tahun 2001, 2007, dan 2010 disajikan secara berturut-turut pada Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11.

Penggunaan lahan perumahan/permukiman merupakan kelas gabungan areal perumahan/permukiman, perkantoran, rumah/toko, gedung olah raga, rumah ibadah, dan sekolah/perguruan tinggi. Pola permukiman yang terlihat mengelompok yaitu terdapat pada wilayah Kecamatan Rappocini dan sebagian Kecamatan Tamalate (sebelah utara Sungai Jeneberang). Pola perumahan/permukiman di Kecamatan Manggala, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan Biringkanaya cenderung mengelompok mengikuti jalan tetapi menyebar pada area yang jauh dari jalan utama dan pusat kota. Kecenderungan pola perumahan/permukiman yang menyebar terdapat di Kecamatan Tamalate (Tanjung Bunga dan Barombong).

Areal pertanian terdiri dari TPLB dan TPLK. TPLB merupakan kelas penggunaan lahan sawah sedangkan TPLK adalah kelas gabungan penggunaan lahan tegalan, kebun campuran, lahan kosong, dan area berumput. TPLB di wilayah penelitian cenderung mengelompok di Kecamatan Manggala dan Tamalate. Pola TPLB yang menyebar terdapat di kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan Biringkanaya. Pola TPLK yang cenderung menyebar diantara penggunaan lahan perumahan/permukiman lebih banyak dijumpai di Kecamatan Manggala, Kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan Biringkanaya. TPLB umumnya ditanami padi pada musim hujan sedangkan pada musim kering ditanami kangkung dan bayam. Produktifitas tanaman padi di wilayah penelitian adalah sekitar 5 ton/ha. Penggunaan lahan TPLK umumnya ditanami ubi kayu, pisang, dan mangga. Komoditi ubi kayu dan pisang diolah menjadi keripik atau dijual langsung ke pasar terdekat. Ubi kayu dan pisang diolah dengan industri berbasis rumah tangga dan umumnya terdapat di Kecamatan Biringkanaya.


(49)

(50)

Gambar 10. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2007


(51)

(52)

Perubahan penggunaan lahan dianalisis menggunakan matriks transisi (Tabel 10 dan Tabel 11). Hasil tabulasi silang dua data penggunaan lahan menyajikan informasi bentuk-bentuk perubahan penggunaan lahan. Analisis perubahan penggunaan lahan terdiri dari dua periode yaitu tahun 2001 ke tahun 2007 dan tahun 2007 ke tahun 2010.

Tabel 10. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2001 dan 2007 (dalam ha)

D a r i 2 0 0 1

Ke 2007 Penggunaan

Lahan H TA ET TPLB TPLK PP I B PLL

Jumlah (2001) Hutan 121,5 0,8 0,7 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 123,1 Tubuh Air 0,5 1063,8 2,3 2,0 51,0 29,0 2,9 9,0 3,7 1164,3 Empang/

Tambak

1,2 2,1 1702,1 0,7 110,7 11,5 25,8 6,9 4,9 1865,9

TPLB 0,0 145,7 0,0 2479,3 247,3 66,4 99,8 0,1 14,2 3052,7 TPLK 0,4 7,6 0,9 0,0 2471,0 325,4 52,8 27,4 10,3 2895,9 PP 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3816,9 0,5 3,3 2,2 3822,9 Industri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 316,0 0,0 0,0 316,3 Bisins 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 57,2 0,0 57,2 Penggunaan

Lahan Lain

0,0 0,1 0,0 0,0 1,2 3,3 0,4 0,1 249,2 254,3

Jumlah (2007) 123,5 1220,1 1706,0 2482,0 2881,3 4252,9 498,2 104,0 284,5 13552,4 Keterangan: H= Hutan; TA= Tubuh Air; ET= Empang/Tambak; TPLB= Tanaman Pangan Lahan Basah; TPLK=

Tanaman Pangan Lahan Kering; PP= Perumahan/Permukiman; I= Industri; B= Bisnis; PLL= Penggunaan Lahan Lain.

Tabel 11. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2007 dan 2010 (dalam ha)

D a r i 2 0 0 7 Ke 2010 Penggunaan

Lahan H TA ET TPLB TPLK PP I B PLL

Jumlah (2010) Hutan 123,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 123,5 Tubuh Air 0,0 1201,0 0,0 0,0 13,2 3,3 1,9 0,8 0,0 1220,1 Empang/

Tambak

0,0 0,0 1661,4 0,0 27,9 0,7 2,4 13,7 0,0 1706,0

TPLB 0,0 0,0 0,0 2433,9 29,4 13,4 5,3 0,0 0,0 2482,0 TPLK 0,5 0,0 0,0 0,0 2679,6 108,5 78,4 7,3 7,0 2881,3 PP 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 4252,9 0,0 0,0 0,0 4252,9 Industri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 498,2 0,0 0,0 498,2 Bisinis 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 104,0 0,0 104,0 Penggunaan

Lahan Lain

0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3,8 0,0 0,0 280,7 284,5

Jumlah (2007) 124,0 1201,0 1661,4 2433,9 2750,1 4382,6 586,1 125,7 287,7 13552,4

5.1.1. Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun 2001-2007

Tahap pertama perubahan penggunaan lahan adalah dari tahun 2001 ke tahun 2007. Pada periode ini, perubahan penggunaan lahan Tanaman Pangan


(1)

(2)

(3)

(4)

Lampiran 4.

Identitas responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku, tingkat

pendidikan, dan status terhadap lahan di wilayah

peri urban

Kota Makassar

No. Sampel

Penggunaan Lahan 2001

Penggunaan Lahan 2007

Penggunaan

Lahan 2010 Jalur Etnis/suku

Tingkat

Pendidikan Status 1 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 1 Pemerintah Pemerintah P

2 Empang/Tambak Empang/Tambak Empang/Tambak 1 Tionghoa S1 BP

3 TPLK Industri Industri 1 Tionghoa S1 BP

4 PLL PLL PLL 1 Makassar TT SD BP

5 TPLK TPLK TPLK 1 Makassar SD P

6 TPLB TPLB TPLB 1 Tionghoa SMP BP

7 PP PP PP 1 Makassar TT SD P

8 Industri Industri Industri 1 Tionghoa SMA BP

9 PP PP PP 1 Pemerintah Pemerintah P

10 TPLB TPLB TPLB 1 Tionghoa TT SD BP

11 PP PP PP 1 Makassar S1 P

12 TPLK TPLK TPLK 1 Makassar TT SD P

13 TPLB TPLB PP 1 Makassar SMP P

14 TPLB TPLK TPLK 1 Tionghoa SD BP

15 TPLB TPLB TPLB 1 Makassar SD P

16 TPLB Industri Industri 1 Tionghoa SD BP

17 PP PP PP 1 Bima SD P

18 TPLK TPLK TPLK 1 Makassar SD P

19 TPLB TPLB TPLB 1 Makassar SMP P

20 Hutan Hutan Hutan 2 Pemerintah Pemerintah P

21 TPLK TPLK TPLK 2 Makassar TT SD BP

22 PP PP PP 2 Makassar SMA P

23 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 2 Toraja SMA P

24 TPLK TPLK TPLK 2 Pemerintah Pemerintah P

25 PP PP PP 2 Pemerintah Pemerintah P

26 TPLK Bisnis Bisnis 2 Bugis SMP BP

27 TPLB TPLB TPLB 2 Makassar TT SD BP

28 PP PP PP 2 Bugis D3 P

29 TPLK TPLK TPLK 2 Pemerintah Pemerintah P

30 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 2 Pemerintah Pemerintah P

31 TPLB TPLB TPLB 2 Makassar SMA P

32 TPLK TPLK TPLK 2 Makassar SMP P

33 PP PP PP 3 Bugis S1 P

34 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 3 Makassar SMA BP

35 PP PP PP 3 Bugis S3 P

36 PP PP PP 3 Toraja SMA BP

37 TPLK TPLK TPLK 3 Jawa S2 P

38 PP PP PP 3 Pemerintah Pemerintah P

39 TPLK TPLK TPLK 3 Jawa S1 BP

40 PP PP PP 3 Bugis SMA BP


(5)

Lanjutan Lampiran 4.

42 PP PP PP 3 Makassar SD BP

43 PP PP PP 3 Makassar S1 BP

44 TPLB TPLB TPLB 3 Makassar SD P

45 PLL PLL PLL 4 Pemerintah Pemerintah P

46 Tubuh Air Bisnis Bisnis 4 Bugis SD P

47 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 4 Pemerintah Pemerintah P

48 PP PP PP 4 Bugis SMA P

49 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 4 Pemerintah Pemerintah P

50 PP PP PP 4 Makassar SMA BP

51 TPLK TPLK TPLK 4 Tionghoa SMA BP

52 TPLK TPLK TPLK 4 Tionghoa SD BP

53 TPLB TPLB TPLB 4 Tionghoa SD BP

54 TPLK TPLK TPLK 4 Tionghoa SD BP

55 Empang/Tambak Empang/Tambal Empang/Tambak 5 Tionghoa SD BP 56 Empang/Tambak Empang/Tambak Bisnis 5 Batak SD BP

57 TPLK TPLK TPLK 5 Bugis SD BP

58 Empang Bisnis Bisnis 5 Jawa SD BP

59 Empang TPLK TPLK 5 Sengketa SMA BP

60 TPLK TPLK TPLK 5 Tionghoa SMA BP

61 TPLK Bisnis Bisnis 5 Makassar SD P

62 PP PP PP 3 Tionghoa S1 P

63 TPLK PP PP Kantor Camat Pemerintah Pemerintah P 64 PP PP PP Kantor Camat Pemerintah Pemerintah P 65 PP PP PP Kantor Camat Pemerintah Pemerintah P 66 PP PP PP Kantor Camat Pemerintah Pemerintah P 67 TPLK TPLK PP Kantor Camat Pemerintah Pemerintah P

68 TPLK PP PP Acak Toraja S1 P

69 PP PP PP Acak Bugis S2 P

70 TPLB TPLB TPLB Acak Makassar S1 P

71 TPLB TPLK PP Acak Bugis SMA P

72 TPLB TPLB TPLB Acak Makassar SMP BP


(6)

Lampiran 5. Curah hujan (mm) Stasiun Paotere BMG Wilayah IV Makassar.

Tahun

Bulan

Tahunan

SF

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agt

Sep

Okt

Nov

Des

BB

BK

BL

1997

529

846

193

189

21

4

14

0

0

0

25

176

1997

5

7

0

1998

167

110

240

220

87

23

257

110

56

174

684

862

2990

9

2

1

1999

1277

994

433

580

140

76

31

6

12

126

225

836

4736

8

3

1

2000

823

778

1114

338

337

37

180

67

0

47

84

303

4108

7

3

2

2001

445

893

813

687

163

11

92

0

0

6

20

550

3680

6

5

1

2002

1042

813

435

617

139

87

31

2

0

0

2

97

3265

5

5

2

2003

492

695

534

157

110

147

5

15

0

7

20

104

2286

7

5

0

2004

928

618

690

624

54

59

33

0

0

0

24

129

3159

5

7

0

2005

531

718

235

200

139

6

2

35

0

0

165

225

2256

7

5

0

2006

398

587

649

353

265

26

137

1

0

0

0

20

2436

6

6

0

2007

694

486

283

197

36

130

4

3

0

16

215

869

2933

7

5

0

2008

639

721

559

440

145

56

50

9

0

2

46

188

2855

6

6

0

2009

922

738

196

71

48

35

41

0

0

15

17

474

2557

5

7

1

2010

873

429

279

230

144

124

100

57

231

223

238

760

3688

10

1

1

2011

562

529

595

386

162

8

1

0

0

40

183

827

3293

7

5

0

Rata-Rata

688

664

483

353

133

55

65

20

20

44

130

428

3,083

100

72

Bulan

BB

BB

BB

BB

BL

BK

BK

BK

BK

BK

BL

BB

6.667

4.8

72

SF

: D

: daerah sedang dengan ciri vegetasi musim

BB

: 5

BB

: > 200 mm

BB

: >100 mm

BL

: 2

BL

: 100 - 200 mm

BL

:60-100 mm

BK

: 5

BK

: < 100 mm

BK

: <60 mm