Latar Belakang Analisis ekologi, biologi dan sosial ekonomi untuk dasar kebijakan pengelolaan budidaya rumput laut (kasus budidaya rumput laut kappaphycus alvarezii di Pulau Nain)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kontribusi pembangunan ekonomi dari perikanan budidaya laut sejalan dengan visi pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP yaitu pada tahun 2015, Indonesia akan menjadi negara penghasil produk perikanan terbesar di dunia. Saat ini telah diupayakan usaha-usaha nyata dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Salah satu upaya adalah pengembangan budidaya rumput laut. Hasilnya adalah produksi nasional rumput laut pada tahun 2010 mencapai 3,082 juta ton atau 60 dari total produksi perikanan budidaya. Produksi rumput laut 2010 ini telah melampaui target KKP yakni sebesar 2,574 juta ton. Target pemerintah pada tahun 2015, Indonesia akan memproduksi rumput laut sebesar 10 juta ton Siregar Muttaqin 2011. Gugus Pulau Nain sebagai salah satu areal budidaya rumput laut di Sulawesi Utara terdiri dari Pulau Nain sebagai pulau utama seluas 316,45 hektar. Di sisi timur Pulau Nain terdapat Pulau Nain Kecil seluas 2,5 hektar yang tidak berpenduduk, dan di sisi barat daya terdapat Pulau Mantehage seluas 738,1 hektar. Wilayah ini termasuk dalam administrasi Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara. Menurut data desa, Gugus Pulau Nain mempunyai luas perairan 2.287 hektar yang terdapat gobah seluas 375,9 hektar. Penduduk di Pulau Nain menempati dua desa, yakni: Desa Nain, juga disebut Kampung Negri, terdiri dari Kampung Bajo dan Kampung Siau, serta Desa Tatampi yang terdiri dari Kampung Tatampi, Tatampi Kecil dan Tarente. Puncak tertinggi Pulau Nain adalah 135 meter dari permukaan laut, kemiringan lereng 20 –40 , dan sebagai zona pendukung perairan Taman Nasional Bunaken TNB. Pulau Nain sebagai zona pendukung dapat dimanfaatkan untuk perikanan laut tradisional oleh masyarakat setempat, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk tujuan ekonomis, sejauh tidak merusak lingkungan. Budidaya rumput laut yang dimulai sejak tahun 1989 telah berkembang menjadi mata pencaharian utama sejak tahun 1995 Mondoringin 2005. Jenis rumput laut yang dibudidayakan saat ini adalah Kappaphycus alvarezii dengan nama dagang Cottonii, dan Eucheuma denticulatum dengan nama dagang Spinosum. Metode budidaya yang digunakan pada awalnya adalah metode rakit, kemudian mulai tahun 1992 digunakan metode tali panjang permukaan. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Minahasa Utara DKP Minut pada tahun 2010 di Pulau Nain terdapat 64 kelompok pembudidaya rumput laut yang beranggotakan 7 –10 orang. Kelompok-kelompok ini adalah hasil binaan perusahaan rumput laut dan koperasi desa. Menurut Pandelaki 2011 bahwa pembudidayaan rumput laut membutuhkan 2 – 3 tenaga kerja per hektar. Pada bidang perikanan budidaya laut di Pulau Nain terdapat juga dua unit karamba jaring apung yang memelihara ikan kuwe. Pada bidang perikanan tangkap, umumnya nelayan menangkap ikan madidihang tuna, roa julung- julung, dan antoni ikan terbang. Nelayan lainnya menangkap ikan karang, antara lain: goropa kerapu, sunuh sunuk, dan somasi kakap. Penanganan ikan hasil tangkapan selain untuk dikonsumsi sendiri, juga dijual segar atau diolah menjadi ikan asin ’ikang garang’ dan diasap ’cakalang fufu’ dan ’roa gepe’. Hasil panen rumput laut dari Pulau Nain dijual ke pengumpul di desa atau langsung ke perusahaan di Kota Manado. Harga jual di pengumpul pada semester akhir tahun 2011 adalah Rp. 12.000kg, sedangkan di Kota Manado Rp. 12.500kg. Selain menjual rumput laut kering, di antara pembudidaya terjadi jual beli rumput laut segar yang akan dijadikan bibit. Harga bibit yang diseleksi senilai Rp. 3.500 – Rp. 4.500kg, sedangkan bibit tanpa seleksi Rp. 150.000 – Rp. 200.000tali ris dengan panjang tali 60 – 80 meter yang diperkirakan beratnya 70 – 100 kgtali ris. Diketahui bahwa sejak akhir tahun 2000 produksi rumput laut di Pulau Nain mulai menurun. Padahal Pulau Nain dikenal sebagai sentra rumput laut dan sumber bibit terbaik di Sulawesi Utara. Gerung et al. 2008 menyatakan bahwa puncak produksi rumput laut di Pulau Nain terjadi pada kurun waktu tahun 1996 – 2000 yang pernah mencapai 350 –400 tonbulan. Ini sesuai dengan informasi dari seorang pengusaha rumput laut bahwa pada tahun 2010 lalu produksi rumput laut di Pulau Nain tidak sampai 5 tonbulan. Kondisi di atas mengindikasikan bahwa akfititas budidaya rumput laut di perairan Gugus Pulau Nain sudah terganggu seiring pertambahan waktu, baik disebabkan oleh degradasi lingkungan, pemanfaatan sumberdaya tidak terkontrol, dan atau pengaruh bertambahnya penduduk. Menurut stakeholders penyebab kondisi di atas disebabkan oleh frekuensi pemakaian bibit yang sudah terjadi berulangkali dan sudah lebih dari 20 tahun. Selain itu juga diduga disebabkan oleh pembuatan rumah di atas atau dekat areal budidaya. Awalnya pembuatan rumah hanya sebagai tempat istirahat saat pembersihan dan pengontrolan rumput laut tetapi pada akhirnya menjadi tempat tinggal keluarga. Diduga bahwa limbah rumah tangga, cucian, dan tumpahan minyak sudah mencemari perairan. Selain itu, bertambahnya rumah di pinggir pantai bisa mengakibatkan beban pencemaran semakin tinggi. Kondisi perairan Pulau Nain yang semi tertutup karena dikelilingi oleh karang fringing reef lebih memperkuat dugaan bahwa menurunnya produksi rumput laut disebabkan oleh beban limbah yang masuk ke perairan terperangkap di dalamnya. Pulau Nain sebagai penghasil rumput laut terbesar di Sulawesi Utara diharapkan pengelolaannya lebih dioptimalkan. Apalagi Sulawesi Utara, khususnya Kabupaten Minahasa Utara ditetapkan sebagai salah satu dari 12 klaster rumput laut di Indonesia. Potensi budidaya rumput laut di perairan Gugus Pulau Nain membuat pemerintah kabupaten menargetkan untuk mengembalikan pamornya sebagai sentra budidaya rumput laut di kawasan timur Indonesia. Pemerintah kabupaten akan mengembangkan areal budidaya rumput laut dengan harapan akan menaikkan produksi dan penyerapan tenaga kerja. Tercapainya target-target di atas tentunya dibutuhkan suatu kebijakan yang diarahkan untuk pencapaian tujuan pembangunan yaitu pendayagunaan potensi sumberdaya pesisir dan laut di pulau-pulau kecil. Salah satu dampak tercapainya tujuan ini adalah akan meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi. Solusi pemecahan masalah-masalah di atas membutuhkan data dan informasi tentang biologi, ekologi dan sosial ekonomi secara konfrehensif. Kebutuhan data dan informasi diperoleh dengan dilakukannya penelitian ini.

1.2 Perumusan Masalah