Status Budidaya Rumput Laut

2.2 Status Budidaya Rumput Laut

Indonesia sejak tahun 2007 menjadi produsen rumput laut jenis Eucheuma cottonii terbesar di dunia yakni sekitar 110 ribu ton per tahun. Produk bahan baku ini diserap industri pengolah luar negeri sekitar 80, berbeda dengan produk agar-agar dengan bahan baku Gracilaria sp., yang hampir 85 produk bahan bakunya diserap industri dalam negeri dan sekitar 70 produk agar-agar diserap pula di dalam negeri Anggadiredja 2011. Proyeksi produksi rumput laut Indonesia untuk tahun 2011 sampai dengan 2014, berturut-turut adalah: 3.504.200 ton, 5.100.000 ton, 7.500.000 ton, dan 10.000.000 ton Ditjendkan Budidaya 2010. Luas areal yang telah dinyatakan sesuai untuk budi daya rumput laut adalah 1.110.900 hektar, sehingga dengan asumsi setiap hektar lahan dapat memproduksi rumput laut rata-rata 16 ton per tahun, maka produksi dapat mencapai 17.774.400 ton per tahun Hikmayani dan Purnomo 2006. Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun 1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan sumberdaya alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan. Usaha budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya juga dapat digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai Ditjendkan Budidaya 2004. Budidaya rumput laut sebagai salah satu teknik pemanfaatan kawasan pesisir P2K berpeluang besar untuk dikembangkan bagi produksi perikanan yang berlanjut. Keberhasilan pengembangan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh penguasaan teknologi yang bersifat ekonomis, sistem pengelolaan, dan keterpaduan pemanfaatan. Anggadiredja 2007 memaparkan sejarah perdagangan dan industri rumput laut di Indonesia, sebagai berikut: 1 Perdagangan rumput laut Indonesia dimulai dari akhir abad ke-19, kebanyakan agarofit dari panen alam Gelidium dan Gracilaria, 2 Industri rumput laut dimul ai dengan industri ‘agar’ pada dekade 1920-an di Kudus, Jawa Tengah dan Garut, Jawa Barat, digunakan teknologipengetahuan masyarakat setempat, 3 Dekade 1950-an dibangun industri ‘agar’ dengan menggunakan teknologi tepat guna dan menghasilkan kertas agar di Surabaya Sinar Kencana, Awal dekade 1960-an, perdagangan alga laut tidak hanya agarofit namun juga karaginofit Eucheuma denticulatum yang dipanen dari alam, 4 Awal dekade 1970- an dibangun pabrik kemasan ‘agar’ ‘agar’ diimpor, formulasi dan kemasan, PT. Dunia Bintang Walet, 5 Tahun 1988, industri pertama karaginan setengah dimurnikan semirefined carrageenan SRC dalam bentuk chips dan bubuk didirikan di Bekasi PT Galic Artha Bahari, 6 Tahun 1989, industri ‘agar’ modern dibangun di Tangerang PT Agarindo Bogatama dan awal dekade 1990-an di Pasuruan PT. Sriti, 7 Saat ini, terdapat lebih dari 10 industri agar dan karaginan. Industri karaginan di Indonesia menghasilkan SRC-chips dan bubuk, dan beberapa di antaranya menghasilkan produk-produk formulasi untuk beberapa aplikasi. Industri agar menghasilkan bubuk dan produk-produk formulasi, 8 Industri hidrokoloid rumput laut yang lain adalah industri alginat, namun perkembangan terakhir, industri tersebut tidak berproduksi secara optimal karena terbatasnya bahan baku. Di Indonesia, alginat diekstrak dari Sargassum yang dipanen dari alam. Keunggulan rumput laut sebagai salah satu komoditas dari visi pemerintah untuk mencapai target di tahun 2015, menurut Keppel 2008 dan Parenrengi et al. 2008 adalah: 1. Potensial untuk pengembangan keanekaragaman jenis dan budidaya pada perairan pesisir yang luas. 2. Modal yang diperlukan relatif sedikit. 3. Teknologi budidaya relatif mudah dan dapat diadopsi oleh pembudidaya. 4. Periode pemeliharaan singkat. 5. Biaya operasional murah. 6. Pemberdayaan masyarakat pesisir pulau-pulau kecil. 7. Penyerapan tenaga kerja tinggi, pertumbuhan ekonomi, serta kesejahteraan masyarakat. 8. Dapat diterapkan pada usaha mikro, kecil, menengah, hingga industri besar. 9. Peluang pasar bagi bahan baku, produk setengah jadi, dan produk akhir. 10. Besarnya kebutuhan pasar ekspor dan domestik. 11. Memiliki fungsi produksi dan ekologis. Rumput laut sebagai salah satu sumber hayati laut bila diproses akan menghasilkan senyawa hidrokoloid yang merupakan produksi dasar hasil dari metabolisme primer. Senyawa ini merupakan bahan dasar lebih dari 500 jenis produk komersial yang banyak digunakan di berbagai industri. Senyawa hidrokoloid yang berasal dari rumput laut komersial di Indonesia antara lain ‘agar’ dari jenis agarofit, karaginan dihasilkan dari jenis-jenis karaginofit, dan alginat dari jenis-jenis alginofit Anggadiredja et al. 2006. Penggunaan alga telah dilakukan oleh manusia secara luas dalam berbagai bidang, yakni sebagai sumber makanan langsung, obat-obatan, pakan ternak, pupuk, produk garam, fikokoloid, dan produksi kertas Dawes 1981. Fungsi utama polisakarida rumput laut di dalam formulasi produk pangan dan non- pangan adalah sebagai emulsifier, pensuspensi, pengental, dan stabilisator. Disamping itu, rumput laut juga sangat bermanfaat untuk kesehatan manusia karena mengandung unsur zat bioaktif yang dapat digunakan sebagai campuran obat Ditjenkan Budidaya KKP RI 2005. Rumput laut merupakan sumber yang sangat baik dari vitamin A, B1, B12, C, D dan E. Juga riboflavin, niasin, asam folat serta mineral Ca, P, Na, dan K Dhargalkar Pereira 2005. Perairan Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan budidaya rumput laut tersebar di berbagai daerah antara lain, Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian Gambar 1. Gambar 1 Lokasi potensial untuk pengembangan rumput laut di Indonesia DKP 2005 in Keppel 2008. Luas lokasi yang layak untuk budidaya rumput laut di Indonesia adalah 1,1 juta ha. Produktivitas rata-rata sebesar 17,7 ton rumput laut keringhatahun Anonim 2006. Indonesia telah menguasai 50 produk rumput laut hasil budidaya di dunia yaitu untuk jenis Eucheuma, Gracilaria, dan Kappaphycus. Produksi rumput laut diproyeksikan rata-rata meningkat dari tahun 2010 –2014 sebesar 32 atau meningkat 392 dari tahun 2009 ke tahun 2014. Proyeksi tersebut masing-masing berturut-turut tahun 2012 sebesar 5,1 juta ton, 2013 sebesar 7,5 juta ton, dan tahun 2014 sebesar 10 juta ton. Data statistik menunjukkan bahwa tahun 2010 produksi rumput laut nasional mencapai 3,08 juta ton atau mengalami kenaikan rata-rata sebesar 23 per tahun Cocon, 2011. Sumber: modifikasi dari Cocon 2011 Gambar 2 Perkembangan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia. Selanjutnya dinyatakan bahwa peningkatan produksi rumput laut nasional diiringi pula oleh peningkatan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia ke berbagai negara tujuan utama ekspor antara lain: China, Philipina, Vietnam, Hongkong, dang Korsel. Perkembangan volume dan nilai ekspor dalam kurun waktu tahun 2005 –2010 secara umum mengalami kenaikan Gambar 2 BPPT 2006 in Cocon 2011. Sulawesi Utara menyimpan potensi sumberdaya rumput laut yang relatif besar dimana terdapat jenis Euchema sp. yang dikembangkan dalam bentuk budidaya laut. Jenis rumput laut penghasil karaginan tersebut telah dibudidayakan 35.555 49.586 57.522 110.153 87.773 155.620 69.264 95.588 94.073 99.949 94.003 126.178 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 160.000 180.000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 V o lu me e k sp o r . k g Nil ai ek sp o r .0 US _ Nilai ekspor Volume ekspor pada beberapa lokasi seperti di Pulau Nain, Likupang, Wori, Tumpaan, Lembean Timur, Belang, Bitung, dan Sangihe Keppel 2002. Gerung 2006 menyatakan bahwa alga ekonomis yang sudah dibudidayakan ada 2 spesies yakni Eucheuma denticulatum dan Kappaphycus alvarezii. Kedua spesies ini bukan asli perairan Teluk Manado. Benihnya 20 tahun lalu didatangkan dari Pilipina, dan bertumbuh baik di perairan Pulau Nain. Banyak pihak sangat terkonsentrasi dengan bibit rumput laut. Keberadaan bibit dalam kuantitas maupun kualitas sangat diperhatikan. Banyak upaya untuk mengkaji, diantaranya BBAP Situbondo telah membangun kawasan kebun bibit untuk Cottonii di Pacitan, Blitar, Rembang, Tuban, Lamongan, Situbondo dan Banyuwangi. Selain itu, kebun bibit juga dikembangkan oleh Balai Budidaya Laut BBL Lombok. Proses-proses penelitian dilakukan mulai dari menemukan bibit berkualitas melalui metode kultur jaringan sampai menentukan berapa kali bibit tersebut bisa digunakan. Penelitian rumput laut oleh perguruan tinggi di Sulawesi Utara lebih cenderung tentang pemanfaatan bibit rumput laut yang telah tersedia dan berasal dari pembudidaya, atau penelitian untuk mendapatkan bibit yang akan dikembangkan. Jenis rumput laut yang diteliti berasal dari perairan lokasi penelitian, dalam hal ini di perairan Pulau Nain. Banyaknya penelitian tentang rumput laut di Sulawesi Utara sesuai dengan potensi pengembangannya. Menurut Keppel 2008 bahwa luas areal budidaya rumput laut di Sulawesi Utara sebesar 5.800 hektar, luas tiap kabupaten adalah: Kab. Minahasa Utara: 1.700 hektar, Kab. Minahasa: 850 hektar, Kab. Minahasa Selatan: 250 hektar, Kab. Minahasa Tenggara: 350 hektar, Kab. Sangihe: 231 hektar, Kab. Talaud: 230 hektar, Kab. Sitaro: 289 hektar, Kab. Bolaang Mongondow: 1.250 hektar, dan Kab. Bolaang Mongondow Utara: 650 hektar. Penelitian-penelitian rumput laut yang sudah dilakukan seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Penelitian-penelitian rumput laut yang pernah dilakukan Tahun Peneliti TopikJudul 1990 Glenn Doty Growth of the K. alvarezii, K. striatum and E. denticulatum as affected by environment in Hawaii. 1992 Hurtado Ponce Cage culture of K. alvarezii Gigartinales, Rhodophycae. 1992 Lasut et al. Studi pertumbuhan E. cotonii yang dibudidayakan. 2002 Eswaran et al. Experimental field cultivation of K. alvarezii at Mandapam region. . 2003 Paula Pereira Factors affecting growth rates of K. alvarezii. 2004 Munoz et al. Mariculture of K. alvarezii in tropical waters of Yucatan, Mexico. 2005 Iksan Kajian pertumbuhan, produksi E. cotonii, dan kandungan karaginan pada berbagai bobot bibit dan asal thallus di Perairan Guruaping Oba. 2005 Mandagi White A new technique for seaweed cultivation to minimise impacts on tropical, coastal environments. 2005 Mondoringin Kajian ekologi-ekonomi usaha pembudidayaan rumput laut di kawasan terumbu karang P. Nain Kabupaten Sulawesi Utara. 2006 Amarullah Pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Tamiang Kabupaten Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut Eucheuma cottonii . 2006 Eklof et al. Effects of tropical open-water seaweed farming on seagrass ecosystem structure and function. 2007 Amiluddin Kajian pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K. alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan Pulau Pari Kep. Seribu. 2007 Blankenhorn Seaweed farming and artisanal fisheries in an Indonesian seagrass bed – Complementary or competitive usages? 2008 Amin et al. The Assessment of E. cotonii growing practice of different systems and planting seasons in Bangkep Regency Central Sulawesi. 2008 Kamlasi Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya E. cottonii di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten. 2008 Makatupan Pertumbuhan alga laut pada rakit apung kedalaman berbeda. 2008 Ngantu Pertumbuhan berat maksimum dan waktu optimum pertumbuhan beberapa jenis alga laut dalam wadah budidaya di perairan P. Nain. 2008 Pong-Masak et al. Kesesuaian lahan untuk pengembangan rumput laut di Pulau Badi. 2009 Thirumaran Anantharaman Daily growth rate of field farming seaweed K. alvarezii P. Silva. 2009 Yulianto Mira Budidaya makro alga K. Alvarezii secara vertikal dan gejala penyakit “ice-ice” di perairan Pulau Pari. 2010 Mansyur A Pengelolaan perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk usaha budidaya rumput laut. 2011 Winberg et al. Seaweed cultivation pilot trials – towards culture systems and marketable products.

2.3 Metode Budidaya Rumput Laut